Oleh: KH. Syakir Jamaluddin, M.A
Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
A. Falsafah Ibadah: Kenapa kita (harus)
beribadah?
Seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini dicipta dan dipelihara
(rububiyyatullâh), dimiliki dan dikuasai secara mutlak oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala (mulkiyyatullâh).
Tentang penciptaan dan pemeliharaan tersebut, Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ
اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan
orang-orang Sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 21)
إِنَّ
هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama
yang satu dan Aku adalah Tuhan (Pencipta dan Pemelihara)-mu, maka sembahlah
Aku.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]:
92)
Sebagai Yang Mencipta, tentu Dia-lah yang paling tahu tentang apa
yang terbaik dan apa yang terburuk bagi ciptaan-Nya. Tentang pemilikan dan
penguasaan Allah terhadap segala sesuatu, Allah berfirman:
وَلِلَّهِ
مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ
“Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan di bumi; dan
kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.” (QS. Ali Imrân [3]: 109)
Sebagai milik Allah, maka –suka atau tidak suka- semuanya pasti
dikembalikan dan berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ
فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“…kepada-Nya-lah berserah diri siapa saja yang ada di langit dan di
bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan.” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 83)
وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ
عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan
kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan
bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Hûd [11]: 123)
Sengaja Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih kalimat pasif: “dikembalikan”
karena memang semua persoalan tanpa kecuali, pasti akan dikembalikan atau
dipaksa untuk kembali kepada Allah Sang Pemilik dan Sang Penguasa (al-Malik).
Atas dasar inilah sehingga tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali berserah
diri secara mutlak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan atas dasar ini pula, manusia tidak dibenarkan memisahkan
aktivitas hidupnya, sebagian untuk Allah dan sebagiannya lagi untuk yang lain.
Semuanya harus total dipersembahkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku
hanyalah untuk Allah Pemelihara alam semesta.“
(QS. Al-An‘âm [6]: 162)
Selain itu, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling
sempurna (QS. Al-Tîn [95]: 4) dan paling dimuliakan Allah dengan memberinya
berbagai kelebihan dibanding makhluk yang lain (QS. Al-Isra’ [17]: 70).
Penciptaan dan pemuliaan Allah terhadap manusia dengan memberikan
fasilitas yang lebih berupa akal dan nurani, tentunya bukan tanpa tujuan.
Karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pertanyaan reflektif
kepada manusia:
أَفَحَسِبْتُمْ
أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُوْنَ
"Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian hanya
sia-sia dan mengira bahwa kalian tidak kembali kepada Kami?!" (QS. Al-Mu'minûn [23]: 115)
Sengaja Allah merangkai dua pertanyaan dalam satu ayat tentang
tujuan penciptaan manusia secara sempurna oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dan tentang kemana tempat kembali terakhir kita kalau bukan kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, dengan maksud mengajak kita untuk berpikir dan merenung tentang
tujuan penciptaan manusia. Tentu ada tujuan Allah untuk semua itu. Allah
menciptakan manusia lengkap dengan berbagai kelebihan dimaksudkan karena Allah
akan memberikan tugas mulia kepada manusia yakni menjadi khalifah Allah di bumi
(QS. Al-Baqarah [2]: 30) yang bertugas memakmurkan bumi ini (QS. Hûd [11]: 61).
Untuk melaksanakan tugas kekhalifahan dengan baik maka tidak bisa tidak kecuali
harus didasarkan pada semangat pengabdian (ibadah) yang murni hanya karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Untuk itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
"Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk
beribadah kepada-Ku." (QS.
Adz-Dzariyat [51]: 56; Lihat juga QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Dengan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka
manusia bisa menjadi manusia yang bertaqwa. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Hai manusia, sembahlah (beribadahlah) kepada Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 21)
Hanya dengan bekal taqwa, seseorang akan mampu memfungsikan dirinya
sebagai hamba Allah (‘abdu-llâh) dan khalifah Allah (khâlifatu-llâh)
di muka bumi sehingga ia mampu menyelesaikan tugas kekhalifahannya dengan baik
ketika di dunia untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala di akhirat kelak.
B. Makna Ibadah
Lalu apa makna Ibadah? Makna atau definisi ibadah menurut Muhammadiyah
adalah:
التَّقَرُّبُ
إِلَى اللهِ بِامْتِثَالِ أََوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ وَالْعَمَلِ
بِمَا أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ
“Mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangal-Nya serta mengamalkan
apa saja yang diperkenankan oleh-Nya." (Himpunan Putusan Tarjih, hlm.
276)
C. Pembagian Ibadah
Ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ibadah dibagi menjadi dua
bagian:
1. `Ibâdah khâshshah (ibadah khusus), yaitu ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan
oleh nash, seperti: shalat, zakat, puasa, haji, dan semacamnya.
2. `Ibâdah `âmmah (ibadah umum), yaitu semua perbuatan baik
yang dilakukan dengan niat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. semata,
misalnya: berdakwah, melakukan amar ma`ruf nahi munkar di berbagai bidang, menuntut
ilmu, bekerja, rekreasi dan lain-lain yang semuanya itu diniatkan semata-mata
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ingin mendekatkan diri kepada-Nya.
D. Prinsip Ibadah
Supaya manusia bisa diterima amalan ibadahnya oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan selamat ketika dipanggil kembali untuk bertemu dengan Allah,
maka ada 6 prinsip ibadah yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam beribadah.
Dari keenam prinsip tersebut bisa diperas ke dalam satu prinsip utama yaitu:
Ibadah harus sesuai dengan tuntunan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
فَمَنْ كَانَ
يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka
hendaklah mengerjakan amal shalih dan ia jangan mempersekutukan seorangpun
dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi
[18]: 110)
Arti kata shâlih adalah baik karena sesuai. Seseorang
dikatakan beramal shalih bila dalam beribadah kepada Allah sesuai dengan cara
yang disyari`atkan Allah melalui Nabi-Nya, bukan dengan cara yang dibuat oleh
manusia sendiri.
Syarat ibadah yang dikatakan sesuai dengan tuntunan Allah melalui
Rasul-Nya adalah:
1. Dilakukan secara ikhlas yakni murni hanya menyembah kepada Allah
semata (QS. Al-Fâtihah [1]: 5; Al-Nisâ’ [4]: 36; al-Bayyinah [98]: 5; al-An’âm
[6]: 162) dan murni hanya karena mengharap ridla-Nya. Keikhlasan harus ada
dalam seluruh ibadah, karena keikhlasan inilah jiwa dari ibadah. Tanpa
keikhlasan, maka tidak mungkin ada ibadah yang sesungguhnya. Beribadah secara
ikhlas didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ
إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku
hanyalah untuk Allah Pemelihara alam semesta.“ (QS. Al-An‘âm [6]: 162)
Bahkan, ibadah tanpa diserati dengan keikhlasan maka tidak akan
diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini karena Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam pernah menyatakan bahwa setiap perbuatan itu tergantung
pada niatnya (Muttafaq ‘alaih). Demikian pula hadis Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam yang lain yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ لاَ
يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ
وَجْهُهُ
"Allah tidak menerima amalan kecuali dikerjakan dengan ikhlas
dan hanya mencari ridla-Nya." (HR.
Al-Nasâ`i)
Berdasarkan dalil di atas bahwa hanya ibadah yang dilakukan secara
ikhlas saja yang akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan
ibadah yang dilakukan secara tidak ikhlas, seperti karena riya’ (baca:
ingin dilihat dan mendapat pujian/penghargaan dari selain Allah), meskipun itu
baik, maka tidak akan punya nilai apa-apa di hadapan Allah, bahkan bisa
mendapatkan kecelakaan (QS. Al-Mâ‘ûn [107]: 4-7).
2. Tata caranya harus sesuai Tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal
shalat, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (رواه البخاري(
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari, dari Malik bin Al-Huwairits)
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan
tentang tata cara shalat secara lengkap melalui hadis-hadisnya yang maqbûl,
dari sejak niat yang tidak dilafalkan, bagaimana gerakan dan bacaan shalat
sejak takbir hingga salam, berapa jumlah raka`at, kapan saja waktu-waktu
shalat, dan lain-lain. Dalam masalah ibadah mahdlah (khusus) yang sudah jelas
ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh ada hasil kreasi pemikiran
manusia yang boleh masuk di dalamnya, kecuali menunggu perintah atau tuntunan
Allah dan Rasul-Nya. Ketika seseorang melakukan shalat sebagai bagian dari
ibadah mahdlah tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya maka ada dua akibat
yang akan terjadi, yakni:
Pertama: Ibadahnya ditolak. Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengadakan sesuatu dalam perkara kami ini yang
tidak ada tuntunan (Islam) di dalamnya maka ditolak.” (Muttafaq 'alaih)
Kedua: Divonis bid’ah, sesat dan masuk
neraka. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dengan
sabdanya:
فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم وابن ماجة وأحمد
والدارِمى.) و فى لفظ النسائى: وَكُلُّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah Kitabullah (Al-Qur’an), dan
sebaik-baik bimbingan, adalah bimbingan Muhammad, sedang sejelek-jelek perkara
adalah mengada-ada padanya, dan setiap bid`ah (penyimpangan dengan mengada-ada)
adalah sesat.” (HR. Muslim, Ibn Majah, Ahmad dan Ad
Darimi) Dalam redaksi Al-Nasa’i: “... dan setiap yang sesat, di neraka.”
Hadis ini dimaksudkan sebagai peringatan agar orang tidak mudah
melakukan penyimpangan (bid`ah) dalam masalah ibadah mahdlah. Itulah sebabnya
para ulama menyusun sebuah kaidah ushul dalam hal ibadah:
الأصل
في العبادات الحظر إلا ما ورد عن الشارع تشريعه
“Prinsip asal dalam masalah ibadah itu dilarang kecuali terdapat
dalil dari Allah (al-Syâri’) yang mensyari’atkannya” -
0 komentar:
Posting Komentar