Oleh: Dani Kurniawan
Penggiat Pemuda Muhammadiyah
Jarang sekali sekarang ini ditemukan tokoh
seperti KH. Mas Mansur, seorang ulama besar dan menjadi pemimpin organisasi besar
yaitu Muhammadiyah. Beliau dikenal sebagai sosok kiai yang sederhana, cerdas,
sabar, taqwa dan tawakal. Oleh sebab itu sosok seperti Mas Mansur
sungguh dibutuhkan baik oleh persyarikatan dan bangsa ini agar segera
terlepas dari berbagai persoalan.
KH. Mas Mansur dilahirkan pada tanggal 25
Januari 1986 di Surabaya. Ayahnya bernama Kiai Mas Ahmad, seorang
ulama yang cukup terkenal di Jawa Timur dan ibunya adalah Raulah, wanita yang
berasal dari keluarga yang kaya. Karena ayahnya seorang mubaligh, secara
otomatis Mas Mansur mendapatkan pendidikan agama yang mendalam pada masa kecilnya. Saat usianya beranjak 10 tahun dia dikirim oleh
orang tuanya kepada Kiai Khalil di Bangkalan Madura untuk belajar ilmu Agama.
Setelah menginjak usia remaja, rasa haus
untuk menutut ilmu dalam diri Mas Mansur terus membara. Maka pada tahun 1908
dia belajar ke timur tengah, 2 tahun di Mekah, selanjutnya melanjutkan
ke Universitas Al-Azhar Mesir.
Saat di Mesir ia mulai tertarik dengan
disiplin ilmu lain seperti sosial politik yang sedang berkembang di Negeri Piramid. Hal
ini dapat terjadi lantaran negeri asalnya sedang dijajah oleh bangsa_lain. Berbekal dengan ilmu yang diraihnya, maka
setelah kembali ke Indonesia Mas Mansur aktif dalam organisasi baik yang
sifatnya religius maupun nasionalisme. Mas Masnsur sangat ingin
memperbaiki citra umat Islam di Indonesia. Sebab, dalam keadaan dijajah kondisi umat sungguh
memprihatinkan dan cenderung dimarjinalkan dengan kelompok yang lain. Padahal
mayoritas penduduk Indonesia pada masa itu adalah beragama Islam.
Semasa itu orang Islam dikenal dengan
keterbelakanganya, yaitu: kebodohan dan kemiskinan. Dua
perkara itulah yang hendak dihilangkan oleh Mas Mansur. Mengapa orang Islam dianggap bodoh? Sebab saat itu pesantren, yaitu
lembaga pendidikan Islam hanya mengajarkan seputar ilmu agama dan mereka hanya bangga dengan Kitab Kuningnya dan mengganggap ilmu diluar itu semua haram sehingga tidak boleh untuk
dipelajari.
Sebab di mata mereka (baca: kaum santri) ilmu sosial dan eksak yang diajarkan di sekolah umum adalah
ilmu yang dibawa oleh kaum penjajah padahal mereka kafir. Karena pandangan yang
keliru ini akhirnya umat Islam mengalami ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan.
Lalu mengapa waktu itu banyak orang Islam
itu miskin? Karena pos-pos kekuasaan pemerintah dikuasi oleh
penjajah. Mereka hanya dijadikan obyek pemerasan, seperti para petani
disuruh menanam padi dan hasilnya 75 % disetor kepada penjajah. Apabila
tidak mau membayar upeti maka harus berakhir didalam jeruji besi atau kematian.
Untuk segera merealisasikan ide dan gagasan tersebut maka pada tahun 1917 beliau mendirikan
sebuah Madrasah, yaitu Mufidah, yang menggabungkan
kurikulum pasantren dan sekolah umum. Sehingga siswa yang sekolah disitu selain
mendapatkan ilmu agama juga mendapatkan ilmu umum seperti Ilmu hitung, sosial.
Sejak saat itulah Mas Mansur dikenal sebagai mujadid (pembaharu) ulama modern
khususnya di Jawa Timur. Akan tetapi hal itu tidak berjalan lancar karena
banyak juga ulama-ulama di Jatim yang menolak model pembelajaran Islam ala Mas
Mansur.
Selain itu beliau aktif dalam berbagai
organisasi salah satu organisasi yang pertama diikuti adalah Syarikat Islam
pimpinan HOS Cokroaminoto. Saat menggeluti organisasi tersebut ia pernah
memangku jabatan sebagai Penasehat Pengurus Besar Syarikat Islam. Tahun 1921 KH. Ahmad Dahlan
berkunjung ke rumah Mas Mansur di Surabaya untuk bersilaturahmi. Dan
pertemuan itu adalah pertemuan pertama dua ulama besar tersebut.
Kiai Dahlan melakukan diskusi panjang lebar
dengan Kiai Mansur terutama tentang permasalahan umat Islam waktu itu. Karena
merasa sepemahaman dan sangat tertarik dengan ide dan
gagasan Dahlan, maka Mas
Mansur memutuskan untuk bergabung dan berjuang melalui Muhammadiyah. Sebagai
bentuk komitmen terhadap Organisasi Muhammadiyah selang beberapa hari kemudian.
Beliau bersama Pakih Hasyim mendirikan cabang Muhammadiyah di Surabaya.
Karir organisasi KH. Mas Mansur
cukup gemilang khususnya di Muhammadiyah. Melalui
Konggres Muhammadiyah ke 29 di lapangan Asri Yogyakarta, para peserta konggres
menunjuknya sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (1937-1942). Mendengar berita tersebut Mas Mansur segera
bergegas dari Kantor PP Muhammadiyah lama (wil notoprajan) pergi kampung Kauman
untuk menemui Nyai Dahlan, Istri pendiri Muhammadiyah.
“Bu saya terpilih menjadi ketua
Muhammadiyah,” ujar Mas Mansur kepada Nyai Dahlan.
“Baguslah kalau begitu dan
selamat untukmu anakku,” sahut wanita itu.
“Kedatangan saya disini mohon didoakan agar diri saya mempunyai
sifat mulia, yaitu: kesabaran, kemajuan, ketaqwaan dan tawakal,” Mas Mansur
melanjutkan.
“Insyaallah saya doakan,” tutur Nyai Dahlan dan Mas Mansur langsung
memohon pamit kepadanya.
Dibawah kepemimpinan Mas Mansur
Muhammadiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya berdiri ranting-ranting baru Muhammadiyah
diseluruh pelosok negeri dan sekolah Muhammadiyah berdiri
dimana-mana. Selain itu Muhammadiyah mulai dikenal sebagai gerakan Islam Modern
disamping dari model sekolahnya juga Muhammadiyah aktif menyampaikan tabliq
kepada umat sehingga kaum muslim bisa keluar dari bentuk kegiatan takhayul,
khurafat dan bid’ah.
Model kepemimpinan KH. Mas Mansur
kepada Muhammadiyah tidak lepas dari 4 sifat mulia tersebut. Selain dikenal
sebagai ulama besar Mas Mansur juga disebut sebagai tokoh pergerakan nasional. Karena beliau aktif dalam gerakan PUTERA (Pusat Tenaga
Rakyat) bersama ketiga temanya yaitu: Ir. Sukarno, Mohammad Hatta dan Ki Hajar Dewantara. Sehingga ada istilah empat serangkai dan hal itu
tidak bisa lepas dari keberadaan Mas Mansur
Sungguh besar bentuk kontibusi beliau bagi
kemajuan agama Islam dan bangsa Indonesia. Sampai akhirnya pada 24
April 1945 bangsa ini gempar karena ada berita ada seorang ulama dan tokoh
nasional telah wafat. Yang tidak lain adalah KH. Mas Mansur. Nah siapakah yang siap untuk
meneruskan perjuangannya?
0 komentar:
Posting Komentar