Pertanyaan
: Bagaimana hukum berobat dengan sesuatu yang
diharamkan, seperti pengobatan dengan terapi urine dan pengobatan dengan darah
ular kobra?
Jawab :
a. Kajian
Pertama: Pada
dasarnya berobat dengan sesuatu yang diharamkan untuk dimakan (seperti urine
dan darah ular kobra) adalah terlarang berdasarkan hadis-hadis berikut:
1. “Sesungguhnya
Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta telah menciptakan bagi kalian
penyakit beserta obatnya, maka berobatlah kalian dan jangan berobat dengan
sesuatu yang diharamkan” (HR. Abu Dawud)
2. Ketika
ada seseorang bertanya kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam untuk memanfaatkan khamr, beliau
melarangnya. Lalu ketika orang tersebut mendesak beliau dan mengatakan
bagaimana jika hanya dimanfaatkan untuk obat, maka Nabi menegaskan kembali,
seraya bersabda: “Khamr itu bukan sebagai obat melainkan penyakit”. (HR.
Muslim, Ahmad dan Tirmidzi).
b. Kajian
Kedua : Namun
ada di kalangan ulama yang memahami bahwa berobat dengan sesuatu yang haram,
dalam kondisi tertentu diperbolehkan, berdasarkan hadis Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang diberi ruhshah (keringanan-red) untuk mengenakan kain sutra yang hukum
asalnya haram, karena menderita penyakit kulit seperti gatal-gatal, dsb.
c. Dari kedua
kajian di atas para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi hal di atas, paling
tidak terbagi menjadi empat pendapat :
1. Haram, hal ini merupakan pendapat Imam
Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitab beliau At Thib An Nabawi,
mengingat kuatnya dalil-dalil yang ada.
2. Mubah, merupakan pendapat sebagian ulama Hanafiah,
tetapi ini adalah pendapat yang lemah dalam aspek istidlal (pengambilan dalil).
3. Makruh, ini merupakan pendapat Taqiyudin An
Nabhani dalam melakukan metode Al Jam’u wat Taufiq (mengkompromikan dua dalil).
4. Mubah
dalam kondisi Dharurat, dan Haram selain dalam kondisi Dharurat, ini adalah pendapat Dr. Yusuf Al
Qaradhawi dalam Al Halal wal Haram fi Islam, dan beliau mensyaratkan kondisi dharurat
itu dengan tiga hal :
a. Benar-benar
dalam kondisi gawat darurat, sehingga mengancam keselamatan jiwanya.
b. Tidak ada
obat alternatif lain yang halal sebagai pengganti obat yang haram ini.
c. Harus ada
rekomendasi dari para ahli dan dokter yang kredibel dan kompeten, dan harus
benar-benar teruji secara empiris bahwa sesuatu yang haram tersebut membawa
efek sembuh dan tidak membawa dampak negatif.
Dari keempat pendapat tersebut majelis
memandang pendapat keempat merupakan pendapat yang terpilih, terlebih pada masa
kita sekarang yang persoalan kesehatan semakin kompleks sehingga memerlukan
perincian-perincian hukum yang bisa dengan mudah difahami oleh umat.Dijawab setelah disidangkan oleh: Majelis Tarjih dan Tajdid PC Muhammadiyah Blimbing Sukoharjo – Jateng, Ketua: Sahadi Mulyo Hartono, S.Pd.I.
0 komentar:
Posting Komentar