Oleh: Mohammad Ali *)
Direktur Perguruan Muhammadiyah Kota Barat Solo
Diskursus Islam berkemajuan ala Muhammadiyah terus bergulir, bersanding dengan wacana Islam Nusantara yang dikumandangkan Nahdlatul Ulama (NU).
Terlebih setelah Muhammadiyah merilis tema muktamar ke-47 yang diselenggarakan di Makassar pada 3-7 Agustus 2015, yakni tentang gerakan pencerahan untuk kemajuan bangsa.
Sekalipun wacana Islam berkemajuan sudah berembus sejak lima tahun silam, diperkaya dan dipertajam melalui serangkaian seminar pramuktamar, tetapi pemahaman publik maupun warga persyarikatan [Muhammadiyah] atas hal ihwal gerakan Islam berkemajuan masih mengambang.
Ketika istilah ”berkemajuan” semakin lengket dengan Muhammadiyah, untuk menggantikan kata ”modern” yang lebih dulu tersemat kuat pada gerakan ini, sejatinya bukan untuk gagah-gagahan atau sekadar ganti baju lama dengan baju baru.
Di balik perubahan itu terselip sesuatu yang jauh lebih mendasar, yaitu penemuan kembali hakikat, esensi, hal ihwal, sumber, dan akar gerakan Muhammadiyah.
Kesadaran akan esensi dan ihwal gerakan sungguh penting karena dapat mengubah persepsi dan cara pandang secara mendasar.
Pencandraan atau sebutan ”Islam modern” mulai populer pada dekade 1970-an. Yang mengonstruksi dan memopulerkannya adalah kalangan peneliti, analis sosial, maupun pengkaji gerakan sosial-keagamaan sebagai timbangan dari ”Islam tradisional”.
Berlainan dengan hal itu, penamaan ”Islam berkemajuan” muncul dan tumbuh dari dalam diri sendiri sehingga terasa lebih otentik dan orisinil. Ungkapan berkemajuan adalah langsung dari perkataan K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri dan arsitek Muhammadiyah.
Salah satu murid Kiai Dahlan, Umnijah A. Wardi, yang diwawancarai Amir Hamzah Wirjosukarto (1962: 58), menuturkan sang pendiri Muhammadiyah selalu berpesan kepada murid-muridnya agar menjadi kiai yang berkemajuan.
Kuntowijoyo (1998: xv-xxxi) mengutip dokumen awal Muhammadiyah yang menyatakan: awit miturut paugeraning agami kita Islam, sarta cocok kaliyan pikajenganipun jaman kemajengan.
Dari dua kutipan itu dapat diketahui bahwa Kiai Dahlan mencita-citakan Islam yang senapas dengan kemajuan zaman dan mengedepankan semangat ijtihad, bukan pemahaman Islam kolot dan terbelakang yang begitu populer saat itu.
Sementara itu, Amin Abdullah (2011) berpandangan dalam diskursus keagamaan kontemporer, Islam berkemajuan lebih tepat disejajarkan dengan, dan dapat dipertajam melalui, konsep Islam progresif.
Usulan Amin Abdullah masih bisa diperdebatkan, tetapi di sini bukan ruang yang tepat untuk memperdebatkannya. Esai singkat ini dimaksudkan melihat dari dekat ihwal gerakan Islam berkemajuan melalui penelusuran sosiohistoris.
Para pengkaji gerakan sosial kegamaan seperti Benda (1980), Peacock (1978), dan Nakamura (1993) begitu terkesima dengan besarnya amal usaha mulai dari pendidikan, kesehatan hingga panti asuhan, sehingga mereka berpendapat Muhammadiyah merupakan organisasi swasta keagamaan terbesar di muka bumi ini.
Pendapat ini sulit dibantah dan telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi persepsi publik. Realitas sosiologis semakin menguatkannya karena orang lebih gampang menjumpai papan nama amal usaha ketimbang papan nama kantor pimpinan (pengurus) Muhammadiyah.
Sekalipun amal usaha Muhammadiyah berjibun dan tersebar di seluruh pelosok Nusantara, tetapi itu bukan esensi gerakannya. Ihwal Islam berkemajuan yang sesungguhnya adalah gerakan pemikiran.
Kaitan antara pemikiran dan amal dalam konteks Islam berkemajuan ibarat bebek dan telurnya. Publik lebih mudah melihat telur yang dihasilkan bebek, orang lebih gampang melihat amal usaha yang dihasilkan kreativitas pemikiran.
Dari optik sejarah diketahui ihwal berdirinya Muhammadiyah adalah gerakan pemikiran yang mengusung tesis-tesis baru sebagai antitesis sekaligus jurus baru memecah kebuntuan umat Islam, membebaskan kaum pribumi. Tesis baru inilah yang belakangan diformulasi menjadi Islam berkemajuan.
Dengan demikian, Islam berkemajuan dapat dipahami sebagai seperangkat gagasan, pemikiran, ide-ide, aksi, dan praksis Islam yang diformat senapas dengan kemajuan.
Dengan demikian dapat digunakan sebagai peranti (instrumen) untuk memajukan dan membebaskan penduduk pribumi (masyarakat pinggiran) yang terisolasi dan tenggelam dalam cengkeraman keterbelakangan, kemelaratan, dan kekolotan.
Dari pengertian di atas, gambaran tentang arah Islam berkemajuan belum begitu jelas dan masih tampak abstrak. Untuk mengonkretkan gambaran Islam berkemajuan diperlukan tinjauan dan refleksi historis atas periode formatif, masa-masa awal pembentukan Muhammadiyah.
Proses awal pembentukannya berjalan lambat, tapi melangkah maju setahap berkelanjutan, step by step on going process, melalui beberapa kali perubahan formasi (metamorfosis) gerakan.
Masa awal pembentukan, atau periode formatif Muhammadiyah, secara singkat dapat dirumuskan melalui 4P, yaitu: (1) pemikiran, (2) peng(k)ajian, (3) pengajaran, dan (4) persyarikatan.
Progresif
Keempat tahapan ini bersifat progresif (maju setahap) dan merupakan satu kesatuan organik yang tidak terpisahkan. Misalnya, tahap pengajaran merupakan penerjemahan dan elaborasi lebih lanjut dari tahap pencarian pemikiran dan pengkajian.
Keempat tahapan ini bersifat progresif (maju setahap) dan merupakan satu kesatuan organik yang tidak terpisahkan. Misalnya, tahap pengajaran merupakan penerjemahan dan elaborasi lebih lanjut dari tahap pencarian pemikiran dan pengkajian.
Ciri sebelumnya sebagai gerakan pemikiran dan pengkajian terus berlangsung, tetap melekat dan justru menjadi ciri khas pengajaran (pendidikan) Muhammadiyah. Proses pencarian dataran pemikiran baru mulai berlangsung sejak kepulangan Kiai Dahlan dari di Tanah Suci dan menemukan formulasinya ketika diangkat menjadi khatib Masjid Besar Kauman pada 1896.
Isu sentral tahapan pemikiran adalah upaya menerapkan ilmu pengetahuan modern untuk memecahkan masalah-masalah keagamaan, seperti geografi untuk membetulkan arah kiblat salat dan astronomi untuk menghitung (hisab) kalender Hijriah.
Meskipun mendapat perlawanan sengit dari kiai-kiai kolot (birokrat keagamaan kraton), tapi berhasil menarik minat sejumlah pemuda untuk bergabung dan menjadi santri Kiai Dahlan.
Untuk menggembleng mereka, Langgar Kidul dijadikan sekolah pemikiran (school of thought) sebagai arena mempertajam dan mendeseminasikan pemikiran pembaruan.
Di tempat inilah berlangsung diskusi bebas dalam mempersoalkan masalahmasalah agama maupun kehidupan yang saat itu dianggap tabu.
Langgar Kidul menjadi arena dialog bebas dan peng(k)ajian pemikiran Islam yang menandai metamorfosis dari tahap pemikiran ke tahap peng(k)ajian.
Penghancuran Langgar Kidul oleh birokrat keagamaan bukan sekadar masalah kiblat, tapi lebih dari itu karena mereka ketakutan sekolah pemikiran (bebas) ini dapat merusak agama Islam.
Setelah pembakaran Langgar Kidul, gerakan pembaruan memasuki masa jeda beberapa saat (1903-1905) karena Kiai Dahlan pergi memperdalam ilmu agama untuk kedua kalinya ke Tanah Suci.
Kesempatan ini dimanfaatkan untuk mengelaborasi intisari pemikiran Muhammad Abduh (1845-1905), terutama tentang perlunya pengajaran agama sekaligus ilmu modern. Tema inilah yang menjadi agenda utama Kiai Dahlan ketika pulang ke Tanah Air.
Awal 1909 dia menceburkan diri dalam gerakan Budi Utomo, yang membuka kesempatan untuk mengajar di Sekolah Guru dan Sekolah Pamong Praja milik Belanda.
Kristalisasi gagasan integrasi pengajaran agama dan ilmu modern, diperkaya pengalaman keorganisasian di Budi Utomo, dan pengalaman mengajar di sekolah pemerintah Belanda, akhirnya membulatkan tekad Kiai Dahlan untuk merintis sekolah agama modern bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah pada Desember 1911.
Berdirinya sekolah agama modern menandai munculnya tahapan ketiga: pengajaran. Sampai di sini sudah berlangsung tiga pergeseran bentuk; bermula dari pemikiran, disusul gerakan peng(k)ajian, dan pengajaran.
Belum sampai setahun, kebutuhan untuk merawat dan menjamin keberlanjutan pemikiran-pemikiran baru, pola-pola peng(k)ajian baru, model pengajaran baru semakin tidak terbendung.
Pada 18 November 1912 berdirilah persyarikatan bernama Muhammadiyah. Ide dasar yang mendorong berdirinya persyarikatan adalah kesadaran bahwa untuk merealisasikan pemikiran, pengkajian, dan pengajaran harus dikerjakan secara kolektif-berjemaah.
Secara teologis, ini mengandung makna kesalehan pribadi harus melebur dan menjadi instrumen kesalehan sosial. Nilai agama secara pribadi harus menggembirakan dan secara sosial harus mampu mendorong kemajuan kehidupan masyarakat.
Refleksi historis masa awal Muhammadiyah berhasil menemukan kembali elan vital, ihwal, ataupun api pembaruan yang menjadi roh gerakan Islam berkemajuan. Sekalipun amal usaha Muhammadiyah melimpah, itu bukan esensi gerakannya.
Esensi, ihwal, dan akar gerakan Islam berkemajuan adalah eksperimental pemikiran, sedangkan amal usaha adalah buahnya.
Dari sini dapat diketahui bahwa orang yang terkesima (membanggakan) amal usaha, sebenarnya baru menginjakkan kakinya di halaman rumah, belum masuk di dalam rumah Muhammadiyah. Tidak terkecuali para aktivis maupun pemimpin organisasi ini yang merasa dirinya sudah ber-Muhammadiyah.
Sebagai catatan penutup, perlu ditegaskan kembali bahwa kesadaran tentang ihwal berdirinya Muhammadiyah sebagai suatu eksperimental pemikiran baru adalah temuan yang sungguh berharga.
Belakangan ini muncul sinyal yang mengabarkan bahwa jabatan-jabatan pemimpin Muhammadiyah banyak dihuni orang-orang yang alergi terhadap eksperimental pemikiran baru. Semoga sinyal itu keliru.
*) Artikel ini sebelumya pernah dimuat di Solopos
0 komentar:
Posting Komentar