728x90 AdSpace

Latest News
Minggu, 01 Maret 2015

Pendidikan Pesantren, Ditengah Modernisasi dan Globalisasi





Oleh: H. Sholahuddin Sirizar, Lc, M.A
Direktur Pondok Pesantren Imam Syuhodo Blimbing Sukoharjo,
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah,
Dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta


Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan dan pusat penyiaran Agama Islam tertua di Indonesia yang telah melahirkan kader-kader bangsa yang menguasai Ilmu Agama Islam (tafaqquh fi ad diin). Dalam perkembangan selanjutnya, setiap Pondok Pesantren mempunyai ciri khas yang membedakan satu dengan yang lain, diantaranya sejarah pendiriannya, metode pengajaran dan pendidikannya, serta pengembangan yang dilakukan oleh Pondok Pesantren itu sendiri dalam menjadikannya sebagai pusat kegiatan masyarakat. Namun demikian secara umum ada lima dasar yang dijadikan landasan berpijak bagi setiap Pondok Pesantren yang kemudian dikenal dengan Panca Jiwa Pondok Pesantren. Yaitu: Keikhlasan, Kemandirian, Kesederhanaan, Ukhuwwah Islamiyah dan Kebebasan.
Pada awal pendiriannya, penyelenggaraan kegiatan pengajian dipimpin oleh seorang ustadz di dalam masjid yang diikuti oleh beberapa santri (peserta didik) yang berasal dari daerah sekitar masjid. Kemudian ketertarikan untuk belajar pada ustadz tersebut menyebar luas, sehingga santrinya bertambah banyak, dan berasal dari daerah yang berbeda-beda, sehingga dibutuhkan adanya tempat istirahat atau menginap (asrama). Dengan demikian, eksistensi masjid, ustadz, santri, pendalaman agama dan asrama, kini menjadi standarisasi dalam menilai bahwa suatu penyelenggaraan kegiatan pedidikan itu disebut Pondok Pesantren.
Pada saat sekarang, dengan semakin pesatnya perkembangan zaman, Pondok Pesantren sebagai lembaga yang berakar dalam masyarakat telah berupaya untuk tetap eksis dengan turut pula menjadikan peranannya lebih baik dari yang sebelumnya. Pada hakikatnya, selain untuk mempersiapkan muballigh, ustadz, guru agama, tokoh agama dan pemimpin ummat, Pondok Pesantren juga menjadi benteng pertahanan akhlaq dan moral bangsa.
Dengan peranannya yang baru ini, Pondok Pesantren tidak hanya "bertafaqquh fi ad diin" saja, tapi juga "bertafaqquh fi ad dunya", sehingga kader-kader yang dilahirkannya dapat terjun ke berbagai bidang kehidupan dan penghidupan, tidak "keder" dan gagap menghadapi tantangan zaman.
Di Jawa Tengah, Pondok Pesantren yang sudah terdaftar di Kanwil Depag Propinsi Jawa Tengah pada saat ini jumlahnya tidak kurang dari 1.837 dengan jumlah santri tidak kurang dari 296. 472 orang, dengan lokasi di perkotaan, pedesaan, pegunungan maupun di daerah pantai. Jumlah yang cukup besar ini, sebenarnya bisa menjadikan kita optimis, apabila semua Pondok Pesantren tersebut dikelola dengan baik.

A.  Kondisi Umat Islam
Islam sebagai Ad Diin hadir bukan di wilayah yang kosong nilai dan peradaban, melainkan berada di tengah-tengah nilai dan peradaban yang telah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad. Muhammad salallahu ‘alaihi wasallam di utus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala selain untuk menyempurnakan akhlaq juga untuk melakukan perubahan dari menyembah berhala, kepada menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari politeisme ke monoteisme, dari hukum kekuasaan ke hukum yang berkeadilan, dari tatanan masyarakat yang berkasta-kasta ke masyarakat yang egaliter, dari masyarakat yang biadab ke masyarakat yang beradab.
Disinilah sesungguhnya telah terjadi benturan antara peradaban jahiliyah dengan peradaban Islam. Benturan ini terus berkelanjutan, sehingga dakwah Islam tidak akan pernah berhenti. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan adanya komunitas keagamaan (Yahudi dan Nasrani) yang yang tidak akan pernah diam melihat perkembangan Islam dan peradabannya mencapai kemajuan.
Samuel P. Huntington berpendapat bahwa Islam adalah ancaman yang paling utama bagi barat setelah runtuhnya Uni Soviet. Konflik-konflik yang terjadi antar etnis, antar agama di beberapa negara termasuk Indonesia, menurutnya dipicu oleh ajaran agama.
Sesungguhnya tuduhan yang dialamatkan ke agama Islam tidaklah memiliki dasar, karena Islam tidak pernah mengutamakan kekerasan di dalam menyelesaikan masalah. Benturan peradaban yang mengarah pada konflik antar negara itu dapat terjadi, karena pola pandang Amerika yang menempatkan Islam (negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam) sebagai musuh monolitik global barat. Contoh yang menonjol adalah seperti sikap pemerintah Denmark dan editor Jylland-Posten yang tidak mau meminta maaf kepada umat Islam di dunia, karena telah melecehkan Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mereka akhir-akhir ini menyebut semua gerakan perlawanan (tanpa mau memilah-milah di antara kelompok-kelompok tersebut) terhadap rezim otoriter di Irak, Suriah dan beberapa Negara otoriter arab lainnya sebagai gerakan terorisme.
Edward W. Said telah mengungkapkan dengan gamblang bahwa media barat selalu melakukan distorsi dan pencitraan negatif terhadap Islam, kaum muslimin dan simbol-simbol suci Islam lainnya. Kemajuan peradaban di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim dan hubungan yang erat antar negara tersebut yang dibangun melalui OKI misalnya, membuat Amerika menaruh kecurigaan, dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan untuk menguasai dunia. Maka setelah barat memporak-porandakan Irak (meskipun sebenarnya sampai sekarang mereka belum bisa mengendalikan keadaan secara penuh) dengan berbagai alasan yang tidak terbukti, mereka meluluhlantakkan Libanon dengan alasan yang tidak mungkin bisa diterima oleh akal sehat, bahkan sekarang sasarannya menuju Iran (dengan isu nuklirnya). Dan kalau nantinya Iran berhasil dikucilkan bahkan dibuat nasibnya seperti Irak, maka kemungkinan sasaran berikutnya adalah Negara-negara Arab lainnya bahkan bisa jadi Indonesia. Tapi kalau diamati secara mendalam sebenarnya Indonesia pun sudah berusaha mereka serang. Hanya saja intervensinya tidak dalam bentuk fisik atau militer, namun melalui ekonomi, kebudayaan dan pemikiran.
Bentuk intervensi lembaga keuangan semacam IMF, keinginan mencetak majalah Playboy di Indonesia, membuat tuduhan bahwa Indonesia termasuk sarang teroris dan membiayai berkembangnya pemikiran liberalisme, inklusifisme dan pluralisme dalam agama adalah contoh-contoh kongkritnya.
Namun selain menghadapi problem global tersebut diatas, umat Islam juga dihadapkan pada problem-problem klasik, seperti problem sosial, problem keagamaan dan problem politik. Dalam problem sosial misalnya, masalah kemiskinan, pengangguran, dan bencana alam. Hal ini tidak dapat hanya diselesaikan dengan memberikan justifikasi agama, bahwa kemiskinan itu adalah ujian iman, meninabobokkan pengangguran dengan kesabaran, ketabahan dan doa. Memang semua itu tidak salah, tapi yang lebih urgen lagi adalah mencarikan solusi yang tepat dengan melibatkan unsur-unsur yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi, baik dari pemerintah, ormas-ormas keagamaan, pengusaha dan lembaga-lembaga lainnya.
Problem sosial lainnya yang juga memprihatinkan adalah penyakit masyarakat (patologi sosial), misalnya kemaksiatan (pornografi dan  pornoaksi), perjudian, dan korupsi. Maka kegiatan dakwah yang didominasi ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian tidaklah cukup untuk mengentaskan mereka.
Dakwah harus dipahami sebagai usaha untuk melakukan perubahan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik. Maka keberhasilan dakwah tidak diukur dari frekuensi dalam ceramah, melainkan ditentukan sejauh mana perubahan itu diciptakan. Jadi tidak boleh ada kepuasan di dalam berdakwah, karena dakwah merupakan suatu proses yang tidak akan pernah selesai. Solusi dari penyakit masyarakat tersebut tidak cukup hanya diserahkan kepada aparat pemerintah untuk menindak tegas mereka yang terlibat didalamnya, melainkan harus melibatkan semua pihak termasuk ulama, da’i, muballigh, ormas keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan penegak hukum.
Adapun mengenai problem keagamaan, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Misalnya tingkat kerukunan antar ummat beragama, intern ummat beragama dan antar umat beragama dengan pemerintah. Hal itu contohnya bisa di lihat ketika Umat Islam (khususnya di Indonesia) berbeda dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal. Selain itu, masalah etika dalam menyebarkan agama, syarat mendirikan tempat ibadah dan bantuan dana dari luar negeri untuk kegiatan penyebaran agama tertentu. Hubungan antar agama dalam rangka untuk membangun peradaban bangsa yang berkeadilan, jujur dan bermartabat harus menjadi kerjasama antar pemeluk agama. Problem keagamaan lainnya adalah bentuk-bentuk penafsiran baru terhadap Al-Qur’an dan As Sunnah yang sangat jauh dari mainstream tafsir yang ada, misalnya pemikiran perlu dilegalkannya homoseksual, dan terpenuhinya hak-hak sosial politik mereka.

B. Harapan Ummat Islam
Dengan memperhatikan kondisi obyektif ummat Islam tersebut, mereka sangat mengharapkan adanya usaha yang kongkrit, terstruktur dan komprehensif. Seperti:
a.  Perlu adanya pemberdayaan ekonomi ummat Islam untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran,
b.  Perlu adanya usaha mencerdaskan generasi muda dengan memberikan pelayanan pendidikan islami yang maksimal, dalam hal ini peran serta yang aktif dari Pondok Pesantren sangat diharapkan.
c.   Ukhuwwah Islamiyyah perlu semakin dipererat. Dalam hal ini hendaknya Kementerian Agama perlu mengayomi dan menjadi media terciptanya ukhuwwah Islamiyyah tersebut.
d.  Perlu adanya pengawasan bersama terhadap model-model penafsiran Al-Qur'an dan As Sunnah yang sangat jauh dari mainstream tafsir standart yang ada. Penyakit SIPILIS (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme dalam agama) yang sekiranya menimbulkan masalah di kalangan ummat Islam, perlu diwaspadai.
e.  Kerukunan antar Ummat beragama perlu lebih diintensifkan, seperti dalam bentuk saling menghormati, menghargai (sebagai sesama manusia) dan hidup berdampingan secara harmonis. Yang mayoritas tidak bertindak sewenang-wenang, dan yang minoritas tidak bertindak arogan.
f.    Perlu terus ditingkatkannya Dakwah Islam, baik yang dilakukan oleh perorangan, Lembaga-lembaga Dakwah, Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Nahdhotul Ulama dan ormas-ormas keagamaan lainnya. Tidak hanya berkutat ceramah saja, melainkan harus kongkrit melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik, baik dalam pemahaman maupun dalam pengamalan ajaran Islam. Dll.

Dari beberapa yang sangat diharapkan oleh ummat Islam tersebut, kalau terealisir, insya Allah akan menjadikan wajah ummat Islam beberapa tahun ke depan semakin baik. Mereka tidak lagi terpinggirkan secara ekonomi, politik, maupun sosial budaya.
Dan untuk mempersiapkan sebuah generasi yang mampu menghadapi tantangan zaman tersebut, adanya sistem pendidikan model Pondok Pesantren sangatlah dibutuhkan. Sistem ini sampai saat ini masih sangat dipercaya oleh ummat Islam, sebagai sistem yang paling efektif dan efisien dalam mendalami agama Islam. Karena sistem ini memiliki "keberlangsungan pendidikan" yang dapat dikatakan 24 jam sehari semalam, sehingga konsentrasi para santri untuk belajar (khususnya dalam mendalami agama) dan untuk mengembangkan potensi diri dapat dilakukan secara terpadu tanpa mengganggu salah satu kepentingan. Kegiatan non-formal sekalipun dapat dilaksanakan di lingkungan Pondok Pesantren, baik itu kegiatan sosial, budaya maupun ekonomi. Dan sudah terbukti, bahwa di tengah-tengah meningkatnya "dekadensi moral" para pelajar, bahkan yang berasal dari sekolah-sekolah negeri favorit, Pondok Pesantren secara umum masih bisa membentengi para santrinya dari kerusakan moral tersebut.
Namun di dalam bertafaqquh fi ad diin, Pondok Pesantren tidak boleh setengah hati, karena hal itu menjadi fondasi atau landasan dasar bagi bertafaqquh fi ad dunya. Usaha pembekalan Pondok Pesantren di dalam mendidik dan melahirkan Generasi Qur'ani, harus dilakukan dengan kerja keras, disiplin yang tinggi, dan pengembangan yang tidak boleh berhenti. Semoga tulisan ini dapat memberi motifasi Pondok Pesantren untuk terus bergerak menuju kemajuan dan kejayaan ummat Islam. Amiin yaa rabbal 'alamiin.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Pendidikan Pesantren, Ditengah Modernisasi dan Globalisasi Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu