728x90 AdSpace

Latest News
Senin, 15 September 2025

Pendidikan Islam di Era Digital: Antara Tantangan dan Peluang


Oleh: Muhammad Fatkhul Hajri, S.Pd., M.Pd.
Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo

Kita hidup dalam zaman yang serba cepat, serba digital dan terkoneksi bahkan hampir tanpa batas. Teknologi digital telah menyentuh nyaris pada semua aspek dalam kehidupan umat manusia, mulai dari cara kita berkomunikasi, bekerja, hingga belajar. Di tengah arus perubahan yang demikian pesat ini, pendidikan Islam juga turut dihadapkan pada realitas pilihan baru yang tidak mudah: harus beradaptasi atau jika tidak maka pasti akan tertinggal. Perubahan ini menuntut pendidikan Islam untuk tidak hanya mempertahankan cara-cara tradisional, tetapi juga mampu merumuskan ulang metode dan pendekatan agar tetap relevan dengan kebutuhan zaman.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara pendidikan Islam harus menjawab tantangan zaman ini? Apakah dunia digital menjadi ancaman bagi Pendidikan Islam atau justru menjadikan peluang semakin terbuka lebar untuk menyebarkan nilai-nilai Islam secara lebih luas, efektif dan tentu saja relevan? Jawaban atas pertanyaan ini tentu tidak sederhana, karena menyangkut kesiapan semua elemen dalam sebuah ekosistem pendidikan itu sendiri, mulai dari guru, kurikulum, hingga infrastruktur digital. Namun yang pasti, pendidikan Islam tidak boleh bersikap pasif dan mengalir saja di tengah arus perubahan yang terus bergerak maju.

Dalam sejarahnya, Islam justru sangat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa keemasan Islam, para ilmuwan muslim memadukan ilmu akhirat dan ilmu dunia, di antaranya dengan menerjemahkan karya-karya Yunani, mengembangkan observatorium, rumah sakit, hingga universitas. Dalam sejarah peradaban Islam, terdapat beberapa universitas tertua yang menjadi pusat keilmuan dan peradaban dunia. Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, yang didirikan pada tahun 859 M oleh Fatima Al-Fihri, diakui oleh UNESCO sebagai universitas tertua di dunia yang masih aktif hingga kini. Disusul oleh Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang berdiri pada tahun 970 M dan hingga hari ini tetap menjadi pusat pemikiran Islam Sunni yang sangat berpengaruh.

Selain itu, jaringan Universitas Nizamiyah yang mulai berdiri pada abad ke-11 di Baghdad juga memainkan peran penting, bahkan menjadi tempat mengajar Imam Al-Ghazali. Di Afrika Utara, Universitas Zaitunah di Tunisia telah berkembang sejak abad ke-8 menjadi pusat studi Islam dan bahasa Arab. Tak kalah penting adalah Universitas Mustansiriyah di Baghdad yang didirikan pada tahun 1227 M oleh Khalifah Al-Mustansir dari Dinasti Abbasiyah, yang menawarkan pendidikan dalam berbagai bidang, dari ilmu agama hingga kedokteran.

Keberadaan berbagai universitas Islam ini menunjukkan bahwa dunia Islam sejak dahulu telah menaruh perhatian yang besar pada ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi. Artinya, ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah hal baru dalam peradaban Islam. Yang berubah hanyalah bentuknya. Dulu akademisi muslim generasi awal mengenal kertas dan tinta, sekarang kita menggunakan layar dan koneksi internet. Tapi semangat dari semuanya sebenarnya masih tetap sama, yaitu menyampaikan ilmu dan menyebarkan kebaikan.

Salah satu keuntungan terbesar dari era digital adalah akses informasi yang begitu luas dan cepat. Di masa lalu, untuk membaca tafsir atau kitab kuning, seseorang harus pergi ke pesantren atau perpustakaan. Pada masa salaf bahkan harus melakukan perjalanan berhari-hari ‘hanya’ untuk mencari sebuah hadits. Sekarang, cukup membuka ponsel dan mencari lewat mesin pencari. Website-website keislaman, aplikasi mobilechannel YouTubepodcaste-book, bahkan kelas daring kini menjamur. Santri, mahasiswa atau bahkan masyarakat umum bisa belajar agama dari manapun dan kapanpun. Ini adalah peluang emas untuk mendekatkan Islam kepada generasi muda yang sangat lekat dengan dunia digital. Meskipun idealnya guru tetap penting keberadaannya dalam membimbing belajar agama.

Lebih dari itu, pendidikan Islam bisa menjadi jauh lebih kreatif. Misalnya, pelajaran fikih bisa dibawakan dalam bentuk video atau animasi. Materi akhlak bisa diajarkan lewat cerita interaktif atau video dalam bentuk film pendek atau panjang. Bahkan sejarah Islam saat ini bisa kita tonton filmnya, seperti dalam film ‘Omar’‘Fetih’, atau yang lainnya. Semua ini bisa membuat pembelajaran lebih menarik dan mudah dipahami, khususnya bagi generasi netizen, yang mengandalkan semuanya dari hal-hal yang bersifat digital.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa di balik kemudahan digital, ada juga tantangan besar. Salah satunya adalah keaslian dari sebuah konten. Di media sosial, kita sering menemukan ceramah viral yang ternyata menyimpang dari kebenaran. Ada juga hadits palsu yang disebarkan tanpa verifikasi karena dianggap populer. Di sinilah pentingnya literasi digital. Literasi digital bukan hanya soal tahu cara memakai gadget, tapi juga mencakup kemampuan untuk memilah informasi, mengevaluasi sumber, serta menjaga etika dalam berinteraksi di dunia maya. Generasi muda harus dibekali kemampuan ini agar tidak tersesat dalam arus informasi yang membanjiri berbagai media.

Dalam konteks kehidupan keumatan yang semakin terbuka di era digital, tidak sedikit pula ormas Islam yang menjadi sasaran disinformasi atau hoaks yang menyesatkan. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia, beberapa kali menjadi korban kabar bohong yang beredar luas di masyarakat. Mulai dari tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar soal sikap keagamaan hingga isu-isu politis yang sengaja disebarkan untuk membenturkan umat. Ada pula orang-orang dengan sikap pribadi menyimpang tapi dimaknai dengan sikap resmi organisasi. Hoaks semacam ini bukan hanya mencoreng nama baik organisasi, tetapi juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap Muhammadiyah.

Hal ini menegaskan pentingnya literasi digital, khususnya dalam membekali umat agar lebih cermat dan kritis dalam menerima serta menyebarkan informasi di ruang digital. Lebih dari itu, masih ada tantangan kesenjangan akses. Tak semua wilayah di Indonesia punya internet yang stabil. Tak semua keluarga punya perangkat digital yang memadai. Maka, jangan sampai teknologi justru memperlebar kesenjangan pendidikan Islam.

Guru dan ustadz tidak bisa lagi hanya mengandalkan metode ceramah konvensional. Mereka harus menjadi fasilitator belajar, bukan sekadar penyampai informasi. Teknologi harus dimanfaatkan untuk memperkaya pembelajaran, bukan menggantikannya. Lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga madrasah, harus mulai bertransformasi. Infrastruktur digital harus dibangun, pelatihan bagi guru harus diberikan, dan kurikulum harus disesuaikan agar tetap relevan dengan zaman. Misalnya, kurikulum bisa menambahkan pelajaran etika digitalkewargaan digital, dan pembuatan konten Islami. Ini penting agar generasi Muslim tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga produsen konten yang berkualitas dan bernilai dakwah.

Literasi digital menjadi kata kunci. Jika literasi digital ini dibangun dengan baik, maka teknologi bisa menjadi alat yang memperkuat, bukan merusak, pendidikan Islam. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain: Pertama, Mengajarkan pentingnya perlindungan data pribadi, agar tidak sembarangan membagikan informasi pribadi di internet; Kedua, Membangun kesadaran tentang hoaks dan berita palsu, terutama terkait konten-konten keagamaan; Ketiga, Menumbuhkan etika berinteraksi di dunia digital, karena akhlak tidak hanya berlaku di dunia nyata; Keempat, Mengajarkan siswa memilih sumber belajar yang kredibel, bukan hanya yang ramai dibicarakan; dan Kelima, Mendorong sikap toleran dan menghargai perbedaan, termasuk dalam diskusi daring. Kurikulum pendidikan Islam juga harus berani berubah. Ini bukan berarti mengganti nilai-nilai dasar ajaran Islam, melainkan menyajikannya dengan cara yang kontekstual dan relevan. Misalnya: Menyisipkan diskusi tentang penggunaan media sosial secara bijak dalam pelajaran akhlak; Membahas etika menonton konten keagamaan di YouTube dalam pelajaran fikih; dan Mengintegrasikan tugas membuat vlog dakwah atau infografik Islam sebagai bagian dari penilaian.

Dengan pendekatan seperti ini, siswa tidak hanya memahami Islam, tapi juga mampu menyampaikan nilai-nilainya kepada khalayak yang lebih luas melalui media digital. Teknologi, jika digunakan dengan benar, bisa menjadi alat dakwah paling dahsyat di abad ini. Ceramah yang dulu hanya dihadiri puluhan orang, kini bisa ditonton jutaan orang lewat YouTube. Tulisan yang dulu hanya dibaca santri di pondok, kini bisa menjadi bahan diskusi global. Anak muda bisa berdakwah lewat InstagramTikTok, bahkan game. Asalkan substansinya tetap kuat, dan disampaikan dengan cara yang kreatif dan sopan, Islam bisa tampil dengan wajah yang damai, cerdas, dan membumi.

Pendidikan Islam di era digital tidak bisa hanya berdiri di persimpangan dan ragu melangkah. Sudah waktunya untuk bergerak, berinovasi, dan beradaptasi. Tantangannya memang nyata, tetapi peluangnya jauh lebih besar. Kita punya modal: ajaran Islam yang kaya nilai, semangat guru dan pendidik yang luar biasa, serta generasi muda yang terbuka pada pembaruan. Yang dibutuhkan hanyalah sinergi antara lembaga pendidikan, pemerintah, ulama, orang tua, dan masyarakat. Jika itu bisa kita bangun, maka pendidikan Islam di era digital tidak hanya akan bertahan, tetapi akan tumbuh dan memberi cahaya bagi dunia yang kian gelap oleh disinformasi dan kekosongan makna.

*) Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 8/XXIII - Rabiul Awal 1447 H / September 2025 M

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Pendidikan Islam di Era Digital: Antara Tantangan dan Peluang Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu