728x90 AdSpace

Latest News
Senin, 01 Februari 2021

Pandemi dalam Perspektif Ibnu Hajar Al Asqalani

 
 

“Buku ini membuktikan bahwa kaidah syariat Islam tidak bertentangan dengan keilmuan kesehatan, khususnya terkait pandemi. Buku ini juga memberikan panduan bagi kita bagaimana bersikap terhadap protokol kesehatan.” (Dr. Corona Rintawan, Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) PP Muhammadiyah)

 

Dunia belum juga mereda dari pandemi coronavirus disease 2019 (covid-19). Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten di seluruh negara di dunia, virus corona jenis baru yang berawal dari Wuhan China tersebut masih saja menyebar hingga kini. Yang terbaru, pemerintah berbagai negara melalui otoritas kesehatan masing-masing melangkah dengan program vaksinasi, tak terkecuali di Indonesia. Sejatinya wabah atau pandemi tidak hanya dapat ditemui di zaman modern sekarang ini, tapi dalam lintasan sejarah berbagai pandemi ternyata sudah berulang kali melanda umat manusia, baik dalam skala lokal, regional, maupun global.

Dalam catatan sejarah Islam para ulama pun juga sudah ada yang menulisnya di dalam kitab-kitab karya mereka. Di antaranya Syamsuddin Muhammad bin Ali Ash Shalihi dengan Tuhfan an Nujaba’ bi Ahkam ath Tha’un wa al Waba’ (Karya Agung Terbaik Mengenai Hukum Tha’un dan Wabah), Ibnu Najim dengan Risalah fi ath Tha’un wa al Waba’ (Risalah dalam Permasalahan Tha’un dan Wabah), Al Hattab ar Raniri al Maliki dengan ‘Umdah ar Rawin fi Ahkam ath Thawa’in (Referensi Para Rawi Masalah Tha’un), Zakariya al Anshari dengan Tuhfah ar Raghibin fi Bayan Amr ath Thawa’in (Karya Para Pencari ilmu dalam Menjelaskan Perkara Tha’un).

Salah satu kitab paling terkenal yang membahas tentang tha’un (wabah, penyakit menular atau pandemi) adalah karya Syaikhul Islam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani (1372-1449 M/773-852 H). Ulama salaf ahli hadis terkenal penulis kitab Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari tersebut diketahui juga memiliki kitab berjudul Badzlul Ma’un fi Fadzlith Tha’un. Kitab yang baru-baru ini mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di antara judul terjemahannya adalah “Kitab Wabah & Taun dalam Islam” yang diterjemahkan oleh Fuad Syaifudin Nur dan diterbitkan oleh Turos Pustaka Jakarta pada Agustus 2020 yang lalu.

Konon, kitab ini disusun oleh Imam Ibnu Hajar karena banyak dari sahabat beliau yang meminta kepadanya untuk mengumpulkan hadis-hadis tentang tha’un dan menjelaskan kandungan makna hadis tersebut. Ibnu Hajar menulisnya dalam dua tahap, yang pertama yaitu pada tahun 819 H/1416 M, setelah sempat berhenti, kemudian dilanjutkan kembali hingga selesai pada tahun 833 H/1430 M. Beliau menyelesaikannya juga dalam masa pandemi di masanya. Bahkan sempat muncul bid’ah di tengah-tengah masyarakat berupa seruan untuk berdoa bersama dengan berkumpul di suatu tanah lapang seperti halnya shalat istisqa’. Hal yang dirasa baik oleh sebagian orang tetapi justru menjadi area efektif untuk penyebaran wabah. Korban di Kairo yang awalnya hanya 40an orang saja membengkak berkali lipat bahkan mencapai seribu orang. Selama pandemi pada masa itu, bahkan Ibnu Hajar juga kehilangan tiga putrinya yang meninggal karena wabah.

Kitab ini disusun oleh Al Hafizh dalam lima bab, diawali dengan mukadimah dan diakhiri dengan penutup. Bab pertama: permulaan tha’un, terdiri dari empat pasal. Bab kedua: definisi tha’un, terdiri dari sembilan pasal. Bab ketiga: penjelasan tentang tha’un sebagai gerbang kesyahidan, terdiri dari sepuluh pasal. Bab keempat: hukum keluar dari wilayah terjadinya tha’un dan hukum memasuki wilayah itu, terdiri dari empat pasal. Bab kelima: syariat yang perlu dilakukan setelah terjadinya tha’un, terdiri dari lima pasal. Dan pada penutup, Ibnu Hajar mencatat berbagai tha’un yang pernah terjadi pada masa Islam, terdiri dari satu pasal. Pada versi terjemahannya, penerbit juga menyertakan frequently asked questions (FAQ) atau tanya jawab seputar Covid-19.

Dalam bab pertama yang disajikan secara singkat oleh Imam Ibnu Hajar dijelaskan bahwa wabah adalah azab bagi orang kafir dan rahmat bagi orang-orang beriman. Di antara dalil yang beliau ketengahkan adalah hadis dalam Sahih al Bukhari yang diriwatkan oleh Aisyah RA, “Itu (tha’un) adalah azab yang Allah kirimkan kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin.” (HR. Al Bukhari)

Pada bab selanjutnya, Al Hafizh menjelaskan secara panjang lebar definisi tha’un. Mulai dari asal kata tha’un hingga doa-doa yang bisa dipanjatkan untuk membentengi diri dari tha’un. Banyak pendapat ulama yang dicantumkan oleh Ibnu Hajar sebelum menyimpulkan tentang definisi tha’un menurut beliau. Intinya, tha’un adalah penyakit yang menyerang banyak orang di banyak tempat dalam satu waktu dan berbeda dari penyakit yang biasanya, di antara penyakit itu dapat menyebabkan banyak kematian. Dalam satu pasal di bab kedua ini, Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa tha’un bisa jadi berbeda dengan wabah pada umumnya. Menurut beliau, makna tha’un lebih sempit dari sekedar wabah pada umumnya. Kalau wabah bisa dimaknai secara umum sebagai penyakit yang menyerang banyak orang, sedangkan dalam tha’un ada aspek ‘serangan jin’ di dalamnya. Artinya, tha’un tidak sekedar berbentuk penyakit fisik semata, setapi juga menyerang secara batin.

Selanjutnya pada bab ketiga Imam Ibnu Hajar menyampaikan banyak hadis opitimisme. Yaitu hadis-hadis yang menerangkan bahwa tha’un adalah gerbang kesyahidan. Bahwa syahid tidak selalu diraih dalam pertempuran atau jihad fi sabilillah saja, tetapi juga dari tha’un. Di antaranya hadis, “Para syuhada ada lima: orang yang mati terkena tha’un, orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati tertimpa bangunan, dan orang yang mati di jalan Allah.” (HR. Al Bukhari)

Karantina mungkin istilah modern yang tepat untuk menggambarkan bab keempat. Bahwa saat wabah melanda, penduduk yang terkena wabah dilarang untuk keluar dan penduduk dari luar dilarang untuk masuk. Ini seperti sabda Rasulullah yang dikatakan oleh Abdurrrahman bin Auf RA kepada Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA saat akan memasuki Syam padahal tengah dilanda pandemi. “Apabila kalian mendengar itu terjadi di suatu tempat, maka janganlah kalian datangi tempat itu, dan apabila itu terjadi di suatu tempat yang kalian sedang berada di situ, maka janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang muslim jika wabah melanda? Ibnu Hajar menjawabnya dalam bab kelima. Yang pertama tentu saja adalah berdoa dan menyandarkan semuanya kepada Allah. Sabar dan husnuzan pada-Nya adalah salah satu kunci untuk poin ini. Setelah itu tetap wajib untuk berihtiar secara manusiawi agar wabah tersebut bisa segara hilang. Di antaranya dengan berobat dan menjaga diri dari hal-hal yang disarankan oleh tabib (dokter). Karena berkenaan dengan kesehatan, maka yang lebih berkompeten adalah dokter dan para ahli di bidang medis.

Pada penutup Al Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan 4 tha’un besar yang pernah melanda sebelum atau pada masa beliau. Di antaranya: (1) Tha’un Syirawaih, terjadi di Madain pada masa Rasulullah SAW; (2) Tha’un Amwas, terjadi pada masa Umar bin Khatab RA; (3) Tha’un Jarif, terjadi pada tahun 69 H/689 M; dan (4) Tha’un Fatayat, terjadi pada tahun 87 H/706 M. Selain keempat tha’un besar tersebut, masih ada beberapa tha’un yang tidak sebesar 4 tha’un tersebut.

Buku ini diklaim oleh penerbitnya sebagai buku terjemahan pertama dalam bahasa Indonesia atas kitab Badzlul Ma’un karya Syaikhul Islam Ibnu Hajar. Salah satu keistimewaan buku terjemahan ini adalah diterbitkan bertepatan dengan masa-masa wabah covid-19 melanda Indonesia bahkan dunia. Meskipun sudah ditulis sejak 590 tahun yang lalu, tapi buku ini menjadi lebih terasa spesial untuk dibaca karena aktualnya. Sehingga pembaca bisa mengetahui bagaimana dahulu umat Islam menghadapi pandemi dan apa saja pelajaran yang bisa diambil sekarang.

Edisi terjemahan ini pun mendapatkan banyak sambutan dari para tokoh nasional. Di antaranya Wakil Presiden RI KH. Ma’ruf Amin. Beliau mengatakan bahwa buku ini penting untuk dibaca karena banyak ilmu dan pengalaman umat Islam terdahulu yang dapat dipetik. Misalnya tentang protokol jaga jarak, aturan tidak boleh keluar masuk daerah wabah, dan tata cara perilaku hidup sehat.

Jubir Pemerintah untuk Covid-19 Ahmad Yurianto juga menyampaikan endorsement-nya untuk buku ini. “Penulis adalah ulama sekaligus penyintas dalam pandemi abad ke-15. Bila kita baca buku ini, jelaslah bahwa sains ternyata masih satu tarikan napas dengan dogma Islam dalam konteks pandemi. Dan keduanya secara solutif telah mengambil bagian integral yang saling melengkapi dalam menghadapi pandemi covid-19 ini.”

Selain dua tokoh di atas, ada juga komentar dari Dr. Corona Rintawan (Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) PP Muhammadiyah), Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum (Pakar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Dr. H. Zainut Tauhid Sa’adi (Wakil Menteri Agama RI), Dr. M. Makky Zamzami, MARS (Ketua Satgas Covid-19 PBNU), Dr. Adnin Armas, M.A (Pimpinan Redaksi Majalah Gontor), Ahmad Mukafi Niam (Pimpinan Redaksi NU Online), Erdy Nasrul (Wartawan Republika), dan TB Arie Rukmantara (Sejarawan Pandemi Indonesia). [M. Nasri Dini]


*) Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 02/XIX | Jumadil Akhir 1442 H/Februari 2021

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Pandemi dalam Perspektif Ibnu Hajar Al Asqalani Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu