“Buku ini
membuktikan bahwa kaidah syariat Islam tidak bertentangan dengan keilmuan
kesehatan, khususnya terkait pandemi. Buku ini juga memberikan panduan bagi
kita bagaimana bersikap terhadap protokol kesehatan.” (Dr.
Corona Rintawan, Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) PP
Muhammadiyah)
Dunia belum juga mereda dari pandemi coronavirus
disease 2019 (covid-19). Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh
pihak-pihak yang berkompeten di seluruh negara di dunia, virus corona jenis
baru yang berawal dari Wuhan China tersebut masih saja menyebar hingga kini.
Yang terbaru, pemerintah berbagai negara melalui otoritas kesehatan masing-masing
melangkah dengan program vaksinasi, tak terkecuali di Indonesia. Sejatinya
wabah atau pandemi tidak hanya dapat ditemui di zaman modern sekarang ini, tapi
dalam lintasan sejarah berbagai pandemi ternyata sudah berulang kali melanda
umat manusia, baik dalam skala lokal, regional, maupun global.
Dalam catatan sejarah Islam para ulama pun juga sudah
ada yang menulisnya di dalam kitab-kitab karya mereka. Di antaranya Syamsuddin
Muhammad bin Ali Ash Shalihi dengan Tuhfan an Nujaba’ bi Ahkam ath Tha’un wa
al Waba’ (Karya Agung Terbaik Mengenai Hukum Tha’un dan Wabah), Ibnu Najim
dengan Risalah fi ath Tha’un wa al Waba’ (Risalah dalam Permasalahan
Tha’un dan Wabah), Al Hattab ar Raniri al Maliki dengan ‘Umdah ar Rawin fi
Ahkam ath Thawa’in (Referensi Para Rawi Masalah Tha’un), Zakariya al
Anshari dengan Tuhfah ar Raghibin fi Bayan Amr ath Thawa’in (Karya Para
Pencari ilmu dalam Menjelaskan Perkara Tha’un).
Salah satu kitab paling terkenal yang membahas tentang
tha’un (wabah, penyakit menular atau pandemi) adalah karya Syaikhul
Islam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani (1372-1449 M/773-852 H). Ulama salaf ahli
hadis terkenal penulis kitab Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari tersebut
diketahui juga memiliki kitab berjudul Badzlul Ma’un fi Fadzlith Tha’un.
Kitab yang baru-baru ini mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di
antara judul terjemahannya adalah “Kitab Wabah & Taun dalam Islam”
yang diterjemahkan oleh Fuad Syaifudin Nur dan diterbitkan oleh Turos Pustaka
Jakarta pada Agustus 2020 yang lalu.
Konon, kitab ini disusun oleh Imam Ibnu Hajar karena
banyak dari sahabat beliau yang meminta kepadanya untuk mengumpulkan
hadis-hadis tentang tha’un dan menjelaskan kandungan makna hadis tersebut. Ibnu
Hajar menulisnya dalam dua tahap, yang pertama yaitu pada tahun 819 H/1416 M,
setelah sempat berhenti, kemudian dilanjutkan kembali hingga selesai pada tahun
833 H/1430 M. Beliau menyelesaikannya juga dalam masa pandemi di masanya. Bahkan
sempat muncul bid’ah di tengah-tengah masyarakat berupa seruan untuk berdoa
bersama dengan berkumpul di suatu tanah lapang seperti halnya shalat istisqa’. Hal
yang dirasa baik oleh sebagian orang tetapi justru menjadi area efektif untuk penyebaran
wabah. Korban di Kairo yang awalnya hanya 40an orang saja membengkak berkali
lipat bahkan mencapai seribu orang. Selama pandemi pada masa itu, bahkan Ibnu
Hajar juga kehilangan tiga putrinya yang meninggal karena wabah.
Kitab ini disusun oleh Al Hafizh dalam lima bab,
diawali dengan mukadimah dan diakhiri dengan penutup. Bab pertama: permulaan
tha’un, terdiri dari empat pasal. Bab kedua: definisi tha’un, terdiri dari sembilan
pasal. Bab ketiga: penjelasan tentang tha’un sebagai gerbang kesyahidan,
terdiri dari sepuluh pasal. Bab keempat: hukum keluar dari wilayah terjadinya
tha’un dan hukum memasuki wilayah itu, terdiri dari empat pasal. Bab kelima:
syariat yang perlu dilakukan setelah terjadinya tha’un, terdiri dari lima
pasal. Dan pada penutup, Ibnu Hajar mencatat berbagai tha’un yang pernah
terjadi pada masa Islam, terdiri dari satu pasal. Pada versi terjemahannya,
penerbit juga menyertakan frequently asked questions (FAQ) atau tanya
jawab seputar Covid-19.
Dalam bab pertama yang disajikan secara singkat oleh
Imam Ibnu Hajar dijelaskan bahwa wabah adalah azab bagi orang kafir dan rahmat
bagi orang-orang beriman. Di antara dalil yang beliau ketengahkan adalah hadis
dalam Sahih al Bukhari yang diriwatkan oleh Aisyah RA, “Itu (tha’un) adalah
azab yang Allah kirimkan kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia
menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin.” (HR. Al Bukhari)
Pada bab selanjutnya, Al Hafizh menjelaskan secara
panjang lebar definisi tha’un. Mulai dari asal kata tha’un hingga doa-doa yang
bisa dipanjatkan untuk membentengi diri dari tha’un. Banyak pendapat ulama yang
dicantumkan oleh Ibnu Hajar sebelum menyimpulkan tentang definisi tha’un menurut
beliau. Intinya, tha’un adalah penyakit yang menyerang banyak orang di banyak
tempat dalam satu waktu dan berbeda dari penyakit yang biasanya, di antara
penyakit itu dapat menyebabkan banyak kematian. Dalam satu pasal di bab kedua
ini, Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa tha’un bisa jadi berbeda dengan wabah
pada umumnya. Menurut beliau, makna tha’un lebih sempit dari sekedar wabah pada
umumnya. Kalau wabah bisa dimaknai secara umum sebagai penyakit yang menyerang
banyak orang, sedangkan dalam tha’un ada aspek ‘serangan jin’ di dalamnya.
Artinya, tha’un tidak sekedar berbentuk penyakit fisik semata, setapi juga
menyerang secara batin.
Selanjutnya pada bab ketiga Imam Ibnu Hajar
menyampaikan banyak hadis opitimisme. Yaitu hadis-hadis yang menerangkan bahwa
tha’un adalah gerbang kesyahidan. Bahwa syahid tidak selalu diraih dalam
pertempuran atau jihad fi sabilillah saja, tetapi juga dari tha’un. Di
antaranya hadis, “Para syuhada ada lima: orang yang mati terkena tha’un,
orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati
tertimpa bangunan, dan orang yang mati di jalan Allah.” (HR. Al Bukhari)
Karantina mungkin istilah modern yang tepat untuk
menggambarkan bab keempat. Bahwa saat wabah melanda, penduduk yang terkena
wabah dilarang untuk keluar dan penduduk dari luar dilarang untuk masuk. Ini
seperti sabda Rasulullah yang dikatakan oleh Abdurrrahman bin Auf RA kepada
Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA saat akan memasuki Syam padahal tengah
dilanda pandemi. “Apabila kalian mendengar itu terjadi di suatu tempat, maka
janganlah kalian datangi tempat itu, dan apabila itu terjadi di suatu tempat
yang kalian sedang berada di situ, maka janganlah kalian keluar untuk melarikan
diri darinya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang muslim jika
wabah melanda? Ibnu Hajar menjawabnya dalam bab kelima. Yang pertama tentu saja
adalah berdoa dan menyandarkan semuanya kepada Allah. Sabar dan husnuzan
pada-Nya adalah salah satu kunci untuk poin ini. Setelah itu tetap wajib untuk
berihtiar secara manusiawi agar wabah tersebut bisa segara hilang. Di antaranya
dengan berobat dan menjaga diri dari hal-hal yang disarankan oleh tabib
(dokter). Karena berkenaan dengan kesehatan, maka yang lebih berkompeten adalah
dokter dan para ahli di bidang medis.
Pada penutup Al Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan 4
tha’un besar yang pernah melanda sebelum atau pada masa beliau. Di antaranya:
(1) Tha’un Syirawaih, terjadi di Madain pada masa Rasulullah SAW; (2) Tha’un
Amwas, terjadi pada masa Umar bin Khatab RA; (3) Tha’un Jarif, terjadi pada
tahun 69 H/689 M; dan (4) Tha’un Fatayat, terjadi pada tahun 87 H/706 M. Selain
keempat tha’un besar tersebut, masih ada beberapa tha’un yang tidak sebesar 4
tha’un tersebut.
Buku ini diklaim oleh penerbitnya sebagai buku
terjemahan pertama dalam bahasa Indonesia atas kitab Badzlul Ma’un karya
Syaikhul Islam Ibnu Hajar. Salah satu keistimewaan buku terjemahan ini adalah
diterbitkan bertepatan dengan masa-masa wabah covid-19 melanda Indonesia bahkan
dunia. Meskipun sudah ditulis sejak 590 tahun yang lalu, tapi buku ini menjadi
lebih terasa spesial untuk dibaca karena aktualnya. Sehingga pembaca bisa
mengetahui bagaimana dahulu umat Islam menghadapi pandemi dan apa saja
pelajaran yang bisa diambil sekarang.
Edisi terjemahan ini pun mendapatkan banyak sambutan
dari para tokoh nasional. Di antaranya Wakil Presiden RI KH. Ma’ruf Amin.
Beliau mengatakan bahwa buku ini penting untuk dibaca karena banyak ilmu dan
pengalaman umat Islam terdahulu yang dapat dipetik. Misalnya tentang protokol
jaga jarak, aturan tidak boleh keluar masuk daerah wabah, dan tata cara
perilaku hidup sehat.
Jubir Pemerintah untuk Covid-19 Ahmad Yurianto juga
menyampaikan endorsement-nya untuk buku ini. “Penulis adalah ulama
sekaligus penyintas dalam pandemi abad ke-15. Bila kita baca buku ini, jelaslah
bahwa sains ternyata masih satu tarikan napas dengan dogma Islam dalam konteks
pandemi. Dan keduanya secara solutif telah mengambil bagian integral yang
saling melengkapi dalam menghadapi pandemi covid-19 ini.”
Selain dua tokoh di atas, ada juga komentar dari Dr.
Corona Rintawan (Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) PP
Muhammadiyah), Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum (Pakar Filologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta), Dr. H. Zainut Tauhid Sa’adi (Wakil Menteri Agama RI),
Dr. M. Makky Zamzami, MARS (Ketua Satgas Covid-19 PBNU), Dr. Adnin Armas, M.A
(Pimpinan Redaksi Majalah Gontor), Ahmad Mukafi Niam (Pimpinan Redaksi NU Online),
Erdy Nasrul (Wartawan Republika), dan TB Arie Rukmantara (Sejarawan Pandemi
Indonesia). [M. Nasri Dini]
*) Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 02/XIX | Jumadil Akhir 1442 H/Februari 2021
0 komentar:
Posting Komentar