Muhammad Rofiq Muzakkir, Lc, M.A.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pendahuluan
Dalam beberapa dokumen resmi yang
menjelaskan sikap persyarikatan tentang masalah-masalah keagamaan, disebutkan
bahwa Muhammadiyah mengakui prinsip tanawwu‘ (keragaman) dalam
pelaksanaan salat tarawih.[1] Prinsip tanawwu‘ diambil sebagai jalan
untuk mengkompromikan sejumlah riwayat yang menjelaskan secara berbeda-beda
tentang tatacara salat tarawih dan salat lail yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. Dalam Putusan Tarjih yang dihasilkan dalam Muktamar Khususi Tarjih tahun
1972 di Wiradesa dijelaskan delapan ragam cara pelaksanaan salat tarawih
menurut Muhammadiyah, yaitu: (a) 4 + 4 + 3; (b) 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 1; (c) 4 +
3/ 6 + 3/ 8 + 3/ 10 + 3; (d) 8 + 2 + 1; (e) 8 + 5; (f) 8 + 1 + 2; (g) 7 + 2;
(h) 9 + 2.
Putusan
Wiradesa tersebut kemudian dipertegas kembali dan dijelaskan secara lebih rinci
oleh Buku Tanya Jawab Agama Jilid 3.[2] Namun demikian, sekalipun
Muhammadiyah mengakui prinsip tanawwu‘, pada umumnya di lapangan warga
Muhammadiyah lebih banyak yang memilih untuk mempraktikkan salat tarawih dengan
cara empat-empat-tiga.[3] Cara salat tarawih seperti demikian
barangkali dapat dikatakan telah menjadi identitas tersendiri bagi
masjid-masjid Muhammadiyah yang membedakannya dari masjid-masjid lainnya.
Belakangan ini kemudian muncul
pendapat yang mempertanyakan keabsahan praktik salat tarawih empat-empat-tiga
yang biasa dilakukan oleh warga Muhammadiyah. Pertanyaan yang muncul bukan lagi
sekedar masalah bilangan tarawih 11 rakaat atau pelaksanaannya yang menggunakan
cara empat-empat, karena terkait masalah tersebut Muhammadiyah sudah sering
mendengarnya,[4] tetapi yang muncul akhir-akhir ini
adalah kritik mengenai teknis pelaksanaan salat tarawih yang berjumlah
empat-empat rakaat itu. Muncul kecenderungan baru yang menyatakan bahwa tarawih
empat-empat rakaat harus dilakukan dengan tasyahud awal pada rakaat kedua. Dus,
praktik salat tarawih tanpa tasyahud awal seperti yang selama ini diamalkan
oleh warga Muhammadiyah dianggap praktik yang tidak berdasar sama sekali.
Sebuah artikel yang penulis baca di internet dengan percaya diri menyatakan
bahwa praktik yang meninggalkan tasyahud awal dalam salat tarawih adalah
praktik yang muncul dari “reka-reka akal” semata alias tidak memiliki dalil.[5] Pandangan seperti demikian ternyata
mulai banyak dianut.[6] Di dunia maya, dengan mudah dapat
dijumpai pandangan-pandangan seperti itu.
Berangkat
dari munculnya sejumlah kritik dan tuduhan tidak ada dalil dalam praktik
tarawih tanpa tasyahud awal dalam salat empat-empat rakaat, Majelis Tarjih dan
Tajdid kemudian memutuskan untuk mengangkat permasalahan ini dalam Munas Tarjih
ke-28. Tulisan ini disusun untuk menguraikan landasan argumentasi (dalil naqli)
dari praktik yang telah menjadi putusan dan praktik mengakar di tengah warga
Muhammadiyah. Tulisan ini menguji, secara kritis dengan kacamata ilmu kritik
hadis dan ilmu Usul Fikih, dalil yang dianggap mendasari adanya praktik
tasyahud awal pada salat tarawih yang berjumlah empat-empat rakaat. Setelah itu
tulisan ini merekonstruksi dalil-dalil yang menerangkan bahwa salat tarawih
empat-empat rakaat dilakukan tanpa adanya tasyahud awal.
Tasyahud
Awal pada Salat Tarawih 4 Rakaat, Adakah Dalilnya?
Ada
dua model istidlāl (penggunaan dalil) yang umumnya digunakan dalam
tulisan-tulisan yang menyebutkan keharusan tasyahud awal dalam salat tarawih
empat rakaat. Pertama, menggunakan nas umum, berupa hadis Nabi yang
tidak secara langsung terkait dengan salat tarawih, dan kedua,
menggunakan nas yang dianggap khusus berbicara tentang salat tarawih.
Ber-istidlāl
dengan Dalil Salat Umum
Dalil
pertama yang dijadikan dasar bahwa Rasulullah melakukan tasyahud awal dalam
salat tarawih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah tentang tatacara
Rasulullah melakukan salat. Disebutkan dalam hadis berikut ini bahwa Rasulullah
saw membaca tahiyyat setiap dua rakaat (nas no 2). Menurut yang
menggunakannya, hadis di atas dipahami sebagai nas yang menjelaskan bahwa
tasyahud awal adalah bagian dari ketentuan umum yang berlaku dalam seluruh
salat.[7] Nas tersebut kemudian diposisikan
sebagai mukhaṣṣiṣ bagi riwayat Aisyah yang berasal dari Abu Salamah (nas
no 1) yang bersifat mujmal. Pertanyaannya, apakah nas di atas memang
dapat dijadikan mukhaṣṣiṣ bagi hadis Aisyah tentang salat tarawih empat-empat
rakaat?
Untuk
dapat dibawa sebagai hadis yang men-takhsis hadis Aisyah tentang salat
tarawih (nas no 1), hadis di atas perlu dibandingkan dengan riwayat-riwayat
Aisyah lainnya, khususnya yang secara ṣarīḥ (eksplisit) berkaitan dengan
salat lail. Riwayat-riwayat yang berisi tentang penjelasan Aisyah mengenai
salat lail atau salat tarawih, umumnya selalu menyebutkan secara tekstual dan
eksplisit frasa “salat lail”, baik penjelasan Aisyah tersebut berasal dari
pertanyaan sahabat yang diajukan pada Aisyah [nas no 1, 23, 24, 25, 26] atau
tidak berasal dari pertanyaan sahabat [nas no 29 dan 30]. Sementara pada hadis
di atas (nas no 2) tidak didapati penyebutan frasa “salat tarawih” atau “salat
lail”. Bahkan dalam hadis tersebut tidak disebutkan salat apa yang dilakukan
Rasulullah. Oleh karena itu, untuk dapat dipahami bahwa hadis tersebut
menjelaskan salat tarawih yang berjumlah empat rakaat tampaknya agak sulit dan
terlalu dipaksakan, karena hal tersebut menyelisihi riwayat-riwayat Aisyah
lainnya yang selalu menyebutkan “salat lail” atau “salat tarawih” secara
eksplisit dalam seluruh riwayatnya.
Lebih
dari itu, hadis Aisyah tersebut menurut penulis justru lebih tepat untuk
dimaknai sebagai dalil yang menjelaskan salat yang dua rakaat. Sebab, sangat
terang bahwa Aisyah tidak sedang menjelaskan salat yang empat rakaat. Sejak
semula dalam hadis tersebut tidak disebutkan ada rakaat ketiga dan keempat yang
dilakukan oleh Nabi. Setelah mengatakan “وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
التَّحِيَّةَ [beliau membaca tahiyyat pada setiap dua rakaat],”
Aisyah lalu mengakhiri pernyataannya dengan kalimat “وَكَانَ يَخْتِمُ
الصَّلاَةَ بِالتَّسْلِيمِ [beliau menutup salat dengan salam]”. Itu
artinya laporan Aisyah dalam riwayat di atas adalah tentang salat Nabi yang dua
rakaat, bukan yang empat rakaat. Sehingga dengan demikian bacaan tahiyyat
atau tasyahud dalam hadis tersebut juga harus dimaknai sebagai bacaan yang
dilafalkan Nabi pada salat yang dua rakaat, bukan empat rakaat.
Yang
menggunakan hadis di atas (nas no 2) sebagai penjelas (mukhaṣṣiṣ) hadis
Aisyah tentang salat tarawih (nas no 1) mungkin kurang menyadari bahwa hadis
tersebut adalah dalil untuk salat dua rakaat. Ketidaksadaran inilah yang perlu
untuk diluruskan. Dalam masalah ibadah mahḍah, kita tidak cukup ber-istidlāl
dengan dalil-dalil umum atau bahkan dengan dalil untuk ibadah lainnya. Jika
untuk salat tarawih empat rakaat kita ber-istidlāl dengan dalil salat
dua rakaat, maka akan terjadilah kekacauan dalil. Konsekuensi yang akan terjadi
jika pola ini masih tetap diterapkan, orang bisa pula ber-istidlāl untuk
masalah puasa sunah dengan dalil puasa wajib, atau sebaliknya ber-istidlāl
untuk puasa wajib dengan dalil puasa sunah. Dengan ber-istidlāl secara
silang, orang bisa membuat ibadah yang tadinya tidak ada menjadi ada dan
membuat ibadah yang tadinya batal menjadi sah.
Penulis
berpendapat, jika seseorang dibolehkan ber-istidlāl dalam masalah ibadah
secara suka-suka tanpa harus memperhatikan kesesuaian antara dalil dan konteks
ibadahnya, maka maknanya orang tersebut sudah melibatkan diri untuk masuk dalam
otoritas yang dapat membuat dan menentukan syariat, yaitu otoritas Syāri‘.
Oleh karena itu, agar kita tidak melakukan pelanggaran otoritas, maka setiap
ibadah mahḍah tidak boleh dilakukan kecuali setelah ada dalil yang
bersifat khusus, bukan sekedar dalil yang dicari-cari atau dipas-paskan, yang
terkadang tak jarang redaksinya tidak bersifat manṭūq (eksplisit),
bahkan mengandung banyak kejanggalan internal di dalamnya. Selain itu, dalam
masalah ibadah kita tidak diperkenankan memiliki prakonsepsi terlebih dahulu,
kemudian setelah itu mencari-cari dalil agar mendapatkan legitimasinya dari
syariah.
Inilah
esensi dari kaedah popular yang berbunyi: اْلأَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ
التَوْقِيْفُ وَ اْلإِتِّباَعُ [Asas pokok dalam masalah ibadah adalah
mengikuti petunjuk]. Untuk menguatkan kaedah tersebut, al-Syātibi dalam
kitabnya al-Muwāfaqāt menyatakan: الْعِبَادَاتُ لَا مَجَالَ لِلْعُقُوْلِ
فِي أَصْلِهَا فَضْلًا عَنْ كَيْفِيَاتِهَا [Masalah ibadah, tidak ada ruang
bagi akal dalam pengadaannya, apalagi dalam hal tatacaranya].[8]
Dalil
kedua yang digunakan sebagian kalangan untuk menunjukkan adanya tasyahud awal
dalam salat tarawih empat rakaat adalah hadis riwayat Abdullah ibn Mas‘ūd (nas
no 3).
Berdasarkan
penelusuran penulis, hadis di atas di-takhrīj setidaknya oleh sembilan
orang mukharrij. Pada tingkatan sahabat, hadis tersebut bersumber dari
satu orang perawi, yaitu Abdullah ibn Mas‘ūd. Setiap versi matan walaupun berbeda
pelafalannya, namun mengandung common element (al-ma‘nā al-musytarak)
antara masing-masing versi. Pada hadis Abdullah ibn Mas‘ūd di atas,
permasalahan sesungguhnya tidak terletak pada aspek otentisitasnya, namun lebih
pada aspek dalālah al-lafẓ ‘alā al-ḥukm (penunjukan lafal terhadap
hukumnya). Pertanyaan yang perlu dijawab terkait dengan hal ini adalah tepatkah
hadis di atas dipahami sebagai perintah untuk melakukan duduk taḥiyyat
(tasyahud) setiap dua rakaat?
Jika
diperhatikan dengan seksama, sejak awal sesungguhnya hadis di atas hendak
menginformasikan kepada kita tentang bacaan yang dilafalkan ketika duduk pada
rakaat kedua, bukan keharusan melakukan rakaat kedua itu sendiri. Hal tersebut
dapat dipahami dari siyāq (konteks) kalimat yang menjadi pembuka hadis.
Ibn Mas‘ūd mengatakan, “كُنَّا لَا نَدْرِي مَا نَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
(dahulu kami tidak tahu apa yang kami baca setiap rakaat kedua).” Ibn
Mas‘ūd kemudian menceritakan bahwa ketika duduk dua rakaat, dirinya dan para
sahabat lainnya hanya membaca tasbih, takbir, dan tahmid (nas no 4). Dalam
riwayat yang lain (yang diceritakan kepada tabi‘in bernama Syaqīq [nas no 5],
Ibn Mas‘ūd menceritakan bahwa ada pula di kalangan sahabat yang membaca kalimat
keselamatan atas Allah selain bacaan di atas. Laporan Ibn Mas‘ūd bahwa para
sahabat tidak tahu tentang bacaan pada saat duduk di rakaat kedua menunjukkan
bahwa pesan yang ingin disampaikan dalam hadis tersebut adalah tentang bacaan
atau doa itu sendiri, bukan tentang kewajiban duduk tasyahud awal setiap dua
rakaat.
Dalam
riwayatnya di atas Ibn Mas‘ūd mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “إِذَا
قَعَدْتُمْ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَقُولُوا التَّحِيَّاتُ … (jika kalian
duduk setiap dua rakaat, maka ucapkanlah at-taḥiyyāt).” Dalam versi lain
laporan Ibn Mas‘ūd berbunyi: “عَلَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ
نَقُوْلَ إِذَا جَلَسْنَا فِي الرَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّاتُ (Rasulullah
mengajarkan kami jika kami duduk pada rakaat kedua agar kami membaca at-taḥiyyāt).”
Hampir semua versi yang meriwayatkan hadis di atas menggunakan partikel
kondisional (ḥarf syarṭ) iżā, yang artinya “jika”. Pemaknaan
terhadap hadis Ibn Mas‘ūd di atas sangat bertumpu pada partikel “iżā”
tersebut. Dengan mempertimbangkan keberadaan partikel “iżā”, maka makna
yang muncul dari pemahaman secara mafhūm mukhālafah terhadap hadis
tersebut adalah: “jika kalian tidak duduk pada rakaat kedua atau kalian
melakukan salat yang tidak harus duduk pada rakaat kedua, maka bacaan at-taḥiyyāt
tidak perlu dibaca”.
Memang
betul ada sebuah matan yang tidak menggunakan laporan dengan format kondisional
dengan partikel iżā. Matan tersebut adalah versi Abu Dawud aṭ-Ṭayālisī
(w. 204H/ 819M) yang berbunyi: “فَأمَرَناَ أَنْ نَقُوْلَ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
التَحِيَّاتُ للهِ (maka beliau menyuruh kami untuk membaca pada setiap dua
rakaat at-taḥiyyāt lillāh)” [nas no. 4). Namun setelah direkonstruksi
sanad hadis Abdullah ibn Mas‘ūd secara keseluruhan, tampak jelas bahwa
aṭ-Ṭayālisī telah melakukan periwayatan bil-ma‘nā, karena lafal
aṭ-Ṭayālisī berbeda dengan lafal dari mukharrij-mukharrij lainnya,
sehingga dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa aṭ-Ṭayālisī telah melakukan
perubahan lafal (wording) hadis. Dari empat orang perawi yang menerima
hadis dari Syu‘bah (ṭabaqah ke-3), yaitu Muhammad ibn Ja‘far, Muhammad
ibn Kaṡīr, al-Walīd dan aṭ-Ṭayālisī, hanya ia sendirilah yang menghilangkan
partikel “iżā”. Tiga orang lainnya yang menerimanya dari Syu‘bah dan
perawi-perawi lainnya tetap mempertahankan partikel “iżā”.
Namun
demikian, ada atau tidak adanya partikel iżā tetap saja tidak ada dalālah
ṣarīḥah (petunjuk eksplisit) yang memerintahkan untuk duduk tasyahud awal
pada lafal dari aṭ-Ṭayālisī. Lafal versi aṭ-Ṭayālisī, sama seperti versi mukharrij-mukharrij
lainnya, mengajarkan tentang doa ketika duduk tasyahud awal pada rakaat kedua.
Untuk menunjukkan perintah melakukan tasyahud awal, semestinya redaksi hadis
Ibn Mas‘ūd misalnya berbunyi: “kunnā lā najlis fi kulli rak‘atain fa amaranā
an najlisa (kami dahulu tidak duduk pada setiap dua rakaat, kemudian Rasulullah
menyuruh kami melakukannya)”. Kenyataannya, tidak ada lafal seperti itu
yang muncul pada semua versi hadis dari Ibn Mas‘ūd. Skema sanad hadis dari
Abdullah ibn Mas‘ūd tentang doa pada saat duduk tasyahud dapat dilihat pada
gambar 1.
Gambar
1
Sebagai
catatan tambahan, ada yang memahami bahwa hadis Abdullah ibn Mas‘ūd yang sedang
didiskusikan di sini adalah hadis yang menjelaskan tata cara salat dua rakaat
yang hanya memiliki satu tasyahud, bukan salat empat rakaat atau bukan
menjelaskan tentang tasyahud awal. Buktinya adalah pernyataan Nabi agar Ibn
Mas‘ūd memilih berdoa dengan doa apa saja setelah membaca bacaan tasyahud. Ibnu
Rajab al-Ḥanbali, pensyarah kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī yang mengomentari
hadis di atas mengatakan:
Lafal
ini (maksudnya perintah untuk memilih doa pada saat duduk taḥiyyat)
sangat jelas menunjukkan bahwa tasyahud ini dilakukan setiap dua rakaat yang
langsung salam.[9]
Riwayat
Abu Hurairah, Dapatkah Dijadikan Dalil?
Dalil
kedua yang dijadikan dasar bahwa salat tarawih empat rakaat harus melakukan
tasyahud awal adalah hadis riwayat Abu Hurairah (nas no 6). Dalil ini dianggap
menceritakan langsung bahwa Rasulullah apabila salat tarawih empat rakaat juga
melakukan tasyahud awal.
Menurut
seorang penulis, pesan primer (‘ibārat an-naṣṣ) dari hadis di atas
adalah tentang takbir yang memisahkan antar gerakan dalam salat. Namun, hadis
di atas juga dianggap menyampaikan pesan sekunder (isyārat an-naṣṣ)
yaitu tentang adanya tasyahud awal dalam salat tarawih.[10] Pesan sekunder tersebut dapat
dipahami dari dua kalimat, yaitu pernyataan perawi sebelum Abu Hurairah bahwa
Abu Hurairah selalu bertakbir saat melakukan salat wajib, baik pada bulan
Ramadan maupun bulan lainnya dan pernyataan bahwa Abu Hurairah melakukan takbir
setelah duduk pada rakaat kedua. Pertanyaannya, apakah riwayat Abu Hurairah di
atas benar-benar tepat untuk dijadikan dalil?
Setelah
membaca secara cermat hadis di atas, penulis menyatakan bahwa hadis di atas lā
yaṣluḥ lil-iḥtijāj bih (tidak dapat dijadikan dalil) bahwa salat tarawih
empat rakaat juga harus menggunakan tasyahud. Alasannya adalah (1) Kalimat “wa
ghairihā fi Ramaḍān wa ghairih” pada hadis di atas lahir dari periwayatan bil-ma‘nā;
(2) hadis tersebut adalah dalil tentang bacaan takbir; dan (3) Abu Hurairah
tidak pernah meriwayatkan hadis tentang rakaat tarawih.
Setelah
dilakukan takhrīj, hadis yang menceritakan praktik Abu Hurairah
mengimami salat seperti tersebut dalam hadis di atas, selain terdapat dalam Ṣaḥīḥ
al-Bukhāri juga terdapat dalam empat belas kitab hadis primer (al-maṣādir
al-aṣliyyah) lainnya, yaitu: Muwaṭṭa’ Imam Mālik, al-Umm Imam
al-Syafi’i, Muṣannaf Abdur Razzāq, Musnad Aḥmad,
Ṣaḥīḥ Muslim, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, Musnad Abū ‘Awānah, Sunan
Abū Dāwud, Sunan al-Dārimi, Sunan at-Tirmīżī, Sunan
an-Nasā’ī, Musnad asy-Syāmiyyīn li aṭ-Ṭabrānī, Ṣaḥīḥ ibn
Ḥibbān, dan Musnad al-Mūṣilī (nas no 7-21). Dari 15 orang mukharrij
tersebut, secara keseluruhan terdapat 26 jalur periwayatan untuk hadis ini.
Imam Bukhari sendiri yang dalam satu riwayatnya terdapat tambahan kalimat “wa
ghairihā fi Ramaḍān wa ghairih”, memiliki empat jalur ketika men-takhrīj
hadis ini, yaitu melalui Abul Yaman, Yahya ibn Bukair, Abdullah ibn Yusuf, dan
Adam. Jika digambarkan dalam bentuk skema, sanad hadis tersebut menjadi seperti
gambar 2.
Gambar
2
Membandingkan
26 jalur dengan 26 matan hadis yang terdapat dalam 15 kitab al-Maṣādir tersebut,
kita dapat menemukan matan yang menjadi common element (unsur
bersama) antar pelbagai riwayat. Common element dari keseluruhan matan
hadis riwayat Abu Hurairah tersebut dapat dinyatakan dalam empat hal berikut:
- Abu Hurairah diceritakan memimpin salat jamaah.
- Di dalam jamaahnya ada dua orang tabi’in yang kemudian meriwayatkan praktik Abu Hurairah menjadi sebuah hadis. Dua orang tersebut adalah Abu Salamah dan Abu Bakar ibn Abdurrahman.
- Abu Hurairah bertakbir ketika akan memulai salat, ketika rukuk, ketika sujud, dan ketika bangkit dari rakaat kedua.
- Abu Hurairah menyatakan bahwa dirinyalah orang yang paling mirip salatnya dengan salat Rasulullah dibandingkan dengan seluruh jamaah yang hadir pada salat yang ia imami.
Sekalipun
26 jalur tersebut memiliki common element dan beberapa di antaranya ada yang
lafalnya sangat identik, namun antara satu riwayat dengan riwayat lainnya juga
memiliki perbedaan pada matannya. Perbedaan tersebut ada yang hanya bersifat lafẓiyah
saja, artinya perbedaan lafal yang tidak terkait dengan isi, dan ada juga yang
terkait dengan substansi hadis. Berikut ini contoh perbedaan lafal dan
perbedaan substansial dari common element hadis tersebut:
Tabel 1: perbedaan lafal yang tidak berpengaruh pada pesan hadis
Tabel 2: perbedaan lafal yang bersifat substansial dan memiliki implikasi pada pesan hadis
Membandingkan
matan dari masing-masing mukharrij di atas (nas no 3-18) dan melihat
adanya perbedaan lafal, serta adanya beberapa tambahan di luar common
element, kita dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi periwayatan bil-ma‘nā
dalam hadis di atas. Dalam menarasikan hadis, perawi tidak menyampaikannya
secara letterlijk sesuai dengan penyataan perawi awalnya, Abu Hurairah
(sahabat) atau Abu Bakar ibn Abdurrahman dan Abu Salamah (tabiin), melainkan
dengan pembahasaan ulang (wording) yang menambahkan secara signifikan
pesan awal hadis. Namun pertanyaannya, apakah mungkin keragamaan lafal
sesungguhnya telah terjadi sejak generasi perawi kedua yang menjadi saksi
perbuatan dan pernyataan Abu Hurairah, yaitu Abu Salamah dan Abu Bakar ibn
Abdur Rahman yang berasal dari generasi tabiin? Ataukah keragaman lafal baru
terjadi sesudahnya, dimulai dari az-Zuhri dari generasi tabiut tabiin sebagai common
link, ataukah terjadi pada generasi-generasi sesudahnya lagi?
Tabel
di bawah ini adalah hasil perbandingan matan antar mukharrij dengan mukharrij
lainnya. Tabel ini menunjukkan keidentikan matan antara sejumlah mukharrij.
Setelah ditelusuri, keidentikan tersebut disebabkan karena mereka menerima
hadis dari jalur yang sama atau karena mereka mengalami pertemuan sanad pada
satu titik perawi. Kita dapat berasumsi bahwa jalur pertemuan itulah yang
menjadi perawi yang bertanggungjawab terhadap penyusunan lafal (wording)
hadis.
Tabel 3: Matan-matan yang identik dan kemungkinan penyusunnya.
Tabel 3: Matan-matan yang identik dan kemungkinan penyusunnya.
Mengenai
kalimat “wa ghairihā fi Ramaḍān wa ghairih” dalam hadis Abu Hurairah di
atas, dari 26 jalur hadis ternyata tambahan tersebut hanya terdapat dalam dua
jalur, yaitu jalur Imam Bukhari melalui Abul Yaman (nas no 6) dan jalur
aṭ-Ṭabrani (nas no 8) melalui Ali ibn Ayyaṣ [lihat no. 6 pada tabel 3 di atas].
Sedangkan 24 jalur lainnya (nas no 7, 9-21) tidak menyebutkan kalimat “wa
ghairihā fi Ramaḍān wa ghairih”. Implikasi dari ketiadaan kalimat tersebut
adalah keterangan bahwa Nabi melakukan duduk tasyahud awal pada bulan Ramadan
menjadi tidak ada. Pertanyaan kemudian muncul di benak kita; jika tidak
terdapat dalam sebagian besar jalur lainnya, dari mana munculnya tambahan
tersebut? Dengan penelisikan terhadap jalur sanad, kalimat “wa
ghairiha fi Ramaḍān wa ghairih”” dapat dipastikan belum muncul sampai pada
perawi di tingkatan ketiga, yaitu Ibnu Juraij, Uqail dan Ma’mar. Oleh karena
itu, kita dapat menduga bahwa penambahan (ziyādah) kata Ramadan terjadi
pada perawi setelah tingkatan ketiga. Besar kemungkinan Abu al-Yaman dan Ali
ibn Ayyaṣlah yang menambahkan kata tersebut saat meriwayatkannya kepada Bukhari
dan kepada Abu Zur’ah (guru aṭ-Ṭabrani). Tambahan tersebut lahir dari sebuah
proses periwayatan bil-ma‘nā yang melibatkan unsur intrepretasi perawi,
bukan periwayatan bil-lafẓi yang tetap mempertahankan otentisitas teks
apa adanya.
Karena
telah terjadi periwayatan bil-ma‘nā pada versi Bukhari dan Ṭabrani dari
Ali ibn Ayyaṣ dan Abu al-Yaman, kita hanya dapat berpegang pada common
element saja. Apalagi dalam kasus tambahan kata “wa ghairihā fi Ramaḍān
wa ghairih”, riwayat bil-ma‘nā dari dua orang perawi tersebut
terjadi dalam masalah ibadah. Tambahan tersebut menyebabkan ibadah yang tadinya
tidak ada menjadi ada. Di samping itu tambahan tersebut tidak memiliki
dukungan jalur lainnya (mutābi’, corroborator), baik dari ṭabaqah
(tingkatan yang sama) atau ṭabaqah sebelumnya. Dalam hal ini
(konteks ibadah) kejujuran perawi yang seorang diri semata dianggap tidaklah
cukup, karena bisa jadi seorang perawi jujur juga melibatkan interpretasinya
dalam meriwayatkan hadis. Namun di luar urusan ibadah, di mana tambahan
informasi tersebut tidak merubah common element dan hanya berfungsi
sebagai penjelas, kita dapat memberlakukan pengecualian. Seperti halnya
tambahan penjelasan dari Yunus bin Yazid bahwa perbuatan Abu Hurairah yang
menjelaskan tentang takbir dalam salat saat ia lakukan adalah saat ia menduduki
jabatan sebagai gubernur Madinah pada masa Marwan (lihat no 3 pada tabel no 2).
Mungkin
muncul pertanyaan, apakah tambahan tersebut tidak bisa dikembalikan kepada
kaedah “ziyādat aṡ-ṡiqah maqbūlah (tambahan redaksi dari orang yang
kredibel dapat diterima)”? Sebab, hampir semua penulis biografi menyebut Ali
ibn Ayyaṣ dan Abu al-Yaman sebagai pribadi yang ṡiqah.[11] Ternyata para ulama hadis sendiri
tidak mutlak memegangi kaedah itu. Beberapa ulama hadis justru memberikan
syarat tambahan agar suatu tambahan bisa diambil. Al-Khaṭīb al-Baghdādi
mensyaratkan perawi kredibel tersebut harus seorang diri (ziyādat aṡ-ṡiqah
maqbūlah iżā infarada bihā), artinya agar riwayat perawi tersebut tidak
bertentangan dengan perawi lainnya.[12] Hal yang sama juga dipegangi oleh
Ibnu Hajar al-Asqalani, yang menyatakan:
Pandangan yang populer dari banyak
ulama adalah pendapat yang menerima tambahan (perawi) secara mutlak, tanpa
diperinci. Hal tersebut tidak sesuai dengan metode para ahli hadis yang
mensyaratkan tidak adanya syāż dalam hadis sahih dan hasan.[13]
Al-Zayla’i juga mensyaratkan
perawinya harus ṡiqah dan tidak bertentangan dengan perawi ṡiqah
yang lain, ia menulis:
Di antara manusia (ulama) ada yang
menerima tambahan dari orang yang ṡiqah secara mutlak. Namun ada juga
yang tidak menerimanya (secara mutlak). Yang benar (dalam hal ini) adalah
diperinci. Tambahan orang yang ṡiqah dapat diterima di satu kondisi,
(namun bisa juga) tidak diterima dalam kondisi yang lain. Diterima jika perawi
yang meriwayatkannya adalah orang yang ṡiqah, hafal dan mantap
(ingatannya) dan tidak ditolak oleh orang yang sama ṡiqah dengannya atau
lebih rendah. Barangsiapa yang menghukumi tambahan orang yang ṡiqah
dengan menyamaratakannya, sungguh ia telah salah. Karena setiap tambahan
memiliki hukumnya sendiri-sendiri.[14]
Alasan kedua untuk tidak dapat berdalil
dengan hadis Abu Hurairah di atas adalah karena hadis tersebut adalah tentang
takbir. Hadis riwayat Abu Hurairah (nas no 6) sesungguhnya membicarakan tentang
takbir. Hadis tersebut sama sekali tidak berbicara tentang tasyahud awal pada
salat tarawih, terutama sebagai ‘ibārat al-naṣ (pesan inti). Sebagai
bukti bahwa tema utama hadis Abu Hurairah adalah tentang takbir, para
ulama mukharrij meletakkan hadis tersebut dalam kitab masing-masing pada
bab tentang takbir (lihat takhrīj hadis nas no 6-21). Tidak ada
satupun ulama hadis atau fikih yang menempatkannya pada bab tentang salat
tarawih. Ibnu Taimiyah yang mengupas hadis di atas juga menjelaskan bahwa hadis
tersebut berbicara tentang takbir. Dalam Majmū’ al-Fatāwa ia menulis:
“Ini menjelaskan bahwa tema inti (dalam hadis) adalah tentang bertakbir secara
jahar.”[15]
Jika dianggap bahwa dalam hadis
tersebut ada pesan sekunder (isyārat an-naṣṣ) tentang tasyahud awal pada
salat tarawih, menurut penulis dalam konteks riwayat tentang takbir di atas,
pesan sekunder tersebut tidak dapat digunakan. Sebab, hadis di atas berasal
dari proses periwayatan bil-ma‘nā, bukan bil-lafẓi. Selain itu,
hadis di atas adalah sunnah fi‘liyah yang berasal dari laporan dua orang
tabiin mengenai salat Abu Hurairah, bukan sunnah qauliyah yang merupakan
pernyataan langsung dari Nabi. Hemat penulis, pesan sekunder (isyārat
an-naṣṣ) baru dapat digunakan jika nasnya adalah al-Quran atau sunnah
qauliyyah. Jika sunnahnya adalah fi‘liyyah, yang lafalnya berasal
dari laporan sahabat, tabiin atau bahkan perawi sesudahnya, pesan dari isyārat
an-naṣṣ tidaklah cukup digunakan sebagai dalil untuk mendasari suatu
ibadah, sebab dalam sunnah fi’liyyah terbuka kemungkinan untuk melakukan
wording (penyusunan lafal sendiri) yang bisa jadi merupakan interpretasi
perawi dan tidak otentik berasal dari Rasul. Oleh karena itu, sepanjang
merupakan sunnah fi‘liyyah, yang dapat dijadikan sebagai dalil adalah
sisi ibārat an-naṣṣ (pesan intinya) saja. Sisi isyārat an-naṣṣ
dalam sunnah fi’liyyah dapat diabaikan. Asy-Syāṭibi bahkan lebih tegas
menyebutkan bahwa sisi sekunder (dalam istilahnya al-ma’nā at-tāb‘iy)
dari sebuah teks tidak dapat digunakan untuk menetapkan sebuah hukum, ia menulis:
“….Kesimpulannya, ber-istidlāl dengan makna sekunder sebuah teks untuk
sebuah hukum tidak dapat dilakukan. Tidak sah menggunakannya sama sekali.”[16]
Argumen terakhir bahwa Abu Hurairah
tidak sedang menceritakan cara salat tarawih yang berjumlah empat rakaat adalah
Abu Hurairah sendiri tidak pernah meriwayatkan hadis Rasulullah tentang salat
tarawih empat rakaat. Di sini kita memegang sebuah asumsi bahwa jika Abu
Hurairah ingin meriwayatkan tasyahud awal dalam salat tarawih, semestinya ia
juga ikut terlibat dalam periwayatan hadis tentang salat tarawih Rasulullah,
khususnya yang berjumlah empat rakaat. Kenyataannya, Abu Hurairah tidak pernah
meriwayatkan satupun hadis tentang rakaat salat tarawih. Terkait dengan salat
lail dan witir, hanya ada tiga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yaitu
tentang keutamaan salat tarawih, tentang salat sunnah iftitah, dan larangan
witir tiga rakaat.[17]
Dengan tiga alasan di atas, yaitu
(1) kata-kata Ramadan dalam versi Bukhari dan Ṭabrani adalah redaksi yang lahir
dari periwayatan bil-ma‘nā, (2) pesan hadis adalah tentang takbir, dan
(3) Abu Hurairah tidak meriwayatkan hadis tentang bilangan rakaat tarawih
Rasulullah, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hadis tersebut tidak dapat
dijadikan dalil untuk pelaksanaan tasyahud awal dalam salat tarawih. Dalam hal
ini sebuah kaedah menyebutkan:
إِنَّ الدَلِيْلَ مَعَ الْاِحْتِمَالِ سَقَطَ بِهِ
اْلإسْتِدْلَالِ
Dalil Salat Tarawih 4 Rakaat Tidak
Menggunakan Tasyahud
Tidak Adanya Dalil adalah Dalil
tidak Adanya Tasyahud Awal
Setiap salat yang memiliki tasyahud
awal selain salat wajib selalu ada dalil khususnya. Artinya, keberadaan praktik
tasyahud awal selalu dijelaskan oleh dalil yang bersifat khusus, bukan sekedar
dalil umum untuk salat wajib yang kemudian digeneralisasi. Salat-salat yang
memiliki tasyahud awal selain salat wajib adalah:
- Salat 4 rakaat sebelum asar yang dijelaskan oleh hadis riwayat ‘Aṣim ibn Ḍamrah dari sahabat Ali ibn Abi Ṭalib (nas no 31);
- Salat lail 7 rakaat (duduk pada rakaat keenam) yang dijelaskan hadis dari Ummul Mukminin Aisyah Ra. (nas no 26);
- Salat lail 9 rakaat (duduk pada rakaat 8) yang juga dijelaskan oleh Aisyah Ra. (nas no 25).
Keterangan di atas sejalan dengan
prinsip bahwa hukum asal dalam pelaksanaan ibadah mahḍah adalah tidak
ada (al-aṣlu fi al-‘ibādah al-‘adam). Dan sejalan dengan kaedah al-aṣlu
fi al-‘ibādah at-tawqīf wa al-ittibā‘. Makna dari kaedah tersebut adalah masyru‘
atau tidaknya satu ibadah harus didasarkan pada dalil khusus, bukan sekedar
dalil umum untuk ibadah wajib yang kemudian digeneralisasi ke ibadah lain yang
hukumnya sunnah. Ketika tidak ada dalil yang menjelaskan (dalīl al-muṡbit)
adanya tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat, hal tersebut berarti
menunjukkan bahwa tasyahud awal tidak ada atau tidak dipraktikkan oleh Nabi.
Dalam hal ini logika ta‘mīm (generalisasi) bahwa tasyahud awal adalah
aturan umum yang dilakukan di setiap salat, kecuali salat khusus yang mempunyai
tata cara yang berbeda (seperti salat janazah) adalah logika yang bertentangan
dengan prinsip hukum asal di atas.
Istiqrā’ terhadap Tatacara Rasulullah Melakukan Salat Lail dan Salat Witir
Dalil yang menjelaskan cara Rasulullah Saw. melaksanakan tarawih empat-empat rakaat hanya ada satu, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah ketika ditanya oleh Abu Salamah (nas no 1). Hadis ini harus diakui adalah hadis yang mujmal, karena di dalamnya tidak dijelaskan tatacara pelaksanaan salat tarawih. Oleh karena itu, untuk mengetahui ada atau tidaknya gerakan tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat, kita tidak cukup hanya dengan hadis itu saja. Selain itu memang tidak ada nas yang eksplisit menerangkan, baik ada (iṡbāt) atau tidak adanya (nafy) tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat. Sehingga, untuk mencari jawabannya kita perlu menerapakan metode al-istiqrā’ al-ma‘nawiy (induksi) terhadap nas-nas yang menerangkan praktik Rasulullah saat melakukan salat lail salat witir.
Istiqrā’ terhadap Tatacara Rasulullah Melakukan Salat Lail dan Salat Witir
Dalil yang menjelaskan cara Rasulullah Saw. melaksanakan tarawih empat-empat rakaat hanya ada satu, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah ketika ditanya oleh Abu Salamah (nas no 1). Hadis ini harus diakui adalah hadis yang mujmal, karena di dalamnya tidak dijelaskan tatacara pelaksanaan salat tarawih. Oleh karena itu, untuk mengetahui ada atau tidaknya gerakan tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat, kita tidak cukup hanya dengan hadis itu saja. Selain itu memang tidak ada nas yang eksplisit menerangkan, baik ada (iṡbāt) atau tidak adanya (nafy) tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat. Sehingga, untuk mencari jawabannya kita perlu menerapakan metode al-istiqrā’ al-ma‘nawiy (induksi) terhadap nas-nas yang menerangkan praktik Rasulullah saat melakukan salat lail salat witir.
Metode al-istiqrā’ al-ma‘nawiy
oleh asy-Syāṭibi didefinisikan sebagai metode penemuan hukum Islam yang dalam
prosedurnya memanfaatkan bukan hanya dalil tunggal, tetapi dengan mengumpulkan
keseluruhan dalil-dalil yang relevan, sekalipun tidak berhubungan secara
langsung, sehingga dapat diperoleh kepastian dalam produk hukum. Dengan melihat
secara induktif bagaimana keterangan yang dibawa oleh sejumlah nas-nas ghairu
ṣarīḥ (yang tidak eksplisit), kita akan menemukan qarīnah
(indikasi) tentang cara Rasulullah melakukan salat tarawih empat rakaat. Dengan
sendirinya kita akan menemukan jawaban apakah Rasulullah melakukan duduk
tasyahud awal pada salat tarawih yang berjumah 4 rakaat. Berikut ini dua
dalil yang perlu kita cermati:
- Dalam salat lail 8 rakaat, Rasulullah duduk hanya di rakaat terakhir (nas no 22).
Dalam nas no 22 diterangkan bahwa
Rasulullah melaksanakan salat lail dengan bilangan 8+2+1. Dalam hadis tersebut
juga dijelaskan bahwa Rasulullah tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan.
Makna tidak duduk di sana tentu saja bukan Rasulullah salat dengan cara berdiri
terus, tetapi maknanya adalah Rasulullah tidak melakukan duduk tasyahud awal.
Keterangan dalam hadis di atas bahwa Rasulullah tidak duduk (atau tidak
melakukan tasyahud awal) dalam salat lail yang berjumlah delapan rakaat menjadi
indikasi (qarīnah) bahwa salat tarawih yang berjumlah empat rakaat juga
tidak mengenal tasyahud awal. Karena di sini kita memegang sebuah asumsi bahwa
Rasulullah melaksanakan salat, khususnya sunat di malam hari, secara konsisten.
Jika ada pandangan bahwa dalam salat tarawih empat rakaat Rasulullah melakukan
tasyahud awal, semestinya untuk salat delapan rakaat yang dua kali lebih
panjang beliau juga akan melakukan hal yang sama. Namun, kenyataanya dalam
salat lail delapan rakaat Rasulullah tidak melakukannya, sehinga dengan
demikian dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalam salat empat rakaat beliau juga
tidak melakukannya.
Dalam sebuah kaedah mantiq dinyatakan:
Dalam sebuah kaedah mantiq dinyatakan:
يَلْزِمُ مِنْ وُجُوْدِ الْمَلْزُوْمِ وُجُوْدُ
اللاَزِمِ، يَلْزِمُ مِنْ نَفْىِ اللاَزِمِ نَفْيُ الْمَلْزُوْمِ.
Dari kaedah di atas, tentang salat
tarawih 8 & 4 rakaat dapat simpulkan: “Adanya tasyahud awal dalam
salat 4 rakaat mengharuskan adanya tasyahud awal dalam salat 8 rakaat;
sehingga, tidak adanya tasyahud awal dalam salat tarawih 8 rakaat mengharuskan
tidak adanya tasyahud dalam salat tarawih 4 rakaat.”
- Witir Rasulullah dalam tarawih 4+4 tidak menggunakan tasyahud.
Jika diasumsikan bahwa salat tarawih
yang berjumlah 4 rakaat menggunakan tasyahud, semestinya salat witir yang
dilakukan setelah itu juga menggunakan tasyahud. Karena keduanya adalah satu
kesatuan cara salat Rasulullah yang dijelaskan oleh Aisyah dalam riwayatnya.
Jika digunakan hadis umum bahwa Rasulullah duduk tasyahud setiap dua rakaat
(nas no 2) untuk menafsirkan praktik salat tarawih 4 rakaat (nas no 1),
semestinya hal yang sama juga dilakukan pada salat witir 3 rakaat sesudahnya.
Namun, kenyataannya terdapat sejumlah dalil yang ‘menghalangi’ hal tersebut.
Terdapat dua buah hadis yang menjelaskan bahwa witir Rasulullah yang berjumlah
3 rakaat dilaksanakan tanpa melakukan tasyahud awal. Ini menjadi indikasi bahwa
salat tarawih 4+4 rakaat yang dilakukan sebelumnya juga tidak menggunakan tasyahud.
Dua hadis tersebut adalah:
- Hadis dari Ubay bin Kaab (nas no 28), dan
- Hadis dari Abu Hurairah (nas no 27).
Secara matan hadis tersebut mungkin
bisa dianggap bernilai daif karena bertentangan (syāż) dengan riwayat
yang jusutru menjelaskan bahwa nabi sendiri melakukan salat witir 3 rakaat (nas
no 1). Namun, untuk mengatasi kesan kontradiksi tersebut, para ulama mengajukan
cara kompromi. Cara komprominya adalah yang dimaksud larangan nabi untuk
melakukan salat witir 3 rakaat adalah larangan melakukan witir yang di dalamnya
terdapat duduk tasyahud awal. Inilah yang dimaksudkan dari sabda nabi “agar
salat witir tidak sama dengan salat magrib”. Ibnu Hajar menjelaskan bentuk
kompromi tersebut:
“Kompromi antara hadis ini (witir
Rasulullah yang berjumlah 3 rakaat) dan larangan menyerupai salat magrib adalah
dibawanya larangan kepada salat 3 rakaat dengan dua tasyahud”.[19]
Perlu
juga ditambahkan, selain witir tiga rakaat yang dilakukan pada tarawih
empat-empat, witir-witir lainnya yang dilakukan Rasulullah juga tidak
menggunakan tasyahud awal, baik yang berjumlah 5 rakaat (nas no 29) maupun 7
rakaat (nas no 30). Tasyahud awal hanya ada di witir yang berjumlah 9 rakaat
(nas no 25).
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil:
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil:
- Praktik tarawih empat rakaat tanpa tasyahud adalah praktik yang memiliki dalil atau dasar syar’i
- Dasar syar’i praktik tersebut adalah:
a.
Setiap salat yang ada tasyahud awal selalu ada dalil khususnya. Contoh: salat 4
rakaat sebelum asar, salat lail 7 rakaat (duduk pada rakaat keenam) dan 9
rakaat (duduk pada rakaat 8). Sehingga ketika tidak ada dalil khususnya yang
menerangkan adanya tasyahud awal dalam salat tarawih empat rakaat, maka hal
tersebut berarti tasyahud awal tidak ada. Ini kembali kepada kaedah: al-aṣlu
fi al-‘ibādah at-tawqīf wa al-ittibā’.
b.
Qarīnah yang dijelaskan oleh dua dalil lain, yaitu:
1).
Rasulullah tidak melaksanakan tasyahud dalam salat tarawih delapan rakaat,
sebagaimana eksplisit disebutkan dalam nas no 19.
2).
Rasulullah tidak melaksanakan tasyahud dalam witir tiga rakaat yang dilakukan
sesudah tarawih empat-empat rakaat (nas no 25).
3.
Tasyahud awal dalam salat tarawih adalah pendapat yang tidak memiliki dasar
yang kuat karena sejumlah alasan:
a.
Hadis Aisyah “وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ” adalah
dalil untuk salat dua rakaat, bukan untuk salat tarawih yang empat rakaat.
Indikasinya adalah kalimat “وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلاَةَ بِالتَّسْلِيمِ”;
b. Hadis
Abdulllah ibn Mas‘ūd “إِذَا قَعَدْتُمْ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَقُولُوا
التَّحِيَّاتُ” menerangkan tentang bacaan pada taḥiyyat pada rakaat
kedua, bukan tentang setiap salat empat rakaat ada tasyahud pada rakaat kedua;
c.
Kalimat “wa ghairihā fi Ramaḍān wa ghairih” dalam riwayat Abu Hurairah
yang terdapat dalam versi Imam Bukhari dan aṭ-Ṭabrani adalah tambahan yang
lahir dari periwayatan bil-ma‘nā, tambahan siginifikan terhadap commont
element dari 26 jalur hadis dan setelah diverifikasi ternyata tidak
dijumpai dalam 24 jalur lainnya yang menceritakan hal yang sama;
d. Hadis
Abu Hurairah adalah tentang takbir, bukan tentang salat tarawih;
e. Abu
Hurairah tidak pernah meriwayatkan hadis tentang rakaat salat tarawih.
Daftar
Nas Terkait
Salat
Tarawih 4 Rakaat
Nas
no 1
عَنْ أَبِى سَلَمَةَ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رضى الله
عنها – كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى
رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ
فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى
أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا
فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا ، قَالَتْ
عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ . فَقَالَ:
يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَىَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِى
[متفق عليه]
Dari
Abu Salamah ibn Abd Rahman [diriwayatkan] bahwa dia bertanya kepada Aisyah
tentang bagaimana salat Rasulullah saw di [bulan] Ramadan. Aisyah menjawab:
Beliau salat di bulan Ramadan –dan di bulan lainnya- tidak lebih dari sebelas
rakaat. Beliau salat empat rakaat, maka jangan engkau tanya tentang baik dan
lamanya. Kemudia beliau salat lagi empat rakaat, maka jangan engkau tanya baik
dan lamanya. Kemudian beliau salat tiga rakaat. Lalu aku (Aisyah) bertanya:
Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengerjakan witir? Beliau
menjawab: Wahai Aisyah, kedua mataku memang tidur, tetapi hatiku tidak tidur.
[muttafaq ‘alaih].
Takhrīj:
- Muhammad ibn ‘Ismāil al-Bukhāri, Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, (Damaskus, Beirut: Dār Ibn Kastīr, 2002):
a.
No. 1147, hlm. 278, kitab “at-tahajjud”, bab “qiyām al-nabi
ṣallallāhu ‘alaihi wasallama bi al-lail fiy Ramadān wa ghairihi”;
b.
No. 2013, hlm. 483, kitab “ṣalāt at-tarāwiḥ”, bab “faḍlu man qāma
ramāḍān”; dan
c.
No. 3569, hlm. 878, kitab “al-manāqib”, bab “kāna al-nabiy ṣallallāhu
‘alaihi wasallama tanāmu ‘ainuhu wa lā yanāmu qalbuhu”.
2.
Muslim ibn Ḥajjāj al-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim, editor: Abū Ṣuḥaib al-Karamiy,
(Riyāḍ: Bait al-Afkār al-Dauliyyah, 1998), hadis no. 737, hlm. 291, kitab “kitābu
ṣalāt”, bab “ṣalāt al-layl wa ‘adadu raka’āt”.
Taḥiyyat setiap Dua Rakaat pada Salat Wajib
Nas
no 2
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ
الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ) وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ
وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ
يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ
السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ جَالِسًا وَكَانَ يَقُولُ فِى
كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى
وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ
وَيَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ وَكَانَ
يَخْتِمُ الصَّلاَةَ بِالتَّسْلِيمِ
[رواه مسلم]
Dari
Aisyah ia berkata: adalah Rasulullah saw memulai salatnya dengan takbir dan
membaca alhamdulillaahi rabbil ‘ālamiin. Jika rukuk beliau tidak menaikkan
kepala (terlalu tinggi) atau menurunkan kepala (terlalu rendah), tetapi
pertengahan di antara itu. Jika mengangkat kepala dari rukuk, beliau tidak
bersegera sujud sampai tegak berdiri. Jika mengangkat kepala dari sujud, beliau
tidak bersujud sampai tegak dalam posisi duduk. Beliau membaca tahiyyat pada
setiap dua rakaat. Beliau membentangkan kaki kiri dan menegakkan (telapak)
kaki kanan. Beliau melarang dari duduknya Syaithan dan melarang seseorang
menghamparkan tangannya (dalam sujud salat) seperti binatang buas menghamparkan
tangannya. Beliau menutup salat dengan salam. [Muslim].
Takhrīj:
Muslim ibn Ḥajjāj al-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim, hadis no. 498, hlm. 204, kitab “al-ṣalat”, bab “mā yajma‘ ṣifat al-ṣalāh”.
Muslim ibn Ḥajjāj al-Naysābūri, Ṣaḥīḥ Muslim, hadis no. 498, hlm. 204, kitab “al-ṣalat”, bab “mā yajma‘ ṣifat al-ṣalāh”.
Bacaan
Tasyahud pada Rakaat Kedua
Nas
no 3
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ كُنَّا لَا نَدْرِي مَا نَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ غَيْرَ أَنْ
نُسَبِّحَ وَنُكَبِّرَ وَنَحْمَدَ رَبَّنَا وَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَ فَوَاتِحَ الْخَيْرِ وَخَوَاتِمَهُ فَقَالَ إِذَا
قَعَدْتُمْ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَقُولُوا التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ
وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ
الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَلْيَتَخَيَّرْ أَحَدُكُمْ مِنْ الدُّعَاءِ
أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَلْيَدْعُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
[رواه عبد الرزاق و احمد و أبو داود و
الترمذى و النسائى و اللفظ له و ابن حبان و الطبرانى و ابن خزيمة]
Dari
Abdullah ibn Mas‘ūd ia berkata: Dahulu kami tidak tahu apa yang kami baca
setiap rakaat kedua, sehingga kami mengucapkan kalimat tasbih, takbir, dan
tahmid dan bahwa Muhammad saw telah mengajarkan pembuka-pembuka kebaikan
dan penutupnya. Nabi saw kemudian berkata (mengajarkan kepada kami): Apabila
kalian duduk di setiap dua rakaat maka bacalah:
at-taḥiyyātu lillāhi waṣ-ṣalawātu waṭ-ṭayyibāt, assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu
warahmatullāhi wabarakātuhu, assalamu ‘alainā wa ‘alā ibādillāhiṣṣālihīn,
asyhadu anlā ilāha illāllāh wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa
rasūluh. Kemudian kalian memilih doa-doa yang kalian inginkan. Kemudian
berdoalah kepada Allah azza wa jalla (dengan doa itu). [Abdurrazāq, Aḥmad, Abū
Dāwud, at-tirmiżi, Nasā’i dan lafal ini darinya, Ibnu Ḥibbān, aṭ-Ṭabrāni dan
Ibnu Khuzaimah].
Takhrīj:
Abu Abdurrahman, an-Nasā’ī, “Sunan al-Nasā’i”, dalam al-Kutub as-Sittah, hadis no. 1162-3, editor: Raid ibn Ṣabri, Kitab “at-Taṭbīq”, bab “kayfa at-tasyahhud al-awwal”, hlm. 2314.
Abu Abdurrahman, an-Nasā’ī, “Sunan al-Nasā’i”, dalam al-Kutub as-Sittah, hadis no. 1162-3, editor: Raid ibn Ṣabri, Kitab “at-Taṭbīq”, bab “kayfa at-tasyahhud al-awwal”, hlm. 2314.
Abu
‘Isā Muhammad bin ‘Isā, at-Tirmīżī, “Sunan at-Tirmīżī”, dalam al-Kutub
as-Sittah, hadis no. 289. editor: Raid ibn Ṣabri, Kitab “as-Ṣalāh”, bab “mā
jā’a fi at-tasyahhud”, hlm. 1790.
Nas
no 4
قال عبد
الله: كنا لا ندري ما نقول في كل ركعتين غير أن نسبح ونكبر ونحمد ربنا وأن محمدا
صلى الله عليه و سلم علم فواتح الخير وجوامعه أو جوامعه وخواتمه فأمرنا أن نقول في
كل ركعتين التحيات لله والصلوات والطيبات السلام عليك أيها النبي ورحمة الله
وبركاته السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن
محمدا عبده ورسوله ثم ليختر أحدكم من الدعاء أعجبه إليه فيدعو به
[رواه
الطيالسى]
Abdullah
ibn Mas‘ūd berkata: Dahulu kami tidak tahu apa yang kami baca setiap rakaat
kedua, sehingga kami mengucapkan kalimat tasbih, takbir, dan tahmid dan bahwa
Muhammad saw telah mengajarkan pembuka-pembuka kebaikan dan penutupnya.
Nabi saw kemudian menyuruh kami untuk membaca di setiap dua rakaat:
at-taḥiyyātu lillāhi waṣ-ṣalawātu wa aṭ-ṭayyibāt, assalāmu’alaika ayyuhan
nabiyyu waraḥmatullāhi wa-barakātuh, assalāmu ‘alainā wa ‘alā
‘ibādillāhiṣṣāliḥīn, asyhadu anlā ilāha illallāh wa-asyhadu anna Muhammadan
‘abduhu wa rasūluh. Kemudian kalian memilih doa-doa yang kalian inginkan.
Kemudian berdoalah kepada Allah (dengan doa itu). [Aṭ-Ṭayālisi].
Takhrīj:
Aṭ-Ṭayālisī, Sulaiman ibn Dāwud ibn al-Jārūd, Musnad Abī Dāwud aṭ-Ṭayālisī, editor: Muhammad Abdul Muḥsin at-Turkiy, (Dār Ḥajar), vol. I, 241, hadis no. 302, “mā asnada ‘Abdullāh ibn Mas’ūd”, hlm. 241.
Aṭ-Ṭayālisī, Sulaiman ibn Dāwud ibn al-Jārūd, Musnad Abī Dāwud aṭ-Ṭayālisī, editor: Muhammad Abdul Muḥsin at-Turkiy, (Dār Ḥajar), vol. I, 241, hadis no. 302, “mā asnada ‘Abdullāh ibn Mas’ūd”, hlm. 241.
Nas
No 5
عَنْ شَقِيقُ
بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ كُنَّا إِذَا جَلَسْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى الصَّلاَةِ قُلْنَا السَّلاَمُ عَلَى
اللَّهِ قَبْلَ عِبَادِهِ السَّلاَمُ عَلَى فُلاَنٍ وَفُلاَنٍ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَقُولُوا السَّلاَمُ عَلَى اللَّهِ
فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلاَمُ وَلَكِنْ إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلِ
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ
أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا
وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمْ ذَلِكَ أَصَابَ
كُلَّ عَبْدٍ صَالِحٍ فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ – أَوْ بَيْنَ السَّمَاءِ
وَالأَرْضِ – أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
[رواه ابو
داود]
Dari
Syaqīq ibn Salamah dari Abdullah ibn Mas‘ūd, ia berkata: Kami apabila berada
dalam posisi duduk ketika salat bersama Rasulullah saw kami melafalkan: “al-salāmu
‘alallāhi qabla ‘ibādihi, al-salāmu ‘alā fulān wa fulān (Keselamatan atas
Allah sebelum keselamatan atas hamba-hamba-Nya. Keselamatan atas fulan dan
fulan).” Rasulullah saw mengatakan: Janganlah kalian mengucapkan
“al-salāmu ‘alallāhi” karena keselamatan justru berasal dari Allah, akan tetapi
jika salah seorang di antara kamu duduk, maka ucapkanlah: at-taḥiyyātu
lillāhi waṣ-ṣalawātu waṭ-ṭayyibāt, assalāmu’alaika ayyuhan nabiyyu
waraḥmatullāhi wabarakātuh, assalāmu ‘alainā wa ‘alā ‘ibādillāhiṣṣāliḥīn. Karena
sesungguhnya jika kalian mengucapkannya, kalimat tersebut juga akan mengenai
hamba Allah yang salih, baik di langit maupun di bumi, atau antara langit dan
buumi. Asyhadu allā ilāha illallāh wa-asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu
wa-rasūluh. [Abu Dawud].
Takhrīj:
Abū Dāwud as-Sijistānī, Sulaiman ibn Asy’as, Sunan Abī Dāwud, (Riyaḍ: Bait al-Afkar al-Dauliyyah), hadis no. 968, hlm. 122, kitab “aṣ-Ṣalāt”, bab “at-tasyahhud”.
Abū Dāwud as-Sijistānī, Sulaiman ibn Asy’as, Sunan Abī Dāwud, (Riyaḍ: Bait al-Afkar al-Dauliyyah), hadis no. 968, hlm. 122, kitab “aṣ-Ṣalāt”, bab “at-tasyahhud”.
Ragam
Hadis tentang Takbir dari Abu Hurairah
Nas
no 6
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى
أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ وَأَبُو
سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُكَبِّرُ فِى
كُلِّ صَلاَةٍ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ وَغَيْرِهَا فِى رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ ،
فَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ ، ثُمَّ يَقُولُ
سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . ثُمَّ يَقُولُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ .
قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ ، ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ . حِينَ يَهْوِى سَاجِدًا
، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ
حِينَ يَسْجُدُ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ ،
ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنَ الْجُلُوسِ فِى الاِثْنَتَيْنِ ،
وَيَفْعَلُ ذَلِكَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ حَتَّى يَفْرُغَ مِنَ الصَّلاَةِ ، ثُمَّ
يَقُولُ حِينَ يَنْصَرِفُ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَقْرَبُكُمْ
شَبَهًا بِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنْ كَانَتْ هَذِهِ
لَصَلاَتَهُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
[رواه البخارى]
Telah
menceritakan kepada kami Abu al-Yamān, ia berkata telah menceritakan kepada
kami Syu‘aib dari Zuhri, ia berkata telah menceritakan kepadaku Abu Bakar ibn
Abd ar-Raḥmān ibn al-Ḥariṡ bin Hisyām dan Abu Salamah ibn Abd ar-Raḥmān,
bahwasanya Abu Hurairah selalu bertakbir setiap melakukan salat wajib dan
salat lainnya, baik di bulan Ramadan dan bulan lainnya. Ia bertakbir ketika
berdiri, kemudian bertakbir ketika akan ruku, kemudian mengucapkan “sami‘allāhu
liman ḥamidah”, kemudian mengucapkan “rabbanā wa-lakal ḥamd” sebelum
ia bersujud. Kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar ketika tunduk
bersujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepala dari sujud, kemudian
bertakbir ketika berdiri dari duduk pada rakaat kedua. Abu Hurairah
melakukan hal tersebut pada setiap rakaat sampai beliau selesai melaksanakan
salat. Kemudian beliau mengatakan ketika berpaling, Demi Zat yang aku ada pada
tangan-Nya, sesungguhnya aku yang paling dekat kemiripannya di antara
kalian salatnya dengan salat Rasululullah. Sungguh inilah cara salat beliau
hingga beliau meninggalkan dunia ini. [Bukhāri].
Takhrīj:
Al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā‘il, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hadis no. 803, hlm. 196-7, kitab “al-ażān”, bab “yahwi bit-takbīr ḥīna yasjud”.
Al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā‘il, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hadis no. 803, hlm. 196-7, kitab “al-ażān”, bab “yahwi bit-takbīr ḥīna yasjud”.
Nas
no 7
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ ابْنِ
شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ
أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ
حِينَ يَرْكَعُ ، ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لَمِنْ حَمِدَهُ . حِينَ يَرْفَعُ
صُلْبَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ ، ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ رَبَّنَا لَكَ
الْحَمْدُ – قَالَ عَبْدُ اللَّهِ { بْنُ صَالِحٍ عَنِ اللَّيْثِ } وَلَكَ
الْحَمْدُ – ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِى ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ
رَأْسَهُ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ
رَأْسَهُ ، ثُمَّ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِى الصَّلاَةِ كُلِّهَا حَتَّى يَقْضِيَهَا ،
وَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنَ الثِّنْتَيْنِ بَعْدَ الْجُلُوسِ
[رواه
البخارى]
Telah
menceritakan kepada kami Yahya ibn Bukair, ia berkata telah menceritakan kepada
kami al-Laiṡ, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihāb, ia berkata telah mengabarkan
kepadaku Abu Bakar ibn Abdurrahman ibn al-Ḥāriṡ, bahwasanya ia mendengan Abu
Hurairah berkata: Adalah Rasulullah saw apabila berdiri untuk salat, beliau
bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika rukuk, kemudian membaca “sami‘allahu
liman ḥamidah” ketika mengangkat punggungnya dari rukuk, kemudian membaca “rabbanā
lakal ḥamd” ketika beliau berdiri. Abdullah ibn Ṣāliḥ [salah seorang perawi]
dari al-Laiṡ mengatakan: “walakal ḥamd”, kemudian bertakbir ketika
menunduk, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir
ketika sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya. Beliau melakukan
hal tersebut di semua (rakaat) sampai selesai salat. Beliau juga
bertakbir ketika berdiri dari rakaat kedua setelah duduk. [Bukhāri].
Takhrīj:
Al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā‘il, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hadis no. 789, hlm. 193-4, kitab “al-ażān”, bab “at-takbīr iżā qāma min as-sujūd”.
Al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā‘il, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hadis no. 789, hlm. 193-4, kitab “al-ażān”, bab “at-takbīr iżā qāma min as-sujūd”.
Nas
no 8
حدثنا أبو
زرعة الدمشقي ، ثنا علي بن عياش ، وأبواليمان الحكم بن نافع ، قالا: ثنا شعيب بن
أبي حمزة ، عن الزهري ، عن أبي بكر بن عبد الرحمن بن الحارث بن هشام ، وأبي سلمة
بن عبد الرحمن ، أن أبا هريرة ، كان يكبر في كل صلاة من المكتوبة وغيرها في
رمضان وغيره ، ويكبر حين يقوم ، ويكبر حين يركع ، ثم يقول: « سمع الله لمن
حمده » ثم يقول: « ربنا ولك الحمد » قبل أن يسجد ، ثم يقول: « الله أكبر » حين
يهوي ساجدا ، ثم يكبر حين يرفع رأسه ، ثم يكبر حين يسجد ، ثم يكبر حين يرفع رأسه ،
ثم يكبر حين يقوم من الجلوس في الثنتين ، فيفعل ذلك في كل ركعة حتى يفرغ من
الصلاة ، ثم يقول حين ينصرف: « والذي نفسي بيده ، إني لأقربكم شبها بصلاة رسول
الله صلى الله عليه وسلم ، إن كانت هذه لصلاته حتى فارق الدنيا »
[رواه
الطبرانى]
Telah
menceritakan kepada kami Abu Zur‘ah ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami
Ali bin ‘Iyāsy dan Abu al-Yaman al-Ḥakam bin Nafi‘, keduanya berkata telah
menceritakan kepada kami Syu‘aib dari Zuhri, ia berkata telah menceritakan
kepadaku Abu Bakar ibn Abd ar-Raḥmān ibn al-Ḥāriṡ bin Hisyām dan Abu Salamah
ibn Abd ar-Raḥmān, bahwasanya Abu Hurairah selalu bertakbir setiap melakukan
salat wajib dan salat lainnya, baik di bulan Ramadan dan lainnya, beliau
bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika akan rukuk, kemudian
mengucapkan “sami‘allāhu liman ḥamidah”,
kemudian mengucapkan “rabbana wa-lakal ḥamd” sebelum beliau bersujud.
Kemudian beliau mengucapkan “Allahu Akbar” ketika tunduk bersujud,
kemudian bertakbir ketika mengangkat kepala dari sujud, kemudian bertakbir
ketika berdiri dari duduk pada rakaat kedua. Abu Hurairah melakukan hal
tersebut pada setiap rakaat sampai beliau selesai melaksanakan salat. Kemudian
beliau mengatakan ketika berpaling: Demi Zat yang aku ada pada tangan-Nya,
sesungguhnya aku yang paling dekat kemiripannya di antara kalian
salatnya dengan salat Rasululullah. Sungguh inilah cara salat beliau hingga
beliau meninggalkan dunia ini [Ṭabrāni].
Takhrīj:
Aṭ-Ṭabrānī, Abu al-Qasim Sulaiman ibn Aḥmad, Musnad asy-Syāmiyyin, editor: Muhamamd Abdul Majīd as-Salafi (Beirut: Mu’assasah ar-risālah, 1996), hadis no. 3135, vol. IV, hlm. 221, “Syu‘aib ‘an az-Zuhri ‘an Abī Bakr ibn Abdur Raḥman ibn al-Ḥāris ibn Hisyām”.
Aṭ-Ṭabrānī, Abu al-Qasim Sulaiman ibn Aḥmad, Musnad asy-Syāmiyyin, editor: Muhamamd Abdul Majīd as-Salafi (Beirut: Mu’assasah ar-risālah, 1996), hadis no. 3135, vol. IV, hlm. 221, “Syu‘aib ‘an az-Zuhri ‘an Abī Bakr ibn Abdur Raḥman ibn al-Ḥāris ibn Hisyām”.
Nas
no 9
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ
أَخْبَرَنِى ابْنُ شِهَابٍ عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ
يَرْكَعُ ثُمَّ يَقُولُ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ». حِينَ يَرْفَعُ
صُلْبَهُ مِنَ الرُّكُوعِ ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ « رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ ». ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِى سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ
يَرْفَعُ رَأْسَهُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ
رَأْسَهُ ثُمَّ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ فِى الصَّلاَةِ كُلِّهَا حَتَّى
يَقْضِيَهَا وَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنَ الْمَثْنَى بَعْدَ الْجُلُوسِ
ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ إِنِّى لأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم
[رواه مسلم]
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibn Rāfi‘, telah menceritakan kepada
kami Abdur Razzāq, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, telah mengabarkan
kepadaku Ibnu Syihab, dari Abu Bakar ibn Abdur Raḥmān bahwasanya ia mendengar
Abu Hurairah berkata: adalah Rasullulah saw apabila berdiri untuk melakukan
salat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika rukuk,
kemudian membaca “sami‘allāhu liman ḥamidah”,
ketika mengangkat punggungnya dari rukuk. Kemudian beliau membaca ketika
berdiri “rabbana wa-lakal ḥamd”. Kemudian beliau bertakbir ketika
menunduk untuk sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian
bertakbir ketika sujud. Kemudian beliau bertakbir ketika mengangkat kepalanya
(dari sujud). Beliau melakukan hal tersebut di semua (rakaat) sampai selesai
salat. Beliau juga bertakbir ketika berdiri dari rakaat kedua setelah duduk.
Kemudian Abu Hurairah mengatakan: sesungguhnya aku adalah orang yang paling
mirip di antara kalian dengan salat Rasulullah [Muslim].
Takhrīj:
Muslim ibn Hajjaj al-Naysaburi, Ṣaḥīḥ Muslim, hadis no. 392, hlm. 168, kitab “kitābu ṣalāt”, bab “at-takbīr fi kulli khafḍ wa-raf‘ fiṣ-ṣalāh illa raf‘uhu min ar-rukū‘ fa yaqūlu fīhi sami‘allāhu liman ḥamidah”.
Muslim ibn Hajjaj al-Naysaburi, Ṣaḥīḥ Muslim, hadis no. 392, hlm. 168, kitab “kitābu ṣalāt”, bab “at-takbīr fi kulli khafḍ wa-raf‘ fiṣ-ṣalāh illa raf‘uhu min ar-rukū‘ fa yaqūlu fīhi sami‘allāhu liman ḥamidah”.
Nas
no 10
حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ حَدَّثَنَا أَبِى وَبَقِيَّةُ عَنْ شُعَيْبٍ عَنِ
الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَأَبُو
سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُكَبِّرُ فِى كُلِّ صَلاَةٍ مِنَ
الْمَكْتُوبَةِ وَغَيْرِهَا يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ
يَرْكَعُ ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ يَقُولُ رَبَّنَا
وَلَكَ الْحَمْدُ قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ حِينَ
يَهْوِى سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ
يَسْجُدُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ
يَقُومُ مِنَ الْجُلُوسِ فِى اثْنَتَيْنِ فَيَفْعَلُ ذَلِكَ فِى كُلِّ
رَكْعَةٍ حَتَّى يَفْرُغَ مِنَ الصَّلاَةِ ثُمَّ يَقُولُ حِينَ يَنْصَرِفُ
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَقْرَبُكُمْ شَبَهًا بِصَلاَةِ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنْ كَانَتْ هَذِهِ لَصَلاَتُهُ حَتَّى فَارَقَ
الدُّنْيَا
[رواه أبو
داود]
]Telah
menceritakan kepada kami Amr bin Uṡman, telah menceritakan kepada kami ayahku
dan Baqiyyah dari Syu‘aib dari Zuhri, ia berkata: telah mengabarkan kepadaku
Abu Bakar bin Abdur Raḥmān dan Abu Salamah bahwasanya Abu Hurairah bertakbir
pada setiap salat wajib dan salat lainnya. Ia bertakbir ketika berdiri kemudian
bertakbir ketika rukuk, kemudian membaca “sami‘allāhu
liman ḥamidah”, kemudian mengucapkan “rabbanā wa-lakal ḥamd” sebelum
bersujud. Kemudian mengucapkan “allahu akbar” ketika tunduk sujud,
kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudia bertakbir ketika sujud,
kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir ketika
bangun dari duduk di rakaat kedua. Ia melakukan hal tersebut di setiap
rakaat, sampai selesai salatnya. Kemudian ia berkata ketika berpaling: Demi Zat
yang aku ada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku paling dekat kemiripannya di
antara kalian salatnya dengan salat Rasulullah saw. Sungguh inilah cara salat
beliau hingga beliau meninggalkan dunia ini. [Abu Dawud].
Takhrīj:
Abū Dāwud as-Sijistāni, Sulaiman ibn Asy‘aṡ, Sunan Abī Dāwud (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005), hadis no. 836, hlm. 1409, kitab “aṣ-Ṣalāt”, bab “fiy tamām at-takbīr”.
Abū Dāwud as-Sijistāni, Sulaiman ibn Asy‘aṡ, Sunan Abī Dāwud (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005), hadis no. 836, hlm. 1409, kitab “aṣ-Ṣalāt”, bab “fiy tamām at-takbīr”.
Nas
no 11
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِى
سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُصَلِّى بِنَا فَيُكَبِّرُ
حِينَ يَقُومُ وَحِينَ يَرْكَعُ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ بَعْدَ مَا
يَرْفَعُ مِنَ الرُّكُوعِ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ بَعْدَ مَا يَرْفَعُ مِنَ
السُّجُودِ وَإِذَا جَلَسَ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْفَعَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ
كَبَّرَ وَيُكَبِّرُ مِثْلَ ذَلِكَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الأُخْرَيَيْنِ
فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَقْرَبُكُمْ شَبَهاً
بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْنِى صَلاَتَهُ مَا زَالَتْ هَذِهِ
صَلاَتُهُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
[رواه احمد]
Telah
menceritakan kepada kami Abdur Razaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar,
dari Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdur Rahman ia berkata: Adalah Abu Hurairah
salat mengimami kami. Ia bertakbir ketika berdiri, ketika rukuk, ketika ia
hendak sujud setelah mengangkat (kepala) dari ruku, ketika ia hendak sujud
setelah mengangkat (kepala) dari sujud, ketika ia duduk. Ketika hendak
berangkat dari rakaat yang kedua ia bertakbir. Demikian juga ia bertakbir
seperti itu pada dua rakaat sisanya. Ketika ia telah selesai salam, ia berkata:
Demi Zat yang aku ada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang
paling dekat kemiripannya dengan Rasulullah saw (yaitu dalam hal salatnya).
Seperti inilah senantiasa salat Rasulullah sampai beliau meninggal dunia [Ahmad].
Takhrīj:
Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal, Al-Musnad, editor Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dār al-Ḥadīṡ, 1995), “Musnad Abī Hurairah”, hadis no. 7644, vol. VII, hlm. 384.
Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal, Al-Musnad, editor Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dār al-Ḥadīṡ, 1995), “Musnad Abī Hurairah”, hadis no. 7644, vol. VII, hlm. 384.
Nas no 12
أَخْبَرَنَا
نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ وَسَوَّارُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَوَّارٍ قَالَا
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
أَنَّهُمَا صَلَّيَا خَلْفَ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَلَمَّا
رَكَعَ كَبَّرَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ وَكَبَّرَ وَرَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ
ثُمَّ كَبَّرَ حِينَ قَامَ مِنْ الرَّكْعَةِ ثُمَّ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ إِنِّي لَأَقْرَبُكُمْ شَبَهًا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا زَالَتْ هَذِهِ صَلَاتُهُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.
وَاللَّفْظُ لِسَوَّارٍ
[رواه
النسائى]
Telah
mengabarkan kepada kami Naṣr bin Ali dan Sawwar bin Abdullah bin Sawwar, mereka
berdua berkata, telah bercerita kepada kami Abdul A’la dari Ma’mar, dari
Zuhri, dari Abu bakar bin Abdur Rahman dan Abu Salamah bin Abdur Rahman bahwa
keduanya salat di belakang Abu Hurairah ra. Ketika rukuk, Abu Hurairah
bertakbir, ketika ia mengangkat kepalanya ia mengucapkan “sami‘allāhu liman
ḥamidah, rabbanā wa-lakal ḥamd”. Kemudian ia sujud dan bertakbir, ia
mengangkat kepalanya dan bertakbir, kemudian ia bertakbir ketika berdiri
dari satu rakaat. Kemudian ia berkata: Demi Zat yang aku ada di tangan-Nya,
sesungguhnya aku adalah orang paling dekat di antara kalian kemiripannya
dengan Rasulullah saw. Seperti inilah senantiasa salat Rasulullah sampai beliau
meninggal dunia. Lafal milik Sawwar [Nasai].
Takhrīj:
An-Nasā’ī, Abū Abdurraḥman Aḥmad ibn Syu‘aib, Sunan an-Nasā’ī, editor Nāṣiruddin al-Albāni (Riyāḍ: Maktabah al-Ma’ārif li al-Nasyr wa at-tauzī’, tth), hadis no. 1156, vol. hlm. 188, kitab “at-taṭbīq”, bab “at-takbīr li al-nuhūḍ”; hadis 1150 bab “raf’u al-yadain li ar-ruku‘ ḥiżā furu‘i al-użunain”; hadis no 1023, bab “at-takbir li ar-rukū‘”.
An-Nasā’ī, Abū Abdurraḥman Aḥmad ibn Syu‘aib, Sunan an-Nasā’ī, editor Nāṣiruddin al-Albāni (Riyāḍ: Maktabah al-Ma’ārif li al-Nasyr wa at-tauzī’, tth), hadis no. 1156, vol. hlm. 188, kitab “at-taṭbīq”, bab “at-takbīr li al-nuhūḍ”; hadis 1150 bab “raf’u al-yadain li ar-ruku‘ ḥiżā furu‘i al-użunain”; hadis no 1023, bab “at-takbir li ar-rukū‘”.
Nas
no 13
أَخْبَرَنَا
نَصْرُ بْنُ عَلِىٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ
عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَعَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ: أَنَّهُمَا صَلَّيَا خَلْفَ أَبِى هُرَيْرَةَ فَلَمَّا رَكَعَ كَبَّرَ
، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، ثُمَّ قَالَ:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. ثُمَّ سَجَدَ وَكَبَّرَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ
وَكَبَّرَ ، ثُمَّ كَبَّرَ حِينَ قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ:
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَقْرَبُكُمْ شَبَهاً بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- مَا زَالَ هَذِهِ صَلاَتُهُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
[رواه
الدارمي]
Telah
mengabarkan kepada kami Naṣr ibn Ali, telah menceritakan kepada kami Abdul
A’la, dari Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Bakar bin Abdur Rahman, dari Abu
Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa keduanya salat di belakang Abu Hurairah.
Ketika ia rukuk, ia bertakbir. Ketika mengangkat kepalanya ia mengucapkan sami‘allāhu
liman ḥamidah, kemudian mengucapkan: rabbanā wa-lakal ḥamd. Kemudia
ia sujud dan bertakbir dan mengangkat kepalanya dan takbir. Kemudian ia
bertakbir ketika berdiri dari rakaat kedua. Kemudian Abu Hurairah
mengatakan: demi Zat yang aku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang
paling dekat di antara kalian kemiripannya dengan Rasulullah saw. Seperti
inilah senantiasa salat Rasulullah sampai beliau meninggal dunia [Darimi].
Takhrīj:
Ad-Dārimi, Abū Muḥammad ‘Abdullah ibn Abdurraḥman, editor Ḥusain Sālim Asad al-Dārani (Arab Saudi: Dār al-Mughnī lin-Nasyr wat-Tauzī‘, 1421 H/1421 M), hadis no. 1283, vol. II, hlm. 794, kitab “aṣ-ṣalāh” bab “at-takbīr ‘inda kulli khafḍ wa–raf‘”.
Ad-Dārimi, Abū Muḥammad ‘Abdullah ibn Abdurraḥman, editor Ḥusain Sālim Asad al-Dārani (Arab Saudi: Dār al-Mughnī lin-Nasyr wat-Tauzī‘, 1421 H/1421 M), hadis no. 1283, vol. II, hlm. 794, kitab “aṣ-ṣalāh” bab “at-takbīr ‘inda kulli khafḍ wa–raf‘”.
Nas
no 14
أخبرنا أبو
طاهر نا أبو بكر نا محمد بن رافع نا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن الزهري عن أبي سلمة
بن عبد الرحمن قال: كان أبو هريرة يصلي بنا فيكبر حين يقوم وحين يركع وإذا أراد أن
يسجد وبعد ما يرفع من الركوع وإذا أراد أن يسجد بعد ما يرفع من السجود وإذا جلس وإذا
أراد أن يقوم في الركعتين كبر ويكبر مثل ذلك في الركعتين الأخريين فإذا سلم
قال: والذي نفسي بيده إني لأقربكم شبها برسول الله صلى الله عليه و سلم – يعني
صلاته – ما زالت هذه صلاته حتى فارق الدنيا
[رواه ابن
خزيمة]
Telah
mengabarkan kepada kami Abū Ṭāhir, telah menceritakan kepada
kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi’, telah
menceritakan kepada kami Abdur Razaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar,
dari Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdur Rahman, ia berkata: Adalah Abu Hurairah
salat bersama kami. Ia bertakbir ketika berdiri, ketika rukuk, ketika hendak
sujud, setelah selesai dari sujud, ketika duduk. Ketika hendak bangkit dari
rakaat kedua ia bertakbir. Ia bertakbir seperti itu juga pada dua rakaat
sisanya. Ketika selesai salam ia mengatakan: Demi Zat yang aku ada di
tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang paling dekat di antara kalian
kemiripannya dengan Rasulullah saw, maksudnya dalam hal salat. Seperti inilah
senantiasa salat Rasulullah sampai beliau meninggal dunia [Ibnu
Khuzaimah].
Takhrīj:
Ibn Khuzaimah ibn as-Salam al-Naisāburiy, Abū Bakar Muḥammad ibn Isḥāq, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, editor Musṭafā A‘ẓami (Beirut: al-Maktab al-Islāmiy, 1980), hadis no. 579, hlm. 291. Bab “żikr ad-dalīl ‘alā anna hāżihi al-lafẓah allatī żakarathā lafẓ ‘ām murāduhu khās wa anna al-nabiyya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam innamā yukabbiru fi ba‘ḍi ar-raf‘i lā fi kullihā lam yukabbir ṣallallāhu ‘alaihi wa-sallam ‘inda raf‘ihi raksahu ‘an ar-rukū‘ wa innamā yukabbiru fi kulli raf‘in khalā ‘inda raf‘ihi raksahu min ar-rukū‘”.
Ibn Khuzaimah ibn as-Salam al-Naisāburiy, Abū Bakar Muḥammad ibn Isḥāq, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, editor Musṭafā A‘ẓami (Beirut: al-Maktab al-Islāmiy, 1980), hadis no. 579, hlm. 291. Bab “żikr ad-dalīl ‘alā anna hāżihi al-lafẓah allatī żakarathā lafẓ ‘ām murāduhu khās wa anna al-nabiyya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam innamā yukabbiru fi ba‘ḍi ar-raf‘i lā fi kullihā lam yukabbir ṣallallāhu ‘alaihi wa-sallam ‘inda raf‘ihi raksahu ‘an ar-rukū‘ wa innamā yukabbiru fi kulli raf‘in khalā ‘inda raf‘ihi raksahu min ar-rukū‘”.
Nas
no 15
حَدَّثَنَا
الدَّبَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: أنبا مَعْمَرٌ، عَنِ
الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، قَالَ: كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُصَلِّي بِنَا
فَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ وَحِينَ يَرْكَعُ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ
بَعْدَ مَا يَفْرُغُ مِنَ الرُّكُوعِ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ بَعْدَ مَا
يَرْفَعُ مِنَ السُّجُودِ، وَإِذَا جَلَسَ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ فِي
الرَّكْعَتَيْنِ كَبَّرَ، وَيُكَبِّرُ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ
الأُخْرَيَيْنِ، فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنِّي
لأَقْرَبُكُمْ شَبَهًا بِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -، يَعْنِي
صَلاتَهُ، مَا زَالَتْ هَذِهِ صَلاتُهُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
[رواه أبو
عوانة]
Telah
menceritakan kepada kami ad-Dabari, telah menceritakan kepada kami Abdur Razāq,
telah mengabarkan Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdur Rahman, ia
berkata: Adalah Abu Hurairah salat bersama kami. Ia bertakbir ketika berdiri,
ketika rukuk, ketika hendak sujud, setelah selesai dari sujud, ketika duduk. Ketika
hendak bangkit dari rakaat kedua ia bertakbir. Ia bertakbir seperti itu
juga pada dua rakaat sisanya. Ketika selesai salam ia mengatakan, demi Zat yang
aku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang paling dekat di antara
kalian kemiripannya dengan Rasulullah saw, maksudnya dalam hal salat. Seperti
inilah senantiasa salat Rasulullah sampai beliau meninggal dunia [Abu
‘Awānah].
Takhrīj:
Abū ‘Awwānah Ya’qūb ibn Isḥāq, Musnad Abi ‘Awwānah, editor Ayman ibn ‘Ārif ad-Dimasyqi (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1998), hadis no. 1591, vol. I, hlm. 427, kitab “aṣ-ṣalawāt”, bab “bayān at-takbīr fi aṣ-ṣalāh fi kulli raf’in wa khafdlin”.
Abū ‘Awwānah Ya’qūb ibn Isḥāq, Musnad Abi ‘Awwānah, editor Ayman ibn ‘Ārif ad-Dimasyqi (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1998), hadis no. 1591, vol. I, hlm. 427, kitab “aṣ-ṣalawāt”, bab “bayān at-takbīr fi aṣ-ṣalāh fi kulli raf’in wa khafdlin”.
Nas
no 16
عبد الرزاق
عن معمر عن الزهري عن أبي سلمة بن عبد الرحمن قال كان أبو هريرة يكبر بنا فيكبر
حين يقوم وحين يركع وإذا أراد أن يسجد و بعد ما يفرغ من السجود وإذا جلس وإذا
أراد أن يقوم في الركعتين يكبر ويكبر مثل ذلك في الركعتين الأخريين وإذا سلم
قال والذي نفسي بيده إني لأقربكم شبها برسول الله صلى الله عليه و سلم يعني في
الصلاة ما زالت هذه صلاته حتى فارق الدنيا
[رواه عبد
الرزاق]
Dari
Abdur Razaq, dari Ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdur Rahman, ia
berkata. Adalah Abu Hurairah bertakbir (ketika salat) bersama kami. Ia
bertakbir ketika berdiri, ketika rukuk, ketika hendak sujud, setelah selesai
dari sujud, ketika duduk. Ketika hendak bangkit dari rakaat kedua ia bertakbir.
Dan ia bertakbir seperti itu juga pada dua rakaat sisanya. Ketika selesai
salami a mengatakan, demi Zat yang aku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku
adalah orang paling dekat diantara kalian kemiripannya dengan Rasulullah saw
maksudnya dalam hal salat. Seperti inilah senantiasa salat Rasulullah sampai
beliau meninggal dunia [Abdur Razaq]
Takhrīj:
Abū Bakr Abdur Razaq, al-Mushannaf, editor Habiburraḥmān al-A’zhami. Majlis Ilmi, hadis no. 2495, vol. II, hlm. 61, kitab “aṣ-ṣalāh”, bab “at-takbīr”.
Abū Bakr Abdur Razaq, al-Mushannaf, editor Habiburraḥmān al-A’zhami. Majlis Ilmi, hadis no. 2495, vol. II, hlm. 61, kitab “aṣ-ṣalāh”, bab “at-takbīr”.
Nas
no 17
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ الْمَرْوَزِىُّ قَالَ سَمِعْتُ عَلِىَّ بْنَ
الْحَسَنِ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنِ ابْنِ
جُرَيْجٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُكَبِّرُ وَهُوَ
يَهْوِى. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
[رواه
الترمذى]
Telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibn Munir al-Marwazi, ia
berkata, aku mendengar Ali ibn al-Ḥasan, ia berkata telah mengabarkan kepada
kami Abdullah ibn al-Mubārak, dari Ibnu Juraij dari az-Zuhri, dari Abu Bakar
ibn Abdur Rahman, dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw bertakbir ketika beliau
sujud. Abu ‘Isā mengatakan: ini adalah hadis hasan sahih [Tirmīżī].
Takhrīj:
At-Tirmīżī, Muḥammad ibn ‘Īsā (Riyāḍ: Dār al-Salām, 1999), hadis no. 254, hlm. 70, kitab “aṣ-ṣalat”, bab “mā jā’a fi at-takbīr ‘inda ar-rukū’ was-sujūd”.
At-Tirmīżī, Muḥammad ibn ‘Īsā (Riyāḍ: Dār al-Salām, 1999), hadis no. 254, hlm. 70, kitab “aṣ-ṣalat”, bab “mā jā’a fi at-takbīr ‘inda ar-rukū’ was-sujūd”.
Nas
no 18
1767 –
أخبرنا الحسن بن سفيان قال: حدثنا حبان بن موسى قال: أخبرنا عبد الله قال: أخبرنا
يونس بن يزيد عن الزهري عن أبي سلمة: أن أبا هريرة حين استخلفه مروان على المدينة
كان إذا قام إلى الصلاة المكتوبة كبر ثم يكبر حين يركع فإذا رفع رأسه من
الركوع قال: سمع الله لمن حمده ربنا ولك الحمد ثم يكبر حين يهوي ساجدا ثم يكبر حين
يقوم بين الثنتين بعد التشهد ثم يفعل مثل ذلك حتى يقضي صلاته فإذا قضى صلاته وسلم
أقبل على أهل المسجد فقال: والذي نفسي بيده إني لأشبهكم صلاة برسول الله صلى الله
عليه و سلم
[رواه ابن
حبان]
Telah
mengabarkan kepada kami al-Ḥasan ibn Sufyan, ia berkata, telah menceritakan
kepada kami Ḥibbān ibn Mūsā ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdullah,
ia berkata, telah mengabarkan Yunus ibn Yazid dari az-Zuhri, dari Abu Salamah,
bahwasanya Abu Hurairah ketika ditunjuk oleh Marwan sebagai gubernur Madinah, apabila
berdiri melakukan salat wajib ia bertakbir, kemudian bertakbir ketika
rukuk. Apabila mengangkat kepalanya dari rukuk ia mengucapkan: sami‘allāhu
liman ḥamidah, rabbanā wa-lakal ḥamd. Kemudian ia bertakbir ketika tunduk
sujud, kemudian bertakbir ketika berdiri dari rakaat kedua setelah tasyahud. Ia
melakukan hal itu sampai ia menyelesaikan salatnya. Ketika salatnya selesai dan
selesai mengucapkan salat, ia menghadap ke arah jamaah masjid. Ia berkata: Demi
Zat yang aku ada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang
paling mirip dengan salat Rasulullah saw. [Ibnu Ḥibbān]
Takhrīj:
Muḥammad ibn Ḥibbān. Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān bi Tartīb Ibni Balbān, editor Syu‘aib al-Arnāuṭ (Beirut: Mu’assasah ar-risālah, 1993), hadis no. 1767, hlm. 63, kitab “aṣ-ṣalāt”, bab “ṣifat aṣ-ṣalāt”.
Muḥammad ibn Ḥibbān. Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān bi Tartīb Ibni Balbān, editor Syu‘aib al-Arnāuṭ (Beirut: Mu’assasah ar-risālah, 1993), hadis no. 1767, hlm. 63, kitab “aṣ-ṣalāt”, bab “ṣifat aṣ-ṣalāt”.
Nas
no 19
وَحَدَّثَنِى
عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَوْفٍ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُصَلِّى لَهُمْ فَيُكَبِّرُ
كُلَّمَا خَفَضَ وَرَفَعَ فَإِذَا انْصَرَفَ قَالَ وَاللَّهِ إِنِّى لأَشْبَهُكُمْ
بِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
[رواه مالك]
Telah
menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abu Salamah ibn Abdur
Rahman ibn ‘Auf bahwasanya Abu Hurairah salat mengimami mereka. Ia bertakbir
setiap kali sujud dan berdiri. Ketika beliau selesai, beliau berkata: Demi
Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip dengan salat Rasulullah
saw [Malik].
Takhrīj:
Mālik ibn Anas, Kitāb al-Muwaṭṭa’ (Beirut: Dār al-Fikr, 1987), hadis no. 20, hlm. 63, kitab “aṣ-ṣalāt”, bab “iftitāḥ aṣ-ṣalat”.
Mālik ibn Anas, Kitāb al-Muwaṭṭa’ (Beirut: Dār al-Fikr, 1987), hadis no. 20, hlm. 63, kitab “aṣ-ṣalāt”, bab “iftitāḥ aṣ-ṣalat”.
Nas
no 20
حدثنا سفيان
بن وكيع ، حدثنا أبي ، حدثنا يحيى بن عمير المديني قال: سمعت سعيدا المقبري يقول: صلى
بنا أبو هريرة فكان يكبر كلما رفع وسجد ، فلما انصرف قال: هكذا كان رسول الله صلى
الله عليه وسلم يصلي بنا
[رواه أبو
يعلى الموصلى]
Telah
menceritakan kepada kami Sufyan ibn Waki’, telah menceritakan kepada kami
ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Umair al-Madini, ia berkata:
aku telah mendengar Sa‘id al-Maqbariy sedang berkata: Abu Hurairah salat
(mengimami) kami. Ia bertakbir setiap kali berdiri dan sujud. Ketika ia selesai
salat ia berkata: “Beginilah Rasulullah salat mengimami kami”. [Abū
Ya’lā al-Mūṣili].
Takhrīj:
Abū Ya’lā, Aḥmad ibn ‘Ali ibn Mustannā ibn at-Tamīmi (Damaskus dan Beirut: Dār al-Makmūn li at-Turāṡ, 1987), hadis no. 6615, hlm. 492, kitab “Tābi’ Musnad Abī Hurairah”.
Abū Ya’lā, Aḥmad ibn ‘Ali ibn Mustannā ibn at-Tamīmi (Damaskus dan Beirut: Dār al-Makmūn li at-Turāṡ, 1987), hadis no. 6615, hlm. 492, kitab “Tābi’ Musnad Abī Hurairah”.
Nas
no 21
أخبرنا
الربيع قال أخبرنا الشافعي قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن أبى سلمة أن أبا هريرة
كان يصلى لهم فيكبر كلما خفض ورفع فإذا انصرف قال والله إنى لاشبهكم صلاة برسول
الله صلى الله عليه وسلم
[رواه
الشافعى]
Telah
mengabarkan kepada kami Rabi‘, telah mengabarkan kepada kami asy-Syafi‘i, ia
berkata telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abu
Salamah, bahwasanya Abu Hurairah pernah salat bersama mereka. Ia bertakbir
setiap kali rukuk/sujud dan bangun. Ketika ia menghadap (ke jamaah) ia berkata:
Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang paling mirip salatnya dengan salat
Rasulullah saw [asy-Syāfi‘i].
Takhrīj:
Asy-Syāfi‘I, Muhammad ibn Idrīs, Al-Umm (Al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 2005), vol. II, hadis no. 221, hlm. 251-2, kitab “aṣ-ṣalāh”, bab “at-takbīr lir-rukū’ wa ghairih”.
Ragam Pelaksanaan Salat Tarawih
Asy-Syāfi‘I, Muhammad ibn Idrīs, Al-Umm (Al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 2005), vol. II, hadis no. 221, hlm. 251-2, kitab “aṣ-ṣalāh”, bab “at-takbīr lir-rukū’ wa ghairih”.
Ragam Pelaksanaan Salat Tarawih
Nas
no 22
عَنْ
قَتَادَةَ قَالَ: يُصَلِّى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهِنَّ إِلاَّ عِنْدَ
الثَّامِنَةِ فَيَجْلِسُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ يَدْعُو ثُمَّ
يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ بَعْدَ
مَا يُسَلِّمُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَةً فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا
بُنَىَّ فَلَمَّا أَسَنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَخَذَ
اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ بَعْدَ مَا
يُسَلِّمُ
[رواه أبو
داود]
Dari
Qatadah ia berkata: (Nabi Saw) salat delapan rakaat, beliau tidak duduk kecuali
pada rakaat yang ke 8. Beliau duduk sambil zikir kepada Allah, kemudian berdoa,
lalu salam, sehingga kami dapat mendengar salamnya itu. Kemudian beliau salat
lagi dua rakaat sambil duduk lalu salam. Kemudian beliau salat satu rakaat.
Maka jadilah ia 11 rakaat. Setelah Rasululullah berusia lanjut dan bertambah
berat badannya, beliau kerjakan salat witir (lail dan witir) 7 rakaat. Kemudian
melakukan salat 2 rakaat dengan cara duduk sesudah salam. [Abu
Dawud].
Takhrīj:
Abū Dāwud as-Sijistani, Sulaiman ibn Asy’aṡ, Sunan Abī Dāwud, hadis no. 1343, hlm. 162, kitab “at-taṭawwu‘”, bab “fi ṣalat al-layl”.
Abū Dāwud as-Sijistani, Sulaiman ibn Asy’aṡ, Sunan Abī Dāwud, hadis no. 1343, hlm. 162, kitab “at-taṭawwu‘”, bab “fi ṣalat al-layl”.
Nas
no 23
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِى قَيْسٍ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ رضى الله عنها: بِكَمْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ قَالَتْ: كَانَ يُوتِرُ بِأَرْبَعٍ
وَثَلاَثٍ وَسِتٍّ وَثَلاَثٍ وَثَمَانٍ وَثَلاَثٍ وَعَشْرٍ وَثَلاَثٍ وَلَمْ
يَكُنْ يُوتِرُ بِأَنْقَصَ مِنْ سَبْعٍ وَلاَ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ
[رواه أبو
داود]
Dari
Abdullah bin Abi Qais, ia berkata, aku bertanya kepada Aisyah ra: Berapa rakaat
Rasulullah salat witir (lail dan witir). Beliau menjawab: Rasulullah salat
witir (salat lail dan witir) 4 dan 3 rakaat atau 6 rakaat dan 3 rakaat atau 8
dan 3 rakaat atau 10 dan 3 rakaat. Rasulullah tidak pernah melakukan salat
witir (lail dan witir) kurang dari 7 rakaat dan tidak lebih dari 13 rakaat [Abu
Dawud].
Takhrīj:
Abū Dāwud as-Sijistani, Sulaiman ibn Asy’aṡ, Sunan Abī Dāwud, hadis no. 1362, hlm. 164, kitab “at-taṭawwu‘”, bab “fi ṣalāti al-layl”.
Abū Dāwud as-Sijistani, Sulaiman ibn Asy’aṡ, Sunan Abī Dāwud, hadis no. 1362, hlm. 164, kitab “at-taṭawwu‘”, bab “fi ṣalāti al-layl”.
Nas
no 24
عَنْ أَبِى
سَلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ
رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا
أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ
النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ
[رواه مسلم]
Dari
Abu Salamah, ia berkata. Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat Rasulullah
saw Beliau menjawab, Rasulullah saw 13 rakaat; salat (lail) 8 rakaat, salat
witir (3 rakaat), kemudian salat (sunah fajar) 2 rakaat dengan cara duduk.
Apabila beliau ingin rukuk, beliau berdiri kemudian rukuk dan melakukan salat
dua rakaat antara azan dan ikamah untuk salat subuh [Muslim].
Takhrīj:
Muslim ibn Ḥajjāj al-Naysāburi, Ṣaḥīḥ Muslim, hadis no. 738, hlm. 291, kitab “kitāb ṣalāt”, bab “ṣalāt al-layl wa ‘adadu raka’āt”.
Muslim ibn Ḥajjāj al-Naysāburi, Ṣaḥīḥ Muslim, hadis no. 738, hlm. 291, kitab “kitāb ṣalāt”, bab “ṣalāt al-layl wa ‘adadu raka’āt”.
Nas
no 25
قَالَ (سعد
بن هشام بن عامر) قُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْبِئِينِى عَنْ وِتْرِ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَقَالَتْ كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ
وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ
فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا
إِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ
يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ
فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا
يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ
فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَىَّ فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِىُّ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِى
الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الأَوَّلِ فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَىَّ وَكَانَ نَبِىُّ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
[رواه مسلم]
(Sa‘ad
bin Hisyam bin Amir) berkata, aku bertanya: Wahai Ummul
Mukminin (Aisyah), beritahukan padaku tentang witir (salat lail dan witir)
Rasulullah saw, maka beliau menjawab: kami menyiapkan untuk Rasulullah siwaknya
dan perlengkapan bersuci. Kemudian Allah membangunkannya di waktu yang Dia
inginkan pada malam hari, lalu Rasulullah bersiwak, berwudu, dan salat 9
rakaat. Rasulullah tidak duduk dalam salat tersebut kecuali pada rakaat ke-8.
Rasulullah mengingat dan memuji Allah serta berdoa kepada-Nya. Kemudian beliau
bangkit dan tidak mengucapkan salam. Rasulullah berdiri untuk rakaat yang ke-9,
kemudian duduk bezikir kepada Allah, memuji-Nya, dan berdoa kepada-Nya,
kemudian salam sehingga kami mendengar salam itu. Kemudian setelah itu beliau
salat lagi 2 rakaat sambil duduk. Maka jadilah salat itu 11 rakaat [Muslim].
Takhrīj:
Muslim ibn Hajjaj al-Naysaburi, Ṣaḥīḥ Muslim, hadis no. 746, hlm. 293, kitab “kitāb ṣalāt”, bab “jāmi’ ṣalāt al-layl wa man nāma”.
Muslim ibn Hajjaj al-Naysaburi, Ṣaḥīḥ Muslim, hadis no. 746, hlm. 293, kitab “kitāb ṣalāt”, bab “jāmi’ ṣalāt al-layl wa man nāma”.
Nas
no 26
قَالَ (سعد
بن هشام بن عامر) قُلْتُ: حَدِّثِينِى عَنْ وِتْرِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم-. قَالَتْ: كَانَ يُوتِرُ بِثَمَانِ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ إِلاَّ فِى
الثَّامِنَةِ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى رَكْعَةً أُخْرَى لاَ يَجْلِسُ إِلاَّ فِى
الثَّامِنَةِ وَالتَّاسِعَةِ وَلاَ يُسَلِّمُ إِلاَّ فِى التَّاسِعَةِ ثُمَّ
يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا
بُنَىَّ فَلَمَّا أَسَنَّ وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعِ رَكَعَاتٍ لَمْ
يَجْلِسْ إِلاَّ فِى السَّادِسَةِ وَالسَّابِعَةِ وَلَمْ يُسَلِّمْ إِلاَّ فِى
السَّابِعَةِ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَتِلْكَ هِىَ تِسْعُ
رَكَعَاتٍ يَا بُنَىَّ
[رواه أبو
داود]
Sa‘ad
bin Hisyam bin Amir berkata, aku bertanya: (wahai Ummul
Mukminin Aisyah), beritahukan kepadaku tentang witir (salat lail dan witir)
Rasulullah saw. Beliau menjawab: Rasulullah melaksanakan salat witir (lail)
sebanyak 8 rakaat. Beliau tidak duduk (taḥiyyat) kecuali pada rakaat ke-8.
Kemudian beliau berdiri dan melaksanakan salat 1 rakaat lagi. Beliau tidak
duduk kecuali pada rakaat yang ke-8 dan ke-9. Kemudian beliau salat 2 rakaat
lagi sambil duduk. Maka jadilah salat itu sebelas rakaat [Abu Dawud].
Takhrīj:
Abū Dāwud as-Sijistani, Sulaiman ibn Asy‘aṡ, Sunan Abī Dāwud, hadis no. 1342, hlm. 162, kitab “at-taṭawwu”, bab “fiy ṣalāti al-layl”.
Abū Dāwud as-Sijistani, Sulaiman ibn Asy‘aṡ, Sunan Abī Dāwud, hadis no. 1342, hlm. 162, kitab “at-taṭawwu”, bab “fiy ṣalāti al-layl”.
Witir
3 Rakaat tidak Menggunakan Tasyahud
Nas
no 27
عن أبي هريرة
عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال: لا توتروا بثلاث أوتروا بخمس أو بسبع
ولا تشبهوا بصلاة المغرب
[رواه ابن
ماجه و الحاكم و البيهقى قال شعيب الأرنؤوط: إسناده صحيح على شرط مسلم]
Dari
Abu Hurairah, dari Rasulullah saw bahwasanya ia berkata: Janganlah kalian
melakukan witir 3 rakaat, akan tetapi lakukanlah witir 5 rakaat atau 7 rakaat.
Jangan samakan witir dengan salat magrib. [Ibnu
Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi. Menurut Syu‘aib al-Arnauṭ: Sanadnya
sahih sesuai syarat Muslim].
Nas
no 28
عَنْ أُبَيِّ
بْنِ كَعْبٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَفِي الرَّكْعَةِ
الثَّانِيَةِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَفِي الثَّالِثَةِ بِقُلْ هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ وَلَا يُسَلِّمُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ وَيَقُولُ يَعْنِي بَعْدَ
التَّسْلِيمِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا
[رواه
النسائى]
Dari
Ubay bin Ka’ab, ia berkata: Rasulullah saw membaca dalam salat witir “sabbiḥisma
rabikal a‘lā”, pada rakaat kedua membaca “qul yā ayyuhal kāfirūn”,
pada rakaat ketiga “qul huwallāhu aḥad”. Rasulullah tidak salam kecuali
di akhir salat. Setelah salat Rasulullah mengucapkan “subḥānal malikil quddūs”.
[Nasai].
Takhrīj:
An-Nasā’ī, Abdurrahman ibn Ahmad, Sunan an-Nasā’ī, hadis no. 1700, hlm. 278, kitab “qiyām al-layl wa taṭawu‘ an-nahr” bab “at-takbīr li al-nuhūḍ”.
Witir Lebih dari 3 Rakaat yang Tidak Menggunakan Tasyahud
An-Nasā’ī, Abdurrahman ibn Ahmad, Sunan an-Nasā’ī, hadis no. 1700, hlm. 278, kitab “qiyām al-layl wa taṭawu‘ an-nahr” bab “at-takbīr li al-nuhūḍ”.
Witir Lebih dari 3 Rakaat yang Tidak Menggunakan Tasyahud
Nas
no 29
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ
اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ
فِى شَىْءٍ إِلاَّ فِى آخِرِهَا
[رواه مسلم]
Dari
Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah saw salat di waktu malam tiga belas
rakaat, dengan witir 5 rakaat di mana ia tidak duduk dalam rakaat mana pun
kecuali pada rakaat terakhir [Muslim].
Takhrīj:
Muslim ibn Hajjaj al-Naysaburi, Ṣaḥīḥ Muslim, hadis no. 737, hlm. 291, kitab “ṣalāt”, bab “jāmi’ ṣalāt al-layl wa man nāma”.
Muslim ibn Hajjaj al-Naysaburi, Ṣaḥīḥ Muslim, hadis no. 737, hlm. 291, kitab “ṣalāt”, bab “jāmi’ ṣalāt al-layl wa man nāma”.
Nas
no 30
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا أَسَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَخَذَ اللَّحْمَ صَلَّى سَبْعَ رَكَعَاتٍ لَا يَقْعُدُ إِلَّا
فِي آخِرِهِنَّ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ قَاعِدٌ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ
فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَيَّ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً أَحَبَّ أَنْ يُدَاوِمَ عَلَيْهَا
[رواه
النسائي]
Dari
Aisyah, ia berkata: Ketika Rasulullah saw telah berumur dan mulai gemuk, beliau
salat tujuh rakaat. Beliau tidak duduk (taḥiyyat) kecuali di akhirnya,
kemudian beliau salat lagi 2 rakaat dengan cara duduk setelah salam. Itulah 9
(rakaat salat Rasulullah), wahai anakku. Rasulullah saw apabila beliau salat,
beliau lebih suka untuk melakukannya kontinyu [Nasā’ī].
Takhrīj:
An-Nasā’ī, Abū Abdurraḥman Aḥmad ibn Syu‘aib, Sunan al-Nasā’ī, hadis no. 1718, hlm. 280, kitab “qiyām al-layl wa taṭawu‘ an-nahr” bab “kayfa al-witr bi sab‘”.
Salat Sunat Qabliyyah Ashar dengan Tasyahud Awal
An-Nasā’ī, Abū Abdurraḥman Aḥmad ibn Syu‘aib, Sunan al-Nasā’ī, hadis no. 1718, hlm. 280, kitab “qiyām al-layl wa taṭawu‘ an-nahr” bab “kayfa al-witr bi sab‘”.
Salat Sunat Qabliyyah Ashar dengan Tasyahud Awal
Nas
No 31
عَنْ عَاصِمِ
بْنِ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِىٍّ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّى
قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِالتَّسْلِيمِ عَلَى
الْمَلاَئِكَةِ الْمُقَرَّبِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
وَالْمُؤْمِنِينَ
[رواه احمد و
الترمذى و النسائى]
Dari
Aṣim ibn Ḍamrah dari Ali, ia berkata: Nabi saw salat sebelum ‘asar sebanyak
empat rakaat. Di antara empat rakaat tersebut dipisahkan oleh bacaan salam
(tasyahud awal) kepada malaikat Allah yang didekatkan dan kepada orang-orang
Islam dan orang-orang beriman yang mengikuti mereka [Ahmad,
at-Tirmiżi, dan an-Nasā’ī].
Takhrīj:
Ibn Ḥanbal, Aḥmad ibn Muḥammad, Musnad Aḥmad, editor Aḥmad Muḥammad Syākir, Musnad “Ali ibn Abi Ṭālib”, hadis no. 550, hlm. 447-8.
At-Tirmīżī, Sunan at-Tirmīżī, Kitab “aṣ-ṣalat”, bab “ma jā’a fi al-arba‘ qabla al-‘aṣr”, hadis no. 429, hlm. 453.
An-Nasā’ī, Abū Abdurraḥman Aḥmad ibn Syu‘aib, Sunan al-Nasā’ī, kitab “aṣ-ṣalat”, bab “ aṣ-ṣalah qabla al-‘aṣr”, hadis no. 324, hlm. 214.
[1] Prinsip tanawwu‘ dalam masalah ibadah artinya adalah mengakui bahwa Rasul melakukan satu ibadah tertentu dengan cara yang bermacam-macam. Lebih lanjut baca Ibnu Taimiyah, Majmū‘ al-Fatāwā, “faṣl fi al-‘ibādāt allatī jā’at ‘alā wujūhin muta‘addidah”, vol. XXII (Kairo: al-Maktabah al-Taufīqiyyah, tth), hlm. 200-6.
[2] Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih, Himpunan Putusan Tarjih, hlm. 342 & 352-355 dan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama Jilid 3 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004), hlm. 107-114.
[3] Menarik untuk diperhatikan, asal muasal munculnya penegasan kembali keragamaan bilangan rakaat tarawih dalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid 3 adalah kebingungan dari seorang penanya beserta jamaah di suatu masjid di Medan ketika mereka salat dipimpin oleh imam yang melaksanakan tarawih dengan cara 8 rakaat satu kali salam.
[4] Untuk merespon pertanyaan tersebut, dalam beberapa fatwa Tarjih sendiri juga sudah berulang kali dijelaskan dalil mengapa Muhammadiyah salat tarawih 11 rakaat dengan cara empat-empat-tiga. Lebih lanjut baca: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 1 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), cet. VII, hlm. 90 dan Tanya Jawab Agama 6, cet. I, 2010, hlm. 64.
[5] http://www.arrahmah.com/read/2010/08/12/8698-bilangan-rakaat-shalat-tarawih-dan-cara-melaksanakannya.html (akses tanggal 3 Oktober 2013, pukul 15:21).
[6] Penulis ingat pada bulan Ramadan tahun 2013, di sebuah stasiun televisi milik kelompok salafi, seorang ustaz dalam ceramahnya tentang salat tarawih menyatakan bahwa cara yang benar dalam melaksanakan tarawih 4 rakaat adalah dengan duduk tasyahud awal pada rakaat kedua. Sang ustaz kemudian mengatakan bahwa salat tarawih 4 rakaat tanpa tasyahud adalah praktek yang tidak ada dalilnya sama sekali.
[7] Dadang Syaripuddin, “Tasyahhud Awal pada Setiap Dua Rakaat dalam Shalat yang Empat Rakaat”, makalah disampaikan dalam forum Halaqah Pra Munas Tarjih, 5 Oktober 2013 di UM Purwerejo, hlm. 2.
[8] Ibrāhim ibn Mūsā asy-Syātibi, al-Muwāfaqāt (Kairo: al-Maktabah al-Taufīqiyyah, tth.), III:36.
[9] Zainuddin Abū al-Faraj Ibnu Rajab al-Ḥanbaliy, Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāriy (al-Madīnah al-Munawwawah: al-Ghurabā al-Astariyyah, 1996), vol. VII: 325.
[10] Dadang Syaripuddin, “Tasyahhud Awal”, hlm. 17.
[11] Ibn Ḥajar al-‘Asqalanī, Tahżīb at-Tahżīb; Aż-Żahābī, Siyār A‘lam an-Nubalā.
[12] Al-Khaṭīb al-Baghdādī, Al-Kifāyah fī Ma‘rifat Uṣūl ‘Ilm ar-Riwāyah (Kairo: Dār al-Hudā, 2003), vol. II, hlm. 538.
[13] Ibn Ḥajar al-‘Asqalanī, Nazhat an-Naẓr Syarḥ Nukhbat al-Fikr (Riyāḍ: Maktabat al-Malik Fahd, 2001), hlm. 82.
[14] Jamāluddin az-Zaylā‘ī al-Ḥanafi, Naṣb ar-Rāyah fi Takhrīj Aḥādiṡ al-Hidāyah, editor: Muhammad Awamah (Jeddah: Dār al-Qiblah liṡ-Ṡaqāfah al-Islāmiyyah, tth.), vol. I, hlm. 337.
[15] Ibnu Taimiyah, Majmū‘ al-Fatāwā, XXII: 342.
[16] Argumentasi asy-Syāṭibi dalam menolak isyārat al-naṣṣ dijelaskannya sebagai berikut:
Ibn Ḥanbal, Aḥmad ibn Muḥammad, Musnad Aḥmad, editor Aḥmad Muḥammad Syākir, Musnad “Ali ibn Abi Ṭālib”, hadis no. 550, hlm. 447-8.
At-Tirmīżī, Sunan at-Tirmīżī, Kitab “aṣ-ṣalat”, bab “ma jā’a fi al-arba‘ qabla al-‘aṣr”, hadis no. 429, hlm. 453.
An-Nasā’ī, Abū Abdurraḥman Aḥmad ibn Syu‘aib, Sunan al-Nasā’ī, kitab “aṣ-ṣalat”, bab “ aṣ-ṣalah qabla al-‘aṣr”, hadis no. 324, hlm. 214.
[1] Prinsip tanawwu‘ dalam masalah ibadah artinya adalah mengakui bahwa Rasul melakukan satu ibadah tertentu dengan cara yang bermacam-macam. Lebih lanjut baca Ibnu Taimiyah, Majmū‘ al-Fatāwā, “faṣl fi al-‘ibādāt allatī jā’at ‘alā wujūhin muta‘addidah”, vol. XXII (Kairo: al-Maktabah al-Taufīqiyyah, tth), hlm. 200-6.
[2] Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih, Himpunan Putusan Tarjih, hlm. 342 & 352-355 dan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama Jilid 3 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004), hlm. 107-114.
[3] Menarik untuk diperhatikan, asal muasal munculnya penegasan kembali keragamaan bilangan rakaat tarawih dalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid 3 adalah kebingungan dari seorang penanya beserta jamaah di suatu masjid di Medan ketika mereka salat dipimpin oleh imam yang melaksanakan tarawih dengan cara 8 rakaat satu kali salam.
[4] Untuk merespon pertanyaan tersebut, dalam beberapa fatwa Tarjih sendiri juga sudah berulang kali dijelaskan dalil mengapa Muhammadiyah salat tarawih 11 rakaat dengan cara empat-empat-tiga. Lebih lanjut baca: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 1 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), cet. VII, hlm. 90 dan Tanya Jawab Agama 6, cet. I, 2010, hlm. 64.
[5] http://www.arrahmah.com/read/2010/08/12/8698-bilangan-rakaat-shalat-tarawih-dan-cara-melaksanakannya.html (akses tanggal 3 Oktober 2013, pukul 15:21).
[6] Penulis ingat pada bulan Ramadan tahun 2013, di sebuah stasiun televisi milik kelompok salafi, seorang ustaz dalam ceramahnya tentang salat tarawih menyatakan bahwa cara yang benar dalam melaksanakan tarawih 4 rakaat adalah dengan duduk tasyahud awal pada rakaat kedua. Sang ustaz kemudian mengatakan bahwa salat tarawih 4 rakaat tanpa tasyahud adalah praktek yang tidak ada dalilnya sama sekali.
[7] Dadang Syaripuddin, “Tasyahhud Awal pada Setiap Dua Rakaat dalam Shalat yang Empat Rakaat”, makalah disampaikan dalam forum Halaqah Pra Munas Tarjih, 5 Oktober 2013 di UM Purwerejo, hlm. 2.
[8] Ibrāhim ibn Mūsā asy-Syātibi, al-Muwāfaqāt (Kairo: al-Maktabah al-Taufīqiyyah, tth.), III:36.
[9] Zainuddin Abū al-Faraj Ibnu Rajab al-Ḥanbaliy, Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāriy (al-Madīnah al-Munawwawah: al-Ghurabā al-Astariyyah, 1996), vol. VII: 325.
[10] Dadang Syaripuddin, “Tasyahhud Awal”, hlm. 17.
[11] Ibn Ḥajar al-‘Asqalanī, Tahżīb at-Tahżīb; Aż-Żahābī, Siyār A‘lam an-Nubalā.
[12] Al-Khaṭīb al-Baghdādī, Al-Kifāyah fī Ma‘rifat Uṣūl ‘Ilm ar-Riwāyah (Kairo: Dār al-Hudā, 2003), vol. II, hlm. 538.
[13] Ibn Ḥajar al-‘Asqalanī, Nazhat an-Naẓr Syarḥ Nukhbat al-Fikr (Riyāḍ: Maktabat al-Malik Fahd, 2001), hlm. 82.
[14] Jamāluddin az-Zaylā‘ī al-Ḥanafi, Naṣb ar-Rāyah fi Takhrīj Aḥādiṡ al-Hidāyah, editor: Muhammad Awamah (Jeddah: Dār al-Qiblah liṡ-Ṡaqāfah al-Islāmiyyah, tth.), vol. I, hlm. 337.
[15] Ibnu Taimiyah, Majmū‘ al-Fatāwā, XXII: 342.
[16] Argumentasi asy-Syāṭibi dalam menolak isyārat al-naṣṣ dijelaskannya sebagai berikut:
أن
وضع هذه الجهة على أن تكون تبعا للأولى يقتضى أن ما تؤديه من المعنى لا يصح أن
يؤخذ إلا من تلك الجهة فلو جاز أخذه من غيرها لكان خروجا بها عن وضعها وذلك غير
صحيح ودلالتها على حكم زائد على ما فى الأولى خروج لها عن كونه تبعا للأولى فيكون
استفاده الحكم من جهتها على غير فهم عربي وذلك غير صحيح فما أدى إليه مثله وما ذكر
من استفادة الأحكام بالجهة الثانية غير مسلم وإنما هى راجعة إلى أحد أمرين إما إلى
الجهة الأولى وإما إلى جهة ثالثة غير ذلك
Ibrāhīm
ibn Mūsā asy-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt, II:86.
[17] Syamsul Anwar, Salat Tarawih Tinjauan Usul Fikih, Sejarah, dan Fikih (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013), hlm. 229-412.
[18] Syihābuddīn Abū al-‘Abbās al-Qarāfī, Anwār al-Burūq fī Anwā‘ al-Furūq, editor: Muhammad Sarraj dan Ali Jumah (Kairo: Dār as-Salām, 2001), vol. II:518.
[19] Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bāri bi-Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, editor: Abū Qutaibah (Dār Ṭayyibah), vol. III, hlm. 326.
[17] Syamsul Anwar, Salat Tarawih Tinjauan Usul Fikih, Sejarah, dan Fikih (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013), hlm. 229-412.
[18] Syihābuddīn Abū al-‘Abbās al-Qarāfī, Anwār al-Burūq fī Anwā‘ al-Furūq, editor: Muhammad Sarraj dan Ali Jumah (Kairo: Dār as-Salām, 2001), vol. II:518.
[19] Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bāri bi-Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, editor: Abū Qutaibah (Dār Ṭayyibah), vol. III, hlm. 326.
DAFTAR PUSTAKA
Abdur Razāq, Abu Bakr, al-Muṣannaf,
editor: Ḥabiburraḥmān al-A‘ẓami, Majlis Ilmi.
Abū ‘Awwānah, Ya’qūb ibn Isḥāq, Musnad Abi ‘Awwānah, editor: Ayman ibn ‘Ārif al-Dimasyqi (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1998).
Abū Dāwud al-Sijistani, Sulaimān ibn Asy‘aṡ, Sunan Abī Dāwud (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005).
Abū Ya’lā al-Mūṣiliy, Aḥmad ibn ‘Ali ibn Mustannā ibn at-Tamīmi (Damaskus dan Beirut: Dār al-Makmūn lit-Turāṡ, 1987).
Aḥmad, ibn Muḥammad ibn Ḥanbal, Al-Musnad, editor: Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dār al-Ḥadīst, 1995).
Al-‘Asqalāni, Ibnu Ḥajar, Fatḥ al-Bāri bi Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, editor: Abū Qutaibah (Dār Thayyibah).
—-, Nazhatu an-Naẓr Syarḥ Nukhbat al-Fikr, editor dan komentator: Abdullah ar-Rahiliy (Riyaḍ: Maktabah al-Malik Fahd, 2001).
Anwar, Syamsul, Salat Tarawih: Tinjauan Usul Fikih, Sejarah, dan Fikih (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013).
Al-Baghdādi, al-Khaṭīb, Al-Kifāyah fi Ma‘rifah Uṣūl ‘Ilm ar-Riwāyah (Kairo: Dār al-Hudā, 2003).
Al-Bukhāri, Muḥammad ibn Ismā’īl, Ṣaḥīḥ al-Bukhāri (Damaskus, Beirut: Dār ibn Kaṡīr, 2002).
Dadang Syaripuddin, Tasyahhud Awal pada Setiap Dua Rakaat dalam Shalat yang Empat Rakaat, makalah disampaikan dalam forum Halaqah Pra Munas Tarjih, 5 Oktober 2013 di UM Purworejo.
Al-Dārimi, Abū Muḥammad ‘Abdullāh ibn Abdurraḥman, Sunan ad-Dārimi, editor: Ḥusain Salim Asad al-Darani (Arab Saudi: Dār al-Mughni lin-Nasyr wat-Tauzi‘, 1421 H/1421 M).
http://www.arrahmah.com/read/2010/08/12/8698-bilangan-rakaat-shalat-tarawih-dan-cara-melaksanakannya.html (akses tanggal 3 Oktober 2013, pukul 15:21).
Ibnu Ḥibbān, Muhammad, Ṣaḥīḥ ibn Ḥibbān (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1993).
Ibn Khuzaimah, Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq al-Naisaburiy, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, editor: Musṭafā A‘ẓami (Beirut: al-Maktab al-Islāmiy, 1980).
Ibnu Rajab al-Ḥanbaliy, Zainuddin Abū al-Faraj, Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāriy (al-Madīnah al-Munawwawah: al-Ghurabā al-Astariyyah, 1996).
Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin, Majmū‘ al-Fatāwā (Kairo: al-Maktabah at-tawfīqiyyah, tth).
Ibnu Shalah, Al-Muqaddimah, edisi: Aisyah Abdur Rahman (Bintu asy-Syati) (Kairo: Dār al-Ma’ārif, tth.).
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 1 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003).
—-, Tanya Jawab Agama 6, cet. I, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010).
—-, Tanya Jawab Agama Jilid 3 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004).
Malik ibn Anas, al-Muwaṭṭa (Beirut: Dār al-Fikr, 1987).
Muslim, ibn Ḥajjāj al-Naysāburi, Ṣaḥīḥ Muslim, editor: Abū Ṣuḥaib al-Karamiy (Riyaḍ: Bait al-Afkār al-Dauliyyah, 1998).
An-Nasā’ī, Abdurraḥman ibn Aḥmad, Sunan an-Nasā’ī, editor: Nashiruddin al-Albani (Riyaḍ: Maktabah al-Ma’ārif lin-Nasyr wat-Tauzī‘, tth).
Al-Qarāfi, Syihābuddin Abu al-‘Abbās, Anwāru al-Burūq fi Anwā‘ al-Furūq, editor: Muḥammad Sarrāj dan ‘Ali Jum’ah (Kairo: Dār al-Salām, 2001).
Asy-Syāfi‘i, Muḥammad ibn Idrīs, al-Umm (Al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 2005).
Asy-Syāṭibi, Ibrāhim ibn ‘Isā al-Gharnāṭiy, al-Muwāfaqāt, (Kairo: al-Maktabah at-Taufīqiyyah, tth.).
Aṭ-Ṭabrānī, Abu al-Qāsim Sulaiman ibn Aḥmad, Musnad al-Syāmiyyīn, editor: Muhamamd Abdul Majīd al-Salafi (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996).
Aṭ-Ṭayālisī, Sulaiman ibn Dāwud ibn al-Jārūd, Musnad Abī Dāwud aṭ-Ṭayālisī, editor: Muhammad Abdul Muḥsin at-Turkiy (Dār Hajar, tth.).
At-Tirmīżī, Abū ‘Isā Muḥammad ibn ‘Īsā (Riyāḍ: Dār al-Salām, 1999).
Abū ‘Awwānah, Ya’qūb ibn Isḥāq, Musnad Abi ‘Awwānah, editor: Ayman ibn ‘Ārif al-Dimasyqi (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1998).
Abū Dāwud al-Sijistani, Sulaimān ibn Asy‘aṡ, Sunan Abī Dāwud (Riyaḍ: Maktabah ar-Rusyd, 2005).
Abū Ya’lā al-Mūṣiliy, Aḥmad ibn ‘Ali ibn Mustannā ibn at-Tamīmi (Damaskus dan Beirut: Dār al-Makmūn lit-Turāṡ, 1987).
Aḥmad, ibn Muḥammad ibn Ḥanbal, Al-Musnad, editor: Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dār al-Ḥadīst, 1995).
Al-‘Asqalāni, Ibnu Ḥajar, Fatḥ al-Bāri bi Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, editor: Abū Qutaibah (Dār Thayyibah).
—-, Nazhatu an-Naẓr Syarḥ Nukhbat al-Fikr, editor dan komentator: Abdullah ar-Rahiliy (Riyaḍ: Maktabah al-Malik Fahd, 2001).
Anwar, Syamsul, Salat Tarawih: Tinjauan Usul Fikih, Sejarah, dan Fikih (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013).
Al-Baghdādi, al-Khaṭīb, Al-Kifāyah fi Ma‘rifah Uṣūl ‘Ilm ar-Riwāyah (Kairo: Dār al-Hudā, 2003).
Al-Bukhāri, Muḥammad ibn Ismā’īl, Ṣaḥīḥ al-Bukhāri (Damaskus, Beirut: Dār ibn Kaṡīr, 2002).
Dadang Syaripuddin, Tasyahhud Awal pada Setiap Dua Rakaat dalam Shalat yang Empat Rakaat, makalah disampaikan dalam forum Halaqah Pra Munas Tarjih, 5 Oktober 2013 di UM Purworejo.
Al-Dārimi, Abū Muḥammad ‘Abdullāh ibn Abdurraḥman, Sunan ad-Dārimi, editor: Ḥusain Salim Asad al-Darani (Arab Saudi: Dār al-Mughni lin-Nasyr wat-Tauzi‘, 1421 H/1421 M).
http://www.arrahmah.com/read/2010/08/12/8698-bilangan-rakaat-shalat-tarawih-dan-cara-melaksanakannya.html (akses tanggal 3 Oktober 2013, pukul 15:21).
Ibnu Ḥibbān, Muhammad, Ṣaḥīḥ ibn Ḥibbān (Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1993).
Ibn Khuzaimah, Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq al-Naisaburiy, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, editor: Musṭafā A‘ẓami (Beirut: al-Maktab al-Islāmiy, 1980).
Ibnu Rajab al-Ḥanbaliy, Zainuddin Abū al-Faraj, Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāriy (al-Madīnah al-Munawwawah: al-Ghurabā al-Astariyyah, 1996).
Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin, Majmū‘ al-Fatāwā (Kairo: al-Maktabah at-tawfīqiyyah, tth).
Ibnu Shalah, Al-Muqaddimah, edisi: Aisyah Abdur Rahman (Bintu asy-Syati) (Kairo: Dār al-Ma’ārif, tth.).
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 1 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003).
—-, Tanya Jawab Agama 6, cet. I, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010).
—-, Tanya Jawab Agama Jilid 3 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004).
Malik ibn Anas, al-Muwaṭṭa (Beirut: Dār al-Fikr, 1987).
Muslim, ibn Ḥajjāj al-Naysāburi, Ṣaḥīḥ Muslim, editor: Abū Ṣuḥaib al-Karamiy (Riyaḍ: Bait al-Afkār al-Dauliyyah, 1998).
An-Nasā’ī, Abdurraḥman ibn Aḥmad, Sunan an-Nasā’ī, editor: Nashiruddin al-Albani (Riyaḍ: Maktabah al-Ma’ārif lin-Nasyr wat-Tauzī‘, tth).
Al-Qarāfi, Syihābuddin Abu al-‘Abbās, Anwāru al-Burūq fi Anwā‘ al-Furūq, editor: Muḥammad Sarrāj dan ‘Ali Jum’ah (Kairo: Dār al-Salām, 2001).
Asy-Syāfi‘i, Muḥammad ibn Idrīs, al-Umm (Al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 2005).
Asy-Syāṭibi, Ibrāhim ibn ‘Isā al-Gharnāṭiy, al-Muwāfaqāt, (Kairo: al-Maktabah at-Taufīqiyyah, tth.).
Aṭ-Ṭabrānī, Abu al-Qāsim Sulaiman ibn Aḥmad, Musnad al-Syāmiyyīn, editor: Muhamamd Abdul Majīd al-Salafi (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996).
Aṭ-Ṭayālisī, Sulaiman ibn Dāwud ibn al-Jārūd, Musnad Abī Dāwud aṭ-Ṭayālisī, editor: Muhammad Abdul Muḥsin at-Turkiy (Dār Hajar, tth.).
At-Tirmīżī, Abū ‘Isā Muḥammad ibn ‘Īsā (Riyāḍ: Dār al-Salām, 1999).
Az-Zayla‘i, Jamāluddin al-Ḥanafi, Naṣb
ar-Rāyah fi Takhrīj Aḥadiṡ al-Hidāyah, editor: Muhammad Awamah (Jeddah: Dār
al-Qiblah liṡ-Ṡaqāfah al-Islāmiyyah, Mu’assasah ar-Rayyān, al-Maktabah
al-Makkiyah, tth.).
Sumber: Tarjih.or.id
0 komentar:
Posting Komentar