Oleh: Dr. H. Syamsul Hidayat, M.A
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Tamhīd
Sebagai Gerakan Islam dan Dakwah
Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Muhammadiyah memiliki misi sebagai berikut:
a.
Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan
ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dibawa
oleh Rasul Allah yang disyariatkan sejak Nabi Nuh ‘alaihis
salam hingga Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wasallam.
b.
Memahami agama dengan menggunakan akal pikiran sesuai
dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan
kehidupan yang bersifat duniawi.
c.
Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber kepada
Al-Qur’an sebagai kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terakhir untuk umat manusia dan
Sunnah Rasul.
d.
Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi,
keluarga, dan masyarakat.
Memang inti dari keyakinan (aqidah) Islam adalah aqidah tauhid,
keimanan dan keyakinan kepada satu-satunya Ilah yang haq, yakni Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Tauhid meliputi tawhīd al-rubūbiyah, yakni
keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang menciptakan, menjaga dan mengatur alam semesta
ini, yang berkonsekwensi pada tawÍīd al-asmā wa al-Îifāt, yakni
keyakinan bahwa Allah adalah Dzat yang nama-nama yang maha baik dan sifat-sifat
yang maha sempurna, yang berbeda dengan selain-Nya, dan tidak satu pun yang
menyamai-Nya.
Begitu pentingnya aqidah tauhid ini, Allah menetapkan
satu surat khusus yang dikenal dengan nama “al-Ikhlas”, yang artinya bersih,
suci, tulus. Yakni bersih dari sekutu dan penuhanan selain Allah. Surat ini
secara redaksional sangat singkat tetapi padat. Begitu padatnya surat al-Ikhlas ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits shahih Bukhari-Muslim menyatakan bahwa
al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qur’an.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لأَصْحَابِهِ أَيَعْجِزُ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ ثُلُثَ الْقُرْآنِ فِي لَيْلَةٍ فَشَقَّ ذَلِكَ
عَلَيْهِمْ وَقَالُوا أَيُّنَا يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَالَ اللَّهُ
الْوَاحِدُ الصَّمَدُ ثُلُثُ الْقُرْآنِ. (رواه البخارى ومسلم ولفظ للبخارى)
Dari Abu Said al-Khudry radhiyallah anhu,
berkata: Rasulullah bersabda kepada para sahabat, “apakah ada di antara kalian yang dapat
membaca sepertiga alquran dalam satu malam? Maka hal itu berat bagi mereka, dan mereka pun berkata, “Bagaimana kami mampu melakukannya, ya Rasulullah? Nabi
menjawab, “membaca qul huwallahu ahad, Allahu Shamat adalah sepertiga Quran.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam rangka penguatan tauhidullah,
Rasulullah menegaskan membaca surat al-Ikhlash sebab mendapatkan kecintaan
Allah. Aisyah,
isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, menjelaskan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang lelaki dalam suatu sariyyah
(pasukan khusus yang ditugaskan untuk operasi tertentu). Laki-laki tersebut
ketika menjadi imam shalat bagi para sahabatnya selalu mengakhiri bacaan
suratnya dengan "QUL HUWALLAHU AHAD." Ketika mereka pulang,
disampaikan berita tersebut kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
maka beliau bersabda:
سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ
"Tanyakanlah kepadanya kenapa ia melakukan hal
itu?" Lalu mereka
pun menanyakan
kepadanya. Ia
menjawab,
لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا أُحِبُّ
أَنْ أَقْرَأَ بِهَا
"Karena didalamnya terdapat sifat Ar Rahman, dan
aku senang untuk selalu membacanya." Mendengar itu Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ
"Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Ta'ala juga
mencintainya." (HR. Bukhari no. 7375 dan Muslim no. 813)
Ibnu Daqiq al-‘Ied menjelaskan perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, “Kabarkan padanya bahwa Allah mencintainya”. Beliau mengatakan, “Maksudnya adalah bahwa sebab kecintaan Allah pada
orang tersebut adalah karena kecintaan orang tadi pada surat Al Ikhlash ini.
Boleh jadi dapat kitakan dari perkataan orang tadi, karena dia menyukai sifat
Rabbnya, ini menunjukkan benarnya i’tiqadnya (keyakinannya terhadap Rabbnya).”
(Fathul Bari, 20/443)
Qaidah Memahami La ilaha illa Allah (لاإله إلا الله)
‘La’ yang terdapat dalam kalimat “La Ilaha Illa
Allah” adalah huruf “la” naafiyata li al-jinsi (huruf yang menafikan segala macam jenis).
Dalam kalimat di atas, yang dinafikan adalah kata “ilah” (sesembahan). Kata
“ilah’ berbentuk isim nakirah dan isim al-jins. Kata “illa” adalah huruf istisna’ (pengecualian) yang mengecualikan Allah dari
segala macam jenis “Ilah”. Bentuk kalimat semacam ini adalah kalimat nafyun
(negatif) lawan dari kalimat itsbat (positif). Kata “Illa” berfungsi
mengitsbatkan kalimat manfiy (negatif). Dalam kaedah bahasa Arab,
itsbat sesudah manfiy bermakna al-hasr (membatasi) dan al-ta’kid (menguatkan). Oleh
karena itu, makna kalimat “La ilaha illa al-Allah” adalah tiada ilah (sesembahan)
yang benar-benar berhak disebut ilah (sesembahan) kecuali Allah swt. Jadi
kalimat la ilaha illa Allah maknanya la ma’buda bihaqq illa Allah, tiada
sesembahan yang haq kecuali Allah. Kalaupun ada sesembahan di luar Allah adalah
tuhan palsu dan tuhan batil.
Konsekwensi Ucapan La Ilaha Illa Allah
Beberapa ayat al-Qur’an telah mendukung pengertian la ma’buda bihaqq illa
Allah di atas. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan
manusia, yang menguasai manusia, sesembahan manusia….(114:1-3).
“Ataukah mereka mempunyai ilah (sesembahan) selain Allah?
(al-Thur:43)
"Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari
yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang
mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa
siksaan yang pedih.” (al-Maidah:73)
Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa sesembahan
yang hakiki hanyalah Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Kita diperintahkan untuk mengingkari semua sesembahan
(ilah) selain Allah. Ini ditunjukkan dengan sangat jelas pada ayat lain,
yakni tatkala Nabi Ibrahim mengingkari semua sesembahan yang telah disembah
oleh kaumnya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman, “Dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata kepada bapak dan
kaumnya, “Sesungguhnya aku melepaskan diri dari segala apa yang kamu sembah,
kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku, karena hanya Dia yang akan
menunjukkiku (kepada jalan kebenaran).” (Q.s. al-Zukhruf: 26-27)
Di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan dengan sangat jelas, tentang
sesembahan-sesembahan selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Setelah itu, manusia diperintahkan
untuk mengingkari sesembahan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih
putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa;
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan”. (Q.s. al-Taubah: 31)
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan
jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya
dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Q.s. al-Baqarah: 165)
Surat al-Taubah :31 ini menunjukkan dengan gamblang,
bahwa ahli Kitab telah menjadikan rahib-rahib dan pendeta (orang alim)
mereka sebagai sesembahan. Padahal mereka hanya diperintahkan untuk
menyembah kepada Ilah Yang Satu (Allah Subhanahu wa Ta’ala). Maksud dari ‘menyembah rahib-rahib dan pendeta-pendeta di sini’ adalah,
mematuhi orang-orang alim dan rahib-rahib dalam tindakan mereka yang bertentangan
dengan hukum-hukum Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Meskipun, secara dzahir kaum ahlu al-kitab
tidaklah menyembah alim-ulama mereka.
Berdasarkan ayat tersebut, pengertian La ilaha illa
al-Allah dan tauhid adalah pemurnian ketaatan kepada Allah
dengan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang
diharamkan Allah. Yakni, hanya mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala semata yang berhak menetapkan hukum, bukan
manusia. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di
atas hujjah yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya.
Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan
kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (Q.s. al-An’am: 57)
Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda, artinya, “Barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illa
al-Allah dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan
darahnya, sedangkan hisab (perhitungannya) adalah terserah kepada Allah”.
Hadits ini juga menjelaskan dengan sangat tegas bahwa
yang menjadi pelindung atas harta dan darah seseorang, bukan sekedar ia
mengucapkan La
ilaha Illa al-Allah, bukan pula mengerti makna dan lafadznya, juga
bukan sekedar tidak meminta kepada selain Allah, akan tetapi ia harus
menambahkan “pengingkaran
kepada sesembahan-sesembahan (ilah)” selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tiada keraguan. Jika masih ada keraguan,
harta dan darahnya belum terpelihara.
Tauhid yang murni sebagaimana ditegaskan oleh kalimat
tauhid La Ilaha Illa Allah adalah merupakan misi utama perjuangan Muhammadiyah,
serta prinsip utama dan pertama bagi warga Muhammadiyah sebagaimana ditegaskan
dalam MKCH dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.
Syarat Kalimat La Ilaha Illa Allah
Syaikh Shalih Fauzan dalam kitab Tauhid menegaskan bahwa
seseorang yang berikrar dengan kalimat La Ilaha Illa Allah harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Al-Ilmu (Mengetahui) lawannya al-Jahlu (Tidak Mengetahui)
Yakni
memahami makna dan maksud yang dikandung oleh kalimah La Ilaha Illa Allah. Mengetahui apa yang dinafikan (al-nafy, yakni La
Ilaha) dan mengetahui apa yang ditetapkan (al-itsbat, yaitu Illa
Allah). Artinya tidak selayaknya orang yang mengucapkan lafazh La Ila
Illa Allah tidak memahami makna yang terkandung. Ucapan yang disertai
kebodohan adalah ucapan yang sia-sia.
وَلا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ
الشَّفَاعَةَ إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
(الزخرف:٨٦)
“Dan
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa'at;
akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui yang
hak (tauhid) dan mereka mengetahui dan meyakini(nya).” (Q.S. AL-Zukhruf:
86)
Ayat
di atas memiliki maksud bahwa orang yang bersaksi atas nama La Ilaha Illa Allah
harus memahami makna dan konsekwensi yang dikandungnya, dan apabila ia tidak
memahami kandungannya maka persaksiannya tidak sah.
2. Al-Yakin (Keyakinan) lawannya al-Syakk (Keraguan)
Orang
yang telah mengikrarkan kalimat tauhid La Ilaha Illa Allah harus
meyakini apapun yang terkandung dalam kalimat tersebut. Apabila seseorang meragukan apa yang
diucapkannya tersebut maka ucapannya itu akan sia-sia dan tidak bermakna.
Walaupun ia telah bersaksi dan berikrar dengan kalimat tersebut tetap tidak
diperhitungkan sebagai orang yang beriman atau bertauhid. Justru yang demikian
dikelompokkan sebagai kaum munafiqun.
Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
(الحجرات: ١٥)
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad)
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang
benar.” (Q.S. Al Hujurat: 15)
عَنْ أَبِى مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ «
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَكَفَرَ
بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى
اللَّهِ »
Dari Abi Malik dari Ayahnya berkata: aku mendengar Rasulullah
bersabda: barangsiapa mengatakan La Ilaha Illa Allah, dan mengingkari
sesembahan selain Allah maka diharamkan harta dan darahnya, dan hisab-Nya oleh
Allah sendiri.
(HR. Muslim)
3. Al-Qabul (Menerima) lawannya Al-Radd (Menolak)
Yaitu menerima semua konsekuensi kalimat ini
dengan hati dan lisannya, membenarkan dan mempercayai segala berita yang datang
dari Rasulillah shalallahu
‘alaihi wasallam serta menerimanya tanpa penolakan sedikit pun. Allah berfirman :
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ
وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا
نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (البقرة: ٢٨٥)
“Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang
diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman.
Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan
rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan):"Kami tidak membeda-bedakan antara
seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka
mengatakan:"Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa):"Ampunilah
kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (Q.s.
al-Baqarah [2]: 285)
Termasuk ke dalam kategori menolak dan
tidak menerima, jika seseorang menentang atau menolak sebagian hukum syar'i
atau hudud, seperti orang-orang yang menentang hukum pencuri, zina, bolehnya
berpoligami, hukum waris dan lainnya. Allah
berfirman: “Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. (QS. 33: 36)
4. Al-Inqiyad (Tunduk) al-Nabdzu (Mengingkari)
Yaitu pasrah dan tunduk terhadap apa yang
terkandung dalam kalimat ikhlas ini. Perbedaan antara iqiyad (tunduk) dan qabul
(penerimaan) yaitu bahwa qabul adalah menyatakan kebenaran maka kalimat ini
dengan perkataan dan inqiyad adalah mengikutinya dengan tindakan. Jika
seseorang telah mengetahui makna la ilaha illallah, meyakini dan menerimanya,
namun ia tidak tunduk, pasrah dan mengamalkan konsekuensi pengetahuannya itu,
maka hal ini tidak ada berguna baginya. Allah berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَى
رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لا
تُنْصَرُونَ (٥٤)
“Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan
berserah dirilah kepada-Nya” (QS. 39:54)
Dan firmanNya:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٦٥)
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.
4:65).
Siapa
yang menolak dan mengingkari makna La Ilaha Illa Allah meskipun ia telah
mengucapkannya, maka ucapan juga tidak bermakna.
5. Al-Shidq (Jujur) Lawannya al-Kidzbu (Kedustaan)
Yaitu
jujur kepada Allah, maksudnya jujur dalam keimanan dan aqidahnya. Allah berfirman :
وَلأضِلَّنَّهُمْ وَلأمَنِّيَنَّهُمْ
وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الأنْعَامِ وَلآمُرَنَّهُمْ
فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ
دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا (التوبة: ١١٩)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. Al-Taubah
[9]: 119)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عن
أبى هريرةَ قال رسول الله أسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ
قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ. (رواه البخارى)
Dari
Abu Hurairah bersabda Rasulullah: “Manusia yang paling berbahagia dengan
syafaatku pada hari qiyamat adalah orang yang mengucapkan La Ilaha Illa Allah
dengan ikhlas dan bersih dari lubuk hatinya.” (HR. Bukhari)
Bila ia mengucapkan syahadat dengan
lisannya tapi hatinya mengingkarinya, maka hal ini tidak dapat
menyelamatkannya, bahkan ia termasuk ke dalam golongan orang-orang munafik.
Termasuk tidak jujur jika seseorang mendustakan ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau sebagiannya, karena Allah telah
memerintahka kita untuk mentaatinya dan membenarkannya dan menyertainya dengan
ketaatan kepada-Nya.
Allah
berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا
فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ
تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ (النور: ٥٤)
Katakanlah:
"Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka
Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan
kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan
jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain
kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang"
(Q.S. Al-Nur: 54)
6. Al-Ikhlash (Ikhlas) lawannya al-Syirk (kemusyrikan)
Yaitu
pensucian perbuatan manusia dengan niat yang baik dari segala noda syirik
dengan cara mengikhlaskan semua perkataan dan perbuatannya hanya untuk Allah
dan mencari ridhaNya. Di dalamnya tidak ada noda riya, sum'ah, mengambil
keuntungan, kepentingan pribadi, nafsu zahir dan batin ataupun terdorong untuk
beramal karena kecintaan terhadap seseorang, mazhab, atau golongan yang ia
pasrah padanya tanpa adanya petunjuk dari Allah. Ia berdakwah hanyalah karena
mencari ridha Allah dan negeri akhirat. Hatinya tidak menoleh kepada seorang makhlukpun
untuk mendapatkan balasan ataupun rasa terima kasih darinya. Allah berfirman :
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ
الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ
إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ
فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ
كَفَّارٌ (الزمر: ٣)
“Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya
Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih
padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat
ingkar.” (Q.S. Az Zumar: 3)
Diriwayatkan
dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim dari hadits 'Utban bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda
:
فقال رسول الله {صلى الله عليه وسلم} فإن الله قد حرم على
النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله (رواه البخارى ومسلم)
“Sesugguhnya Allah telah megharamkan neraka bagi orang
yang mengucapkan kalimat la ilaha illallah karena mencari ridha Allah.”
7. Al-Mahabbah (kecintaan) lawannya Al-Bughd (Kebencian)
Maksudnya mencintai kalimat ini beserta isi
kandungannya, juga mencintai orang-orang yang mengamalkan dan konsekwen
terhadap segala tuntutan dari kalimat tersebut. Allah berfirman:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ
اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ
ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ (البقرة: ١٦٥)
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada
Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Q.S.
Al-Baqarah [2]: 165)
Orang yang mengucapkan kalimat tauhid dengan kesungguhan
hati akan menumbuhkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah. Cinta kepada Allah
di atas segala-galanya. Sebaliknya ahlus syirk mencintai selain Allah
menandingi cintanya kepada Allah. Yang demikian ini sama saja dengan membenci
Allah, karena Allah sangat membeci orang-orang yang
menduakannya dengan selain Allah. Hal ini sangat bertentangan dengan makna dan kandungan La Ilaha Illa
Allah.
0 komentar:
Posting Komentar