728x90 AdSpace

Latest News
Rabu, 15 Maret 2017

Wahhabisme dan Gerakan Islam di Indonesia: Dinamika, Pengaruh dan Perkembangannya


Oleh: Prof. Dr. Achmad Jainuri
Guru Besar tentang Terorisme di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
Rektor Univ. Muhammadiyah Sidoarjo 2006-2014

Gerakan “Wahhabi”, demikian kebanyakan orang menyebutnya, sebenarnya merupakan gerakan yang didasarkan pada pemikiran dan ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1787). Di kalangan kaum Wahhabiyyun sesungguhnya mereka ini lebih senang disebut kaum “Muwahhidun” daripada “Wahhabi”. Persepsi orang di luar Wahhabi menggolongkannya sebagai sebuah bentuk aliran (sekte) Islam, radikal, tidak toleran, anti tashawwuf, penentang keras bid’ah, khurafat, dan takhayyul, bahkan dipandang sebagai ideologi terorisme. Benarkah semua label seperti ini?

Pengakuan para pengikut Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, seperti yang ditulis dalam “What does being Wahhabi mean?” (Saudiswoman’s Weblog), gerakan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab sesungguhnya bukanlah sekte baru Islam. Gerakan ini mengajarkan orang untuk kembali kepada jalan yang benar dengan keyakinan tauhid yang benar. Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tidak toleran terhadap praktik penyimpangan aqidah dan karena itu ia dikenal sebagai penentang keras bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Ia tidak menentang tashawwuf, karena dia sendiri belajar tashawwuf, tetapi sangat anti pada praktik penyimpangan ajaran tashawwuf. Ia menentang tradisi keagamaan masyarakat Arab saat itu yang sarat dengan praktik ritus magis, percaya dan menyembah-nyembah orang yang dianggap suci, pergi dan melakukan ritus di tempat yang dianggap bisa mendatangkan kebahagiaan. Bagi dia, keberhasilan seseorang terhadap apa yang diinginkan tidak boleh dilakukan dengan melakukan ritus magis dengan berbagai prasarat sesajian yang dipersembahkan kepada pohon, batu dan makam orang yang dianggap suci, tetapi melalui kerja keras. Muwahhidun, demikian para pengagum Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab menambahkan, bukan gerakan ultra-konservatif yang menentang hak-hak asasi manusia dan wanita.

Memang, gerakan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dikenal radikal dalam berpikir dan bertindak ketika meluruskan praktik keagamaan yang dianggap menyimpang. Radikalisme pikiran dapat dilihat dari ajarannya yang dalam beberapa hal berbeda dengan kaum Muslim kebanyakan, misalnya mengharamkan merokok, mewajibkan semua kaum Muslim untuk mengeluarkan zakat, baik yang miskin maupun yang kaya. Ada alasan mengapa gerakan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ini radikal. Pertama, praktik kehidupan keagamaan masyarakat Arab yang dinilai jauh menyimpang dari ajaran Islam. Hal ini dipandang ironis karena Islam lahir di tanah Arab justru diselewengkan oleh masyarakat Arab sendiri. Bentuk-bentuk penyelewengan, seperti yang disebutkan di atas, menurut Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab sudah tidak bisa ditolerir lagi. Oleh karena itu, menurutnya, ekstrimitas penyimpangan ajaran Islam masyarakat Muslim Arab yang dinilainya telah jauh harus diberantas secara radikal. Kedua, dukungan politik keluarga Ibn Sa’ud, yang secara resmi dinyatakan pada 1744 Masehi, yang memberikan kewenangan keagamaan pada Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan kewenangan politik diserahkan kepada keluarga Ibn Sa’ud. Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab mendapat gelar Syaikh sedang Ibn Sa’ud bergelar Amir. Kesepakatan inilah yang melandasi berdirinya Negara Arab Saudi modern dengan simbol “pedang” sebagai kekuasaan politik dan “syahadah” sebagai simbol ideologi keagamaan yang ada dalam struktur negara. Kesepakatan ini menempatkan ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab sebagai paham resmi negara dan keluarga Ibn Sa’ud memiliki kekuasaan politik yang berhak mengangkat para pejabat Negara dan pemerintah.

Pertanyaannya kemudian adalah: adakah pengaruh ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ini terhadap gerakan Islam di Indonesia? Data-data sejarah memang agak sulit ditemukan bagaimana proses pengaruh itu berlangsung, apakah melalui kontak langsung dengan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, atau melalui publikasi. Kalau kontak langsung menjadi alasan adanya pengaruh itu, maka ini dikaitkan dengan aktivitas Haji Miskin dan kawan-kawan, yang dikenal Harimau nan Salapan, yang baru pulang haji dan kemudian mendorong munculnya gerakan Padri di Sumatra Barat pada abad ke-19. Kesamaan waktu Haji Miskin dan kawan-kawan menunaikan ibadah Haji tatkala gerakan Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab mencapai kejayaannya di tanah Hijaz serta kerasnya pemberantasan bid’ah, khurafat, dan takhayyul yang dilakukan oleh Kaum Padri menjadikan alasan bahwa pengaruh itu ada. Tetapi satu hal yang perlu diklarifikasi adalah, bahwa pengaruh itu terbentuk bukan karena Haji Miskin dan kawan-kawan berguru langsung kepada Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, tetapi lebih dikarenakan suasana tanah Hijaz waktu itu yang diliputi oleh suasana ideologis Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab.

Demikian juga dengan gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang muncul pada awal abad ke-20. Tidak jelas bagaimana orang mengkaitkan pengaruh ajaran Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dengan Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis), dan Nahdlatul Ulama (NU). Semua tokoh pendiri gerakan ini memang alumni Makkah melalui Haji dan muqim. Mereka adalah Haji Samanhudi dan H.O.S Tjokroaminoto (SDI/SI), Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Al-Surkati (Al-Irsyad), Haji Zamzam dan Muhammad Yunus (Persis), dan Haji Hasjim Ash’ari (NU). Ada beberapa aspek ajaran yang dikembangkan oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis mirip dengan yang dulu diajarakan oleh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, terutama aspek ajaran akidah Islam. Namun, kemiripan ini tidak harus disimpulkan bahwa ketiga gerakan ini sama dengan gerakan “Wahhabi.” Haji Ahmad Dahlan dan Haji Hasjim Ash’ari, misalnya, belajar pada Syaikh Ahmad Khatib, seorang ulama asal Sumatra Barat yang menetap di Makkah. Meskipun Syaikh Ahmad Khatib tidak menganut orientasi ideologi keagamaan tertentu, tetapi ia memberikan kebebasan kepada para muridnya untuk membaca literatur keagamaan dari pemikir Muslim modern yang tidak ia ajarkan.

Pengetahuan keagamaan yang diperoleh Ahmad Dahlan selama muqim di Makkah mewarnai paham keagamaan yang dikembangkan Muhammadiyah. Dari perspektif gerakan pembaharuan Islam di Indonesia awal abad ke-20, Ilmu Tauhid menjadi alat penting untuk memurnikan keyakinan Islam dari elemen khurafat dan takhayyul; ibadah dan fiqih digunakan membersihkan amal ibadah Islam dari pengaruh bid’ah; dan ilmu aritmatika diperlukan untuk penerapan hukum waris dan penentuan kalender serta waktu ibadah sehari-hari, termasuk untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dasar paham keagamaan yang ditanamkan oleh Ahmad Dahlan menjadi aspek ideologi Muhammadiyah yang sangat penting bersama dengan paham keagamaan dan pandangan dunia yang lain. Untuk yang disebut terakhir ini, pengaruh pikiran pembaharuan Muhammad ‘Abduh melalui publikasi dan berbagai elemen budaya Barat yang diambil melalui orang-orang Belanda di Indonesia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari orientasi ideologi keagamaan Muhammadiyah yang berkemajuan.

Semangat sebagian kalangan yang menyamakan Muhammadiyah dengan “Wahhabi” sesungguhnya adalah didasarkan pada ajaran Muhammadiyah yang anti bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Meskipun dalam banyak aspek ajaran yang lain keduanya sangat berbeda. “Wahhabi” belakangan menjadi istilah yang “mengerikan” karena dituduh menjadi dasar ideologi terorisme. Tuduhan ini membawa pada sebuah logika bahwa, karena, Muhammadiyah itu sama dengan “Wahhabi”, maka Muhammadiyah juga sama dengan terorisme. Pelabelan (stereotyping) seperti ini selain membingungkan, karena keluar dari orang yang bingung, juga tidak berdasar. Pertama, jika salah satu faktor munculnya terorisme adalah karena kebijakan politik Barat terhadap dunia Muslim yang tidak bisa diterima oleh sebagian dunia Muslim, dan karenanya kemudian muncul sikap anti-Barat dari kaum teroris. Dalam kaitan ini “Wahhabi,” yang berkembang di tanah Hijaz dulu, tidak pernah bersinggungan dengan Barat. Selain itu, kerajaan Arab Saudi, yang berideologi Wahhabiyah itu merupakan sekutu dekat negara-negara Barat sekarang ini, terutama Amerika Serikat. Kedua, orientasi gerakan “Wahhabi” sesungguhnya lebih mengarah pada kritik internal kondisi kehidupan keagamaan kaum Muslimin, bukan perlawanan terhadap kaum non-Muslim, apalagi bangsa Barat. Sedang terorisme merupakan aksi perlawanan terhadap Barat yang dinilainya represif, tidak adil, dan fitnah. Oleh karena itu sebuah tesis yang menyebut Wahhabisme sebagai ideolog gerakan terorisme perlu untuk dikaji lanjut.

Sumber: Mukadimah Buku "Muhammadiyah&Wahhabisme, Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru", Penerbit Suara Muhammadiyah
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Wahhabisme dan Gerakan Islam di Indonesia: Dinamika, Pengaruh dan Perkembangannya Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu