Oleh: Ahmad Nasri
Agama Islam di negara kita Indonesia merupakan agama dengan penganut mayoritas. Bahkan secara kuantitas, Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah kaum muslimin terbanyak di seluruh dunia. Namun ironis banyaknya umat Islam tersebut tidak lantas menjadikan mereka dapat berjalan dengan nyaman dan bergerak dengan leluasa dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apalagi dalam menjalankan ajaran agamanya. Ujian iman tampaknya tidak pernah berhenti dan silih berganti menimpa umat Islam. Termasuk di dalamnya, umat Islam seolah-olah senantiasa menjadi sasaran empuk bidikan dan makar musuh-musuhnya. Baik musuh nyata dari kalangan kaum kafir yang benar-benar berada di luar Islam, maupun musuh yang secara kasat mata masih beridentitas muslim, namun kata-kata dan perilakunya jauh dari rahmat dan justru menunjukkan antipati serta permusuhan mendalam terhadap Islam dan kaum muslimin.
Awal Februari 2016 yang lalu umat Islam Indonesia kembali diuji. Adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution dalam sebuah diskusi “Deradikalisasi” mengatakan bahwa pihaknya telah memegang 19 nama pesantren berpaham radikal yang berkaitan dengan figur teroris. Meski BNPT belum merilis secara detail ke-19 nama pesantren tersebut, namun diketahui dari beberapa media (di antaranya Jawa Pos), dua dari 19 pesantren yang dituduh radikal tersebut berada di kawasan Solo Raya, yaitu Pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo dan Pondok Pesantren Islam Darusy Syahadah Simo Boyolali. Selain itu ada juga beberapa nama pesantren yang disebutkan, di antaranya Al Ikhlas Lamongan Jawa Timur, Darus Syifa Lampung, Nurul Bayan NTB dan Al Muttaqin Cirebon.
Kata-kata Saud Usman tersebut sontak saja menuai banyak kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan pesantren. Beberapa alumni pesantren bahkan membuat gerakan moral dengan tanda pagar #savepesantren. Direktur Pondok Pesantren Darusy Syahadah Boyolali Ustadz Qosdi Ridwanullah dalam rilis resminya yang dimuat pada laman website pesantren (darusyahadah.com) mempertanyakan apa dasar tuduhan BNPT tersebut. Menurutnya belum ada yang datang berdialog langsung dengan pesantren yang diasuhnya tersebut sebelum munculnya tuduhan itu. Sehingga pihaknya merasa keberatan dengan pernyataan tersebut karena sama dengan mendiskreditkan dan membunuh karakter pesantren.
Menurut Ustadz Qosdi, pesantrennya selalu berusaha membangun komunikasi dengan segenap elemen bangsa, bekerja sama dengan berbagai ormas Islam dan majelis pengajian. Hubungan dengan sesama kaum muslimin, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan NU juga terjalin dengan baik.
Salah satu ‘tertuduh’ lainnya, Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo, bahkan mengirimkan surat peringatan dan klarifikasi kepada BNPT, Kamis, 11 Februari 2016. Mereka memprotes pernyataan BNPT yang menyebut pesantren tersebut mengajarkan paham radikal. Direktur Pesantren Al-Mukmin KH. Wahyudin, Lc menyebutkan bahwa tudingan tersebut merupakan fitnah yang bisa membuat resah masyarakat. Menurut Ustadz Wahyudin, pesantrennya merupakan lembaga pendidikan yang terdaftar resmi oleh pemerintah, juga menggunakan kurikulum dasar yang bersumber dari Kementerian Agama. Selain itu, hubungan dengan lembaga lain juga terjalin dengan baik, termasuk lembaga pemerintahan, militer dan kepolisian.
Kilas Sejarah Pesantren
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan dan pusat penyiaran Agama Islam tertua di Indonesia yang telah melahirkan banyak kader bangsa yang menguasai ilmu agama Islam (tafaqquh fi ad diin) dan para kader pejuang di jalan Allah (mujahid fii sabilillah). Dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia, pesantren bisa dikatakan sebagai markas militer kaum muslimin. Posisi pesantren melalui ulama atau kyai dan para santrinya (tentu saja tanpa menafikan peran elemen kaum muslimin yang lain di luar pesantren) sangat penting dan menjadi simbol perlawanan atau perjuangan melawan penjajah kafir Belanda. Bahkan karena tindakan kolonial Belanda yang terus menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam, pesantren (ulama-santri) telah membentuk jaringan perlawanan yang tidak pernah padam terhadap kolonial Belanda.
Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Gema Insani Press, 1997) seperti dikutip Asyuri (2004), masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangkauan kolonial. Maka tidak aneh bila mayoritas pesantren berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan dan keserakahan.
Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengkaji atau menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad kepada santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia.
Tidak berhenti pada zaman penjajahan kafir Belanda, datang Jepang yang memposisikan diri sebagai saudara tua menghadirkan penjajahan baru yang tak kalah kejamnya hingga akhirnya ulama-santri membentuk laskar Hizbullah dan Sabilillah untuk mempersiapkan kemerdekaan RI sekaligus mempertahankannya. Sebelumnya para kyai dan santri juga tergabung dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bahkan pernah mengatakan bahwa para santri bisa dibilang merupakan bapak kandung dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karena dalam sejarah pembentukan TNI, sejak awal dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) sampai berkembang menjadi TKR, TRI dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di kesatuan PETA dan Hizbullah dan Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan kemiliteran tersebut.
Kalau kita jujur dalam membaca dan menilai sejarah, nampak bahwa ulama-santrilah (sekali lagi tanpa menafikan peran elemen kaum muslimin yang lain di luar pesantren) yang mampu secara konsisten mengadakan perlawanan terhadap kolonial. Dengan kata lain, ulama dan pesantren adalah elemen bangsa yang tidak pernah terjajah oleh kolonial, bahkan selalu tampil di garda depan dalam menumpas kolonialisme.
Menegaskan peran pesantren ini, KH. Muhammad Adnan Arsal, S.Ag, pengasuh Pondok Pesantren Amanah Poso mengatakan bahwa negara ini hadir bukan karena perjuangan BNPT. Melainkan karena perjuangan para ulama terdahulu yang mengobarkan jihad. Banyak santri yang sudah gugur dalam mempertahankan tanah air dengan jihad. Dan saat ini, antara BNPT dan pesantren sama-sama lembaga legal di Indonesia yang juga mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Sehingga bisa saja pesantren menuntut BNPT karena telah menuduh pesantren mengajarkan radikalisme.
Pesantren Sekarang
Saat ini, pesantren masih dan tetap akan berperan aktif dalam membimbing dan mendidik generasi muda sesuai syariat Islam, sehingga lulusan dari pesantren dapat menerapkan ilmu yang sudah didapatkan di pesantren. Selain itu, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam secara umum bertujuan membimbing santri untuk menjadi manusia yang berkepribadian dan berkarakter Islam yang dengan ilmu agamanya sehingga ke depan dapat bermanfaat di masyarakat melalui ilmu dan amalnya.
Secara umum, adanya pondok pesantren terbukti sangat dibutuhkan sebagai benteng iman, akhlak dan moral generasi muda di tengah-tengah meningkatnya dekadensi moral para pelajar saat ini, bahkan yang berasal dari sekolah-sekolah negeri favorit. Pesantren sampai saat ini masih sangat dipercaya oleh umat Islam sebagai sistem yang paling efektif dalam mendalami agama Islam. Karena keberlangsungan pendidikan pesantren dapat dikatakan 24 jam sehari semalam, sehingga konsentrasi para santri untuk belajar khususnya dalam mendalami agama dapat berlangsung dengan maksimal termasuk dalam praktik dan pembiasaan dalam kehidupan kesehariannya.
Sarang Teroris vs Sarang Koruptor
Sehingga jangan sampai hanya karena ada satu dua oknum alumni dari pesantren tertentu yang tersangkut tindak pidana terorisme lantas digeneralisir bahwa pesantren tersebut (atau bahkan semua pesantren) mengajarkan radikalisme bahkan terorisme di dalamnya. Dan kemudian menyebut bahwa pesantren adalah sarang teroris. Tentu ini adalah logika yang cacat. Apakah jika dari ribuan alumni, lalu ada satu dua yang berlaku tidak benar bisa otomatis disebut bahwa lembaga tersebut yang bersalah karena membentuk orang menjadi tidak benar?! Apakah adil jika ada koruptor alumni perguruan tinggi tertentu kemudian kita katakan bahwa perguruan tinggi tersebut tempat pembibitan koruptor?! Pantaskah pula jika dikatakan bahwa perguruan tinggi adalah sarang koruptor? Apakah jika ada anak-anak remaja usia sekolah yang menjadi pecandu narkoba, lantas otomatis kita katakan bahwa pengelola sekolah tersebut adalah gembong narkoba?! Ingatlah firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 8). Wallahu a’lam
Awal Februari 2016 yang lalu umat Islam Indonesia kembali diuji. Adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution dalam sebuah diskusi “Deradikalisasi” mengatakan bahwa pihaknya telah memegang 19 nama pesantren berpaham radikal yang berkaitan dengan figur teroris. Meski BNPT belum merilis secara detail ke-19 nama pesantren tersebut, namun diketahui dari beberapa media (di antaranya Jawa Pos), dua dari 19 pesantren yang dituduh radikal tersebut berada di kawasan Solo Raya, yaitu Pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo dan Pondok Pesantren Islam Darusy Syahadah Simo Boyolali. Selain itu ada juga beberapa nama pesantren yang disebutkan, di antaranya Al Ikhlas Lamongan Jawa Timur, Darus Syifa Lampung, Nurul Bayan NTB dan Al Muttaqin Cirebon.
Kata-kata Saud Usman tersebut sontak saja menuai banyak kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan pesantren. Beberapa alumni pesantren bahkan membuat gerakan moral dengan tanda pagar #savepesantren. Direktur Pondok Pesantren Darusy Syahadah Boyolali Ustadz Qosdi Ridwanullah dalam rilis resminya yang dimuat pada laman website pesantren (darusyahadah.com) mempertanyakan apa dasar tuduhan BNPT tersebut. Menurutnya belum ada yang datang berdialog langsung dengan pesantren yang diasuhnya tersebut sebelum munculnya tuduhan itu. Sehingga pihaknya merasa keberatan dengan pernyataan tersebut karena sama dengan mendiskreditkan dan membunuh karakter pesantren.
Menurut Ustadz Qosdi, pesantrennya selalu berusaha membangun komunikasi dengan segenap elemen bangsa, bekerja sama dengan berbagai ormas Islam dan majelis pengajian. Hubungan dengan sesama kaum muslimin, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan NU juga terjalin dengan baik.
Salah satu ‘tertuduh’ lainnya, Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo, bahkan mengirimkan surat peringatan dan klarifikasi kepada BNPT, Kamis, 11 Februari 2016. Mereka memprotes pernyataan BNPT yang menyebut pesantren tersebut mengajarkan paham radikal. Direktur Pesantren Al-Mukmin KH. Wahyudin, Lc menyebutkan bahwa tudingan tersebut merupakan fitnah yang bisa membuat resah masyarakat. Menurut Ustadz Wahyudin, pesantrennya merupakan lembaga pendidikan yang terdaftar resmi oleh pemerintah, juga menggunakan kurikulum dasar yang bersumber dari Kementerian Agama. Selain itu, hubungan dengan lembaga lain juga terjalin dengan baik, termasuk lembaga pemerintahan, militer dan kepolisian.
Kilas Sejarah Pesantren
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan dan pusat penyiaran Agama Islam tertua di Indonesia yang telah melahirkan banyak kader bangsa yang menguasai ilmu agama Islam (tafaqquh fi ad diin) dan para kader pejuang di jalan Allah (mujahid fii sabilillah). Dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia, pesantren bisa dikatakan sebagai markas militer kaum muslimin. Posisi pesantren melalui ulama atau kyai dan para santrinya (tentu saja tanpa menafikan peran elemen kaum muslimin yang lain di luar pesantren) sangat penting dan menjadi simbol perlawanan atau perjuangan melawan penjajah kafir Belanda. Bahkan karena tindakan kolonial Belanda yang terus menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam, pesantren (ulama-santri) telah membentuk jaringan perlawanan yang tidak pernah padam terhadap kolonial Belanda.
Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Gema Insani Press, 1997) seperti dikutip Asyuri (2004), masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangkauan kolonial. Maka tidak aneh bila mayoritas pesantren berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan dan keserakahan.
Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengkaji atau menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad kepada santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia.
Tidak berhenti pada zaman penjajahan kafir Belanda, datang Jepang yang memposisikan diri sebagai saudara tua menghadirkan penjajahan baru yang tak kalah kejamnya hingga akhirnya ulama-santri membentuk laskar Hizbullah dan Sabilillah untuk mempersiapkan kemerdekaan RI sekaligus mempertahankannya. Sebelumnya para kyai dan santri juga tergabung dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bahkan pernah mengatakan bahwa para santri bisa dibilang merupakan bapak kandung dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karena dalam sejarah pembentukan TNI, sejak awal dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) sampai berkembang menjadi TKR, TRI dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di kesatuan PETA dan Hizbullah dan Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan kemiliteran tersebut.
Kalau kita jujur dalam membaca dan menilai sejarah, nampak bahwa ulama-santrilah (sekali lagi tanpa menafikan peran elemen kaum muslimin yang lain di luar pesantren) yang mampu secara konsisten mengadakan perlawanan terhadap kolonial. Dengan kata lain, ulama dan pesantren adalah elemen bangsa yang tidak pernah terjajah oleh kolonial, bahkan selalu tampil di garda depan dalam menumpas kolonialisme.
Menegaskan peran pesantren ini, KH. Muhammad Adnan Arsal, S.Ag, pengasuh Pondok Pesantren Amanah Poso mengatakan bahwa negara ini hadir bukan karena perjuangan BNPT. Melainkan karena perjuangan para ulama terdahulu yang mengobarkan jihad. Banyak santri yang sudah gugur dalam mempertahankan tanah air dengan jihad. Dan saat ini, antara BNPT dan pesantren sama-sama lembaga legal di Indonesia yang juga mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Sehingga bisa saja pesantren menuntut BNPT karena telah menuduh pesantren mengajarkan radikalisme.
Pesantren Sekarang
Saat ini, pesantren masih dan tetap akan berperan aktif dalam membimbing dan mendidik generasi muda sesuai syariat Islam, sehingga lulusan dari pesantren dapat menerapkan ilmu yang sudah didapatkan di pesantren. Selain itu, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam secara umum bertujuan membimbing santri untuk menjadi manusia yang berkepribadian dan berkarakter Islam yang dengan ilmu agamanya sehingga ke depan dapat bermanfaat di masyarakat melalui ilmu dan amalnya.
Secara umum, adanya pondok pesantren terbukti sangat dibutuhkan sebagai benteng iman, akhlak dan moral generasi muda di tengah-tengah meningkatnya dekadensi moral para pelajar saat ini, bahkan yang berasal dari sekolah-sekolah negeri favorit. Pesantren sampai saat ini masih sangat dipercaya oleh umat Islam sebagai sistem yang paling efektif dalam mendalami agama Islam. Karena keberlangsungan pendidikan pesantren dapat dikatakan 24 jam sehari semalam, sehingga konsentrasi para santri untuk belajar khususnya dalam mendalami agama dapat berlangsung dengan maksimal termasuk dalam praktik dan pembiasaan dalam kehidupan kesehariannya.
Sarang Teroris vs Sarang Koruptor
Sehingga jangan sampai hanya karena ada satu dua oknum alumni dari pesantren tertentu yang tersangkut tindak pidana terorisme lantas digeneralisir bahwa pesantren tersebut (atau bahkan semua pesantren) mengajarkan radikalisme bahkan terorisme di dalamnya. Dan kemudian menyebut bahwa pesantren adalah sarang teroris. Tentu ini adalah logika yang cacat. Apakah jika dari ribuan alumni, lalu ada satu dua yang berlaku tidak benar bisa otomatis disebut bahwa lembaga tersebut yang bersalah karena membentuk orang menjadi tidak benar?! Apakah adil jika ada koruptor alumni perguruan tinggi tertentu kemudian kita katakan bahwa perguruan tinggi tersebut tempat pembibitan koruptor?! Pantaskah pula jika dikatakan bahwa perguruan tinggi adalah sarang koruptor? Apakah jika ada anak-anak remaja usia sekolah yang menjadi pecandu narkoba, lantas otomatis kita katakan bahwa pengelola sekolah tersebut adalah gembong narkoba?! Ingatlah firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 8). Wallahu a’lam
*) Dimuat di Majalah Tabligh edisi No 3/XIV Rajab 1437 H/April 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar