Oleh H. Fahmi Salim, Lc, M.A*)
Lulusan S-2 Ilmu Tafsir, Universitas al-Azhar Kairo
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Salah satu isu besar gagasan liberalisasi agama adalah seruan perlunya penafsiran ulang alias reinterpretasi Al-Qur'an. Terutama agar sesuai dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai demokrasi (Syamsuddin Arif: 2008:148).
Termasuk dalam konteks ini upaya reinterpretasi kitab suci agar ramah terhadap perilaku LGBT (baca: homoseksual). Kini, di Indonesia pun mulai muncul aneka penafsiran ulang terhadap Al-Qur'an, khususnya ayat-ayat tentang kisah Nabi Luth. (Lihat, misalnya, wacana berikut: https://www.inspirasi.co/post/detail/5806/munim-sirry-menafsir-kisah-nabi-luth-secara-berbeda).
Tujuannya liberalisasi kisah Luth adalah satu, yaitu membiarkan dan melegalkan perkawinan sejenis atau perkawinan homoseksual. Dibuatlah analisis, seolah-olah, umat Nabi Luth bukan diazab sebab mereka homoseks, tapi karena mereka mengingkari kerasulan dan tidak sopan pada para tamunya. Karena itu, perilaku homoseksual boleh-boleh saja. Sejatinya, tafsir demikian pada kisah Luth bahkan sudah lama menjadi narasi yang digaungkan di penyuluhan yang mengampanyekan hak seksual kaum LGBT dengan topeng edukasi HIV/AIDS.
Wacana ‘baru’ bahwa umat Luth diazab Tuhan bukan karena orientasi homoseksual, sebenarnya bukan barang baru. Hal ini sudah didiskusikan oleh ulama-ulama mazhab Maliki dalam diskursus tafsir klasik. Misalnya, dalam kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurthubi, dan tafsir Ahkam al-Qur’an karya Imam Ibnul ‘Arabi. Tetapi, para ulama Islam sepakat bulat, bahwa homoseksual adalah kejahatan. Di dalam kedua tafsir bercorak hukum itu disebutkan bahwa Imam Malik mengajukan pendapat hukuman rajam bagi pelaku homoseksual yang beristeri (muhshan) dengan dalil QS. al-Hijr ayat 74 yang menggambarkan bahwa kaum Luth dihujani batu dari neraka Sijjil.
Sebagian ulama tidak sepakat dengan istinbat hukum Imam Malik dari ayat tersebut. Alasan sebagian ulama itu adalah adanya kemungkinan muncul gugatan bahwa kaum Luth diazab sebab pengingkaran atas kerasulan, bukan karena perilaku homoseksualnya. Jadi apa yang kini disuarakan kaum liberal, sudah dipikirkan oleh ulama berabad silam. Tetapi, para ulama tetap memahami bahwa perilaku homoseksual itu adalah fahisyah, kejahatan yang keji.
Meski demikian, Imam al-Qurthubi dan Ibnul ‘Arabi yang bermazhab Maliki membela pendapat Imam Malik dan menolak alur berfikir sebagian ulama yang tidak setuju itinbat hukum Imam Malik. Al-Qurthubi (2003: VII/234) menegaskan, “Jika ada yang menyatakan siksa kaum Luth hanya disebabkan kekufuran dan mengingkari rasul seperti umat yang lain, maka pendapat itu salah. Sebab Allah telah menjelaskan bahwa mereka disiksa sebab berbagai macam maksiat yang mereka lakukan. Di antara maksiat-maksiat itu adalah perbuatan homoseksual.”
Bantahan al-Qurthubi itu sangat beralasan. Sebab, meski Al-Qur’an menyebutkan maksiat lainnya yang dilakukan umat Luth (baca QS. Al-Ankabut: 29), tapi secara khusus perilaku homoseksual mereka disebutkan secara khusus sebagai perbuatan keji (fahisyah). Tidak mungkin celaan khusus itu tidak berimplikasi hukum apa-apa. Di dalam ushul fikih sendiri telah dimaklumi bahwa larangan Allah tidak selamanya dengan redaksi eksplisit nahy seperti: jangan kamu berbuat ini dan itu! Bentuk larangan (nahy) bisa berupa deskripsi betapa buruk dan berbahayanya perbuatan itu ditinjau dari segala segi.
Selain persoalan tafsir baru liberal yang ternyata usang dan telah dibantah oleh mufassir terkemuka, ada persoalan lain yaitu pencatutan nama Ibnu Hazm, ulama terkemuka penulis kitab fikih babon, al-Muhalla. Ibnu Hazm memang punya pendapat berbeda tentang bentuk hukuman terhadap pelaku homoseksual. Tapi Ibnu Hazm dan para ulama otoritatif lainnya tetap menegaskan keharaman homoseksual.
Ibnu Hazm yang dikutip pendapatnya untuk melegalkan perkawinan sejenis, berpendapat bahwa hukuman atas pelaku homoseksual adalah hukuman takzir, bukan rajam. Itu artinya, bentuk hukuman diserahkan kepada kebijakan penguasa. Soal keharaman homoseksual, sudah final disepakati oleh seluruh ulama berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Ibnu Hazm tegas menyatakan bahwa sesiapa yang menghalalkannnya maka bisa terjatuh ke dalam kekafiran, musyrik dan halal darah juga hartanya (lihat Masa’il Ta’zir wa Ma la Hadda fiihi; Mas’alat Fi’l Qawm Luth dalam al-Muhalla, vol.12).
Ibnu Hazm hanya memaparkan bahwa perbedaan pendapat ulama terletak pada bentuk hukumannya, sama seperti diskusi yang dipaparkan oleh Imam al-Qurthubi dan Ibnul ‘Arabi. Persoalannya lebih kepada perbedaan pendapat soal hukuman takzir atau hadd, bukan soal keharamannya.
Bahkan, dalam satu tulisan, seorang aktivis liberal menulis, bahwa kaum Luth hanya melakukan sodomi kepada para pelancong dari luar kota, dan sebab perlakuan itupun tidak jelas. Pendapat ini pun tidak berdasar dan hanya merupakan asumsi. Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan detail tentang kisah Luth. Misalnya, tidak disebutkan apakah kaum Luth melakukan homoseksual hanya dengan pendatang dari luar kota ataukah juga dengan sesama mereka.
Namun, Al-Qur'an bahkan sudah menyatakan, “Sebelum itu (kedatangan pelancong dari luar) mereka sudah aktif melakukan keburukan-keburukan” (QS. Hud: 78, lihat Dr. Abdul Karim Zaydan, al-Mustafad min Qashash al-Qur’an, vol.1, hlm.231).
Keterangan lanjut dari Al-Qur’an justru memberikan alasan utama mereka melakukan aktifitas kotor tersebut. Bukan dengan narasi deskriptif, tetapi petunjuk dalam surah al-A’raf ayat 81 dan an-Naml ayat 55 memilih satu redaksi yang berbunyi ‘syahwatan’ yang dalam bahasa Arab berkedudukan sebagai maf’ul li ajlihi yakni objek perbuatan dilakukan karena alasan ini. Kedudukan bahasa tersebut menunjukkan bahwa syahwat adalah motif utama tindakan homoseksual kaum Luth.
Kata syahwat dalam Al-Qur’an berarti dorongan kuat dalam hati manusia untuk mencapai sesuatu. Demikian ditulis seorang pakar bahasa Al-Qur’an Al-Raghib al-Asfahani dalam bukunya Mufradat Alfazh Al-Qur’an. Syahwat ada dua macam, yang benar (dibutuhkan oleh fisik manusia) seperti syahwat makan ketika lapar, dan yang dusta yaitu yang sama sekali tidak mengancam fisik manusia dan cenderung mengikuti nafsu jahat seperti disinggung dalam surah Maryam ayat 59 (1997: hlm.468-469). Dalam tinjauan modern, kaum Luth itu melakukan tindakan homoseksual sebagai pelampiasan dari kecenderungan same sex attraction mereka. Artinya, kaum Luth melakukannya karena mereka tidak lagi mau mengendalikan hawa nafsu mereka.
Seperti biasa, kaum liberal dengan berbagai cara mencoba menghalalkan perbuatan fahisyah yang jelas dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan trik yang halus, pendapat ulama muktabar kerap dipelintir atau melakukan reinterpretasi yang dipaksakan untuk memuluskan setting agenda global dalam konteks legalisasi perkawinan sejenis. Namun jika diperhatikan, semua itu bukanlah usaha yang tulus untuk mencapai pemahaman yang benar dari Al-Qur’an atau hadis. Sayangnya, ada saja diantara kaum homoseksual yang kemudian merujuk kepada reinterpretasi kaum liberal.
Dalam soal penyeleweangan Tafsir Al-Qur'an, Allah telah menunjukkan bagaimana Iblis pun telah melakukannya. QS al-A’raf ayat 20 menjelaskan, bahwa Iblis melakukan penafsiran semena-mena -sesuai kehendaknya- terhadap larangan Allah agar Adam menjauhi pohon itu. Lalu, Iblis membuat tafsiran, "Tuhan melarang kalian berdua (Adam dan Hawa), karena kalian bisa jadi malaikat atau jadi makhluk yang kekal abadi".
Bahkan, untuk meyakinkan Adam dan Hawa, Iblis sampai bersumpah bahwa ia adalah pemberi nasihat yang jujur. Kala itu Adam dan istrinya terpedaya akibat tafsir sesat berbungkus nasihat ala Iblis. Tentu kita sebagai keturunan Adam tidak ingin terperosok ke dalam jurang yang sama. Wallahu a’lam.
*) Tulisan ini sebelumnya dimuat pada harian Republika (Sabtu, 27-2-2016)
0 komentar:
Posting Komentar