728x90 AdSpace

Latest News
Kamis, 15 Oktober 2015

Ihyaussunnah Demi Eksistensi Islam


Oleh: K.H. MU’AMMMAL HAMIDY, LC



Berbicara mengenai ihyaussunnah (menghidup-hidupkan Sunnah) demi eksistensi Islam, di sini kita bawakan Hadits firasat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam tentang Sunnah (tradisi) Yahudi dan Nashrani, yang harus diwaspadai oleh umat Islam, yaitu: “Abu Said al-Khudri meriwayatkan, bahwasanya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sungguh benar-benar kalian  nanti akan mengikuti cara perilaku orangorang sebelum kamu. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga  seandainya mereka itu melintasi liang biawak niscaya kalian akan melintasinya juga. Kami (para sahabat) bertanya: Apakah mereka yang dimaksud itu Yahudi dan Nashara, ya Rasulallah? Jawab beliau: Lalu siapa lagi?!” (H.R. Bukhari 11: 272). 
Sementara, dalam riwayat Ahmad, berbunyi: “Abu Hurairah meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sungguh benar-benar kalian nanti akan mengikuti cara perilaku orangorang sebelum kamu. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sebahu demi sebahu,  sehingga sungguh seandainya salah seorang di antara mereka itu masuk ke liang biawak niscaya kalian pun akan masuk juga. Mereka (para sahabat) bertanya: Ya Rasulallah, apakah mereka yang dimaksud itu Yahudi dan Nashrani? Jawab beliau: Siapa lagi   kalau bukan dia.” (H.R. Ahmad, 21 : 451).
 

Penjelasan
Hadits ini termasuk firasat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam untuk masa yang akan datang. Firasat beliau itu pasti benar, karena termasuk bagian dari wahyu Allah. Tujuan firasat adalah sebuah peringatan. Seperti yang diisyaratkan dalam Al- Qur’an sebagai tanda-tanda (kekuasaan Allah)   bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (Q.s. Al-Hijr [15]: 75). Yang dimaksud memperhatikan tanda-tanda, yaitu mengenal firasat, sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah dalam Haditsnya: Abu Said al-Khudri meriwayatkan,katanya: Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: Takutlah kamu terhadap firasatnya orang  Mukmin karena dia itu melihat dengan nur Allah. Kemudian beliau membaca ayat……” (H.R. Tirmidzi). 
Dalam firasatnya ini, Rasulullah memperkirakan, bahwa kehancuran Islamini akan didahului oleh perilakuumatnya yang akan  mengikuti tradisiYahudi dan Nashrani. Dalam Haditsnyaitu, beliau mempergunakan kata “Sunan”(jamak/plural) dari Sunnah yangasal artinya cara, yang kemudian menjadi istilah, yaitu suatu cara perilaku.Sunnah Rasul, adalah perilaku Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kata “sunnah” bisa juga diartikandengan tindakan, sebagaimanatersebut dalam sebuah Hadits: “Umar bin Khathab hendak mengenakan  upeti bagi Majusi, namun dia tidak tahu tindakan apa yangharus dia lakukan. Maka Abdurrahmanbin Auf menjawab: Aku benarbenarmendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: Perlakukanlah mereka ituseperti apa yang diberlakukan terhadapahli kitab.” (H.R. Malik). 
Di situ, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mempergunakan“sunnah ahli kitab”, artinyaperlakuan ahli kitab. Ada tiga perilakuahli  kitab, baik Yahudi ataupun Nashrani,yang perlu diwaspadai, yangoleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam umat Islam benar-benar diperingatkan agar  menjauhinyasejauh-jauhnya, kalau tidakingin Islam hancur dan umat Islamlumpuh, yaitu: mengkultuskan pemimpin/ulama,  membuat bid’ah, dan ajakan kompromi.
Mengkultuskan Pemimpin/Ulama Diriwayatkan, bahwa Ummu Salamah istri Nabi shalallahu 'alaihi wasallam pernah pergi ke Habasyah, di sana dia melihat ada gereja yang dibangun dengan megah, namanya gereja Mariya di atas kubur seorang tokoh agama. Ummu Salamah bermaksud kiranya  nanti kalau Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam wafat juga dikubur seperti itu. Sebagai seorang isteri, sudah tentu akan bangga, suaminya diagung-agungkan  orang banyak. Mendengar cerita itu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, yang saat itu sedang sakit, terbangun seraya bersabda: “Abu Hurairah meriwayatkan, sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah memerangi (menghancurkan) Yahudi yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah),” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Mereka yang berbuat demikian, oleh Rasulullahn shalallahu 'alaihi wasallam, dinilai sebagai manusia yang paling buruk. Sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam: Mereka itu adalah suatu kaum yang apabila ada seorang shalih di kalangan mereka yang meninggal dunia, lalu di atas kuburnya itu dibangun sebuah masjid (tempat ibadah) yang dihiasidengan berbagai lukisan/patung. Mereka itu adalah sejelek-jelek manusia di sisi Allah.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Al-Maududi dalam Mujaz Tarikh Tajdiduddin wa Ihyaihi, setelah membawakan Hadits tersebut, mengatakan: “Saya melihat dengan mata kepala sendiri di kalangan kaum Muslimin yang lemah iman, menjadikan kubur orang-orang shalih – yang biasa dikenal dengan sebutan wali/auliya’ – sebagai sesembahan selain Allah. Kubur-kubur mereka dijadikan masjid, Dan di situ mereka berdoa, mengaji, dan berzikir, tak ubahnya  engan apa yang dilakukan oleh Yahudi dan Nashara.
Lain al-Maududi, lain pula Muhammad al-Ghazali. Dia melihat di Mesir dan Bagdad,  lebih gawat lagi, bahwa kubur Imam Syafi’i diagung-agungkan, bahkan dijadikan tawassul kepada Allah dengan cara megirimkan surat kepada Imam Syafi’i yang berada dalam kubur itu. Di sini, Imam Syafi’i dijadikan semacam tukang pos. Sedang di Baghdad, terhadap  kubur Husain bin Ali, di situ mereka merengekrengek sambil menangis, bahkan mayat yang akan dikubur dithawafkan dulu dengan  mengelilingi kubur tersebut. (Lebih lanjut dapat dibaca dalam Bukan dari Ajaran Islam, oleh Muhammad al-Ghazali, hal. 185).
Tidak terlalu jauh dari itu semua, terjadi pula di Indonesia, betapa banyak kubur para wali yang dibangun, diberi kelambu, di situ didirikan masjid,dan penziarahnya tidak pernah sepi, yang datang dari seluruh penjuru Tanah Air dengan berbagai tujuan. Dan yang pasti adalah mencari  barakah “ngalap barokah” agar doanya mudah dikabulkan Allah. Di sini, kubur para wali dijadikan semacam “operator”.Cara-cara itulah yang oleh Ahmad Hasan Baquri, Menteri Wakaf Mesir, dikatakan sebagai “penyembahan atas kubur” yang merusak Islam,kendati dengan tujuan taqarrub ila ‘llah (mendekatkan diri kepada Allah). Tak ubahnya dengan kaum musyrikin jahiliyah yang menjadikanberhala-berhala, yang juga semula adalah orang-orang shalih. Semisal Lata, Uzza, Manata dan sebagainya. Karenanya, oleh Allah, ditegur. Namun,mereka mengelak, dengan mengatakan “Kami tidak menyembah mereka, hanyalah kiranya mereka itu dapat mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Q.s. Az- Zumar [39]: 3).
Alasan yang selalu dibawa adalah firman Allah di surat Al- Maidah: “Wahai  orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) kepada- Nya, dan jihadlah kamu di jalan- Nya agar supaya kamu beruntung.” (Q.s. Al-Maidah [5]: 35).
Padahal, semua ulama salaf, terutama para sahabat, menafsirkan wasilah itu ialah  man dan amal shalih. Para sahabat yang lebih tahu tentang amaliah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, tidak seorang pun memuja-muja kubur Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan menjadikannya sebagai tempat bertawassul. Bahkan, kalau diamati mengapa jenazah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam oleh Aisyah ra dikubur  dalam kamarnya? Adalah karena khawatir kubur beliau akan dikultuskan, karena dalam akhir hayat, beliau berdoa: “Ya Allah, jangan  Engkau biarkan kuburku nanti dijadikan tempat berhari raya dan dijadikan tempat persembahan.”
Pengkultusan seperti itu dikatakan merusak Islam, karena kultus individu seperti itu akan menjurus pada kesyirikan, sedang syirik adalah merusak Islam. Agama Yahudi dan Nashrani yang ada sekarang dikatakan “tidak diakui Allah” (Q.s. Ali Imran [3]: 85). Karena agama ini adalah syirik, karena mengkultusksn ‘Uzair dan Isa al-Masih, yang kemudian dikatakannya sebagai Anak Allah. Dan  usuh Islam, semisal Napoleon Bonaparte akan  menghancurkan Islam dengan cara seperti itu. Ketika dia dapat menginjakkan kakinya di Mesir, dan melihat fenomena seperti itu, lalu dia  merencanakan akan mendirikan bangunan-bangunan berkubah besar di pintu-pintu gerbang negara Islam, yang dikatakan bahwa di  bawahnya  terkubur seorang wali besar. Maka mereka akan berbondong-bondong ke situ untuk ngalap barokah, yang pada gilirannya, mereka akan tak acuh terhadap urusan keduniaan mereka.

Membuat bid’ah
Kalau dalam Hadits di atas, dikatakan itu semua adalah bagian dari sunnah ahli kitab, utamanya Yahudi, maka dalam fiqih Islam disebut  bid’ah, yaitu mengada-ada dalam  masalah ibadah, yang tidak ada contoh  dari Nabi. Dalam agama Nashrani bid’ah ini dimulai dari sistem kepasturan, seperti yang dikatakan dalam Al-Qur’an: "Dan kepasturan yang mereka ada-adakan, padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka. Yang Kami wajibkan hanyalah mencari keridlaan Allah, tetapi tidak  mereka pelihara dengan semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang  beriman di antara mereka pahala mereka, sedangkan kebanyakan mereka adalah fasiq." (Q.s. Al-Hadid 27).  
Berawal dari bid’ah kepasturan  inilah, lalu mereka membuat tata cara  ibadah dengan nyanyi-nyanyi  dsb. mirip apa yang  dikatakan dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal 35: Artinya: "Dan tidaklah persembahyangan mereka di rumah Allah itu melainkan bersiul dan bertepuk tangan. Maka, rasakanlah azab lantaran kamu kufur."
Bid’ah kepasturan ini tidak kita jumpai dalam masyarakat Islam, tetapi yang banyak terjadi adalah bid’ah dalam ‘ibadah, semisal puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dengan lirik yang berlebihan dan lagu-lagu, yang dilakukan di masjid-masjid, yang sama sekali tidak ada  contoh dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Dan yang seperti itu sangat banyak, sehingga di kalangan ulama ada yang mencatatnya secara khusus untuk dibukukan dalam buku khusus. Semisal Syekh Muhammad Abdussalam al-Qusyairi dalam bukunya Assunan Wal Mautada’at, Asy-Syekh Ali Mahfuzh dalam bukunya al-Ibda’ fi Madharril Ibtida’. Di samping ada yang disisipkan dalam kitab bahasan khusus dengan berbagai bid’ah yang ada, semisal, Syekh Muhammad Nashiruddin Albani dalam bukunya Kitabul Janaiz wabida’uha, Hajjatun Nabiy wa bida’uha, dll. Pembahasan bid’ah ini  begitu penting, karena bid’ah ini mengancam eksistensi Islam.
Karenanya, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam wanti-wanti agar kita menjauhi bid’ah dengan segala macamnya, sebagaimana ditegaskan dalam sabdanya: Irbadh bin Sariyah meriwayatkan, katanya: Kami pernah shalat Subuh bersama Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Usai shalat beliau menghadap kami sambil   menasehati kami dengan suatu nasehat yang benar-benar mengena, hingga semua mata berbinar-binar dan hati gemetar. Sampai-sampai kami mengatakan: Ya Rasulallah, nasehat ini sepertinya nasehatnya orang yang mau berpisah, karena itu  wasiatilah kami. Lalu beliau bersabda: “Baiklah kuwasiati kalian untuk selalu bertakwa kepada Allah, dan selalu   mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun pemimpin itu seorang hambahabasyi (kecil dan hitam). Karena siapa yang hidup di antara kalian sesudahku nanti pasti akan menyaksikan berbagai perselisihan. Untuk itu pegangilah Sunnahku dan  Sunnah khulafaurrasyidin yang terpimpin, gigitlah dia dengan gigi geraham, serta waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru, karena sesungguhnya kebanyakan perkara baru itu diada-adakan (bid’ah) sedang semua bid’ah itu sesat”. (HR. Ahmad dan Empat Imam selain Nasai).
Bid’ah salah satu bentuk berlebihan, yang bertentangan dengan prisnip Islam. Bahkan oleh Ibnu Mas’ud ra dikategorikan pemaksaan. Untuk itu maka dibawakannya oleh beliau sebuah riwayat dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam: Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Ingatlah, pasti hancur orang-orang  yang berlebih-lebihan." 3 x (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Ajakan Kompromi
Kalau dulu Nabi  Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam pernah diajak kompromi oleh masyarakat Quraisy Jahiliyah untuk beribadah secara bergantian, sepekan mereka akan mengikuti cara-cara ibadah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, dan sepekan  berikutnya Nabi harus mengikuti cara-cara peribadatan mereka, lalu turunlah surat al-Kafirun  sebagai jawaban Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Maka, dalam era modern sekarang ini, secara tidak langsung, ahli  kitab itu menawarkan kompromi semacam itu kepada kaum Muslimin, seperti Natalan bersama,  valentin day dsb. Dan merekapun siap melakukan tradisi Islam semisal hari raya  dengan mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa, selamat berhari raya Idul Fitri, dll. Bahkan, mereka juga siap menyelenggaran khitanan massal di gereja, seperti yang terjadi di Malang baru-baru ini, menyediakan buka puasa di kuil dll. Dan yang paling gres “doa bersama”. Bahkan diselenggarakan di gereja, ketika memperingati kematian seorang tokoh agama.
Dalam  hal ini, tidak sedikit umat Islam yang terjebak. Apa yang namanya ‘natalan bersama’ hampir   sudah membudaya, termasuk di kalangan cendekiawan. Bahkan di antara ulamaada yang menfatwakan mubah saja mengucapkan ‘Selamat Hari Natal’, sama dengan mengucapkan selamat hari kelahiran Isa al-Masih.
Padahal yang tersirat dalam natalan adalah ‘selamat hari lahir tuhan Yesus’, yang dengan fatwa mubah itu sama dengan membenarkan ketuhanan Yesus. Fatwa MUI tentang haram natalan bersama hampir tidak berpengaruh. Valentin day, juga marak  oleh remaja Muslim, padahal di situ ada missi terselubung ikhtilath (pergaulan bebas). Sedang doa bersama, termasuk yang di gereja, mendapat sambutan juga darikalangan jamaah Islam. Kalau hal ini tidak diantisipasi sejak dini, maka nanti pada saatnya Islam akan menjadi kabur. Dan itulah yang digambarkan dalam firasat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam di atas, Wal’iyadhu billah.
Semua yang disebutkan di atas H A D I T S adalah sebuah tantangan, yang harus kita hadapi demi eksistensi Islam secara utuh. Dan itulah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an: “Bertaqwallah dengan   sebenar-benar takwa”, yaitu mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara benar dan utuh sesuai  tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Sebab betapa pun amalan itu diniati untuk penyembahan kepada  Allah, tetapi kalau penuh dengan bid’ah, maka amalan itu bukan taqwallah, tetapi suatu   kesesatan seperti disebutkan di atas. Dan amalan seperti itu tidak akan diterima oleh Allah  kelak di hari kiyamat (Q.s. Ali Imran: 102). Sebagaimana ditegaskan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam: “Barangsiapa  mengamalkan sesuatu amalan yang jelas-jelas tidak ada perintah/ contoh dari kami, maka   amalan itu tertolak." (HR. Muslim)
Sementara “mati dalam Islam” yaitu memegangi Islam itu dengan teguh dan menjadikannya sebagai pedoman hidupnya sampai akhir hayat. Sedang apa  yang dinamakan Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Karena disanalah tercantum seluruh aturan hidup, baik dalam hubungannya dengan Allah (hablum minallah), maupun dalam hubungannya   sesama manusia (hablum minannas).
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Ihyaussunnah Demi Eksistensi Islam Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu