728x90 AdSpace

Latest News
Jumat, 16 Oktober 2015

Mengenal Haedar Nashir, Sang Ketua Umum Muhammadiyah 2015-2020


Oleh: Iwan Setiawan, M.S.I.
Dosen STIKES Aisyiyah Yogyakarta
Ketua PW Pemuda Muhammadiyah DIY

Jalan panjang menjadi kader Muhammadiyah akhirnya mengantarkan sosok DR. KH. Haedar Nashir, M.Si menjadi orang nomor satu di Persyarikatan Muhammadiyah.  Haedar Nashir diberi amanah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Kota Makassar tahun 2015.

Siapa Beliau?
Beliau Lahir di Desa Ciheulang, daerah Ciparay, Bandung Selatan. Lahir dari pasangan Haji Ajengan Bahrudin dan Hajah Endah binti Tahim. Haedar Nashir adalah anak terakhir dari 12 bersaudara, wajar bila Haedar kecil menjadi anak yang disayang oleh orang tuanya.
Berkaitan dengan pendidikan keislaman, ayahnya Haji Ajengan Bahrudin menerapkan disiplin yang ketat. Guyuran air akan menimpanya bila tidak segera bangun untuk shalat subuh. Begitu juga sambitan selendang haji akan melecutnya saat ia salah membaca Al-Qur’an. Pendidikan Islam yang pertama berasal dari ayahnya. Selain itu pendidikan di Pondok Pesantren Cintawana, Tasikmalaya Jawa Barat juga menjadi modal dalam memahami Islam di kemudian hari. Pendidikan agama dari sang ayah dan belajar di pesantren menjadikan Haedar Nashir akrab dengan dunia santri sejak kecil.

Cinta Studi dan Berorganisasi
Haedar Nashir yang lahir di Bandung, 25 Februari 1958 sejak kecil ingin bersekolah di Yogyakarta, tapi masih belum diperbolehkan oleh ayahnya. Ia menamatkan pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Cigugur Ciparay Kabupaten Bandung, SMP Muhammadiyah III Padasuka Bandung dan SMA Negeri X Kota Bandung Jurusan B (Ilmu Pasti dan Alam). Bakat organisasinya sudah terasah sejak di SMA. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PC IPM) di Padasuka Bandung, ia menjadi ketua saat IPM baru dirintis di kecamatan tersebut. Sebagai ketua IPM itulah ia terbiasa mencari dana kesana-kemari untuk acara perkaderan dan lainnya. Ia selalu mengingat saat ia menjadi ketua IPM dan perjuangan mencari dana untuk menyelenggarakan kegiatan IPM di sana.
Niat untuk belajar di Yogyakarta akhirnya kesampaian, Haedar Nashir muda diperbolehkan untuk kuliah di Jogja. Putaran nasib memang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Sejak awal kuliah ia bercita-cita ingin menjadi lurah atau camat. Makanya sesampai di Jogja ia mengambil Sarjana Muda (B.A) di Akademi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD) Yogyakarta dan Strata 1 (S1) di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) Yogyakarta. Selama kuliah ia mendapat beasiswa Supersemar dan lulus sebagai sarjana terbaik. Rupanya dorongan menjadi wartawan dan penulis memupus cita-citanya menjadi lurah dan camat di kampung kelahirannya.
Minat Haedar Nashir muda pada studi sosial dan keagamaan yang mengantarkannya untuk Studi Sosiologi di Pascasarjana UGM (S2, 1998) dengan tesisnya berjudul “Perilaku Elite Politik Muhammadiyah di Pekajangan” dan Studi Sosisiologi pada Program Doktor di UGM (S3, 2007) dengan disertasinya berjudul “Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia”. Selain itu Haedar Nashir menulis lebih dari 10 buku yang berisi pemikirannya tentang Muhammadiyah. Hajriyanto Y Tohari, mantan Wakil Ketua MPR RI menjuluki Haedar Nashir sebagai ‘Ensiklopedi berjalan Muhammadiyah’.
Karir Haedar Nashir tidak jauh dari dunia kepenulisan. Mulai dari penulis di koran lokal dan nasional, peneliti pada LP3 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), wartawan hingga Pemred Majalah Suara Muhammadiyah dan sejak tahun 2000 menulis rutin di Republika. Sebagai pendidik/dosen di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga (1993-1998), dan Fisipol UMY sampai sekarang. Setelah menjadi Doktor, Haedar Nashir juga mengajar Pemikiran Islam dan Politik Islam pada Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga dan sesekali menjadi pembimbing disertasi di Pascasarjana UGM.

IPM dan Muhammadiyah Pilihan Gerakannya
Tanah Jogja menjadikan Haedar Nashir kerasan menetap. Selepas dari IPM di Bandung karir organisasinya di Jogja dimulai dari Pimpinan Wilayah IPM DIY. Sebagai aktivis organisasi Haedar Nashir punya prinsip sendiri. Ia lebih suka menuangkan kritik terhadap keadaan dengan tulisan dan bukan demo di jalanan. Semasa mahasiswa di tahun 80-an Haedar Nashir sudah tertarik pada isu-isu pembangunan masyarakat desa. Tahun 1979-1985 ia masuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dhworowati Cultural Institute, pengalaman di LSM inilah yang menjadikan pemikiran keislamannya di kemudian hari cenderung kritis pada masalah pembangunan dan kondisi masyarakat Islam.
Muhammadiyah adalah tempat berlabuh Haedar Nashir dan IPM adalah jejak awal karir organisasinya, mulai dari IPM Cabang sampai Pimpinan Pusat IPM. Haedar Nashir dikenal sebagai tokoh perkaderan dan salah satu pencetus Sistem Perkaderan IPM (SP IPM) sistem perkaderan berjenjang di IPM yang dipakai sampai hari ini. Ia juga pernah menjadi salah satu anggota Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Tidak heran pada tahun 1990-1995 dan 1995-2000 Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mempercayakan Badan Pendidikan Kader dan Pembinaan AMM PP Muhammadiyah kepadanya. Tahun 2000-2005 diberi amanah sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah mendampingi Buya Syafii Maarif. Pada periode 2005-2010 dan 2010-2015 menjadi salah satu Ketua PP Muhammadiyah bersama Pak Din Syamsuddin. Di tangan Haedar Nashir inilah manajemen keorganisasian Muhammadiyah ditata dengan baik.

Pasutri menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah dan PP Aisyiyah
Di Muhammadiyah jugalah Haedar Nashir menemukan tambatan hatinya. Dalam kesibukannya mengurus organisasi romantisme kehidupan tidak ditinggalkan. Sebagai Ketua I PP IPM ia tidak bisa ditipu oleh pesona Ketua III PP IPM bernama Noordjannah Djohantini (Dra. Hj. Noordjannah Djohantini, M.M). Seringnya bertemu, berbagi ide baik dalam acara formal ataupun informal menjadikan keduanya saling tertarik. Pada 10 September 1987 Haedar Nashir menikahi Noorjanah Djohantini yang berasal dari Moyudan, Sleman. Dari pernikahan ini lahir Hilma Nadhifa dan Nuha Aulia Rahma. Haedar Nashir dalam tulisannya juga menggunakan nama pena Abu Nuha, artinya Ayahnya Nuha.
Haedar Nashir dan Noordjannah Djohantini walaupun sama-sama sibuk di Muhammadiyah tetap menjadikan urusan pendidikan anak sebagai tugas penting orang tua dan saling pengertian antara orang tua dan anak. Haedar Nashir selalu menekankan kepada anak-anaknya bahwa dalam hidup ini orang butuh kehormatan, tidak punya apa-apa tidak masalah asal memiliki kehormatan diri. Pendidikan agama juga ditekankan kepada anak-anaknya dengan dialog antara orang tua dan anak sehingga kesadaran anak berkaitan dengan urusan keagamaan didasarkan atas proses saling memahami.
Sejarah berulang dengan munculnya ketua Muhammadiyah dan Aisyiyah yang juga sebagai pasangan suami-istri. Satu abad yang lalu sosok Kiai Dahlan dan Siti Walidah/Nyai Ahmad Dahlan juga sama-sama memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah. Kiai Dahlan menjadi ketua Muhammadiyah dan Nyai Ahmad Dahlan menjadi ketua Sopo Tresno yang akhirnya berubah menjadi Aisyiyah. Pada abad kedua Muhammadiyah ini Ketua Muhammadiyah yang suami istri berulang. Haedar Nashir menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah Periode 2015-2020 dan Noordjannah Djohantini menjadi Ketua Umum PP Aisyiyah Periode 2015-2020. Bukan dengan proses karbitan, pasangan ini bisa memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah. Noorjannah Djohantini menjadi kader Muhammadiyah sejak di PP IPM, Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah dan Ketua Umum PP Aisyiyah Periode 2010-2015 dan dilanjutkan periode lima tahun yang akan datang. Haedar Nashir ingin membawa Persyarikatan yang didirikan oleh Kiai Dahlan ini sebagai gerakan Islam Modern yang memiliki pilar moderat, kultural dan menawarkan Islam yang mencerahkan dan berkemajuan. [Majalah Tabligh edisi 12/XII Muharram 1437]
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Mengenal Haedar Nashir, Sang Ketua Umum Muhammadiyah 2015-2020 Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu