728x90 AdSpace

Latest News
Rabu, 23 September 2015

Kontroversi Sekitar Posisi Tangan Bakda I‘tidâl: Antara Sedekap atau Tidak Sedekap


Oleh: Syakir Jamaluddin, M.A.*)

Pembahasan mengenai hal ini sangat menarik karena para ulama memang memahami hadis yang sama dengan cara berbeda. Syekh Nâshiruddin al-Albâni menyatakan bahwa sedekap bakda i'tidal yakni meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah i'tidâl (bangkit dari ruku') adalah bid'ah menyesatkan (bid'ah dlalâlah). Menurutnya, jika ada dalilnya yang rinci, mohon supaya dihadirkan. Muhammadiyah dalam Fatwa Tarjihnya, cenderung memilih pendapat al-Albâni yakni tidak dengan bersedekap, tetapi tangannya lurus ke bawah bakda i'tidal, meskipun Muhammadiyah tidak sampai menyatakan sedekap bakda i'tidal sebagai bid'ah.
Sementara Syekh Bin Bâz dan Syekh Ibn Utsaymin dalam Fatâwâ-nya memfatwakan bukan bid'ah karena masih ada tuntunannya berdasar keumuman hadis Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dari Sahl bin Sa‘ad al-Sâ'idi radhiallahu ‘anhu bahwa:
كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِى الصَّلاَةِ
“Orang-orang diperintahkan (oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam) agar meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya dalam shalat” (HSR. Al-Bukhâri, Mâlik, dan al-Bayhaqi)[i]

Meskipun hadis di atas tidak rinci sebagai posisi sedekap bakda i'tidal, namun karena letak tangan pada posisi ruku, sujud dan duduk sudah jelas, maka keduanya memahami bahwa yang dimaksud dengan hadis di atas adalah perintah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri itu dalam posisi berdiri, dan tidak dibedakan berdiri sebelum ruku' atau setelahnya. Untuk mendukung hadis di atas, Syekh Bin Bâz menyebutkan hadis dari Wâ'il bin Hujr bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ
Apabila berdiri dalam shalat, beliau  menggenggam dengan tangan kanannya atas tangan kirinya (HHR. Al-Nasa'i, al-Hâkim & al-Daruquthni) yang dalam penjelasannya bahwa hadis ini juga tidak membedakan berdiri sebelum ruku' ataukah bakda ruku. Menurutnya, bagi yang membedakan ini, dipersilahkan menghadirkan dalilnya. Pendapat kedua ini didukung Syekh Muhammad Shâlihal-Munjid, bahkan al-Sindi menulis risalah khusus yang berjudul: زيادة الخشوع بوضع اليمنى على اليسرى بعد الركوع (Menambah kekhusyu'an dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah ruku').
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya cenderung untuk tidak sedekap bakda i'tidal, sedangkan pengikut Imam Malik terpecah menjadi dua pendapat. Adapun Imam Ahmad mempersilahkan untuk memilih salah satunya, yang penting tulang-tulang punggung utama sudah tegak lurus.
Dalam penelitian penulis, dari sekian banyak hadis yang berbicara tentang gerakan bakda i'tidal, memang tidak ada satupun hadis yang maqbûl yang secara tegas merinci letak tangan bakda i'tidal kecuali semuanya atas dasar interpretasi/penafsiran terhadap hadis. Pada umumnya, hadis yang menyebutkan adanya gerakan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri disebutkan setelah takbiratul-ihrâm. Hadis dari Wâ’il bin Hujr ra yang dijadikan sebagai landasan Bin Bâz dan Ibn 'Utsaymîn, sebenarnya sebagian redaksinya menyebutkan bakda takbîratul-ihrâm. Perhatikan pernyataan Wâ'il berikut ini:
لأَنْظُرَنَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَيْفَ يُصَلِّى. قَالَ : فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ قَامَ وَكَبَّرَ ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى ، وَالرُّسْغِ مِنَ السَّاعِدِ.
“Sungguh saya benar-benar memperhatikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bagaimana beliau shalat." Wâ'il berkata: "Saya melihat beliau berdiri dan bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya, kemudian beliau (shalallahu ‘alaihi wasallam) meletakkan tangannya yang kanan di atas punggung telapak tangan kirinya, pergelangan dan lengan bawahnya.” (HHR. Ahmad, al-Bayhaqi, al-Thabrâni, Ibn Khuzaymah, Ibn Hibbân)[ii]

Dalam redaksi dari Wâ’il radhiallahu ‘anhu yang lain juga menyebutkan bakda takbîratul-ihrâm:
حِيْنَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَأَمْسَكَهَا
“Ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya lalu memegangnya.” (HHR. Ibn Khuzaymah) [iii]

Hadis dari Wâ'il yang lain menyebutkan bahwa saat menuju ke mihrab untuk shalat, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bertakbîr, kemudian kedua tangannya diletakkan di atas dada:
ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ بِالتَّكْبِيرِ، ثُمَّ وَضَعَ يَمِينَهُ عَلَى يُسْرَاهُ عَلَى صَدْرِهِ
”Lalu beliau mengangkat kedua tangannya dengan bertakbir, kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HHR. Al-Bayhaqi, al-Thabrâni)[iv]

Hadis-hadis di atas begitu jelas menyebutkan bahwa bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada hanya dilakukan setelah takbiratul-ihram. Sedangkan hadis-hadis yang seringkali diinterpretasikan secara berbeda tersebut, tak satupun yang menyebutkan adanya gerakan untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada bakda i'tidal seperti redaksi saat bakda takbiratul-ihram. Jika memang ada, maka --paling tidak-- ada satu saja redaksi yang mirip dengan redaksi meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri bakda takbiratul-ihram. Silahkan memperhatikan secara seksama semua redaksi mengenai gerakan setelah i'tidal, maka kita hanya menemukan redaksi seperti yang diceritakan oleh Abu Humayd al-Sâ‘idiy radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ...[v]
“Apabila mengangkat kepalanya, beliau menjadi tegak lurus hingga setiap tulang kembali ke tempatnya.”

Dalam redaksi yang lain disebutkan bahwa ketika bangkit dari ruku':
حَتَّى يَعُودَ كُلُّ عَظْمٍ مِنْهُ إِلَى مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلاً
“hingga setiap tulangnya kembali ke tempatnya secara proporsional.”[vi]

Sementara dalam riwayat Rifâ‘ah bin Râfi radhiallahu ‘anhu hanya menyebutkan:
فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا[vii]
“Apabila kamu mengangkat kepalamu maka tegakkanlah tulang punggungmu (sulbi-mu) hingga kembali tulang tersebut ke persendiannya.”

Hadis-hadis inilah yang sering ditafsirkan secara berbeda. Ada yang menafsirkan sebagai kembali ke posisi asal dengan irsâl yakni melepaskan/menjulurkan tangan ke bawah, dan ada yang menafsirkan dengan kembali ke posisi semula, yakni dengan sedekap. Memang ada HR. Ahmad yang menyebutkan adanya sedekap bakda i‘tidal bahwa: “…ketika (Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam) mengucapkan “sami‘allâhu li man hamidah”, beliau mengangkat kedua tangannya, dan aku melihat beliau menahan tangan kanannya atas tangan kirinya  (مُمْسِكًا يَمِينَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِي الصَّلاةِ), tetapi hadis ini adalah hadis gharîb (asing) dan munkar  sehingga tidak layak dijadikan hujjah.[viii] Sedangkan hadis al-Bukhâri dari Sahl bin Sa'ad al-Sâ'idiy yang memerintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam shalat itu terlalu umum dan tidak rinci, di mana bila kita kaitkan dengan hadis-hadis dari Abu Humayd al-Sâidi dan Wâ'il bin Hujr lainnya, maka kita akan menyimpulkan sebagai anjuran untuk bersedekap bakda takbîratul-ihram.
Yang jelas, demikian banyak hadis yang menjelaskan secara rinci tentang tata cara shalat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam (dari shalat wajib sampai shalat sunnah), tapi kenapa tidak satupun hadis maqbûl yang menceritakan adanya tuntunan sedekap setelah i‘tidal. Dan kembali kepada kaidah ushûl (dasar) dalam hal ibadah, yakni: "Pada asalnya semua ibadah itu batal/haram sampai ada dalil yang memerintahkannya." Adapun pernyataan Bin Bâz dan Ibn 'Utsaymin yang menyatakan bahwa atas dasar keumuman hadis al-Bukhâri dari Sahal yang tidak membedakan berdiri dengan sedekap sebelum ruku' atau setelahnya, tidak dapat diterima karena justru terlalu umum dan terkesan menggunakan qiyâs dalam ibadah, padahal menurut kaidah fiqh: "Tidak ada qiyâs dalam hal ibadah".
Oleh karena tidak ada hadis maqbûl yang menjelaskan secara rinci adanya gerakan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri bakda i'tidal dan tidak dibenarkan menggunakan qiyas dalam hal ibadah, maka posisi tangan bakda i‘tidâl adalah tegak lurus yakni kedua tangan dibiarkan menjulur ke bawah, tidak sedekap di dada. Wa-llâhu a'lam bish-shawâb.


*) Dosen 'Ulûmul-Hadîts pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Ketua LPPI UMY; Anggota MTDK PP. Muhammadiyah; Penulis Buku: “Shalat Sesuai Tuntunan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: Mengupas Kontroversi Hadis Sekitar Shalat” (LPPI UMY, 2008)

[i] HSR: Hadis Sahih Riwayat Al-Bukhâri juz 1, hlm 259, no: 707; Mâlik, juz 1, hlm 159, no: 376; al-Bayhaqi, juz 2, hlm 28; Penjelasan langkap pandangan Ibn Bâz dan Ibn 'Utsaymîn mengenai hal ini, baca: Majmû' Fatâwâ Ibn Bâz, juz 11/130-139 atau Fatâwâ Arkân al-Islâm, dan Majmû' Fatâwâ wa Rasâ'il Ibn 'Utsaymîn, juz 13/115. Di Indonesia, pendapat semacam ini umumnya dipegangi oleh ulama PERSIS.
[ii] HHR: Hadis Hasan Riwayat Ahmad, juz 4/hlm 398, no: 18890; al-Bayhaqi, juz 2, no: 2157; Ibn Khuzaymah, tahqîq al-A’dzami, 1/hlm 243, no: 480; Ibn Hibbân, 8/213: 1892. Tetapi dalam Sunan Abi Dâwud, juz 1, no: 727 tidak menyebutkan redaksi bakda takbiratul-ihram. Semua hadis di atas melalui Zâ’idah dari ‘Âshim bin Kulayb, dari Bapaknya, dari Wâ’il bin Hujr. Karena banyak riwayat pendukung dengan redaksi yang berbeda yang menuntunkan meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri setelah takbiratul-ihram, maka hadis ini menjadi hasan li ghayrih, yakni: hasan karena yang lainnya.
[iii] HHR. Ibn Khuzaymah, Shahîh. tahqîq al-A‘dzami, juz 1/hlm 242, no: 478. Sekedar pendukung dari hadis-hadis di atas, ada HR. Ibn Khuzaymah dari Wâ’il bin Hujr bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam setelah takbîratul-ihrâm: وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِه : “Beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya”. (ShahîhIbn Khuzaymah, tahqîq al-A‘dzami, 1/ 243: 479) namun ini asalnya daif karena periwayat Mu’ammal banyak kesalahannya. Tetapi karena ada hadis senada dengan sanad yang berbeda yakni HR. al-Bayhaqi (juz 2/30: 2166) dan al-Thabrâni (juz 22/49: 118) sehingga hadis-hadis tersebut –termasuk hadis ini-- bisa saling mendukung satu sama lain. Tampaknya inilah yang menyebabkan al-Albâni menilai hadis meletakkan tangan di dada ini sahih.
[iv] HHR. Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, tahqîq: Muhammad ‘Abd al-Qadîr, 2/30: 2166;  al-Thabrâni, al-Mu‘jam al-Kabîr, tahqîq: Hamdy al-Salafi, 22/49: 118, keduanya melalui ‘Abd al-Jabbâr bin Wâ’il, dari Ibunya, dari Wâ’il bin Hujr ra. Ada riwayat yang menuntunkan bahwa kedua tangan dikencangkan di atas dada:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengencangkan keduanya di atas dadanya, dan beliau melakukannya dalam shalat.” (HR. Abu Dâwud, 1/260: 759) namun ini juga sebenarnya termasuk hadis daif karena mursal yakni Thâwus bin Kaysân seorang tâbi‘în (wafat 106 H) langsung menyandarkannya pada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
[v]HSR. Al-Bukhâri, 1/284: 794; Ibn Mâjah, 1/280: 863; Ibn Khuzaymah, Shahîh, 2/324: 643; al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, 2/97: 2455. Dalam redaksi Muslim (5/54: 1138), Abu Dâwud (1/285: 783), al-Nasâi, Ibn Mâjah, Ahmad, dari 'Â'syah ra:
وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ جَالِسًا
"Dan bila mengangkat kepalanya dari ruku', beliau tidak sujud hingga tegak-lurus dalam berdiri (yakni: tidak sedekap), dan bila mengangkat kepalanya dari sujud, beliau tidak akan sujud hingga tegak-lurus dalam duduk (tidak sedekap)." Sebagian hadis-hadis tersebut menggunakan kata اسْتَوَى yang berarti: menjadi tegak lurus. Lihat Ibrahim, dkk., 1972. al-Mu'jam al-Wasîth, hlm 466; Attabik 'Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1996, Kamus al-'Ashri: Arab-Indonesia, hlm 116. Hanya karena ada hadis yang menjelaskan bahwa posisi tangan saat duduk diletakkan pada kedua paha, maka tangan harus diletakkan di atas paha, tidak dijulurkan ke bawah dan tidak sedekap. Sedangkan pada saat i'tidal, karena tidak ada yang menuntunkan untuk sedekap, maka posisi kedua tangan dijulurkan ke bawah hingga menjadi tegak lurus, rata dan sama (sebagaimana makna istiwâ').
[vi]HSR. al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, 2/97: 2455. Lihat juga Ibn Hibbân, Shahîh, tahqîq al-Arna’uth, 5/hlm 195. Ada juga redaksi dari al-Bayhaqi , Ibn Hibbân & Ibn Khuzaymah bahwa setelah ruku':ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَاسْتَوَى قَائِمًا حَتَّى أَخَذَ كُلُّ عَظْمٍ مَوْضِعَهُ: lalu tegak lurus dalam berdiri hingga seluruh tulang menempati tempatnya, yang meskipun hadis ini daif karena ada Fulayh bin Sulayman, namun karena ada dukungan dari hadis yang lain sehingga bisa naik derajatnya menjadi hasan karena yang lainnya.
[vii]HSR. Ahmad, juz 4 no: 19017; al-Bayhaqi, juz 3, hlm 41, no: 83; Ibn Hibbân, juz 5, hlm 88; al-Syâfi ‘i, Musnad, juz 1 hlm 34, no: 135.
[viii]Hadis gharîb riwayat Ahmad, juz 4, no: 18891 karena hanya punya satu jalur dari ‘Abdullah bin al-Walîd, dari Sufyân al-Tsawri, dari ‘Âshim bin Kulayb, dari Bapaknya, dari Wâ’il bin Hujr ra. Selain sanad ‘Ashim dari Bapaknya ini sendirian dan –menurut ‘Ali bin al-Madini-- bahwa bila sendirian maka hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah, juga ‘Abdullah bin al-Walîd bin Maymûn ini kontroversial. Kritikus yang menilainya tsiqah adalah Al-‘Uqayli dan al-Dâruquthni, sedangkan Abu Zur‘ah: shadûq. Imam Ahmad menilai hadisnya sahih, ia banyak menulis hadisnya meskipun ia bukan periwayat hadis dan banyak kesalahan dalam beberapa nama. Abu Hatim juga menuliskan hadisnya namun tidak untuk dijadikan hujjah. Ibn Ma‘în mendaifkannya, tidak mengenalnya dan juga tidak menuliskan hadisnya. Al-Bukhâri menilainya maqârib yakni hadis-hadisnya perlu diteliti lagi, sedangkan menurut Al-Azdi, hadis-hadisnya meragukan karena banyak kesalahan. Ibn ’Addi menilainya bahwa hadis-hadis yang ia riwayatkan dari al-Tsawri adalah gharîb dan munkar. (Lihat Ibn Hajr, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 6 hlm 64; Ibn ’Addi, al-Kâmil fi al-Dlu’afâ’, juz 4 hlm 248) Oleh karena ada kritikan yang lebih detail dan spesifik dari Ibn ’Addi –apalagi yang mengkritiknya lebih banyak daripada yang memujinya-- maka sanad dan matan hadis ini daif. Jika membaca secara seksama pada matan hadis di atas maka memang ada kekurangakuratan pada penempatan matan hadis di atas yang menyalahi ungkapan hadis yang lebih sahih. Seharusnya sedekap ini setelah takbiratul-ihrâm sebagaimana umumnya matan hadis yang maqbûl, seperti HHR. Ibn Khuzaymah  dari Wâ’il ra. berikut:  
لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاةِ رَسُولِ اللهِ كَيْفَ يُصَلِّي، فَرَأَيْتُهُ حِيْنَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَأَمْسَكَهَا
“Sungguh saya benar-benar memperhatikan shalat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bagaimana beliau shalat. Maka aku melihatnya ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya lalu memegangnya.” (ShahîhIbn Khuzaymah, tahqîq al-A’dzami, 1/242). Mungkin inilah yang menyebabkan hadis (…مُمْسِكًا ) riwayat Ahmad ini dimasukkan oleh Khâlid bin ‘Abdillah bin Muhammad al-Syâyi‘ dalam bukunya: al-I‘lâm bi Takhyîyr al-Mushalli bi Makân Wadl‘i al-Yadayn bakda Takbirat al-Ihrâm, 1421 H., hlm 10.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Kontroversi Sekitar Posisi Tangan Bakda I‘tidâl: Antara Sedekap atau Tidak Sedekap Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu