Pertanyaan dari:
H. Amin, BA., Kajan Krowe Lambeyan Magetan
Pertanyaan :
Bagaimana hukum puasa Arafah yang tidak bertepatan dengan wukufnya jama’ah haji ?
Jawaban :
Pertanyaan  Saudara singkat, tetapi jawabannya agak sedikit panjang, karena ada  aspek yang menyangkut ijtihad, di mana sama-sama kita ketahui bahwa  “ijtihad itu tidak gugur oleh ijtihad”. Di samping itu, ijtihad  sekalipun tidak tepat (benar), tapi mendapat satu pahala bagi orang yang  berijtihad, begitu juga yang mengikutinya.
Kalau  kita merujuk kepada Sunnah, Nabi SAW menyuruh kita yang tidak sedang  melakukan ibadah haji, sunat berpuasa pada hari wuquf, seperti  disebutkan dalam hadits berikut;
صَوْمُ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَ مُسْتَقْبَلَةً ( رواه الجماعة )
Artinya: “Puasa Arafah dapat menutup (menghapus dosa) setahun yang lalu dan setahun yang akan datang”. (HR. Al-Jama’ah)
Menurut  bunyi hadits tersebut, kita harus berpuasa pada waktu para hujjaj  sedang wuquf di Arafah, bukan pada hari sesudah wuquf. Hal ini tidak ada  kesulitan jika kita mempergunakan “mathla’ Makkah” dalam  penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Dzulhijjah. Tetapi, Lembaga Isbat  Departemen Agama, begitu juga ormas-ormas Islam yang berpengaruh di  Indonesia, memakai mathla’ wilayah Indonesia, bukan mathla’ Makkah.  Selama ijtihad kita masih seperti itu, maka ada kemungkinan,  kadang-kadang kita berpuasa Arafah tidak tepa pada hari wuquf. Padahal  sekarang ini, untuk mengetahui kapan para hujjaj wuquf sangat mudah; dua  atau tiga hari sebelum wuquf, Mufti Kerajaan Arab Saudi sudah  mengumumkan dan disiarkan ole media cetak dan elektronik ke seluruh  dunia. Di Indonesia, baru Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islam Indonesia  (DDII), dan Hizbut Tahrir yang sudah menggunakan mathla’ Makkah khusus  dalam menentukan Hari Raya Haji, bahkan juga untuk Hari Raya Idul Fitri.
Dengan  uraian singkat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa idealnya kita  berpuasa pada hari para hujjaj sedang melakukan wuquf, bukan pada hari  lainnya, apalagi mengingat selisih waktu antara Arab Saudi dan Indonesia  hanya ± 4 jam. Namun demikian, bagi orang yang mengikuti penetapan  Pemerintah (Departemen Agama) tidak dapat disalahkan, puasanya  mudah-mudahan diterima oleh Allah dan dipandang sah secara hukum.
Insya  Allah Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam akan meninjau  ulang masalah mathla’ ini pada Munas Tarjih ke-26 yang akan  diselenggarakan di Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober mendatang.  Kalau mathla’ Makkah dapat diterima, maka kita dapat berpuasa tepat pada  hari wuquf dan Hari Raya juga tidak berbeda. Kita harapkan juga,  ormas-ormas yang lain mau mengkaji ulang soal ini. Masalah ini (mathla’)  adalah termasuk objek ijtihad, karena tidak ada nash yang mengharuskan  kita mesti memakai mathla’ negerinya masing-masing. Perlu kami  informasikan, sebagai wacana soal tersebut pernah ditulis oleh Saudara  Drs. H. Ismail Thaib (Ketua Divisi Fatwa, Hisab, dan Tafsir Majelis  Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah)  dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 06 Th. ke-88, 16-31 Maret 2003.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
 

 
 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar