Oleh: Zaki Arrobi
Calon Sarjana Fisipol UGM
Bergiat di Komunitas Muhammadiyah Muda Bulaksumur
Bergiat di Komunitas Muhammadiyah Muda Bulaksumur
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara
Awal masuknya Islam ke Indonesia hingga kini masih menjadi salah satu  polemik intelektual terbesar di kalangan sejarawan muslim. Namun secara  sederhana pandangan khalayak umum dapatlah dipetakan masih bertumpu pada  teori Gujarat, teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia  melalui pedagang pedagang yang berasal dari sebuah daerah di India  bernama Gujarat pada awal abad 13, teori inilah yang hingga kini masih  menjadi alam pikiran manusia muslim Indonesia, hal ini akibat  berjalannya ‘koloni’ sistem pengetahuan kita yang dijalankan oleh  aparatus aparatus pendidikan kita. Teori ini sesungguhnya sangat bias  kolonial, promotor terbesar teori ini adalah Dr.Snouck Hurgonje,  orientalis-Islamolog terbesar di Hindia Belanda, Hurgounje  berkepentingan memainkan politik ‘devide et impera’ dan ‘peluruhan  sejarah’ Islam di nusantara demi kepentingan kolonialisme Belanda .  Teori ini berhasil dipatahkan dengan teori Makkahnya Hamka, Hamka  menyatakan Islam masuk ke Indonesia bukan pada abad 13, melainkan sejak  abad 7, dan dibawa langsung dari Makkah sebagai sentrum kaum muslimin  sedunia, bukan Gujarat. Argumentasi Hamka salah satunya didasarkan pada  penemuan nisan seorang ulama bernama Syaikh Mukaiddin di Baros,  Tapanuli, Sumatera Utara, dimana tertulis tahun 48 Hijriah yakni 670  Masehi. Selain itu menurut Hamka, Gujarat pada abad ke 13 menganut  mazhab Maliki, sedangkan Islam di Nusantara sejak dahulu mayoritas  bermazhab Syafii, bagaimana ini bisa dijelaskan..?
Dengan menggunakan pendapat Hamka, Islam di Nusantara berkembang  perlahan lahan sejak awal abad ke 7, tepatnya pada zaman kekhalifahan  Ali RA. Bahkan cendekiawan muslim Malasyia, Naquib Al Attas menyatakan  bahwa kedatangan Islam di nusantara dibawa langsung oleh utusan gubernur  Syarif (Makkah) yakni seorang ulama yang bernama Syaikh Ismail, yang  kemudian mengajak pemuda bernama Muhammad mendirikan kesultanan Islam  pertama di nusantara, kerajaan Pasai . Perlu diketahui juga bahwa para  penyebar Islam yang mula mula di bumi nusantara bukanlah pedagang yang  hanya bermotif ekonomi saja, melainkan diantaranya terdapat para alim  ulama, syaikh, dan kaum sufi pengikut tareqat. Para pedagang, ulama dan  pengikut tarekat yang masuk ke nusantara sejak abad ke 7 kemudian mulai  mengembangkan jaringan dakwahnya, dengan status sosial ekonomi yang  lebih tinggi dari mayoritas pribumi para saudagar ini mendapat tempat  yang istimewa dikalangan pribumi. Dakwah yang mereka tebar juga berwajah  ramah cermin karakter Islam yang rahmatan lil alamin, pendekatan  kebudayaan yang dilakukan dipermudah dengan kuatnya basis sosial ekonomi  para saudagar ini. Secara sederhana, kita dapat memetakan strategi  pembasisan kekuatan Islam di Nusantara. Strategi dakwah ini dapat  dipetakan dengan tiga komponen utama, pertama pasar sebagai basis  ekonomi, pesantren sebagai basis kebudayaan dan perkaderan, dan masjid  sebagai sentrum dan ruang publik komunitas muslim.
Formula Keberhasilan Dakwah Islam di Nusantara
Pasar, Pesantren dan Masjid adalah tiga komponen utama kesuksesan  strategi dakwah kaum Muslimin di Nusantara. Pasar seperti diketahui pada  abad abad itu adalah pusat ekonomi rakyat, semua elemen masyarakat  mengadu hidupnya melalui insitusi bernama pasar, dan komoditas utama nya  adalah rempah rempah. Dalam hal ini, para juru dakwah Islam memiliki  bargaining position yang kuat, saudagar-saudagar muslim yang berasal  dari Arab terkenal pandai berniaga dan tergolong kaya. Hal ini tentu  berhasil merebut hati dan simpati pribumi. Lambat laun pasar menjadi  basis penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu lembaga  pesantren juga tak kalah kontribusinya bagi pesatnya penyabaran Islam.  Aktivitas aktivitas perkaderan ulama, keilmuan dan kebudayaan terjadi di  lingkungan pesantren, kiai dan santri perlahan menumbuhkan kebudayaan  Islam Nusantara melalui serangkaian aktivitasnya, selain itu dari  sinilah benih benih rasa kebangsaan diam diam disemai dan dialiri  semangat transedental ilahiyah. Terakhir, Masjid memiliki peran yang  sangat sentral sebagai ruang sosial tempat bertemunya kaum muslimin dari  berbagai strata sosial, Masjid juga menjadi semacam “corong” bagi para  ulama untuk menyampaikan pandangan dan seruannya seruannya kepada  khalayak kaum muslimin.
Kolaborasi tiga elemen vital ini berhasil mencapai kegemilangan dakwah  Islamiyah yang luar biasa kuatnya, dengan waktu yang relatif singkat  Islam telah menggeser Hindhu Budha sebagai agama mayoritas di nusantara,  dan jauh lebih penting kesuksesan misionaris Islam ini dilakukan tanpa  pedang dan darah, sebagaimana banyak dituduhkan oleh para orientalis,  melainkan dengan wajah yang ramah dan lembut. Strategi mendahulukan  pendekatan kebudayaan, penguatan basis ekonomi dan penciptaan ruang  ruang sosial terlebih dahulu terbukti jitu diterapkan pada masyarakat  pribumi nusantara. Setelah basis kebudayaan, ekonomi dan sosial telah  kokoh, komunitas muslim barulah berpikir tentang imajinasi kesatuan  politik ummat Islam. Eksperimentasi politik (ijtihadi) ummat Islam kala  itu adalah membentuk Kesultanan, sebagai langgam kesatuan politik  komunitas muslim menggantikan sistem kerajaan yang berwatak Hindu Budha.  Kepemimpinan dijalankan oleh seorang Sultan yang bergelar Khalifatullah  Panatagama, para Sultan muslim ini di sokong lingkaran ulama sebagai  penasihat kesultanan. Kolaborasi Ulama dan Umaro inilah yang merumuskan  kebijakan kebijakan Kasultanan Islam, termasuk kebijakan antikolonialis  berupa perlawanan-perlawanan rakyat.Tercatat hingga awal abad 20 an di  berbagai daerah nusantara ada sekitar 40an kasultanan Islam yang pernah  berdiri sebelum ditaklukkan oleh kolonialisme Belanda . Dengan ‘membaca’  fenomena sosio-historis ini, kita dapat berkonklusi bahwa perjuangan  mewujudkan kesatuan politik betapapun urgennya diletakkan paling akhir  dari desain besar perjuangan ummat Islam, bukan sebaliknya.
Pada masa masa revolusi kemerdekaan, tiga elemen vital di atas memainkan  peranan yang sangat signifikan dalam perjuangan membela republik,  terutama sekali insitusi pesantren. Setelah kasultanan Aceh ditaklukkan  tentara kolonial pada akhir tahun 1900an, praktis kekuasaan politik  ummat Islam di Nusantara telah berakhir. Namun meskipun kekuasaan  politik berakhir, namun kekuatan ummat Islam tidaklah ikut sirna pula,  sebab basis kebudayaan masyarakat masih dipegang oleh para ulama.  Pesantren pesantren yang terus tumbuh di awal abad 19 berkat politik  etis menjadi semakin independen dan bahkan mengembangkan suatu jenis  semangat radikalisme baru, sutau semangat yang disebut oleh Mitsuo  Nakamura sebagai tradisionalisme radikal . Akibat semakin dipinggirkan  dalam sistem pendidikan kolonial, pesantren justru berhasil mengambil  peran oposan terbesar kolonial kala itu, pesantren menjadi basis  penyemaian semangat kebangsaan kaum muda dan pusat perlawanan paling  radikal di nusantara, kiai memainkan peranan yang begitu besar dalam  membakar semangat juang kaum santri dan mengobarkan panggilan jihad fii  sabilillah membela republik. Kisah paling heroik adalah ketika Hadratusy  Syaikh Hasyim Asyari, mengeluarkan fatwa kewajiban jihad fii  sabillillah dalam peperangan 10 november di Suarabaya, fatwa ini  berhasil memobilisasi dukungan ratusan ribu santri di seantero Jawa  Timur. Ada begitu banyak kisah kisah yang menunjukan bahwa di awal abad  20, pesantren menjadi basis perlawanan kaum santri terhadap kolonialisme  belanda. Saat itu Islam dijadikan api perjuangan melawan jahatnya  kolonialisme Belanda. Dalam konteks yang lebih luas, Islam di Nusantara  sesungguhnya juga telah berhasil melakukan “purifikasi” terhadap konsep  nasionalisme, nasionalisme di barat yang sejatinya berwatak  sekularistik, di Indonesia ditransformasikan menjadi rasa kebangsaan  yang dijiwai semangat transedental teramat tinggi, para ulama ketika itu  menggunakan mutiara hikmah “Hubbul Wathan Minal Iman” sebagai landasan  teologis bahwa Islam dan Nasionalisme tidaklah bertentangan, bahkan  nasionalisme sangat dianjurkan oleh Islam dan sebagian dari kepercayaan  seorang muslim (iman), inilah saat saat dimana keislaman dan  keindonesiaan bergandeng tangan dengan penuh kemesraan.
Meretas Islam Nusantara 
Dari uraian di atas sesungguhnya terbukti sudah bahwa Islam sebagai  sebuah kekuatan yang dinamis, mampu selalu hadir untuk menjawab  tantangan zaman melalui pergerakan historis yang digerakkan oleh  umatnya. Dalam hal ini penting dikemukakan pandangan begawan ilmu sosial  profetik, Kuntowijoyo, dia menyebutkan karakteristik kebudayaan Islam  ada dua, pertama universal dan yang kedua kosmopolit . Universal berarti  nilai nilai prinsipil dalam Islam selalu relevan dengan segala tempat  dan zaman, melintasi batas batas ruang dan waktu. Sedangkan kosmopolit  berarti Islam selalu mampu hadir dalam berbagai ragam dan mampu menyerap  bentuk bentuk kebudayaan yang lain tanpa kehilangan identitasnya.  Universalisme dan Kosmpolitanisme Islam terlihat dalam corak  perkembangan Islam di Nusantara. Islam Nusantara sebagaimana dijelaskan  di atas, mampu hadir beriringan dengan kebudayaan lokal pada saat yang  bersamaan, Islam melintas batas geografi dengan mampu hadir dan eksis di  bumi nusantara, hal ini menunjukan Islam bukanlah agama hanya untuk  suku Quraisy atau bangsa Arab saja, melainkan agama untuk semua bangsa  bangsa di dunia, universalisme menemukan bentuknya. Sedangkan  kosmopolitanisme mewujud dengan akulturasi kebudayaan Jawa dan  kebudayaan Islam yang membentuk kebudayaan Islam Nusantara, tradisi  pesantren sebagai basis perkaderan ulama adalah salah satu buktinya,  pesantren adalah lembaga pendidikan yang inovatif karena mampu  menggabungkan unsur lokalitas dan universalitas Islam, pesantren juga  menjadi basis tumbuhnya kebudayaan santri yang telah mencerap nilai  nilai Islam.
Kini Islam Nusantaratelah menjadi suatu alternasi cara keberagamaan  masyarakat Indonesia. Islam nusantara tidak berarti me-nativekan Islam,  atau melokalisasi ajaran Islam, Islam sebagai sistem nilai (value  system) tetaplah bersifat universal, namun dalam praktik praktik sosial  kemasyarakatannya boleh jadi bersifat sangat partikular, bergantung pada  konteks budaya masyarakat setempat. Dalam hal ini, Islam Nusantara  telah melewati ‘ujian’ yang serius dalam beberapa periode zaman, dari  zaman hindu budha, kolonialisme hingga sekarang ketika gelombang  demokratisasi menerpa Islam nusantara ditantang kembali relevansinya  oleh zaman. Tantangan zaman ke depan memerlukan formulasi cara  keberagamaan yang tepat. Globalisasi cenderung membawa kepada kehidupan  yang serba materialistik-sekular, nilai dan moralitas baik yang  bersumber dari agama maupun masyarakat lokal dianggap tidak relevan lagi  bagi arus modernisasi, institusi-institusi moral seperti keluarga dan  lembaga keagamaan kian kehilangan signifikansi dalam masyarakat.  Individu-individudalam masyarakat merasa berhak menentukan sikap dan  perbuatannya atas rasionya masing masing, dan mengabaikan tuntunan  moralitas yang ada, atomisasi sebagaimana dijelaskan Emile Durkheim kini  benar benar terjadi, khususnya di masyarakat perkotaan. Belum lagi  terjangan paham neoliberalisme dalam segala bentuk, neoliberalisme dalam  bidang ekonomi menyebabkan liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN,  ketergantungan import dan dihapuskannya subsidi untuk rakyat.  Liberalisasi politik menyebabkan politik biaya tinggi (high cost  politic) dan perselingkuhan penguasa penguasaha kian marak terjadi.
Di tengah kondisi yang serba limbung di atas, Islam Nusantara dengan  segala khazanah kebudayaan, tradisi, warisan intelektual, basis ekonomi  dan kekuatan politk etik nya mampu menjadi salah satu alternasi jalan  untuk keluar dari jeratan masalah. Konkretnya, lembaga pesantren  misalnya sesungguhnya memiliki potensi pemberdayaan ummat yang sangat  besar, dengan jumlah ribuan santri dan luasnya jaringan yang dibangun  pesantren sesungguhnya mampu melakukan fungsi pemberdayaan (empowering)  masyarakat, memberdayakan masyarakat secara ekonomi, sosial, budaya dan  politik. Konsep pemberdayaan berbasis pesantren ini telah terbukti di  Pesantren Maslakhul Huda di Pati, yang diasuh oleh KH Sahal Mahfudz.  Pesantren ini mampu merintis program program pemberdayaan masyarakat  yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat . Kemudian juga pesantren  terbukti telah mencetak wirausahawan wirausahawan yang ulet, pekerja  keras, dan sukses, konsep ini telah mendahului maraknya kampanye  pentingnya menumbuhkan semangat entrepreunership yang ada baru baru ini  saja.
Islam nusantara juga sesungguhnya mampu menjadi katalisator dari dua  kutub ekstremisme dalam keberagamaan, mampu mendayung di antara  gelombang radikalisasi dan liberalisasi Islam. Tidak dapat dipungkiri  ummat Islam kini sedang terbelah menjadi dua arus besar, didikotomikan  menjadi kubu ‘revivalis’ dan ‘liberalis’, dua duanya selalu ‘bertempur’  secara pemikiran yang jika tidak dikelola dengan baik akanmenguras habis  energi ummat Islam di Indonesia. Islam Nusantara telah menawarkan jalan  moderasi di antara keduanya, meretas Mazhab Ketiga (The Third Way) yang  mendayung diantara dua karang. Islam Nusantara mampu mensitesakan nilai  nilai kosmopolitanisme dan universalisme Islam pada saat yang  bersamaan, menghargai kebudayan lokal sekaligus tetap setia kepada  ajaran universal Islam, mengisi konsep nasionalisme, demokrasi,  negara-bangsa, dan Pancasila dengan ruh transedental yang Maha Tinggi,  ruh Api Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin, 2000, Islam Nusantara : Historiografi dan Metodologi, Jakarta
Al Attas, Naquib, 1990, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur,Penerbit Universiti Kebangsaan Malasyia
Aziz,  Ali, 2005, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat : Paradigma Aksi Metodologi, Yogyakarta, Pustaka Pesantren LkiS
Kuntowijoyo,2008, Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi, Bandung, Penerbit Mizan Pustaka
Madjid, Nurcholish, 2009, Islam, Keindonesiaan dan Modernisasi, Jakarta, Penerbit Mizan Pustaka
Nakamura, Mitsuo, Ed, 1997. Tradisionalisme Radikal : Persinggungan NU-Negara, Yogyakarta, LkiS.
Suminto, Aqib, 1984, Politik Islam dalam Hindia Belanda, Jakarta, Lembaga Pendidikan Pelatihan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES
Suryanegara, Mansur, 2010, Api Sejarah : Mahakarya Perjuangan Ulama dan  Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bandung,  Penerbit Salamadani Pustaka Semesta 
*) Sumber asli artikel ini: Muhammadiyah Bulaksumur
 

 
 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar