728x90 AdSpace

Latest News
Rabu, 04 Februari 2015

Belajar dari Peristiwa Gua Hira’




Oleh: Awaluddin Mufti Efendi, M.Si
Kepala SMA Muhammadiyah Imam Syuhodo
Ketua Bidang Kader PC Pemuda Muhammadiyah Blimbing

Sebuah kisah yang menjadi awal dari puncak keemasan peradaban Islam berasal dari sebuah gua. Gua dimana tempat Rasul Sang Sabda bertafakur, bertahanuts, dan mentadaburi realitas sosial yang jauh dari tatanan nilai yang baik, meski sebenarnya, bangsa Arab adalah bangsa yang masih suci dan murni tabiatnya, mereka juga terhindar dari keburukan dan kerendahan naluri, bangsa yang paling mudah menerima kebenaran dan petunjuk karena karakter mereka terhindar dari penyimpangan dan keburukan etika. Karakter ini dan dengan adanya seorang Nabi atau wali yang diutus kepada mereka menyampaikan syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mampu menjaga mereka untuk tetap beretika yang terpuji. Mungkin, inilah salah satu alasan kenapa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memilih Arab sebagai tempat lahirnya agama baru ini.
Saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bertahanuts, beliau disapa oleh Ruhul amin Jibril ‘alaihis salam yang menghaturkan alunan mesra wahyu meskipun terbata susah melafadzkannya, namun dekapan Jibril ‘alaihis salam merubah semuanya. Meskipun pengalaman pertama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallamyang membuat sekujur badan gemetar, menggigil, gelisah dan terasa dingin yang kemudian meminta kepada istri tercinta untuk menyelimuti, namun perintah untuk bangkit dan mendakwahkan wahyu tetap bergema  hingga perubahan dunia jahiliyah menjadi bermandikan cahaya kemuliaan Islam terwujud.
Lima ayat dalam surat Al ‘Alaq merupakan bagian dari sebuah sumber besar bagi ilmu pengetahuan dalam Islam. Lima ayat tersebut sebagai wahyu pertama yang merupakan sebuah rahmah, nikmat dan pengingat akan esensi manusia yang selalu bergantung dengan yang lain, menjadi lantunan yang membawa gelombang energi revolusi bagi tatanan kehidupan manusia, menghentakan getaran perubahan menuju kehidupan yang beradab. Menjejak sekat-sekat diskriminasi sosial, mengubur sedalam-dalamnya jurang pemisah yang membodohi kemuliaan manusia, hingga melahirkan manusia yang baru yang penuh dengan ilmu dan iman. Lima ayat ini juga menjadi fondasi agama Islam yang selalu mengedepankan ilmu daripada prasangka ataupun kesesatan dan juga kunci memahami agama, dunia dan juga kunci menguak rahasia akhirat.
Tersurat tulisan "iqra’" dan "qalam", mengindikasikan bahwa wahyu pertama ini lebih memfokuskan pada ilmu pengetahuan, juga wahyu yang bersifat ma'nawi yang dalam tahapan selanjutnya wahyu tersebut mengalami proses kodifikasi. Perintah yang mengkolaborasikan aktivitas membaca dan menulis, sebuah kegiatan yang jarang mendapatkan perhatian di dunia padang pasir pada awal kali wahyu menyapa, yang telah menjadi takdir dari Sang Pemilik wahyu untuk menjadikan ini sebagai sebuah eksperimen besar yang pada akhirnya akan melahirkan generasi robbani pada agama samawi ini. Eksperimen yang ditujukan untuk sebuah peradaban yang berada diantara dua kekuatan besar Romawi dan Persia, peradaban yang berada pada lintasan perdagangan yang sangat maju, sebuah peradaban yang berisi komunitas yang sangat dinamis yang sulit bagi bangsa lain menaklukanya, komunitas yang sangat menjaga nilai-nilai sosial yang telah tertanam dalam diri masyarakatnya, dan akhirnya eksperimen ini membuahkan hasil yang sungguh bagaikan mutiara dalam cangkang kerang saat awal pembentukanya.
Dua kata pada wahyu pertama “iqra’ dan qalam” merupakan sebuah simbol akan urgensinya sebuah ilmu, karena dengan dua hal tersebut, orang mampu mendapatkan pengetahuan yang belum diketahui sebelumnya, orang mampu meninggikan derajat kemanusiaanya, orang mampu mengungkapkan isi hati dan pikiranya ketika dirinya terbelenggu oleh ribuan pasung-pasung dalam kehidupan, orang mampu merubah pola pikir lama yang berbau kemusyrikan diganti dengan cahaya keimanan. Oleh karena itu, agama baru ini lebih mengedepankan ilmu daripada amal. Karena dengan ilmu, amal akan terarah tapi amal tanpa ilmu hanya akan membawa kepada bid’ah.  
Sejak awal kali turunya, Al Qur’an sebagai salah satu sumber terbesar ilmu pengetahuan dalam Islam, sudah mulai untuk dihafalkan oleh para Sahabat dan ditulis pada semua media yang bisa ditulis, sebagaimana usul Umar Ibn Khatab radhiallahu ‘anhuuntuk melakukan sebuah aktifitas mulia yang bertujuan untuk menjaga Al Qur’an agar tidak hilang bersama wafatnya para huffadz. Sebuah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari, memang sudah seharusnya untuk dijaga dengan berbagai cara agar tetap terjaga dan tidak hilang bersama berlalunya masa. Dalam sebuah lantunan syair juga sudah menyatakan akan urgensi sebuah proses penulisan ilmu;
العلم صيد والكتابة قيده ...... قيد صيودك بالحبال الواثقة
فمن الحماقة ان تصيد غزالة .... وتتركها بين الخلائق طالقة
“Ilmu itu ibarat buruan dan tulisan ibarat talinya, ikatlah buruan-buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah sebuah bentuk kebodohan ketika memburu kijang dan meninggalkanya diantara makhluk-makhluk dalam keadaan tidak terikat.” (Imam Syafi’i)

Sejarah peradaban sebelum Islam telah jelas memberikan kontribusi bagi berbagai ilmu pengetahuan. Peradaban Islam pun juga telah memberikan gambaran yang jelas bahwa begitu banyak lembaran-lembaran ilmu yang menghiasi rak-rak perpustakaan muslim. Juga telah memberikan pemahaman dan metode yang berharga yang mengubah tatanan dunia secara sempurna dalam memantapkan kedudukan ilmu pengetahuan. Hal ini tentunya dan seharusnya menjadi bahan renungan bagi kaum muslimin untuk kembali berjaya dengan lautan ilmu yang akan meninggikan derajat generasi zaman ini.
Dan bila merujuk kembali kepada sejarah munculnya manusia berakal yang pertama yaitu Adam ‘alaihis salam yang muncul kurang lebih 6000 SM yang akan menggantikan generasi sebelumnya, juga tidak lepas dari nuansa ilmu yang menjadi titik sentral penciptaan manusia pertama yang akan menjadi khalifah di muka bumi. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah [2]: 30)

Dimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan ilmu kepada Adam ‘alaihis salam melewati proses pembelajaran semua esensi dari setiap nama yang ada dan kemudian "mengajarkanya" kepada malaikat. Oleh karenanya, tak heran, bila manusia lebih mulia dari malaikat dari sisi ilmu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al Baqarah [2]: 31)

Dari uraian di atas, sebuah pertanyaan besar bagi kita semua, saat alat tulis terbatas, peradaban Islam bisa menghentakkan seluruh dunia yang mengalami kegelapan, berdampak abadi dan menembus daratan, lautan serta udara tiada batasnya, entahlah lagi bila alat tulis seperti sekarang ini? Seharusnya peradaban Islam bisa lebih maju! revitalisasi ilmu bagi kaum muslimin hendaknya lebih diutamakan hingga izzah Islam dan muslim akan kembali berjaya dengan ilmu dan iman sebagai dasarnya. Wallahu a’lam bish shawab.

Maraji’:
Al A’zami, Muhammad Musthofa. 2005. The History Of The Qur’anic Text From Revelation To Compilation A Comparative Study With The Old And New Testaments. Terj. Sohirin Sholihin dkk. Jakarta: Gema Insani Press
As Sirjani, Raghib. 2014. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. Terj. Sonif, Masturi dan Malik. Jakarta: Pustaka Al Kautsar
Ibn Katsir, Abu Fida’. 2006, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim. Beirut: Daar Al Kutub AL ‘Alamiyah
Ibnu  Khaldun,  Abdurrahman Ibnu Muhammad. 2011. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Terj. Masturi, Malik dan Abidun. Jakarta: Pustaka Al Kautsar
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta
Yunus, Adil Thoha. 2006. Jejak-Jejak Para Nabi Allah: Sejarah Para Nabi Berdasarkan Fakta-Fakta Historis dan Temuan-Temuan Arkeologis Modern. Terj. Muhammad Al Mighwar. Bandung: Pustaka Hidayah
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Belajar dari Peristiwa Gua Hira’ Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu