Pertanyaan :
1. Mengumpulkan massa di rumah bakal calon pejabat, dengan dijamu hidangan dan diberi uang sebagai “pengganti transport” antara 20-50 ribu rupiah per-orang. Atau seorang bakal calon pejabat menjanjikan apabila berhasil akan memberikan hadiah kepada kader/pendukung berupa bangunan, uang tunai, dsb bahkan karena pendukungnya seorang “ustadz” maka dijanjikan akan diberangkatkan Umroh/Haji. Apakah hal ini termasuk “risywah”?
2. Melakukan “serangan fajar” dengan membagikan sejumlah uang kepada warga masyarakat agar ias memilih nama bakal calon pejabat tersebut, dan bolehkah massa kita menerima uang tersebut, meskipun kita tidak mencoblos namanya?
3. Ada beberapa nama bakal calon pejabat di suatu daerah, tetapi semuanya melakukan “money politic”, bolehkah kita memilih para calon pejabat tersebut dan benarkah pernyataan berikut “pilihlah bakal calon pejabat yang paling kaya atau paling banyak uangnya”?
Jawab :
1. Risywah menurut bahasa berarti: “Pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.”(al-Misbah al-Munir oleh al Fayumi) Atau “Pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu” (Al Mu’jam Al Wasith).
2. Sedangkan menurut istilah risywahberarti: “Pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat oleh al-Jurjani 148).
3. Secara umum para ulama mengharamkan praktek risywah, meskipun ada beberapa model risywah yang diperbolehkan oleh sebagian ulama, seperti ‘Risywah’ (penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. (Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118). Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي في الحكم
“Dari Abi Hurairah berkata Rasulullah shalallahu alaihi wasallammelaknat pelaku suap dan penerima suap dalam masalah hokum.” (Al Mustadrok lil Hakim: 7067)
4. Majelis belum sepakat, bahwa kasus pada pertanyaan adalah termasuk risywah, meskipun majelis memandang bahwa hal yang tidak termasuk risywah belum tentu diperbolehkan, dan yang disebutkan dalam pertanyaan majelis memandang merupakan sesuatu yang ghairu masyru’ dan tidak sesuai dengan koridor syariah. Mengingat jabatan adalah amanah dan ada larangan untuk meminta jabatan. Seperti tersebut pada hadits-hadits berikut:
Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari ia berkata, "Aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Salah seorang mereka berkata, 'Ya Rasulullah angkatlah kami sebagai pejabatmu.' Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 'Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya'," (HR Bukhari [7149] dan Muslim [1733].
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah ia berkata, "Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan, sebab apabila engkau diberi jabatan itu karena engkau memintanya maka jabatan tersebut sepenuhnya dibebankan kepadamu. Namun apabil jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya'," (HR. Bukhari 7147 dan Muslim 16522)
Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu ia berkata, "Aku menyatakan, 'Ya Rasulullah tidakkah anda berminat memberikan sebuah jabatan?' Lalu beliau menepuk-nepuk pundakku dan berkata, 'Wahai Abu Dzar, kamu seorang yang lemah sementara jabatan adalah sebuah amanah dan sebab kesedihan dan penyesalan di hari kiamat nanti, kecuali orang yang mengambilnya dengan cara yang hak dan melaksanakan semua kewajiban'," (HR. Muslim 1852)
5. Majelis menghimbau kepada warga Muhammadiyah dan kaum Muslimin secara umum untuk dapat meneladani akhlak Nabi shalallahu alaihi wasallam dalam segala aspek kehidupan, termasuk akhlak berkeluarga, berbisnis, berpolitik, dan bernegara termasuk dalam kepemimpinan. Adapun untuk menghukumi secara definitif terhadap kasus-kasus seperti dalam pertanyaan diperlukan kajian mendalam dan detail secara kasuistik oleh para ulama dan ahli hukum dengan mempertimbangkan aturan-aturan normatif syar’i (fiqhud dalil) secara komprehensif dan integral dan memahami secara tepat fiqih realitas (fiqh al waqi’). Wallahua’lam.
*) Hasil Mudzakarah Majelis Tarjih dan Tajdid PCM Blimbing Bulan Maret 2013
0 komentar:
Posting Komentar