Oleh: Harjanto, S.Pd.I
Ketua Umum Kwarcab Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan
Blimbing, Sukoharjo - Jateng
Istilah marjinal tidak asing di masyarakat Indonesia, karena tidak sedikit rakyat Indonesia masuk dalam kelompok marjinal. Kelompok marjinal semakin tampak dan jelas terlihat di perkotaan dan bahkan tidak sedikit pula keberadaannya di pedesaan. Kaum ini terpinggirkan dan terpojokan dalam ranah sosial dan dianggap rendahan serta tak penting keberadaanya dalam pergaulan hidup sesama manusia. Bahkan seringkali keberadaanya dianggap mengganggu dan menghalang-halangi kepentingan orang lain.
Istilah marjinal berasal dari bahasa Inggris 'marginal' yang berarti jumlah atau efek yang sangat kecil. Artinya, marjinaladalah suatu kelompok yang jumlahnya sangat kecil. Bisa juga diartikan sebagai kelompok pra-sejahtera. Marjinal juga identik dengan masyarakat kecil atau kaum yang terpinggirkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka (2003:761) marjinal berarti berada di pinggir atau berhubungan dengan batas. Sedangkan marginalisasi adalah usaha membatasi atau pembatasan peran terhadap kelompok tertentu.
Marjinalisasi Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan berarti usaha membatasi atau pembatasan peran Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan oleh kelompok tertentu atau bahkan oleh Pemerintah, baik melalui ucapan, tindakan dan kebijakan-kebijakan yang dituangkan dalam peraturan-peraturan. Berarti juga usaha mencegah keberlangsungan hidup Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan sehingga menjadi gerakan kepanduan yang tidak hidup dan mati, dalam istilah agama ‘laa yamuutu walaa yahya’. Atau dalam bahasa yang lebih ekstrem “mati dan hilang dalam slogan pencerahan bahkan di bumi Indonesia”.
Cara-Cara Marjinalisasi
Sudah tidak menjadi rahasia lagi kalau orang yang benci, dengki dan tidak suka itu pasti akan berusaha memojokan, meminggirkan dan berusaha menghilangkan kenikmatan yang diperoleh orang lain dengan berbagai macam cara. Bahkan mereka tidak menyadari kalau cara yang dilakukan bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat baik norma agama, hukum, sosial dan adat istiadat. Namun yang terpenting adalah tujuannya dapat tercapai, yaitu menyingkirkan, memarjinalkan atau bahkan membunuhnya.
Cara-cara marjinalisasi terhadap Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan secara garis besar bisa di bagi menjadi dua bentuk yaitu: Pertama adalah bentuk ekstern. Bentuk ekstern adalah bentuk-bentuk marjinalisasi dari luar persyarikatan Muhammadiyah, baik dari kelompok lain atau bahkan oleh pemerintah.
Terbitnya Pidato PJM Presiden kepada para pemimpin pandu tanggal 9 Maret 1961 di Istana Merdeka, surat dari Perkindo No. 071/DK/III/61 tentang tindak lanjut amanat PJB Presiden tanggal 9 Maret 1961, Keputusan Presiden RI no. 121 tahun 1961 tanggal 11 April tentang Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka, surat dari penguasa perang tertinggi no. 0605/Peperti/1961 tanggal 11 April hal aktifitas kepanduan, Kepres RI no. 238 tahun 1961 tertangal 20 Mei tentang Gerakan Pramuka, surat dari Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka no. 8/PPGP tanggal 27 Mei 1961 hal pernyataan bersedia meleburkan diri adalah banyak bukti bentuk marjinalisasi Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan oleh pemerintah.
Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan bangkit kembali 18 November 1999 M/10 Sya’ban 1420 H bertepatan dengan 87 tahun kelahiran Muhammadiyah menurut kalender Miladiyah dengan terbitnya surat keputusan PP Muhammadiyah no. 92/SK-PP/VI-B/1.b/1999. Setelah Kepanduan Hizbul Wathan resmi dibangkitkan, dalam perjalanannya SK tersebut disempurnakan dengan surat keputusan PP Muhammadiyah no 10/KEP/1.0/B/2003 sebagai pelaksanaan SK PP No 92/SK-PP/VI-B/1.b/1999 lahir juga surat edaran PP Muhammadiyah no. VI/B/I.A/58/2000 tanggal 23 Dzulqa’dah 1420 H/28 Pebruari 2000 M. Maka Pemerintah berusaha mengeluarkan Undang-Undang yang membatasi keberadaan organisasi-organisasi kepanduan non-pemerintah sehingga terbit UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka dan dipertegas dalam Kurikulum 2013 yang berisi bahwa ekstrakurikuler wajib di sekolah adalah Pramuka.
Ini membuktikan juga bahwa pemerintah melakukan marjinalisasi Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan. Bahkan lebih parah lagi karena sudah masuk dalam dunia pendidikan tidak terkecuali lembaga pendidikan Muhammadiyah. Sehingga hal ini dapat membunuh kaderisasi dan generasi yang diharapkan lahir dari rahim Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan. Padahal sepanjang sejarah Indonesia, kader Muhammadiyah yang lahir dari rahim Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan tidak ada yang menjadi pemberontak-peberontak Negara Indonesia tapi justru sebaliknya menjadi anak-anak bangsa yang mempunyai nation and charakter building sehingga menjadi manusia Indonesia yang sebenar-benarnya.
Kedua adalah bentuk Intern. Bentuk Intern adalah marjinalisasi Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan dari dalam Persyarikatan Muhammadiyah baik secara struktural maupun personal.
Pasti banyak yang bertanya, apakah benar ada marjinalisasi terhadap ortom Muhammadiyah dari dalam persyarikatan sendiri? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang wajar tetapi aneh apabila yang bertanya warga Muhammadiyah sendiri. Untuk menjawabnya dapat kita lihat realitas yang terjadi di masyarakat baik berbentuk tingkah laku maupun ucapan seseorang bahkan dalam bentuk kebijakan organisasi Muhammadiyah di berbagai tingkat.
Secara struktural Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan adalah organisasi otonom dari Muhammadiyah sebagaimana Surat Keputusan PP Muhammadiyah Nomor : 92/SK-PP/VI.B/1.B/1999 tentang kebangkitan kembali Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan dalam Muhammadiyah. Sedangkan pembinaannya di sekolah Muhammadiyah adalah oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) sebagaimana Surat Keputusan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Nomor: 128/KEP/I.4/F/2008 tentang Panduan Pembinaan Ortom di sekolah Muhammadiyah.
Jika ditelaah memang sangat tepat, pembinaan Kepanduan Hizbul Wathan di sekolah Muhammadiyah adalah oleh Majelis Dikdasmen, tetapi dalam pelaksanaannya di tingkat Wilayah, Daerah dan Cabang tergantung personal pimpinan setiap di tingkatan tersebut. Tergantung seberapa jauh tingkat pemahaman dan loyalitasnya terhadap keputusan dan kebijakan yang diterbitkan oleh PP Muhammadiyah. Semakin besar pemahaman dan loyalitasnya, maka semakin besar tingkat pembinaannya di sekolah Muhammadiyah. Sebaliknya semakin rendah pemahaman dan loyalitasnya kepada Muhammadiyah, maka semakin kecil pula tingkat pembinaannya bahkan bisa jadi tidak ada pembinaan sama sekali. Sehingga meskipun di sekolah Muhammadiyah, stake holder sekolah tersebut membuat kebijakan untuk tidak menggunakan seragam HW tetapi Pramuka.
Secara struktural dalam Muhammadiyah memang pengurus Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan tidak bisa memerintah Pengurus Muhammadiyah dan Majelis-Majelisnya serta ortom-ortomnya, tetapi yang dilakukan hanya berbentuk kerjasama. Dalam upaya kerjasama inilah banyak terjadi upaya-upaya pemarjinalan kepada Gerakan Hizbul Wathan di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Diantara pemarjinalan tersebut adalah adanya ketidaktegasan bahkan “pembiaran” Majelis Dikdasmen terhadap sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tidak memakai seragam HW. Penolakan terhadap pemakaian seragam HW bagi Kepala dan Guru di AUM pendidikan (sekolah Muhammadiyah), tidak ada respon dari Kepala Sekolah Muhammadiyah terhadap penarikan dana kegiatan GKHW, tidak ada pendidikan dan latihan GKHW dalam sekolah Muhammadiyah dengan berbagai alasan. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi adalah adanya upaya dari kepala sekolah untuk mengganti seragam HW menjadi seragam Pramuka di sekolah Muhammadiyah.
Sedangkan bentuk pemarjinalan secara personal dilakukan langsung kepada personal pengurus dan atau anggota GKHW diantaranya penghinaan terhadap seragam HW dengan mengatakan seperti ‘nahkoda’ kalau memakainya, HW itu tidak diakui Negara, kebencian terhadap pengurus GKHW yang diwujudkan dengan dipersulitnya minta ijin untuk kegiatan GKHW, dan yang lebih mengenaskan lagi pengurus dan anggota GKHW tidak diberi kesempatan untuk menduduki posisi yang dianggap “strategis dan basah” pada sekolah Muhammadiyah.
Bentuk-bentuk marjinalisasi dari dalam inilah yang lebih membahayakan eksistensi GKHW dalam Muhammadiyah daripada bentuk marjinalisasi dari luar (Pemerintah). Ibarat sebuah musuh dalam peperangan, musuh dalam selimutlah yang lebih berbahaya. Apabila tidak waspada dan berhati-hati hal ini dapat dengan mudah memporak-porandakan dan menghancurkan pasukan sehingga kalah sebelum berperang, mati sebelum tumbuh, layu sebelum berkembang dan tinggal nama yang jadi kenangan. Tentu kita tidak menginginkan ini terjadi kepada GKHW.
Jika ini terjadi, maka kerugian bagi Muhammadiyah khususnya dan Islam secara umum. Apabila GKHW yang sudah bangkit menjadi kembali layu, tak tumbuh dan berkembang bahkan menemui ajal. Oleh karena itu bagi warga Muhammadiyah yang dengan sadar atau lengah melakukan bentuk-bentuk marjinalisasi segara saja instropeksi diri dan selanjutnya memperbaiki diri dengan menanamkan pemahaman dalam hatinya bahwa ortom-ortom itu (termasuk HW) penting dan harus selalu didorong untuk maju dalam mewujudkan cita-citanya bukannya melakukan tindak-tindakan marjinalisasi. Ortom-ortom dibawah Muhammadiyah adalah wadah untuk membentuk generasi penerus sehingga apabila memarjinalkan ortom berarti membunuh Muhammadiyah secara sistematik.
Semoga saja kedepan para pimpinan persyarikatan di berbagai tingkatan dapat bersahabat dengan GKHW diseluruh Indonesia sehingga dapat benar-benar menyiapkan dan membina anak, remaja, dan pemuda yang memiliki aqidah, mental dan fisik, berilmu dan berteknologi serta berakhlaq karimah dengan tujuan untuk terwujudnya pribadi muslim yang sebenar-benarnya dan siap menjadi kader Persyarikatan, Umat, dan Bangsa. Wallahul musta’an.
0 komentar:
Posting Komentar