Oleh: Dr. Sopa AR, MA
Majelis Tarjih didirikan pada tahun 1928 sebagai hasil Kongres Muhammadiyah XVII pada tahun 1928 di Yogyakarta. Majelis ini dibentuk atas prakarsa K.H. Mas Mansur dan beliau kemudian dipercaya sebagai ketua pertamanya. Adapun faktor yang menjadi latar belakang dibentuknya majelis ini adalah adanya persoalan-persoalan khilafiyah yang dihadapi oleh warga Muhammadiyah dalam amaliah sehari-hari. Jika dibiarkan, hal tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan perselisishan dan bahkan perpecahan di kalangan umat Islam termasuk warga Muhammadiyah.
Oleh karena itu, majelis ini diharapkan dapat memilih mana di antara pendapat-pendapat tersebut yang paling kuat hujjahnya (râjih) untuk diamalkan oleh warga Muhammadiyah. Atas dasar itu, majelis ini diberi nama Majelis Tarjih. Tarjih berasal dari kata “rajjaha, yurajjihu, tarjîhan” yang berarti menguatkan. Yaitu menguatkan salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat ulama yang diperselisihkan (ikhtilâf al-‘ulamâ’) karena memiliki dalil yang paling kuat. Dengan demikian, kegiatan tarjih menghasilkan pendapat yang kuat (rajîh) sebagai pendapat yang dipilih untuk diamalkan dan menyisihkan atau meninggalkan pendapat-pendapat yang tidak kuat dalilnya (marjûh).
Metode yang digunakan dalam melakukan tarjîh adalah metode muqâranah (studi komparatif). Metode ini digunakan untuk mengkaji pendapat-pendapat ulama yang diperselisihkan dari berbagai madzhab yang ada. Dengan demikian, pendekatan yang digunakan adalah lintas madzhab karena menjadi prinsip bagi Muhammadiyah untuk tidak mengikatkan diri pada salah satu madzhab. Ushul Fiqih yang digunakan juga Ushul Fiqih muqâranahyang berisi kaidah-kaidah Ushul Fiqih dari berbagai madzhab Ushul Fiqih yang ada.
Sampai sekarang nama Majelis Tarjih tetap dipertahankan meskipun sudah mengalami perubahan nama sesuai dengan tuntutan zaman. Tahun 1995 namanya berubah menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MT PPI) untuk mengakomodir perkembangan pemikiran keagamaan yang berkembang begitu pesat tidak hanya dalam bidang hukum Islam, tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya seperti ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf dan sebagainya. Akhirnya, nama majelis ini berubah lagi menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) untuk merespon kebutuhan Persyarikatan yang dirasa kurang gregetdalam melakukan pembaharuan-pembaharauan (tajdîd) dalam berbagai bidang sehingga terkesan jumud dan mandek. Padahal, sejak berdirinya Persyarikatan ini dikenal sebagai gerakan Islam yang mempelopori pebaharuan Islam di Indonesia dalam berbagai bidang sehingga menjadi “leader” seperti dalam bidang pendidikan, sosial, dakwah, dan mua’amalah duniawiah lainnya.
Pada awalnya, majelis ini bertugas mentarjih pendapat-pendapat yang diperselisishkan ulama dan memilih pendapat yang râjih untuk dipedomani warga Muhammadiyah dalam amaliah sehari-hari. Sejalan dengan perkembangan dan tuntutan zaman, akhirnya tugas majelis ini diperluas tidak hanya sebatas mentarjih pendapat-pendapat ulama, tetapi lebih dari itu melakukan ijtihad terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits.
Ijtihad yang dilakukan oleh Majelis Tarjih bukan ijtihad fardî (ijtihad individual) sebagaimana telah dilakukan oleh para imam mujtahid terdahulu seperti imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’I dan Ahmad bin Hambal, tetapi ijtihad jama’î (ijtihad kolektif) yang melibatkan ulama dari berbagai disipilin ilmu. Oleh karena itu, keanggotaan majelis ini tidak ekslusif dimonopoli oleh ulama-ulama yang menguasi ilmu agama Islam saja, tetapi juga terbuka bagi ulama-ulama yang menguasai bidang ilmu non-agama.
Secara lebih lengkap tugas Majelis Tarjih itu ada lima yaitu : 1). Mempergiat pengkajian ajaran Islam dalam rangka tajdid dan antisipasi perkembangan zaman; 2). Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada pimpinan persyarikatan; 3). Membantu pimpinan persyarikatan dalam membimbing anggota mengamalkan ajaran Islam; 4). Membantu persyarikatan dalam menyiapkan ulama; dan 5). Mengarahkan perbedaan pendapat ke arah yang lebih maslahat.
Tugas yang pertama sangat terkait dengan harapan Persyarikatan kepada majelis ini sebagai lembaga pemikir (think thank-nya persyarikatan). Oleh karena itu, majelis ini diharapkan melakukan berbagai kajian yang serius dan terprogram terhadap ajaran Islam yang terkait dengan berbagai masalah yang dihadapi umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Hasil kajiannya diharapkan dapat digunakan umat dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, hasil kajiannya bersifat reinterpretasi dan revitalisasi ajaran Islam sehingga cocok dan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman (shâlihun likulli zamânin wamakânin).
Tugas yang kedua dan ketiga terkait dengan fungsi majelis ini sebagai “lembaga ulama” di Muhammadiyah. Ulama menjadi rujukan bagi umatnya dalam mengamalkan ajaran Islam. Apabila menemukan berbagai persolaan agama baik di bidang ibadah, akidah, akhlak dan mu’amalah duniawiyah, mereka dapat menanyakannya kepada ulama. Dengan demikian, majelis ini diharapkan dapat menjadi lembaga fatwa di lingkungan Muhammadiyah sebagaimana terdapat dalam ormas-ormas Islam yang lain. Di lingkungan NU terdapat lembaga Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah, di lingkungan PERSIS terdapat Dewan Hisbah dan di MUI terdapat Komisi Fatwa.
Tugas yang keempat terkait kaderisasi. Bagaimanapun Persyarikatan ini butuh kader untuk melanjutkan dan meneruskan perjuangannya sehingga tetap eksis dan terus memberikan sumbangsih dalam kehidupan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya bahkan lebih dari itu untuk kemanusiaan di era globalisasi ini. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan gerakan dakwah yang melakukan amar makruf dan nahi munkar harus senantiasa berada dalam koridor nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber dari alqur’an dan hadits. Dengan perkataan lain, Muhammadiyah dalam segala aktifitasnya tetap harus disinari oleh wahyu, tidak boleh hanya disinari oleh akal manusia yang kemampuannya sangat terbatas. Untuk itu, peran ulama sangat sentral dan perlu dipersiapkan melalui kaderisasi yang dilakukan secara terencana dan terpadu sebagaimana terdapat dalam program Pendidikan Kader Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) di berbagai daerah seperti di Yogyakarta, Malang, Bandung, dan sebagainya.
Tugas yang kelima sangat terkait dengan tugas kesejarahan majelis ini pada awal didirikannya yaitu mengarahkan perbedaan pendapat ke arah yang lebih maslahat. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan “tarjîh” yang menghasilkan pendapat yang râjihuntuk dipedomani dan diamalkan warga Muhammadiyah. Di samping itu, warga Muhammadiyah juga dapat diarahkan untuk menghargai dan menghormati (toleran) terhadap perbedaan. Sebab, meskipun pendapat-pendapat tersebut tidak diamalkan karena dinilai tidak kuat (marjûh), toh pendapat-pendapat itu tetap masih memiliki dalil sehingga masih berada dalam koridor Islam dan belum keluar dari ajaran Islam. Dengan demikian, adanya perbedaan pendapat dalam mengamalkan ajaran Islam akan membuat umat semakin dewasa dan siap menghadapi perbedaan. [tabligh]
0 komentar:
Posting Komentar