728x90 AdSpace

Latest News
Senin, 22 Desember 2014

Antara Zakat dan Sekolah Unggulan



Oleh: AHMAD NASRI
Biografi singkat pendiri Persyarikatan Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan rahimahullahyang terekam dalam Film Sang Pencerah memang sudah berlalu beberapa saat dari hadapan kita. Namun tampaknya belum habis juga hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dari film tersebut. Salah satu yang bisa kita rekam dari perjalanan K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah dalam film Sang Pencerah tersebut adalah kerja keras dan kerja nyata beliau dalam menterjemahkan dan mengejawantahkan ayat-ayat Al-Qur’an utamanya dalam surat Al-Ma‘un secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Memang K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah tidak memfokuskan secara khusus gerakannya pada bidang pendidikan. Akan tetapi saat beliau merintis pendirian Pergerakan Muhammadiyah, salah satu langkah serius yang beliau kerjakan adalah dengan mendirikan sekolah untuk anak-anak dari kalangan mustadh‘afin di lingkungan Kauman Jogjakarta. Kita tentu melihat saat Kyai Dahlan rahimahullahmemerintahkan para muridnya untuk mencari dan mengajak anak-anak orang miskin untuk dididik di sekolah yang beliau dirikan. Di sekolah tersebut, tidak hanya pendidikan agama Islam saja seperti madrasah-madrasah yang sudah ada saat itu, melainkan juga dengan pendidikan umum yang tidak diberikan di madrasah maupun pesantren. Dengan mendirikan sekolah ini tentunya Kyai Dahlan rahimahullahingin agar para alumninya nanti dapat menyebar dan mendirikan sekolah-sekolah di berbagai penjuru negeri ini seperti yang pernah beliau contohkan.
‘Keinginan’ Kyai Dahlan rahimahullah tersebut tampaknya memang telah terpenuhi, sehingga seperti yang kita ketahui bersama dalam waktu singkat banyak sekolah Muhammadiyah dapat berdiri di berbagai pelosok nusantara. Bahkan di daerah-daerah terpencil yang belum terjamah pemerintah pun, sekolah Muhammadiyah telah hadir terlebih dahulu memberikan pencerahan pada masyarakat. Yang patut kita banggakan juga adalah bahwa banyak sekolah Muhammadiyah semakin hari semakin menunjukkan eksistensinya dengan prestasi yang diraih.
Namun jika kita menengok sedikit lebih dalam dari menjamurnya sekolah-sekolah unggul di lingkungan persyarikatan beberapa saat terakhir ini maka kita akan melihat sebuah ironi. Bahwa dari sekolah-sekolah Muhammadiyah di seluruh pelosok tanah air itu kita akan melihat dua model sekolah Muhammadiyah yang amat berkebalikan, bahkan hingga seratus delapanpuluh derajat. Yang pertama yaitu, sekolah Muhammadiyah yang unggulan pasti berbiaya mahal sedangkan yang kedua yaitu sekolah Muhammadiyah yang biayanya murah pasti bukan merupakan sekolah unggulan. Melihat hal ini dapat kita pahami bahwa sekolah Muhammadiyah unggulan tidak mungkin dimasuki oleh anak-anak orang miskin dan kebalikannya sekolah Muhammadiyah yang berbiaya murah bahkan mengratiskan biaya bisa dipastikan tidak punya ‘nama’ di mata masyarakat karena memang minim dalam hal prestasi. Terkadang kesenjangan ini begitu nyata tampak di depan mata kita saat ada sekolah Muhammadiyah setingkat yang berdekatan atau bahkan berdampingan letaknya. Yang satu berkembang dengan pesat akan tetapi yang satunya meski berdiri tepat disampingnya bisa dikatakan ‘mati segan, hidup tak mampu’.
Setidaknya dari yang pernah penulis alami saat duduk di bangku SD dulu dimana sekolah penulis bersebelahan dengan MI yang sama-sama dibawah naungan Majelis Dikdasmen Muhammadiyah, tetapi kondisinya sangat berkebalikan. SD Muhammadiyah siswanya sangat melimpah, bangunannya selalu berkembang dari waktu ke waktu, ditambah dengan prestasi yang selalu membanggakan. Sedangkan MI Muhammadiyah yang tepat berdiri disampingnya kondisinya sangat memprihatinkan, muridnya terlihat sedikit, bangunannya juga tidak layak huni karena atapnya yang hampir roboh sehingga harus disangga.
Memang ini sudah terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu di daerah penulis dan sekarang tidak seperti itu lagi. Tapi saat kita lihat di tempat lain saat ini kita masih akan melihat banyak kesenjangan yang tidak selayaknya terjadi antara sesama sekolah Muhammadiyah. Bersamaan dengan banyak munculnya sekolah-sekolah Islam unggulan, saat ini banyak berdiri sekolah-sekolah Muhammadiyah unggulan. Sebut saja misalnya SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta, Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 16 Surabaya, SD Muhammaadiyah Condongcatur Sleman Yogyakarta dan SD Muhammadiyah Program Khusus Kotta Barat Solo. Selain sekolah reguler tersebut kita juga akan mendapati beberapa Pondok Pesanten unggulan di lingkungan Persyarikatan seperti Pesantren Mu’allimin dan Mu’allimat Yogyakarta, Pesantren Modern Imam Syuhodo Blimbing Sukoharjo, Pesantren Darul Ikhsan Muhammadiyah Sragen dan yang paling baru adalah Pondok Pesantren Muhammadiyah Boarding School (MBS) yang didirikan oleh beberapa Pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan.
Memang perkembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah unggulan tersebut sangat menggembirakan. Antusiasme masyarakat baik warga Muhammadiyah maupun masyarakat secara umum untuk menyekolahkan anaknya di sekolah dan pesantren tersebut juga cukup besar. Tapi para pengelola sekolah tersebut mungkin lupa bahwa yang berhak mendapatkan pendidikan unggul tidak hanya anak-anak orang berada saja. Dilihat dari tingginya biaya pendidikan di sekolah-sekolah unggulan tersebut seolah-olah hendak mengatakan pada calon orang tua pendaftar bahwa ‘anak warga Muhammadiyah miskin dilarang mendaftar’. Salah satu tokoh yang juga perintis sekolah Muhammadiyah unggulan bahkan pernah mengatakan, “pengin anak pinter kok gak mau keluar banyak uang.”
Hal ini seharusnya menjadi perhatian untuk kita semua bahwa kita perlu memikirkan nasib kaum pinggiran yang ternyata tidak sedikit diantara mereka sebenarnya layak untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
ZISWAF Sebagai Alternatif
Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Hal ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa melibatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan di bidang pendidikan merupakan suatu konsekuensi logis dari implementasi undang-undang tersebut. Secara lebih rinci, partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan berarti mengambil bagian atau peran dalam proses-proses pembiayaan pendidikan, baik dalam bentuk pernyataan mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasilnya.
Dalam Islam partisipasi masyarakat dalam pendanaan ini dapat diperoleh dengan menghimpun zakat, infak, sedekah dan wakaf (Ziswaf) dari masyarakat muslim. Sebagaimana yang kita ketahui Muhammadiyah melalui LazisMu adalah salah satu lembaga yang paling dipercaya kaum muslimin untuk mengelola dana Ziswaf tersebut. Maka kemudian dana Ziswaf yang dihimpun LazisMu dari kaum muslimin ini merupakan potensi yang sangat besar untuk memajukan pendidikan jika dialokasikan pada sektor pendidikan. Meskipun zakat sesungguhnya merupakan pembiayaan yang dalam pengalokasiannya sudah mendapatkan batasan sendiri dalam syari’at.
Dalam Q.S. At-Taubah ayat 60 secara jelas Allah Subhanahu Wa Ta’ala memang hanya menyampaikan ada 8 golongan yang berhak memperoleh zakat, yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang (gharimin), jalan Allah (sabilillah) dan orang dalam perjalanan (ibnu sabil). Secara tersurat, pendidikan memang tidak termasuk didalamnya, namun ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan dapat masuk dalam asnaf sabilillah.
Diantaranya adalah pendapat Syaikh DR. Yusuf Qordhowi (1997 : 374) dalam kumpulan Fatwa-Fatwa Kontemporer beliau yang mengatakan bahwa asnaf sabilillah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah jihad (berperang). Tapi kemudian beliau memperluas makna jihad tersebut tidak sebatas berperang dengan senjata saja. Namun termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan akidah Islam yang salah satunya diaplikasikan dengan memberikan beasiswa kepada generasi muda Islam atau dengan mendirikan sekolah.
Dan ternyata sekolah yang berbasis ziswaf ini tidak kalah bersaing dengan sekolah lain yang lebih dulu ada. Smart Ekselensia di Parung Bogor adalah salah satu sekolah yang dibiayai penuh dari dana ziswaf. Bahkan lembaga pendidikan yang didirikan dan dikelola oleh Dompet Dhuafa Republika tersebut temasuk sekolah unggulan yang mampu mengimplementasikan pendidikan tingkat SMP dan SMA hanya dalam waktu 5 tahun. Selain itu siswa di sekolah tersebut juga tak dikenakan biaya sama sekali alias gratis.
Di Solo kita akan mengenal SMK IT Smart Informatika. Meskipun tergolong sekolah baru, sekolah gratis yang dikelola oleh LAZIS Yayasan Solo Peduli ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Berbagai lomba dan kejuaraan baik lokal, regional maupun nasional pernah diikutinya, bahkan beberapa diantaranya dapat dimenangkan oleh siswa-siswi sekolah tersebut. Selain SMKIT Smart Informatika, pada sektor pendidikan ini Solo Peduli juga mengelola SDIT-SMPIT Smart Cendekia, Pesantren Yatim-Dhuafa Baiturrohmah dan pemberian beasiswa bagi lulusan SMA sederajat untuk melanjutkan kuliah di beberapa universitas.
Di lingkungan pendidikan Muhammadiyah kita juga akan mendapati Pondok Pesantren Manafiul Ulum Sambi Boyolali yang mencari biaya dari ZISWAF dari kaum muslimin untuk memenuhi biaya operasional dan kehidupan pesantren sehingga anak-anak hanya membayar semampunya (Mohamad Ali, 2009 : 204).
Melihat beberapa kasus tersebut seharusnya masyarakat kita menyadari bahwa dari dana yang berasal dari Ziswaf (zakat, infak, sedekah dan wakaf) tersebut sebenarnya menyimpan potensi yang sangat besar untuk memajukan sektor pendidikan kita. Tentu jika dana tersebut dikelola dengan profesional, transparan dan akuntabel. Maju tidak hanya secara kuantitas semata tetapi juga dapat benar-benar bersaing secara kualitas dengan sekolah-sekolah unggulan yang lain.
Sehingga nantinya kita tidak merasa bahwa apa yang telah dirintis dan ditinggalkan oleh K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah utamanya berupa lembaga pendidikan akhir-akhir ini telah dikelola secara menyimpang dari semangat beliau. Yaitu kalau dulu lembaga pendidikan Muhammadiyah didirikan untuk membantu rakyat kecil yang tidak bisa memasuki lembaga pendidikan yang didirikan oleh Belanda, sedangkan saat ini beberapa sekolah Muhammadiyah yang berpredikat unggulan justru sulit bahkan mustahil untuk dimasuki golongan menengah kebawah dan cenderung menjadi ladang bisnis bagi elit-elit lembaga tersebut. Wallahu A’lam
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Antara Zakat dan Sekolah Unggulan Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu