728x90 AdSpace

Latest News
Rabu, 08 Oktober 2025

KH. Ahmad Dahlan, Habib yang Makamnya Tidak Jadi Ladang Bisnis


Andika Rahmawan
Ketua Komite Sekolah SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo,
Wakil Sekretaris Majelis Tabligh PDM Sukoharjo

KH. Ahmad Dahlan adalah pendiri Muhammadiyah dan dikenal sebagai pembaharu Islam di Indonesia. Beliau bukan sekadar ulama dengan kontribusi besar dalam pendidikan, dakwah, dan pemurnian ajaran Islam, tetapi juga memiliki garis keturunan yang sangat mulia. Dalam website resmi Muhammadiyah disebutkan bahwa, berdasarkan kajian sejarah dan silsilah, KH. Ahmad Dahlan merupakan salah satu keturunan dari Wali Songo, yaitu Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, yang nasabnya bersambung kepada Rasulullah Muhammad ﷺ melalui jalur putri beliau, Sayyidah Fathimah Az-Zahra RA. Dengan demikian, secara genetik beliau masih termasuk dalam kategori seorang habib.

Dalam tradisi masyarakat Muslim Nusantara, keturunan Rasulullah ﷺ, apalagi tokoh ulama besar, kerap mendapat penghormatan luar biasa. Sering kali, penghormatan itu tidak hanya dalam bentuk pengakuan keilmuan dan kontribusinya dalam dunia dakwah ketika tokoh tersebut masih hidup, tetapi juga dalam bentuk memuliakan fisik makamnya setelah wafat. Banyak makam tokoh besar Islam yang dibangun megah, dijadikan destinasi ziarah massal, bahkan berkembang menjadi pusat kegiatan ekonomi dengan tajuk “wisata religi.” Namun, fenomena ini sama sekali tidak berlaku pada makam pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan.

Kesederhanaan Makam Sang Pencerah

Makam KH. Ahmad Dahlan terletak di Karangkajen, Yogyakarta. Bagi orang yang baru pertama kali berkunjung, mungkin akan terkejut karena menyaksikan bentuknya yang teramat sangat sederhana. Hanya berupa sepetak tanah dengan nisan sederhana yang memuat namanya, dikelilingi pembatas semen dengan cat putih polos, dengan hiasan batu-batu berwarna putih di dalamnya, dan di atasnya terdapat papan nama besar yang menerangkan bahwa KH. Ahmad Dahlan adalah pahlawan nasional. Makam beliau berdampingan dengan beberapa tokoh Muhammadiyah awal seperti KH. Ibrahim. Tidak ada pendopo, gapura megah, atau bangunan permanen yang menjulang. Tidak ada pula “toping” taburan bunga setaman di atas pusara beliau.

Kesederhanaan ini bukan karena keterbatasan kemampuan atau kelalaian pihak keluarga maupun Muhammadiyah sebagai organisasi, melainkan pilihan yang dilakukan dengan sangat sadar. KH. Ahmad Dahlan sepanjang hidupnya mengajarkan bahwa penghormatan kepada orang shaleh tidak boleh dilakukan secara berlebihan hingga jatuh pada pengultusan, perilaku yang justru dapat menggeser nilai-nilai kemurnian tauhid. Prinsip ini selaras dengan pandangan Muhammadiyah yang sejak awal menolak bentuk-bentuk pemujaan berlebihan yang tidak ada tuntunan syariatnya.

Sikap tersebut sejalan dengan teladan para sahabat. Adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin Khattab RA misalnya, saat mencium Hajar Aswad beliau berkata, “Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah ﷺ menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no. 1597, 1605 dan Muslim no. 1270).

Berbeda dengan makam banyak tokoh agama lain yang kerap menjadi pusat keramaian, penuh pedagang, dan dihiasi ornamen mewah, makam KH. Ahmad Dahlan tetap sunyi dan terjaga dari bentuk-bentuk eksploitasi. Penziarah yang datang biasanya hanya duduk tenang, membaca doa, dan mengingat jasa beliau, lalu kembali tanpa ritual khusus atau interaksi komersial apa pun.

Ziarah Kubur dan Tawasul dalam Pandangan Muhammadiyah

Muhammadiyah tidak menolak ziarah kubur. Bahkan, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam beberapa fatwanya telah menjelaskan bahwa ziarah kubur adalah sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad ﷺ. Ziarah mengingatkan manusia kepada kematian, mendorong untuk berbuat baik, dan menjadi sarana mendoakan orang yang telah wafat. Namun, Muhammadiyah menegaskan bahwa ziarah tidak boleh dicampuradukkan dengan praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran Islam.

Prinsip inilah yang menjadikan makam KH. Ahmad Dahlan maupun makam ulama Muhammadiyah lainnya tidak dijadikan pusat ritual berlebihan. Tidak ada praktik meminta berkah dari tanah makam, tidak ada keyakinan bahwa air dari lokasi makam membawa kesaktian, dan tidak ada perantara spiritual yang mengklaim dapat menghubungkan doa dengan arwah beliau. Tidak ada pula para “pendongeng” yang menceritakan karomah ini dan itu dari KH. Ahmad Dahlan semasa hidup maupun setelah wafat. Semua bentuk yang berpotensi menjerumuskan kepada takhayulbid‘ah, dan khurafat dihindari.

Dalam konteks ini, dalam pengajian Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah (18/06/2025) memberikan penjelasan tentang tawasul. Ustadz Asep Sholahudin menegaskan bahwa tawasul yang sahih harus berdasar pada dalil Al-Qur’an dan hadis, seperti menyebut asmaul husna, amal shaleh, atau meminta doa dari orang shaleh yang masih hidup. Sementara meminta pertolongan dari orang wafat, termasuk di makam, dikhawatirkan bisa menuju syirik besar, karena syariat hanya membolehkan mendoakan mereka, bukan menjadikan perantara doa, sesuai landasan ayat “Wabtaghu ilaihil wasilah” (QS. Al-Maidah: 35) dan pendekatan manhaj tarjih Muhammadiyah yang mengutamakan rujukan primer dan menghindari taklid buta.

Selain pandangan resmi Muhammadiyah secara organisasi dalam Majelis Tarjih, secara pribadi Prof. Dr. H. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam satu kesempatan pernah menegaskan bahwa posisi Muhammadiyah dalam masalah ziarah kubur adalah wasathiyah atau moderat. Ziarah itu sunnah, termasuk untuk mengingat kematian. Namun kemudian, di masa setelah Rasulullah, baik di Timur Tengah maupun di Indonesia, praktik ziarah kubur sering dijadikan keramat, bahkan kuburan dan mayat dijadikan perantara untuk mengabulkan permintaan. Karena itu, Muhammadiyah menegaskan sikap tengah: mengakui manfaat ziarah, tetapi menghindari sikap ekstrem, baik yang terlalu memuja hingga mendekati syirik maupun yang menolak total ziarah kubur. Dalam kerangka inilah, penghormatan terhadap KH. Ahmad Dahlan ditempatkan secara proporsional.

Makam sebagai Simbol Keseimbangan

Makam KH. Ahmad Dahlan menjadi simbol penting bagi Muhammadiyah. Di satu sisi, ia adalah bukti penghargaan terhadap sejarah dan jasa pendirinya. Di sisi lain, kesederhanaan makam itu adalah pernyataan tegas bahwa ajaran Islam yang dibawa beliau menolak pengkultusan individu.

Dalam pandangan Muhammadiyah, penghormatan sejati kepada tokoh seperti KH. Ahmad Dahlan adalah dengan melanjutkan perjuangannya, meneladani akhlaknya, dan mengembangkan gagasan-gagasannya. Makam hanyalah pengingat, bukan pusat peribadatan, sementara kenyataannya di masyarakat ternyata banyak kuburan “ulama” yang jauh lebih ramai daripada masjid. Dengan demikian, keberadaan makam KH. Ahmad Dahlan lebih berfungsi sebagai monumen sejarah yang hidup, yang mengajarkan umat untuk fokus pada ajaran, bukan pada simbol fisik.

Kesederhanaan ini juga menjadi pesan moral yang kuat di tengah maraknya fenomena kuburan tokoh agama yang dijadikan komoditas. Banyak makam yang dikelola sedemikian rupa hingga menjadi destinasi wisata dengan kepentingan ekonomi bagi kelompok tertentu atau bagi yang mengaku sebagai keturunan ulama tertentu. Sementara itu, Muhammadiyah melalui pengelolaan makam KH. Ahmad Dahlan justru menunjukkan bahwa tempat peristirahatan terakhir seorang ulama besar bisa tetap menjadi ruang zikrul maut yang hening, bersih, dan bebas dari unsur bisnis.

Refleksi atas Pilihan Kesederhanaan

Pilihan untuk tidak menjadikan makam KH. Ahmad Dahlan sebagai ladang bisnis atau komoditas kuburan sesungguhnya adalah kelanjutan logis dari pandangan hidup beliau sendiri. KH. Ahmad Dahlan adalah tokoh yang menekankan pendidikan, dakwah pencerahan, dan penguatan tauhid. Menjadikan makam beliau sebagai objek komersial atau pusat ritual tentu akan sangat bertentangan dengan seluruh nilai yang beliau perjuangkan.

Lebih dari itu, kesederhanaan makam beliau menjadi teladan bagi umat Islam bahwa ukuran penghormatan bukanlah kemegahan bangunan atau ramainya peziarah, melainkan sejauh mana ajaran tokoh itu hidup dan diamalkan. Dalam konteks ini, makam KH. Ahmad Dahlan adalah cermin dari sikap tawadhu‘, kesederhanaan, dan keteguhan prinsip dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.

Penutup

KH. Ahmad Dahlan bukan hanya pendiri Muhammadiyah, tetapi juga seorang habib yang nasabnya bersambung kepada Rasulullah ﷺ. Meskipun status keturunan Rasulullah ﷺ sering kali dijadikan alasan untuk memuliakan makam dengan berbagai bentuk fisik dan ritual, Muhammadiyah memilih jalan berbeda. Makam sang pendiri tetap sederhana, jauh dari kesan megah atau komersial, sebagai pengejawantahan prinsip ajaran yang beliau bawa.

Kesederhanaan makam ini adalah pesan yang tidak lekang oleh waktu: bahwa kemuliaan seseorang terletak pada ilmunya, amalnya, dan keteladanan hidupnya, bukan pada kemegahan batu nisannya. Dalam kesunyian Karangkajen, makam KH. Ahmad Dahlan berdiri sebagai penegasan bahwa penghormatan tertinggi adalah menjaga ajaran tetap murni, bukan menjadikan kuburan sebagai komoditas. Wallahul Muwaffiq!


*) Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 8/XXIII - Rabiul Awal 1447 H / September 2025 M

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: KH. Ahmad Dahlan, Habib yang Makamnya Tidak Jadi Ladang Bisnis Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu