728x90 AdSpace

Latest News
Senin, 02 Maret 2020

Langkah Muhammadiyah 6: Menegakkan Keadilan


Ahmad Nasri

Sejak berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 12 November 1912 M, Muhammadiyah pernah menetapkan beberapa khittah perjuangan yang dirumuskan berdasarkan tantangan dan kebutuhan persyarikatan sesuai zamannya masing-masing. Khittah Muhammadiyah pertama yang dicanangkan di bawah kepemimpinan KH. Mas Mansur (Ketua HB Muhammadiyah 1937-1942) biasa dikenal dengan “12 Langkah Muhammadiyah (1938-1940)”. Sebelumnya, Majalah Tabligh sudah membahas secara berurutan 5 di antaranya, yaitu: (1) Memperdalam Masuknya Iman; (2) Memperluas Paham Agama; (3) Memperbuahkan Budi Pekerti; dan (4) Menuntun Amalan Intiqad; dan (5) Menguatkan Persatuan. Pada edisi kali ini, Majalah Tabligh akan akan  mengupas langkah keenam dari dua belas langkah yang digerakkan persyarikatan, yaitu “Menegakkan Keadilan”.

BACA SERIAL LANGKAH MUHAMMADIYAH LAINNYA:
Langkah Muhammadiyah 2: Memperluas Pemahaman Agama
Langkah Muhammadiyah 3: Memperbaiki Budi Pekerti
Langkah Muhammadiyah 4: Menuntun Amal Intiqad
Langkah Muhammadiyah 5: Menguatkan Persatuan
Langkah Muhammadiyah 7: Melakukan Kebijaksanaan
12 Tafsir Langkah Muhammadiyah

Saat penulis sekolah dulu, beberapa guru pernah menasihatkan kepada para muridnya agar senantiasa berlaku dan berbuat adil dan jangan melakukan tindakan zalim. Mereka mengatakan bahwa definisi adil secara singkat adalah, “menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya”. Mereka juga mengatakan bahwa lawan kata adil adalah zalim, yang diartikan dengan kebalikan dari arti adil, yaitu, “menempatkan sesuatu tidak pada tempat yang seharusnya.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil dijelaskan dengan “sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; sepatutnya; tidak sewenang-wenang”. Dengan demikian, seseorang disebut berlaku adil apabila ia tidak berat sebelah dalam menghukumi sesuatu, tidak berpihak kepada salah satu kecuali kepada siapa saja yang berada di atas kebenaran, sehingga seorang yang adil tidak akan berlaku sewenang-wenang dan melakukan hal yang tidak sepatutnya.

KH. Mas Mansur dalam Tafsir Langkah Muhammadiyah (hlm. 61) mengawali penjelasan tentang langkah yang keenam ini dengan nasihatnya, “Hendaklah keadilan itu dijalankan semestinya, walaupun akan mengenai badan sendiri, dan ketetapan yang sudah seadil-adilnya itu harus dibela dan dipertahankan di mana saja.”

Beliau mendasarkan pada firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nisa [4]: 135)

Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa sangat penting bagi setiap manusia untuk selalu menegakkan keadilan dalam kehidupan ini. Termasuk kepada orang yang tidak disukai pun, kita tetap dituntut untuk berbuat adil dan tidak menzaliminya. KH. Mas Mansur juga menerangkan secara singkat tuntunan yang muncul dari ayat ini dalam dua poin. Pertama, Hendaklah kita mukminin, senantiasa menetapi dan menguatkan keadilan, meskipun akan mengenai kepada diri-diri kita, atau kedua orang tua kita atau sanak saudara kita sendiri. Kedua, Di dalam menegakkan keadilan, haruslah kita jangan memandang kefamilian (yang biasa kita bela) atau kepada kekayaan (yang biasa kita harap-harapkan) atau kepada kefakiran (yang biasa kita belas kasihani). (Tafsir Langkah hlm. 62)

Adil adalah satu karakter yang utama dan mulia yang dimiliki manusia. Sikap adil menuntun manusia menjadi bijaksana dalam memutuskan suatu perkara. Apalagi bagi seorang pemimpin atau hakim di peradilan, keadilan tentu saja adalah hal yang mutlak dibutuhkan. KH. Mas Mansur berkata, “Di dalam menetapi keadilan itu, kita harus memandang kepada perintah Allah SWT, yang sebenar-benarnya harus kita junjung tinggi melebihi dari semua hal lainnya.” (Tafsir Langkah hlm. 62)

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya firman Allah SWT yang memerintahkan kepada keadilan itu tidak hanya satu atau dua ayat saja. Yang demikian itu menegaskan bahwa keadilan itu adalah perkara yang harus kita junjung tinggi, harus kita dahuluikan dan kita utamakan daripada yang selainnya. Dia harus kita pegang teguh, kita jadikan pedoman di dalam hidup kita. Sebab hanya keadilan yang dapat menyampaikan kemashlahatan dan kesempurnaan.” (Tafsir Langkah hlm. 63-64)

Karena keutamaan dari berbuat adil ini pula Allah SWT memberikan balasan yang setimpal kepada orang yang mampu berbuat adil. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil menurut pandangan Allah SWT, akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya sisi kanan Tuhan Yang Maha Pengasih. Mereka itulah orang-orang berlaku adil dalam keputusannya, di keluarganya, dan pada apa-apa yang mereka pimpin (mereka tidak bergeser dari keadilannya).” (HR. Muslim)

Setelah kita berbuat adil, kita juga harus menjauhi dengan sejauh-jauhnya dari perbuatan zalim. Bahkan hakikat menegakkan keadilan otomatis berarti menjauhi kebalikannya, yaitu sifat kezaliman dengan sejauh-jauhnya. Kezaliman itu sendiri merupakan rangkaian kegelapan yang akan menggelapkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Karena adil juga merupakan salah satu dari nama-nama Allah. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman:

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

Wahai hambaKu, sesungguhnya Aku haramkan perbuatan zalim atas diriKu dan Aku haramkan kezaliman di antara kalian. Maka itu, janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim, Hadits Arbain An Nawawi ke-24)

Tentang hadits ini Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad mengatakan, “Kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Allah SWT telah mengharamkan kezaliman atas dirinya dan menghalanginya dari dirinya. Padahal Allah SWT itu memiliki qudrah (kemampuan), namun tidak ada kezaliman dari Allah SWT selamanya. Hal ini disebabkan kesempurnaan keadilan Allah SWT.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan bahwa secara umum, “Zalim terbagi menjadi dua macam: pertama, kezaliman yang terkait dengan hak Allah SWT; dan kedua, Kezaliman yang terkait dengan hak hamba.” Kezaliman kepada Allah SWT ini bisa dilakukan dengan bermaksiat kepada-Nya, dan tingkatan terbesarnya adalah berlaku syirik. Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Luqman [31]: 13)

Sedangkan kezaliman kepada sesama manusia dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dan macam, entah menzalimi kehormatannya, hartanya, jiwanya dan lain sebagainya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, semuanya haram atas sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini, bulan ini, di tanah kalian ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka sebagai seorang muslim kita harus menjauhi sejauh jauhnya perbuatan zalim, baik kepada sesama manusia, apalagi kezaliman kepada Allah SWT dengan selalu memegang teguh keadilan pada diri kita masing-masing. Adil bagi pribadi muslim sangatlah penting, apalagi jika dia seorang pemimpin umat dan pemimpin publik. KH. Mas Mansur berkata, “Keadilan adalah suatu perkara yang harus dipegang kuat-kuat, terutama oleh orang-orang yang memegang pimpinan, karena keadilan itu dapat menguatkan kepercayaan atas kesetiaan orang yang dipimpin dengan jalan pimpinannya. Sebaliknya kalau pimpinan itu tidak berpegang dengan keadilan tentu hilanglah kepercayaan mereka yang ada di bawah pimpinannya.” (Tafsir Langkah hlm. 64)

Terkhusus kepada pimpinan persyarikatan KH. Mas Mansur juga menasihatkan tentang keadilan ini dalam penutup penjelasan langkah keenam. Beliau berkata, “Kepada pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan semua urusan-urusannya (majelis-majelisnya), kami berseru: Hendaklah lengkah yang keenam ini supaya dipegang teguh dan diamalkam dengan seksama serta sungguh-sungguh, dengan tidak meninggalkan hikmah atau kebijaksanaan menurut tuntunan Al Qur’an dan Hadits. Dan segala putusan-putusan yang sudah ditimbangkan dengan seadil-adilnya itu, haruslah selalu diperingati dan dipegang kuat-kuat, jangan sampai berubah karena desas desus atau protes dari pihak manapun.” (Tafsir Langkah hlm. 65). Wallahu a’lam

*) Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Sajian Khusus Majalah Tabligh edisi No. 3/XVIII Rajab 1441/Maret 2020
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Langkah Muhammadiyah 6: Menegakkan Keadilan Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu