Ahmad Nasri
“Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah kehancurannya.” Sahabat bertanya, “bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”
(HR. Al Bukhari)
Setiap lima tahun sekali, rakyat Indonesia disuguhi janji demi janji menjelang berlangsungnya pesta demokrasi. Janji yang digaungkan oleh orang-orang untuk memperebutkan hidangan kekuasaan. Baik oleh calon anggota legislatif di semua tingkatan, calon presiden, maupun calon-calon penguasa di daerah (gubernur dan walikota atau bupati). Dalam setiap kesempatan kampanye dan orasi-orasi politiknya, mereka para kontestan pemilu, pilpres dan pilkada itu pasti akan mengatasnamakan rakyat dalam program-programnya. Namun saat mereka telah berhasil mendapatkan kue yang diperebutkan itu, atau kursi singgasana panas telah dikuasai, maka janji tinggallah janji, tak ingat lagi untuk menepati. Padahal Rasulullah SAW bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا
وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda
orang munafik itu tiga: (1) apabila ia berucap berdusta; (2) jika membuat janji
mengingkari; dan (3) jika dipercayai berkhianat.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Karena dibutakan oleh kemilau kekuasaan,
maka rakyat yang awalnya dipuja-puja bak raja dan disuguhi janji-janji manis saat
kampanye pun tak lagi terlihat oleh mata para penggila kekuasaan tersebut. Oleh
orang-orang yang mengaku akan bersedia menjadi pelayan rakyat saat kampanye
tersebut, amanah yang diberikan oleh rakyat pun pada akhirnya harus dikhianati
setelah menjabat. Mereka tidak sadar bahwa kepemimpinan yang diraihnya tersebut
adalah amanah, dari rakyat, juga dari Allah SWT. Di dunia, rakyat akan meminta
pertanggungjawaban mereka. Begitu pula di akhirat, Allah SWT juga akan menagih janji
kampanye yang pernah diucapkan kepada rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
“Tunaikanlah amanat kepada
orang yang menitipkan amanat padamu.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Kata amanah menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang dipercayakan
(dititipkan) kepada orang lain. Amanah berasal dari kata bahasa Arab (amina-ya’manu-amnan)
yang berarti aman/tidak takut. Aman adalah lawan dari kata takut. Disebut aman
karena orang akan merasa aman menitipkan sesuatu kepada orang yang amanah. Amanah
adalah lawan kata dari khianat. Amanah merupakan salah satu dari empat sifat
utama yang dikaruniakan Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW yang juga
wajib dimiliki oleh seorang pemimpin. Selain amanah, seorang pemimpin berjiwa
Nabawi juga harus memiliki tiga sifat Rasulullah SAW lainnya, yaitu: Shidiq
berarti jujur, Tabligh berarti menyampaikan dan Fathanah berarti
cerdas.
Pemimpin
amanah tidak ambisius
Seorang
pemimpin bisa disebut amanah dimulai sejak saat dia belum diamanahi dengan
beban kepemimpinan. Bahwa seorang amanah tidak menonjolkan diri secara
berlebihan dan ingin tampil di depan sebagai pemimpin. Dia bisa mengukur kekuatan
dirinya sendiri apakah mampu ataukah tidak untuk memikul suatu beban kepemimpinan.
Karena kepemimpinan adalah amanah yang sangat berat dan wajib bagi setiap pengembannya
untuk berhati-hati dengan amanah tersebut. Mengingat kepemimpinan adalah amanah
dan amanah pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh pemberi amanah. Rasulullah
SAW bersabda,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّى
أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّى أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِى لاَ تَأَمَّرَنَّ
عَلَى اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya aku melihatmu adalah
orang yang lemah dan aku sangat senang memberikanmu apa yang aku senangi untuk
diriku sendiri. Janganlah engkau menjadi pemimpin atas dua orang dan janganlah
pula engkau mengurusi harta anak yatim.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain dikisahkan oleh Abu Musa RA, “Suatu ketika aku menghadap Nabi SAW bersama dua orang dari kaumku. Salah satu dari mereka berkata, “Wahai Rasul, angkatlah aku jadi pemimpin.” Dan seorang lagi juga mengatakan hal yang sama. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh kami tidak akan menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya, dan tidak pula kepada yang berambisi untuk meraihnya. (HR. Al Bukhari)
Dalam konteks kekinian, seorang
pemimpin amanah tidak akan berlebihan saat berkampanye. Dia tidak akan dengan
mudah mengumbar janji tanpa mengukur kemampuan yang dia miliki. Pemimpin amanah
tidak akan dengan mudah mengatakan, “dananya ada, sumber dayanya ada, tinggal
kita mau kerja apa tidak. Intinya kerja, kerja dan kerja”. Seorang yang amanah
biasanya tidak berambisi menduduki jabatan itu, apalagi sampai menghalalkan
segala cara demi mendapatkan kekuasaan atau jabatan. Karena dia tahu persis
konsekuensi dari apa yang dia katakan dan dia lakukan.
Seseorang yang menggunakan segala
cara untuk memperoleh sebuah jabatan, seperti misalnya dengan suap jelas bukan
pemimpin yang amanah. Jika karena ambisinya itu dia sampai berbuat curang
dengan menggelembungkan suara misalnya, maka sulit untuk diharapkan akan amanah
saat telah menjabat nanti. Jangankan untuk berkorban demi kesejahteraan rakyat,
ia justru akan sibuk memperkaya diri dan kelompoknya, mengembalikan ‘modal’
dari jabatan yang diembannya. Rasulullah SAW bersabda,
مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً, يَمُوتُ
يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ, إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ
اَلْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh
Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat
curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga atasnya.”
(HR. Muttafaq ‘alaih)
Pemimpin amanah, jika pun dia terlihat seolah berambisi
menginginkan sebuah jabatan tertentu, pada hakikatnya dia hanya bertujuan untuk
kepentingan rakyat saja, tidak untuk dirinya sendiri. Seperti pernah
diceritakan dalam kisah Nabi Yusuf AS. Allah SWT berfirman,
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ
عَلِيمٌ
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara
(Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan.” (QS. Yusuf
[12]: 55)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak layak meminta
amanah atau memberikan amanah kepemimpinan pada orang yang tidak punya
kapabilitas dan bukan ahli di dalamnya. Namun seperti halnya Nabi Yusuf AS,
boleh meminta amanah jika memang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pemimpin amanah akan berlaku adil
Pemimpin amanah
akan senantiasa berlaku adil, kepada Allah SWT, dirinya sendiri, dan orang yang
dipimpinnya. Dia akan senantiasa menjaga ketaatannya kepada Allah SWT sebagai
pemberi amanah yang sesungguhnya, memilih yang terbaik bagi diri sendiri dan
keluarganya, serta berusaha dengan
maksimal menepati janji dan menjaga kepercayaan orang lain. Jika seorang calon
pemimpin akhirnya terpilih, maka dia harus berusaha semaksimal mungkin untuk
melaksanakan janji-janji yang dikatakan saat kampanye. Jangan justru lupa
dengan janji yang pernah diucapkan dan selalu berusaha menghindar jika rakyat
menagih janjinya tersebut. Allah SWT berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
(QS. An-Nisa’ [4]: 58)
Ayat tersebut menunjukkan
kepada kita di antaranya tentang pentingnya memilih pemimpin yang amanah. Bahwa
saat seorang diberi amanah sebagai seorang pemimpin ia harus berlaku amanah
pula. Salah satu bentuk amanah yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah agar
dia berbuat adil. Pemimpin amanah akan adil kepada
dirinya sendiri. Ia tidak akan bermewah-mewahan dalam kesehariannya, sebaliknya
ia akan hidup sederhana sesuai kebutuhannya. Maka pemimpin akan menyesal jika
diawali dari ambisi, karena pasti dia tidak akan adil kepada dirinya sendiri,
yaitu dengan memperkaya diri dan bermewah-mewahan. Ujungnya dia akan menyesal di akhirat nanti karena tidak bisa
berlaku adil dalam kepemimpinannya.
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى
الإِمَارَةِ ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَنِعْمَ
الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Sesungguhnya kalian nanti akan
sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari
kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian
sungguh penuh derita” (HR. Bukhari)
Pemimpin amanah akan bertanggung jawab
Seorang pemimpin amanah akan
bertanggung jawab semaksimal mungkin menjalankan kepemimpinannya. Ia akan
melaksanakan tugas dengan baik, sehingga ia dapat dipercaya saat menjalankan
kepemimpinannya itu. Rakyat pun akan mengenalnya sebagai seorang yang jujur, selaras
antara kata yang diucapkan dengan tindakan yang dilakukan.
Pemimpin amanah juga akan selalu
mengutamakan kepentingan rakyat banyak dibanding dengan kepentingkan dirinya
sendiri dan kelompoknya. Dia tidak akan mengorbankan rakyat dan menipu mereka
demi mengekalkan kekuasaannya. Apa yang dilakukannya semata demi kemaslahatan
rakyat semata. Karena ia sadar, apa yang diembannya sekarang akan dimintai
pertanggungjawaban kelak. Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari
kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Selain wajibnya memiliki sifat shidiq (jujur)
sebagai pondasi, sifat amanah juga menjadi pondasi penting yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin. Karena salah satu indikator pemimpin Nabawi adalah
senantiasa menjaga dan tidak mengkhianati amanah yang telah diberikan rakyat di
pundaknya. Maka teramat rugi dan akan menyesal jika menjadi pemimpin yang
munafik, antara perkataan dan perbuatannya tidak ada keselarasan. Wallahul
Musta’an
*) Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Sajian Khusus Majalah Tabligh edisi No. 07/XVI Zulqa'dah 1440/Juli-Agustus 2019
0 komentar:
Posting Komentar