Ahmad Nasri
Sifat sidiq adalah pondasi awal dan salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Ia harus berlaku sidiq kepada dirinya sendiri. Masyarakat akan menaruh kepercayaan kepada pemimpin apabila dia diketahui dan terbukti memiliki kualitas sifat sidiq yang tinggi. Pemimpin yang memiliki prinsip sidiq akan menjadi tumpuan harapan bagi rakyatnya. Kalau kepada dirinya sendiri dia bisa berlaku sidiq, tentu saja ia juga tak akan mau untuk membohongi rakyatnya.
Rasulullah SAW bersabda,
مَا
مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ
غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa diberi beban oleh
Allah untuk memimpin rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya
Allah mengharamkan Surga atasnya.” (HR. Muslim)
Secara bahasa, sidiq
berasal dari kata sadaqa yang memiliki beberapa arti yang saling
melengkapi satu sama lain. Di antaranya adalah: benar, jujur dan
dapat dipercaya. Sidiq adalah sifat yang lebih dekat dengan sebuah
sikap pembenaran terhadap sesuatu yang benar (al haq), hal-hal yang
sejalan dengan hati nurani yang murni, yang pastinya juga sesuai dengan apa
yang digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Singkatnya, sidiq
bisa diartikan dengan jujur dalam perkataan dan perbuatan.
Sidiq merupakan salah satu dari empat
sifat utama yang dikaruniakan Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW yang
sudah kita ketahui. Rasulullah SAW disifati dengan as-sadiqul amin
(jujur dan terpercaya), sifat ini telah disematkan oleh orang-orang Quraisy
kepada Muhammad sebelum beliau diutus menjadi nabi dan rasul. Selain sidiq,
Rasulullah SAW juga dikaruniai tiga sifat lainnya, yaitu: Amanah berarti
dapat dipercaya, Tabligh berarti menyampaikan dan Fathanah
berarti cerdas.
Di antara ciri kepemimpinan
Nabawi yang diridhai Allah SWT adalah pemimpin yang jujur dan dapat dipercaya.
Pemimpin yang dapat bertanggung jawab terhadap kepercayaan yang sudah
dimandatkan rakyat kepadanya. Sehingga pemimpin tersebut mampu menjadikan
rakyatnya semakin adil, makmur dan sejahtera dalam naungan keberkahan Allah
SWT. Pemimpin yang mampu melindungi rakyatnya dari segala bentuk keburukan,
kezaliman, termasuk kebohongan, ketidakjujuran dan penghianatan, baik dari
orang lain maupun utamanya dari pemimpin itu sendiri.
Pemimpin yang jujur tidak hanya
membawa kebaikan pada dirinya sendiri, tetapi kebaikan tentu akan menyertai rakyat
yang dipimpinnya. Mereka sadar bahwa kualitas kepemimpinannya ditentukan di
antaranya dari seberapa jauh dirinya memperoleh kepercayaan dari rakyatnya.
Pemimpin yang jujur akan selalu mencintai rakyatnya, sebaliknya rakyatnya pun
akan mencintainya. Hal itu terjadi karena rakyat percaya kepadanya sebagai
pemimpin yang jujur. Sebaliknya, jika pemimpin tidak jujur, rakyat juga tidak
akan mempercayainya.
Rasulullah SAW bersabda,
خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ
وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ
وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
“Sebaik-baik pemimpin kalian
adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka
mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin
kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga
kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR. Muslim)
Sebagai rakyat, tentu kita sudah
dapat menilai kejujuran para pemimpin kita. Apalagi jika para pemimpin tersebut
adalah orang-orang lama yang sebelumnya pernah menjabat, tentu kita bisa
menilai sejauh mana kejujuran yang mereka miliki. Salah satu indikatornya bisa
kita lihat dari janji-janji politik yang pernah dia ucapkan sebelumnya, sejauh
mana mereka menjalankan atau berusaha menepati janji-janjinya tersebut.
Kebalikan dari jujur adalah
bohong. Jika pemimpin tidak bisa berlaku jujur, sudah jelas dia termasuk
pemimpin yang pembohong. Kalau ternyata janji mereka hanya omong kosong belaka,
maka sudah jelas bahwa mereka adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Pemimpin
yang jujur pasti akan senantiasa memenuhi janji-janjinya yang pernah ia buat
saat kampanye, tanpa pernah berniat mengingkari apalagi dengan sengaja
membohongi rakyatnya. Sehingga antara kata yang terlontar sebelum menjabat
(saat kampanye) dan perbuatan saat benar-benar menjabat selalu seiring sejalan.
Termasuk dengan apa yang dikatakan dan diperbuatnya saat sudah duduk di kursi
kepemimpinan, apa yang dikatakan, akan selalu dilakukannya. Selalu selaras,
seiya sekata antara kata dan kerja.
Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ
الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي
إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ
لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Sesungguhnya sidiq itu
membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan pada surga. Dan seseorang
beperilaku sidiq, hingga ia dikatakan sebagai seorang yang siddiq. Sementara
kedustaan akan membawa pada keburukan, dan keburukan akan mengantarkan pada api
neraka. Dan seseorang berperilaku dusta, hingga ia dikatakan sebagai pendusta.”
(HR. Al Bukhari)
Kejujuran seorang pemimpin tentu
lebih penting daripada sekedar orang biasa atau rakyat jelata. Karena kejujuran
seorang pemimpin secara otomatis akan berpengaruh besar juga terhadap orang
banyak yang dipimpinnya, seperti akan terealisasinya program-program
pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Begitu pula sebaliknya, kebohongan seorang penguasa akan berdampak besar bagi
rakyat banyak di bawah kepemimpinannya. Hal-hal negatif pasti akan timbul dari
kebohongan seorang pemimpin, sekecil apapun itu. Seorang pemimpin yang saat
berkampanye akan setop impor, menyediakan lapangan kerja, harga-harga dan pajak
murah, tentu akan membahagiakan rakyatnya. Tapi jika setelah menjabat semua itu
tidak terealisasi, alias dia ternyata berbohong, maka yang terjadi adalah
kemadharatan, seperti melonjaknya barang-barang impor dari luar negeri yang
membanjiri tanah air, semakin melonjaknya angka pengangguran, kemiskinan, juga
naiknya harga-harga dan pajak.
Rasulullah SAW bersabda,
ثَلاَثَةٌ
لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلاَ يَنْظُرُ
إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ
مُسْتَكْبِرٌ
“Ada tiga golongan (manusia)
yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak
mensucikan mereka dan tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka siksa yang
sangat pedih, yaitu; orang tua yang berzina, raja yang pendusta (pembohong) dan
orang miskin yang sombong.” (HR. Muslim)
Kalau kebohongan pribadi saja
akan membawa pelakunya kepada neraka, maka kebohongan seorang pemimpin tentu
akan membawa pelakunya kepada siksa neraka yang lebih besar daripada sekedar
kebohongan pribadi. Karena kebohongan pribadi hanya merugikan satu atau dua
orang saja dalam skala kecil, sedangkan kebohongan seorang pemimpin jelas akan
merugikan rakyat di bawah kepemimpinannya yang skalanya tentu jauh lebih besar.
Semakin besar cakupan wilayah yang dipimpinnya, maka semakin besar pula madharat
dari kebohongannya. Semakin besar kebohongan yang timbul dari seorang pemimpin,
maka semakin besar pula dosa yang akan dipikulnya. Siksa yang menantinya di
neraka pun akan semakin besar. Tidak ada ampun bagi seorang pemimpin yang
membohongi rakyat. Allah SWT menjanjikan kepada mereka dengan azab yang sangat
pedih. Jangankan untuk mengampuni mereka, (seperti diterangkan dalam hadits di
atas) melihat kepada mereka saja Allah SWT pun enggan. Sedemikian kerasnya
siksaan bagi pemimpin yang pembohong.
Pemimpin dalam Islam dituntut
untuk bisa memberikan teladan yang baik kepada rakyatnya, bukan hanya mencari
kekuasaan semata. Ia harus bisa menyesuaikan antara perkataan dan perbuatannya.
Karena pemimpin adalah orang yang pertama kali akan dimintai pertanggungjawaban
di hadapan Allah SWT sebelum rakyatnya. Saat berbohong kepada rakyat, hakikatnya
dia tidak takut kepada Allah SWT dan telah berani berbohong kepada-Nya. Maka
pemimpin yang gemar berbohong tidak akan bisa membawa rakyatnya menuju kebaikan
dan kemakmuran, di dunia saja tidak, apalagi kelak di akhirat. Wallahul
Musta’an
*) Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Sajian Khusus Majalah Tabligh edisi No. 06/XVI Syawal 1440/Juni-Juli 2019
0 komentar:
Posting Komentar