Ahmad Nasri
Saat saya sekolah dulu, beberapa guru pernah menasihatkan kepada para muridnya agar senantiasa berlaku dan berbuat adil dan jangan melakukan tindakan zalim. Mereka mengatakan bahwa definisi adil secara singkat adalah, “menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya”. Mereka juga mengatakan bahwa lawan kata adil adalah zalim, yang diartikan dengan kebalikan dari arti adil, yaitu, “menempatkan sesuatu tidak pada tempat yang seharusnya.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil dijelaskan dengan “sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; sepatutnya; tidak sewenang-wenang”. Dengan demikian, seseorang disebut berlaku adil apabila ia tidak berat sebelah dalam menghukumi sesuatu, tidak berpihak kepada salah satu kecuali kepada siapa saja yang berada di atas kebenaran, sehingga seorang yang adil tidak akan berlaku sewenang-wenang dan melakukan hal yang tidak sepatutnya.
Baca artikel serial kepemimpinan Pancasilais lainnya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah [5]: 8)
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِي، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى عَلَى
مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي
حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash
RA dari Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil menurut
pandangan Allah SWT, akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya sisi kanan
Tuhan Yang Maha Pengasih. Mereka itulah orang-orang berlaku adil dalam
keputusannya, di keluarganya, dan pada apa-apa yang mereka pimpin (mereka tidak
bergeser dari keadilannya).”
(HR. Muslim)
Sangat penting bagi setiap
manusia untuk selalu menegakkan keadilan dalam kehidupan ini. Termasuk kepada
orang yang tidak disukai pun, kita tetap dituntut untuk berbuat adil dan tidak
menzaliminya. Apalagi jika dia berposisi sebagai pemimpin, keadilan adalah satu
hal yang mutlak harus dimiliki dalam menegakkan kepemimpinannya itu. Rasulullah
SAW bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
الْإِمَامُ الْعَادِلُ
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi
Muhammad SAW, beliau bersabda, “Ada tujuh kelompok orang yang dinaungi oleh
Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya, (salah satunya) yaitu:
pemimpin yang adil.” (HR.
Al Bukhari dan Muslim)
Pemimpin yang adil disebut
pertama kali oleh Rasulullah SAW sebagai kelompok yang mendapat naungan Allah
SWT di hari kiamat. Penyebutan pemimpin yang adil pada urutan pertama ini tentu
saja bukan tanpa alasan, tetapi hal ini menunjukkan betapa pentingnya keadilan
bagi seorang pemimpin dan betapa pentingnya kedudukan pemimpin yang adil di
sisi Allah SWT. Seorang pemimpin yang adil akan dicintai oleh Allah SWT, tidak
saja di dunia tetapi juga di akhirat. Tidak hanya dicintai oleh Allah SWT dan
Rasul-Nya, seorang pemimpin yang adil tentu juga akan dicintai oleh rakyat yang
dipimpinnya. Begitu pula sebaliknya, kebencian Allah SWT dan rakyat tidak dapat
dihindarkan kepada pemimpin yang berbuat zalim. Dari Abu Sa’id RA ia
berkata, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ
النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا
إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ
مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ
“Sesungguhnya manusia yang
paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di
sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling
dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang
pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi)
Menjadi pemimpin yang adil memang
tidak mudah dan sangat berat tantangannya. Karena itulah Allah SWT sangat
mencintai orang-orang yang berbuat adil dan Dia kelak akan memberikan
perlindungan di hari kiamat kepada setiap pemimpin yang bisa menegakkan keadilan.
Di saat itu, tidak ada perlindungan dari siapapun kecuali perlindungan yang
diberikan oleh Allah SWT semata. Hal ini sebagai wujud cinta Allah SWT kepada
para pemimpin yang adil. Allah SWT berfirman:
فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
Al-Hujurat [49]: 9)
Penyebutan pemimpin yang adil pada
posisi pertama menandai bahwa nilai kehadirannya di tengah masyarakat sangat
penting, karena dia berurusan langsung dengan kepentingan publik dan hajat
hidup orang banyak. Dia juga sebagai pihak pertama yang paling bertanggungjawab
untuk memenuhi kebutuhan orang-orang atau kelompok masyarakat yang terpinggirkan.
Pemimpin yang adil sangat diperlukan untuk mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera. Dia akan lebih menjamin kedamaian dan ketentraman dalam
masyarakat dibandingkan pemimpin yang tidak adil atau zalim.
Teladan Pemimpin Adil
Kepemimpinan yang adil adalah
kepemimpinan yang tidak pandang bulu dalam menegakkannya. Buya Hamka pernah
menasihatkan tentang keadilan, “Adil ialah menimbang sama berat, menyalahkan
yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak yang empunya dan
jangan berlaku zalim di atasnya.”
Keadilan seorang pemimpin harus
ditegakkan kepada semuanya, tidak hanya membela kepentingan orang-orang yang
berada di lingkaran kekuasaan saja dan mengabaikan rakyat jelata. Sebaliknya,
dia tidak akan membela jika di lingkungan kekuasaannya memang ada orang-orang
yang berbuat zalim. Pemimpin yang adil juga tidak sibuk mencari-cari kesalahan
lawan politiknya untuk kemudian diserang dan dipersalahkan agar bisa
disingkirkan.
Salah satu teladan pemimpin yang
adil pernah dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz. Dengan prinsip keadilan yang
sangat kuat, Umar bin Abdul Aziz pada masa kepemimpinannya mengendalikan negara
dengan sangat memperhatikan rakyatnya agar terhindar dari kezaliman. Kebijakan
politik pemerintahan cucu Umar bin Khattab RA yang juga disebut-sebut sebagai
khulafaur rasyidin ke lima itu mendapat simpati dari masyarakat luas karena
sikap adil dan tegasnya terhadap kerabat dekatnya sendiri yang memonopoli
tanah-tanah rakyat. Semua tanah itu kemudian dikembalikan Umar bin Abdul Aziz
kepada yang berhak secara adil sesaat setelah dia menjabat sebagai khalifah. Umar
bin Abdul Aziz pun banyak mengembalikan tanah-tanah yang dulu dirampas oleh
penguasa zalim sebelumnya, kemudian mengembalikannya pada pemiliknya yang sah.
Umar bin Abdul Aziz juga memecat para pejabat yang menguasai tanah rakyat.
Maka bukan disebut pemimpin yang
adil, jika dia bertubi-tubi menyerang lawan politiknya karena dituduh menguasai
tanah negara, tetapi ternyata banyak di antara orang-orang di sekitanya yang
menjadi tuan atas tanah milik negara. Sebelum dia menyita tanah yang dikelola
oleh lawan politiknya tersebut, pemimpin yang adil akan terlebih dahulu menyita
tanah negara yang dikuasai oleh segelintir orang yang berada di lingkaran
kekuasaannya, kemudian secara heroik ‘membagikan’ tanah tersebut kepada rakyat
seperti saat dia membagikan sertifikat tanah.
Dalam hal keadilan untuk semua
dan tidak pandang bulu ini Rasulullah SAW juga pernah meneladankan kepada kita
dalam kisah berikut ini. Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Orang-orang Quraisy
sedang berunding tentang keadaan seorang perempuan yang harus dipotong
tangannya karena mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang harus menyampaikan
masalah ini kepada Rasulullah SAW?’
Mereka menjawab “Tiada lagi yang
pantas selain Usamah bin Zaid kekasih Rasulullah.” Usamah pun menyampaikan hal
itu kepada beliau, lalu beliau SAW bertanya, “Akankah kalian melindungi orang
yang terkena salah satu hukum Allah Ta’ala?”
Beliau SAW kemudian berdiri dan
bersabda, “Sesungguhnya yang menyebabkan orang-orang sebelum kalian binasa,
jika orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membiarkan. Tapi bila
yang mencuri orang lemah, mereka melaksanakan hukuman. Demi Allah, seandainya
Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Menjadi seorang pemimpin adalah
tugas yang berat, ia selalu akan dihadapkan pada dua pilihan dalam menjalankan
tugasnya, ia akan menjadi pemimpin yang adil atau sebaliknya, bertindak zalim.
Pemimpin adil akan selalu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan pemimpin zalim
akan menempatkan sesuatu tidak pada tempat yang semestinya.
Jika negeri ini dipimpin oleh
pemimpin yang adil, rakyatnya akan makmur dan sejahtera. Karena dengan keadilan
seorang pemimpin (dan para pembantunya) maka semua rakyatnya tidak akan merasa
khawatir dengan kezaliman orang lain, lebih-lebih kezaliman pemimpinnya
sendiri. Sehingga kemakmuran dan kesejahteraan pun akan terwujud nyata.
Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Seandainya
aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”
Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku
tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun
jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.”
Kita berharap, di negeri ini akan
senantiasa muncul pemimpin-pemimpin yang adil, yang peduli terhadap seluruh rakyatnya
tanpa pandang bulu. Pemimpin yang menjalankan roda kepemimpinannya di atas
dasar iman, akal sehat dan untuk meraih kemaslahatan masyarakat banyak. Jika
pemimpin adil itu terwujud, maka salah satu lirik lagu qasidah lama tentang
lebaran ini pun jadi terasa nyata saat dinyanyikan, “Minal aidin wal
faidzin, Maafkan lahir dan batin, Selamat para pemimpin, Rakyatnya makmur
terjamin.” Wallahu a’lam
*) Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Sajian Khusus Majalah Tabligh edisi No. 05/XVI Ramadhan 1440/Mei-Juni 2019
0 komentar:
Posting Komentar