728x90 AdSpace

Latest News
Senin, 15 April 2019

Pemimpin (Pura-Pura) Merakyat


Oleh: Ahmad Nasri

Semua yang penuh dengan kepura-puraan itu mungkin akan terlihat indah dan menyenangkan di awalnya. Tentu saja jika belum terlihat apa di balik topengnya. Tapi begitu ketahuan wujud aslinya, semua pun akan muak melihat dirinya. Malu mengenalnya. Tak mau lagi menyaksikan kelakuannya. Apalagi jika yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan tersebut adalah pemimpin atau penguasa, tentu rasa muak yang muncul akan lebih lagi. Kita berharap pemimpin yang kita punya, atau calon-calon pemimpin yang hendak kita pilih jauh dari kepalsuan, topeng dan pura-pura.

Pura-pura Merakyat
Menjadi sosok pemimpin yang dicintai rakyat adalah mimpi dan harapan besar dari setiap pemimpin. Hal ini dapat dimengerti karena salah satu parameter sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur seorang pemimpin itu sukses atau tidak adalah dengan melihat respon serta kecintaan masyarakat kepadanya. Bila respon masyarakat kepadanya baik, maka bisa dipastikan pemimpin itu telah sukses dalam mengurus rakyatnya. Namun sebaliknya, bila respon masyarakat kepadanya buruk, maka besar kemungkinan bahwa ia telah gagal dalam melaksanakan amanah sebagai pemimpin rakyat. Karena tidak ada yang lebih indah dari pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Tidak ada pemimpin yang dicintai rakyatnya melainkan dia mampu mencintai rakyatnya.

Dari ‘Auf Ibn Malik RA berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, juga yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga yang kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim)

Di negeri antah berantah yang tidak diketahui di mana tempatnya, hidup seorang pemimpin (atau penguasa) yang selalu menampakkan diri penuh kebaikan di hadapan rakyatnya. Seolah dia adalah seorang pemimpin yang merakyat. Kemanapun dia pergi di penjuru negerinya, dia suka membagikan hadiah, mulai dari sepeda, sembako, pernah juga traktor untuk membajak sawah (yang konon katanya diambil lagi setelah sang pemimpin itu pergi). Dalam beberapa video yang tampak seperti proses shooting sinetron pernah juga ada ibu-ibu yang menyalaminya di mobil dengan histeris. Sungguh merakyat. Sangat merakyat. Dan tetap selalu berusaha (terlihat) merakyat. Dari wajahnya pun juga selalu menunjukkan wajah merakyat yang penuh kepolosan.

Namun ternyata, di balik wajah para pemimpin yang seolah merakyat itu, ada (bahkan banyak) juga rakyat yang dibuat menangis olehnya. Saat banyak lahan dia gunakan untuk membangun jalan bersama para pemilik modal, dia sang penguasa merakyat ini mengatakan tidak ada sengketa lahan karena dia telah memberikan ganti untung kepada rakyatnya. Tapi ternyata pada kenyataanya masih banyak masyarakat yang digusur paksa rumahnya dan tak ada ganti rugi yang layak. Di sebuah kesempatan saat dia berpidato, bahkan pernah juga ada seorang ibu-ibu yang jatuh pingsan di depan penguasa yang dicitrakan merakyat itu setelah curhat minta ganti rugi lahan tol yang harus menggusur rumahnya.

Setiap ada rakyat yang mengadu tentang para pembantunya yang tidak bekerja sebagaimana mestinya, pemimpin pura-pura merakyat ini selalu saja berusaha mengelak dan mengatakan, “Jangan asal menuduh, silakan laporkan jika benar-benar terjadi.” Tapi begitu ada rakyat yang benar-benar melaporkan, hasilnya juga nihil. Zonk. Rakyat kecewa dengan dia dan para pembantunya.

Akhirnya bagi semua orang yang mau berpikiran jernih menjadi tahu bahwa dia hanyalah pemimpin pura-pura. Penguasa yang diberi tugas oleh orang di atasnya untuk berperan seolah-olah merakyat. Penampilannya yang sederhana itu ternyata tidak otentik. Hanya aksesoris saja agar dia bisa terlihat dekat dan mencintai rakyatnya. Dan akhirnya pemimpin yang dikehendaki oleh rakyat agar merakyat tersebut justru berbalik menjadi pengkhianat rakyat. Meski selalu dicitrakan sesempurna mungkin sebagai pemimpin merakyat dan pembela wong cilik.

Padahal menjadi seorang pemimpin yang merakyat seharusnya bisa berdiri di antara rakyat agar dapat merasakan suasana batin rakyat yang sesungguhnya. Sehingga ia dapat mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan rakyat serta apa yang menjadi keluh kesah dan keinginan mereka. Dengan bermodalkan empati kepada rakyat, pemimpin yang telah memahami kebutuhan rakyat dapat dengan sepenuh hati memperjuangkan apa yang menjadi keinginan rakyat tersebut. Bukan hanya memenuhi kebutuhan orang-orang dekat di sekitarnya saja.

Maka akhirnya menjadi jamak adanya penguasa yang menggusur rumah rakyat tanpa rasa kemanusiaan bahkan sebelum putusan hukum dikeluarkan. Ada juga pemimpin yang tega mencuri uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas umum. Ada juga yang kongkalikong dengan pemodal, memperkaya diri sendiri dan mungkin saja partainya dengan menggunakan kewenangan dan jabatannya dengan cara membuat kebijakan yang menguntungkan pemodal namun merugikan rakyat. Ada juga pimpinan partai yang melakukan jual beli jabatan agar para koleganya bisa menjadi pejabat. Semua yang tampak didepan seolah merakyat, akhirnya hanya berbuah kecewa di hati rakyat. Mereka pun berbalik melaknat orang-orang sok merakyat yang penuh pencitraan tersebut.

Baca artikel serial kepemimpinan Pancasilais lainnya:

1. 4 Kriteria Pemimpin Berketuhanan

2. Pemimpin Peduli Kemanusiaan

3. Pemimpin yang Mempersatukan

5. Pemimpian yang Berkeadilan

Merakyat Otentik Ala Umar
Teladan kepemimpinan merakyat yang otentik pernah ditunjukkan oleh salah seorang sahabat Rasulullah SAW, Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA. Satu waktu, ketika dirinya menjabat sebagai khalifah, Umar RA pernah didatangi oleh seorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh Gubernur Mesir, Amr bin al ‘Ash RA, yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski sebenarnya mendapatkan ganti rugi yang pantas, sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadukan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar RA.

Begitu tiba di Madinah, hal pertama yang membuat sang Yahudi itu merasa takjub adalah karena Khalifah Umar RA tidak memiliki istana yang megah seperti yang dia bayangkan. Bahkan dia diterima Khalifah Umar RA hanya di halaman Masjid Nabawi. Di bawah rindangnya naungan pohon kurma di pelataran Masjid Nabawi. Selain itu penampilan Khalifah Umar RA yang amat sederhana, sangat merakyat untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas.

Seusai mendengar cerita sang Yahudi tersebut, Khalifah Umar RA mengambil sebuah tulang unta dan dengan pedangnya membuat dua garis yang berpotongan padanya: satu garis horisontal dan satu garis lainnya vertikal. Khalifah Umar RA lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Gubernur ‘Amr bin al ‘Ash RA. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”

Meski tidak memahami maksud Khalifah Umar RA, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Gubernur ‘Amr sesuai pesan Khalifah Umar RA. Sang gubernur langsung pucat pasi dan menggigil ketika menerima tulang tersebut. Saat itu juga sang gubernur langsung mengumpulkan rakyatnya untuk membangun kembali gubuk yang reot milik orang Yahudi itu.

Terheran-heran, sang Yahudi bertanya pada Gubernur ‘Amr bin al ‘Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan rumahnya setelah menerima tulang yang dikirim oleh Khalifah Umar RA. ‘Amr bin al ‘Ash menjawab, “Wahai kakek, tulang ini hanyalah tulang biasa dan baunya pun busuk. Akan tetapi tulang ini merupakan peringatan keras terhadap diriku dan tulang ini merupakan ancaman Khalifah Umar bin Khattab RA. Artinya apa pun pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf Alif yang lurus. Adil di atas, dan adil di bawah. Sebab kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah Umar RA tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya”.

Selain kisah ini, masih sangat banyak cerita tentang merakyatnya Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA. Pribadi merakyat yang otentik. Dia gemar blusukan melihat langsung keadaan dan penderitaan rakyatnya. Kita tentu pernah mendengar tentang Khalifah Umar RA yang mengajak istrinya untuk membantu persalinan rakyatnya. Juga tentang Khalifah Umar RA yang memanggul sendiri karung gandum setelah mendengar ada rakyatnya yang memasak batu untuk anak-anaknya karena kemiskinan yang melandanya hingga tidak punya bahan makanan untuk dimasak. Dan blusukan Khalifah Umar RA ini selalu dilakukan dalam senyap. Rakyat yang didatanginya pun tidak tahu kalau dia, Umar bin Khattab RA yang sedang membantunya itu adalah amirul mukminin, seorang khalifah, atau dalam bahasa saat ini adalah presiden.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan para pemimpin saat ini. Mereka terjun ke akar rumput selalu dengan membawa kameramen lengkap agar bisa mengabadikan momen-momen yang pas untuk menunjukkan betapa merakyatnya mereka. Padahal pemimpin merakyat bukanlah pemimpin yang hanya sering blusukan atau selfi dengan tiap orang yang dijumpainya. Sampai-sampai dalam ibadah shalat pun dia perlu untuk pencitraan. Hingga shaf shalat di masjid pun harus dimundurkan agar para kemeramen bisa mengambil gambarnya, pemimpin pura-pura itu dari sudut yang pas.

Pemimpin merakyat itu seharusnya berpikir dan bertindak semata-mata untuk kepentingan rakyat. Pemimpin merakyat yang dibutuhkan saat ini adalah pemimpin yang selalu memperhatikan masalah rakyat dalam segala aspek, terutama dalam hal kesejahteraan. Semoga Allah SWT memberikan kepada kita pemimpin merakyat yang otentik, bukan pemimpin merakyat yang hanya pura-pura. Wallahu a’lam

*) Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di rubrik sajian khusus Majalah Tabligh edisi No. 04/XVI Sya'ban 1440 H/15 April-15 Mei 2019 M
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Pemimpin (Pura-Pura) Merakyat Rating: 5 Reviewed By: Admin 2 TablighMu