Oleh: Ahmad Nasri
Semua yang penuh dengan
kepura-puraan itu mungkin akan terlihat indah dan menyenangkan di awalnya.
Tentu saja jika belum terlihat apa di balik topengnya. Tapi begitu ketahuan
wujud aslinya, semua pun akan muak melihat dirinya. Malu mengenalnya. Tak mau lagi
menyaksikan kelakuannya. Apalagi jika yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan
tersebut adalah pemimpin atau penguasa, tentu rasa muak yang muncul akan lebih
lagi. Kita berharap pemimpin yang kita punya, atau calon-calon pemimpin yang
hendak kita pilih jauh dari kepalsuan, topeng dan pura-pura.
Pura-pura Merakyat
Menjadi sosok pemimpin yang
dicintai rakyat adalah mimpi dan harapan besar dari setiap pemimpin. Hal ini
dapat dimengerti karena salah satu parameter sederhana yang dapat digunakan
untuk mengukur seorang pemimpin itu sukses atau tidak adalah dengan melihat
respon serta kecintaan masyarakat kepadanya. Bila respon masyarakat kepadanya
baik, maka bisa dipastikan pemimpin itu telah sukses dalam mengurus rakyatnya.
Namun sebaliknya, bila respon masyarakat kepadanya buruk, maka besar
kemungkinan bahwa ia telah gagal dalam melaksanakan amanah sebagai pemimpin
rakyat. Karena tidak ada yang lebih indah dari pemimpin yang dicintai oleh
rakyatnya. Tidak ada pemimpin yang dicintai rakyatnya melainkan dia mampu
mencintai rakyatnya.
Dari ‘Auf Ibn Malik RA berkata:
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah
orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, juga
yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan
untuk kalian. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah orang-orang yang
kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga yang kalian
melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim)
Di negeri antah berantah yang
tidak diketahui di mana tempatnya, hidup seorang pemimpin (atau penguasa) yang
selalu menampakkan diri penuh kebaikan di hadapan rakyatnya. Seolah dia adalah seorang
pemimpin yang merakyat. Kemanapun dia pergi di penjuru negerinya, dia suka
membagikan hadiah, mulai dari sepeda, sembako, pernah juga traktor untuk
membajak sawah (yang konon katanya diambil lagi setelah sang pemimpin itu pergi).
Dalam beberapa video yang tampak seperti proses shooting sinetron pernah juga
ada ibu-ibu yang menyalaminya di mobil dengan histeris. Sungguh merakyat.
Sangat merakyat. Dan tetap selalu berusaha (terlihat) merakyat. Dari wajahnya
pun juga selalu menunjukkan wajah merakyat yang penuh kepolosan.
Namun ternyata, di balik wajah para
pemimpin yang seolah merakyat itu, ada (bahkan banyak) juga rakyat yang dibuat
menangis olehnya. Saat banyak lahan dia gunakan untuk membangun jalan bersama
para pemilik modal, dia sang penguasa merakyat ini mengatakan tidak ada
sengketa lahan karena dia telah memberikan ganti untung kepada rakyatnya. Tapi
ternyata pada kenyataanya masih banyak masyarakat yang digusur paksa rumahnya
dan tak ada ganti rugi yang layak. Di sebuah kesempatan saat dia berpidato,
bahkan pernah juga ada seorang ibu-ibu yang jatuh pingsan di depan penguasa
yang dicitrakan merakyat itu setelah curhat minta ganti rugi lahan tol yang
harus menggusur rumahnya.
Setiap ada rakyat yang mengadu
tentang para pembantunya yang tidak bekerja sebagaimana mestinya, pemimpin
pura-pura merakyat ini selalu saja berusaha mengelak dan mengatakan, “Jangan
asal menuduh, silakan laporkan jika benar-benar terjadi.” Tapi begitu ada
rakyat yang benar-benar melaporkan, hasilnya juga nihil. Zonk. Rakyat kecewa
dengan dia dan para pembantunya.
Akhirnya bagi semua orang yang mau
berpikiran jernih menjadi tahu bahwa dia hanyalah pemimpin pura-pura. Penguasa
yang diberi tugas oleh orang di atasnya untuk berperan seolah-olah merakyat. Penampilannya
yang sederhana itu ternyata tidak otentik. Hanya aksesoris saja agar dia bisa
terlihat dekat dan mencintai rakyatnya. Dan akhirnya pemimpin yang dikehendaki
oleh rakyat agar merakyat tersebut justru berbalik menjadi pengkhianat rakyat.
Meski selalu dicitrakan sesempurna mungkin sebagai pemimpin merakyat dan
pembela wong cilik.
Padahal menjadi seorang pemimpin
yang merakyat seharusnya bisa berdiri di antara rakyat agar dapat merasakan
suasana batin rakyat yang sesungguhnya. Sehingga ia dapat mengetahui apa yang
sebenarnya dibutuhkan rakyat serta apa yang menjadi keluh kesah dan keinginan
mereka. Dengan bermodalkan empati kepada rakyat, pemimpin yang telah memahami
kebutuhan rakyat dapat dengan sepenuh hati memperjuangkan apa yang menjadi keinginan
rakyat tersebut. Bukan hanya memenuhi kebutuhan orang-orang dekat di sekitarnya
saja.
Maka akhirnya menjadi jamak
adanya penguasa yang menggusur rumah rakyat tanpa rasa kemanusiaan bahkan
sebelum putusan hukum dikeluarkan. Ada juga pemimpin yang tega mencuri uang
rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas umum. Ada juga yang kongkalikong
dengan pemodal, memperkaya diri sendiri dan mungkin saja partainya dengan
menggunakan kewenangan dan jabatannya dengan cara membuat kebijakan yang
menguntungkan pemodal namun merugikan rakyat. Ada juga pimpinan partai yang
melakukan jual beli jabatan agar para koleganya bisa menjadi pejabat. Semua
yang tampak didepan seolah merakyat, akhirnya hanya berbuah kecewa di hati
rakyat. Mereka pun berbalik melaknat orang-orang sok merakyat yang penuh
pencitraan tersebut.
Baca artikel serial kepemimpinan Pancasilais lainnya:
1. 4 Kriteria Pemimpin Berketuhanan
2. Pemimpin Peduli Kemanusiaan
3. Pemimpin yang Mempersatukan
5. Pemimpian yang Berkeadilan
Merakyat Otentik Ala Umar
Teladan kepemimpinan merakyat yang
otentik pernah ditunjukkan oleh salah seorang sahabat Rasulullah SAW, Amirul
Mukminin Umar bin Khattab RA. Satu waktu, ketika dirinya menjabat sebagai
khalifah, Umar RA pernah didatangi oleh seorang Yahudi yang terkena penggusuran
oleh Gubernur Mesir, Amr bin al ‘Ash RA, yang bermaksud memperluas bangunan
sebuah masjid. Meski sebenarnya mendapatkan ganti rugi yang pantas, sang Yahudi
menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadukan
permasalahan tersebut pada Khalifah Umar RA.
Begitu tiba di Madinah, hal
pertama yang membuat sang Yahudi itu merasa takjub adalah karena Khalifah Umar RA
tidak memiliki istana yang megah seperti yang dia bayangkan. Bahkan dia
diterima Khalifah Umar RA hanya di halaman Masjid Nabawi. Di bawah rindangnya naungan
pohon kurma di pelataran Masjid Nabawi. Selain itu penampilan Khalifah Umar RA
yang amat sederhana, sangat merakyat untuk ukuran pemimpin yang memiliki
kekuasaan begitu luas.
Seusai mendengar cerita sang
Yahudi tersebut, Khalifah Umar RA mengambil sebuah tulang unta dan dengan
pedangnya membuat dua garis yang berpotongan padanya: satu garis horisontal dan
satu garis lainnya vertikal. Khalifah Umar RA lalu menyerahkan tulang itu pada
sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Gubernur ‘Amr bin al ‘Ash
RA. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang
mengirimnya untuknya.”
Meski tidak memahami maksud Khalifah
Umar RA, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Gubernur ‘Amr sesuai
pesan Khalifah Umar RA. Sang gubernur langsung pucat pasi dan menggigil ketika
menerima tulang tersebut. Saat itu juga sang gubernur langsung mengumpulkan
rakyatnya untuk membangun kembali gubuk yang reot milik orang Yahudi itu.
Terheran-heran, sang Yahudi bertanya
pada Gubernur ‘Amr bin al ‘Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan rumahnya
setelah menerima tulang yang dikirim oleh Khalifah Umar RA. ‘Amr bin al ‘Ash menjawab,
“Wahai kakek, tulang ini hanyalah tulang biasa dan baunya pun busuk. Akan
tetapi tulang ini merupakan peringatan keras terhadap diriku dan tulang ini
merupakan ancaman Khalifah Umar bin Khattab RA. Artinya apa pun pangkat dan
kekuasaanmu, suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu
bertindak adillah kamu seperti huruf Alif yang lurus. Adil di atas, dan adil di
bawah. Sebab kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang
ini, maka Khalifah Umar RA tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya”.
Selain kisah ini, masih sangat banyak
cerita tentang merakyatnya Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA. Pribadi
merakyat yang otentik. Dia gemar blusukan melihat langsung keadaan dan
penderitaan rakyatnya. Kita tentu pernah mendengar tentang Khalifah Umar RA yang
mengajak istrinya untuk membantu persalinan rakyatnya. Juga tentang Khalifah Umar
RA yang memanggul sendiri karung gandum setelah mendengar ada rakyatnya yang memasak
batu untuk anak-anaknya karena kemiskinan yang melandanya hingga tidak punya
bahan makanan untuk dimasak. Dan blusukan Khalifah Umar RA ini selalu dilakukan
dalam senyap. Rakyat yang didatanginya pun tidak tahu kalau dia, Umar bin
Khattab RA yang sedang membantunya itu adalah amirul mukminin, seorang khalifah,
atau dalam bahasa saat ini adalah presiden.
Hal ini sangat jauh berbeda
dengan para pemimpin saat ini. Mereka terjun ke akar rumput selalu dengan membawa
kameramen lengkap agar bisa mengabadikan momen-momen yang pas untuk menunjukkan
betapa merakyatnya mereka. Padahal pemimpin merakyat bukanlah pemimpin yang
hanya sering blusukan atau selfi dengan tiap orang yang dijumpainya. Sampai-sampai
dalam ibadah shalat pun dia perlu untuk pencitraan. Hingga shaf shalat di
masjid pun harus dimundurkan agar para kemeramen bisa mengambil gambarnya,
pemimpin pura-pura itu dari sudut yang pas.
Pemimpin merakyat itu seharusnya berpikir dan bertindak
semata-mata untuk kepentingan rakyat. Pemimpin merakyat yang dibutuhkan saat
ini adalah pemimpin yang selalu memperhatikan masalah rakyat dalam segala aspek,
terutama dalam hal kesejahteraan. Semoga Allah SWT memberikan kepada kita
pemimpin merakyat yang otentik, bukan pemimpin merakyat yang hanya pura-pura. Wallahu
a’lam
*) Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di rubrik sajian khusus Majalah Tabligh edisi No. 04/XVI Sya'ban 1440 H/15 April-15 Mei 2019 M
0 komentar:
Posting Komentar