
Oleh: Ust. H.
Haidar Mubarak, Lc
Ketua Majelis Tarjih PC Muhammadiyah Blimbing
Wakil Direktur Pondok Pesantren Imam Syuhodo
Kepemimpinan adalah unsur yang tidak bisa dihindari dalam hidup
ini. Sudah merupakan fitrah manusia untuk selalu
membentuk sebuah komunitas yang di dalamnya selalu dibutuhkan seorang pemimpin.
Pemimpin adalah orang yang mempunyai visi dan tujuan. Dalam suatu kelompok semacam organisasi,
bila tidak mempunyai tujuan sama saja dengan membubarkan organisasi
tersebut. Hal tersebut bahkan
berlangsung sampai ke dalam
tataran negara. Hanya pemimpinlah yang mampu mengatur dan mengarahkan
semua itu.
Dalam sejarah teori kepemimpinan menjelaskan bahwa
kepemimpinan yang dicontohkan Islam adalah model terbaik. Model kepemimpinan
yang bisa disebut sebagai prophetic leadership yang contoh nyatanya
adalah orang teragung sepanjang sejarah kemanusiaan yaitu Rasullullah SAW.
Kepemimpinan dalam Islam sudah ada dan berkembang pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana
kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah
Nabi Muhammad SAW wafat. Dalam
firman Allah
SWT dikatakan bahwa Al-Qur’an itu sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi.
Sehingga Rasulullah SAW adalah pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari
risalah-risalah sebelumnya.
Allah SWT berfirman: “Telah
sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an)
sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak
ada yang dapat merobah-robah
kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al An’am [6]: 115)
Setelah Rasulullah SAW wafat, berdasarkan
fakta sejarah, umat Islam terpecah belah akibat perdebatan mengenai
kepemimpinan dalam Islam, khususnya mengenai proses pemilihan pemimpin dan
siapa yang berhak atas kepemimpinan dalam Islam. Sehingga definisi dan makna
kepemimpinan, serta kewenangannya harus
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang digariskan Al-Qur’an
dan
sunnah. Tentunya
manusia sebagai pelaksana kepemimpinan juga
harus memiliki
kemampuan dalam mempengaruhi orang-orang untuk mencapai suatu tujuan. Oleh
karena itu kefahaman masyarakat akan tugas utama pemimpin dan kriteria
pemimpin dalam Islam adalah
sesuatu yang urgen untuk dijelaskan.
Tugas
Utama Pemimpin
Kepemimpinan sebagai bagian dari
politik adalah bagian
dari ajaran Islam. Tidak benar pernyataan yang mengatakan bahwa agama tidak
boleh dibawa ke dalam politik. Karena politik itu artinya adalah mengatur,
sementara fungsi utama agama juga adalah mengatur kehidupan manusia. Jadi
politik harus bersendikan agama. Agama harus dijadikan pedoman berpolitik dan
memberikan pencerahan beragama harus jadi tujuan dalam agenda politik.
Dengan bersendikan agama sebagai
tujuan berpolitik maka akan terwujud politik yang bersih, bermoral, saling
menghormati dan saling membangun. Tapi sekarang ada kecenderungan agama hanya
dijadikan ‘jualan’ politik untuk
meraih suara dan menampilkan kesan baik pada calon. Yang seperti ini tidak seiring dengan pernyataan bahwa
agama harus jadi panduan dan tujuan politik.
Karena politik dan kepemimpinan adalah satu
bagian dari agama Islam, maka sangat banyak dijumpai dalam Al-Qur’an, hadits
maupun petuah sahabat yang membincangkan tentang tugas seorang pemimpin. Di
antaranya diisyaratkan Allah SWT dalam firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang
jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS.
Al-Hajj [22]: 41)
Ayat ini menjelaskan bahwa ada 4 tugas utama
untuk orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau diberikan amanah sebagai seorang
pemimpin.
Pertama, mendirikan shalat. Seorang pemimpin mesti senantiasa baik dari
sisi spritualitas. Jiwa yang baik, yang terlahir dari hubungannya yang baik
dengan Allah SWT, akan mendorong seorang pemimpin agar tidak lalai dan
memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan dirinya atau orang-orang yang satu
golongan dengannya saja. Mendirikan
shalat juga bisa dimaknai bahwa tugas pemimpin adalah membimbing masyarakat
supaya mempunyai kesadaran beragama, sehingga mereka memperoleh kebahagiaan. Tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Maka
pemimpin harus memberikan perhatian yang lebih kepada program yang mengarah
kepada peningkatan kesadaran pengamalan ajaran agama di masyarakat.
Kedua, melaksanakan zakat. Zakat adalah kewajiban yang tidak boleh
ditinggalkan. Dalam hampir semua ayat yang memerintahkan shalat, selalu
diiringi dengan perintah kewajiban zakat. Ini menunjukkan pentingnya zakat
dalam Islam. Tujuan diwajibkannya zakat adalah menanamkan pemahaman bahwa pada
harta setiap orang yang berkemampuan lebih terdapat hak orang lain, yaitu
orang-orang miskin. Zakat juga
mengajarkan tentang nilai solidaritas, kepedulian kepada golongan yang tidak
mampu. Zakat juga dipandang bisa menjadi salah satu
jalan pengentasan kemiskinan. Potensi zakat sangat besar. Tetapi karena kesadaran
masyarakat masih rendah (terutama dari kalangan pengusaha, konglomerat, pegawai
negeri) maka zakat belum bisa diharapkan sebagai solusi atas masalah
kemiskinan.
Maka tugas pemimpin, ulama dan orang yang
mempunyai kemampuan memberikan kesadaran di masyarakat, adalah menerangkan
kewajiban zakat dan tujuan-tujuan agung di baliknya. Sehingga masyarakat kurang
mampu bisa merasakan bahwa mereka diperhatikan dan orang-orang yang kaya bisa
hidup dengan bahagia karena harta mereka telah disucikan melalui membayar zakat
harta.
Ketiga dan keempat, mengajak kepada kebaikan; dan mencegah
kemungkaran. Dua prinsip ini sifatnya sangat umum. Karenanya, kita memerlukan acuan
budaya dan pedoman agama dalam memahami apa saja perkara yang merupakan
kebaikan dan kemungkaran. Secara
umum budaya di masyarakat hanya sedikit yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam. Sebagian
besar sejalan-seiring dengan ajaran Islam. Oleh karena agama adalah sumber
hukum utama umat Islam, maka
budaya-budaya yang ada di masyarakat saat ini harus mengalami penyesesuaian.
Budaya yang tidak sejalan dengan agama
harus secara bijak dan berproses dipahamkan kepada masyarakat bahwa ia adalah
salah dalam pandangan agama. Sementara budaya-budaya lainnya yang baik, yang sudah sesuai dengan Islam harus digalakkan, karena jika budaya tadi diterapkan dengan niatan mengamalkan agama maka ia
akan bernilai pahala.
Mengajak kepada kebaikan artinya pemimpin
sebagai orang yang teratas bertanggung jawab atas terwujudnya program-program
yang mencerdaskan masyarakat dan membentuk masyarakat yang berilmu dan
mencintai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Kenapa ilmu dipandang
penting? Karena hanya
dengan ilmu saja, sebuah masyarakat yang baik, yang akan sejahtera di dunia dan
di akhirat bisa terwujud. Tidak ada suatu masyarakat yang maju sementara
sebagian besar mereka tidak terdidik.
Adapun mencegah kepada kemungkaran artinya
pemimpin bertanggung jawab mengeluarkan peraturan, mengambil tindakan-tindakan
yang bisa memberikan rasa aman kepada masyarakat dari berbagai bentuk kejahatan
ataupun perilaku dan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Sebenarnya orang-orang
yang menyimpang, dengan melakukan kejahatan dan perbuatan menggangu jumlahnya
sedikit dibanding masyarakat biasa yang baik-baik. Karena jumlahnya sedikit,
maka ketegasan, atau mungkin keras, harus dijatuhkan kepada orang-orang seperti
ini yang berpotensi membuat gejolak dalam masyarakat.
Karakteristik Pemimpin dalam Islam
Pemimpin ideal menurut Islam erat kaitannya
dengan figur Rasulullah SAW. Beliau adalah pemimpin agama dan juga pemimpin
negara. Rasulullah SAW merupakan suri tauladan bagi setiap orang, termasuk para
pemimpin. Karena dalam diri beliau hanya ada kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Allah
SWT berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab
[33]: 21)
Sebagai teladan yang menjadi model ideal
pemimpin, Rasulullah SAW dikaruniai empat sifat utama, yaitu:
1. Sidiq (Jujur)
Sidiq berarti jujur dalam perkataan dan
perbuatan. Kejujuran adalah lawan dari dusta dan ia memiliki arti kecocokan
sesuatu sebagaimana dengan fakta. Di antaranya yaitu kata rajulun shaduq
(sangat jujur), yang lebih mendalam maknanya dari shadiq (jujur). Al-mushaddiq
yakni orang yang membenarkan setiap ucapan, sedang ash-shiddiq ialah
orang yang terus menerus membenarkan ucapan orang, dan bisa juga orang yang
selalu membuktikan ucapannya dengan perbuatan. Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 75 disebutkan (tentang
ibu Nabi Isa), “Dan ibunya adalah seorang ‘shiddiqah’.” Maksudnya ialah
orang yang selalu berbuat jujur.
Kejujuran merupakan syarat utama bagi seorang
pemimpin. Masyarakat akan
menaruh respek kepada pemimpin apabila dia diketahui dan juga terbukti memiliki
kualitas
kejujuran yang tinggi. Pemimpin yang memiliki prinsip kejujuran akan menjadi
tumpuan harapan para pengikutnya. Mereka sangat sadar bahwa kualitas
kepemimpinannya ditentukan seberapa jauh dirinya memperoleh kepercayaan dari
pengikutnya. Seorang pemimpin yang sidiq atau bahasa
lainnya honest akan mudah diterima di hati masyarakat, sebaliknya
pemimpin yang tidak jujur atau khianat akan dibenci oleh rakyatnya. Kejujuran
seorang pemimpin dinilai dari perkataan dan sikapnya.
Sikap pemimpin yang jujur adalah manifestasi
dari perkaatannya, dan perkatannya merupakan cerminan dari hatinya. Nabi SAW
disifati dengan ash-shadiqul amin (jujur dan terpercaya), sifat ini
telah diketahui oleh orang Quraisy sebelum beliau diutus menjadi rasul. Demikian
pula Nabi Yusuf AS juga disifati dengannya, sebagaimana firman Allah SWT: (setelah pelayan
itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru), “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya”.
(QS. Yusuf [12]: 46)
Khalifah Abu Bakar RA juga mendapatkan julukan
ash-shiddiq. Ini semua menunjukkan bahwa kejujuran merupakan salah satu perilaku
kehidupan terpenting para rasul dan pengikut mereka. Dan kedudukan tertinggi
sifat jujur adalah ash-shiddiqiyah. Yakni tunduk terhadap Rasul secara
utuh (lahir batin) dan diiringi keikhlasan secara sempurna kepada Pengutus (Allah
SWT).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Jujur merupakan
karakter yang sangat terpuji, oleh karena itu sebagian besar sahabat tidak
pernah coba-coba melakukan kedustaan baik pada masa jahiliyah maupun setelah
masuk Islam. Kejujuran merupakan
cirri keimanan,
sebagaimana pula dusta adalah ciri kemunafikan, maka barang siapa jujur
dia akan beruntung”. (Tafsir Ibnu
Katsir)
Dalam Al-Qur’an Allah
SWT mengisyaratkan kepada muslimin untuk senantiasa bersama orang-orang yang
jujur. “Hai orang-orang
yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang
yang benar.” (QS. At-Taubah [9]: 119)
2. Amanah (Terpercaya)
Amanah berarti dapat dipercaya dalam menjaga
tanggung jawab. Nabi Muhammad SAW bahkan sebelum diangkat menjadi rasul telah
menunjukkan kualitas pribadinya yang diakui oleh masyarakat Quraisy. Beliau
dikenal dengan gelar Al-Amin, yang terpercaya. Oleh karena itu ketika
terjadi peristiwa sengketa antara para pemuka Quraisy mengenai siapa yang akan
meletakkan kembali hajar aswad setelah renovasi Ka’bah, meraka dengan senang hati menerima
Muhammad sebagai arbitrer, padahal waktu itu Muhammad belum termasuk
pembesar.
Amanah merupakan kualitas wajib yang harus
dimiliki seorang pemimpin. Dengan
memiliki sifat amanah, pemimpin akan senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat
yang telah diserahkan di atas pundaknya. Kepercayaan maskarakat berupa
penyerahan segala macam urusan kepada pemimpin agar dikelola dengan baik dan
untuk kemaslahatan bersama.
Terjadinya banyak kasus korupsi di
negara kita, merupakan bukti nyata bahwa bangsa Indonesia miskin pemimpin yang
amanah. Para pemimpin mulai dari tingkat desa sampai negara telah terbiasa
mengkhianati kepercayaan masyarakat dengan cara memanfaatkan jabatan sebagai
jalan pintas untuk memperkaya diri. Pemimpin semacam ini sebenarnya tidak layak
disebut sebagai pemimpin, mereka merupakan para perampok.
3. Tabligh (Komunikatif)
Tabligh berarti menyampaikan segala macam
kebaikan kepada rakyatnya. Kemampuan berkomunikasi merupakan kualitas ketiga
yang harus dimiliki oleh pemimpi sejati. Pemimpin bukan berhadapan dengan benda
mati yang bisa digerakkan dan dipindah-pindah sesuai dengan kemauannya sendiri,
tetapi pemimpin berhadapan dengan rakyat manusia yang memiliki beragam
kecenderungan. Oleh karena itu komunikasi merupakan kunci terjalinnya hubungan
yang baik antara pemimpin dan rakyat.
Pemimpin dituntut untuk membuka diri kepada
rakyatnya, sehingga mendapat simpati dan juga rasa cinta. Keterbukaan pemimpin
kepada rakyatnya bukan berarti pemimpin harus sering curhat mengenai segala
kendala yang sedang dihadapinya, akan tetapi pemimpin harus mampu membangun
kepercayaan rakyatnya untuk melakukan komunikasi dengannya. Rasulullah SAW
pernah didatangi oleh seorang perempuan hamil yang mengaku telah berbuat zina. Si
perempuan menyampaikan penyesalannya kepada Rasul dan berharap diberikan sanksi
berupa hukum rajam. Hal ini terjadi karena sebagai seorang pemimpin Rasulullah SAW
membuka diri terhadap umatnya.
Salah satu ciri kekuatan komunikasi seorang
pemimpin adalah keberaniannya menyatakan kebenaran meskipun konsekuensinya
berat. Dalam istilah Arab dikenal ungkapan, “kul al-haq walau kaana murran,”
katakanlah atau sampaikanlah kebenaran meskipun pahit rasanya.
Tabligh juga dapat diartikan sebagai
akuntabel, atau terbuka untuk dinilai. Akuntabilitas berkaitan dengan sikap keterbukaan (transparansi)
dalam kaitannya dengan cara kita mempertanggungjawabkan
sesuatu di hadapan orang lain. Sehingga, akuntabilitas merupakan bagian melekat
dari kredibilitas. Bertambah baik
dan benar akuntabilitas yang kita miliki, bertambah besar tabungan kredibilitas
sebagai hasil dari setoran kepercayaan orang-orang kepada kita.
4. Fathonah (Cerdas)
Fathonah berarti cerdas dalam mengelola masyarakat.
Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata masyarakatnya
sehingga memiliki kepercayaan diri. Kecerdasan
pemimpin akan membantu dia dalam memecahkan segala macam persoalan yang terjadi
di masyarakat. Pemimpin yang cerdas tidak mudah frustasi menghadapi problema,
karena dengan kecerdasannya dia akan mampu mencari solusi. Pemimpin yang cerdas
tidak akan membiarkan masalah berlangsung lama, karena dia selalu tertantang
untuk menyelesaikan masalah tepat waktu.
Contoh kecerdasan luar biasa yang dimiliki
oleh khalifah kedua Sayyidina Umar ibn Khattab adalah ketika beliau menerima
kabar bahwa pasukan Islam yang dipimpin oleh Abu Ubaidah ibnu Jarrah yang sedang
bertugas di Syria terkena wabah mematikan. Sebagai pemimpin yang bertanggung
jawab, Umar ibn Khattab segera berangkat dari Madinah menuju Syria untuk
melihat keadaan pasukan muslim yang sedang ditimpa musibah tersebut. Ketika beliau sampai di perbatasan, ada kabar yang menyatakan bahwa
keadaan di tempat pasukan mulimin sangat gawat. Semua orang yang masuk ke
wilayah tersebut akan tertular virus yang mematikan. Mendengar hal tersebut,
Umar ibn Khattab segera mengambil tindakan untuk mengalihkan perjalanan. Ketika
ditanya tentang sikapnya yang tidak konsisten dan dianggap telah lari dari
takdir Allah SWT, Umar ibn Khattab
menjawab, “Saya berpaling dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang
lain”.
Kecerdasan pemimpin tentunya ditopang dengan
keilmuan yang mumpuni. Ilmu bagi pemimpin yang cerdas merupakan bahan bakar
untuk terus melaju di atas roda kepemimpinannya. Pemimpin yang cerdas selalu
haus akan ilmu, karena baginya hanya dengan keimanan dan keilmuan dia akan
memiliki derajat tinggi di mata manusia dan juga pencipta.
Kriteria Pemimpin Menurut Muhammadiyah
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam sidang
tanwirnya di Samarinda, Kalimantan Timur pada 2014, menegaskan ada tujuh
kriterita pemimpin nasional. Adapun kriteria itu adalah:
1.
Berjiwa religius, taat beribadah dan berintegritas tinggi serta
sejalan antara kata dan perilaku.
2.
Memiliki visi dan karakter kuat sebagai negarawan, yang
mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara ketimbang diri sendiri, partai
Politik dan kroni.
3.
Berani mengambil keputusan srategis dalam memecahkan masalah
krusial bangsa, dengan tetap menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab.
4.
Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, tegas dalam melakukan
pemberantasan korupsi, penegakkan hukum serta penyelamatan aset dan kekayaan Negara.
5.
Menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di
dalam dan di luar negeri.
6.
Memiliki strategi
perubahan yang membawa pada kemajuan bangsa.
7.
Berkomitmen terhadap aspirasi politik
umat Islam dan mewujudkan Indonesia yang berkemajuan.
0 komentar:
Posting Komentar