728x90 AdSpace

Latest News
Sabtu, 06 April 2019

Etika Kepemimpinan dalam Islam




Oleh: Ust. H. Haidar Mubarak, Lc
Ketua Majelis Tarjih PC Muhammadiyah Blimbing
Wakil Direktur Pondok Pesantren Imam Syuhodo

Kepemimpinan adalah unsur yang tidak bisa dihindari dalam hidup ini. Sudah merupakan fitrah manusia untuk selalu membentuk sebuah komunitas yang di dalamnya selalu dibutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin adalah orang yang mempunyai visi dan tujuan. Dalam suatu kelompok semacam organisasi, bila tidak mempunyai tujuan sama saja dengan membubarkan organisasi tersebut. Hal tersebut bahkan berlangsung sampai ke dalam tataran negara. Hanya pemimpinlah yang mampu mengatur dan mengarahkan semua itu.
Dalam sejarah teori kepemimpinan menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dicontohkan Islam adalah model terbaik. Model kepemimpinan yang bisa disebut sebagai prophetic leadership yang contoh nyatanya adalah orang teragung sepanjang sejarah kemanusiaan yaitu Rasullullah SAW. Kepemimpinan dalam Islam sudah ada dan berkembang pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Dalam firman Allah SWT dikatakan bahwa Al-Quran itu sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah SAW adalah pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya.
Allah SWT berfirman: Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al An’am [6]: 115)
Setelah Rasulullah SAW wafat, berdasarkan fakta sejarah, umat Islam terpecah belah akibat perdebatan mengenai kepemimpinan dalam Islam, khususnya mengenai proses pemilihan pemimpin dan siapa yang berhak atas kepemimpinan dalam Islam. Sehingga definisi dan makna kepemimpinan, serta kewenangannya harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang digariskan Al-Qur’an dan sunnah. Tentunya manusia sebagai pelaksana kepemimpinan juga harus memiliki kemampuan dalam mempengaruhi orang-orang untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu kefahaman masyarakat akan tugas utama pemimpin dan kriteria pemimpin dalam Islam adalah sesuatu yang urgen untuk dijelaskan.

Tugas Utama Pemimpin
Kepemimpinan sebagai bagian dari politik adalah bagian dari ajaran Islam. Tidak benar pernyataan yang mengatakan bahwa agama tidak boleh dibawa ke dalam politik. Karena politik itu artinya adalah mengatur, sementara fungsi utama agama juga adalah mengatur kehidupan manusia. Jadi politik harus bersendikan agama. Agama harus dijadikan pedoman berpolitik dan memberikan pencerahan beragama harus jadi tujuan dalam agenda politik.
Dengan bersendikan agama sebagai tujuan berpolitik maka akan terwujud politik yang bersih, bermoral, saling menghormati dan saling membangun. Tapi sekarang ada kecenderungan agama hanya dijadikan jualan politik untuk meraih suara dan menampilkan kesan baik pada calon. Yang seperti ini tidak seiring dengan pernyataan bahwa agama harus jadi panduan dan tujuan politik.
Karena politik dan kepemimpinan adalah satu bagian dari agama Islam, maka sangat banyak dijumpai dalam Al-Qur’an, hadits maupun petuah sahabat yang membincangkan tentang tugas seorang pemimpin. Di antaranya diisyaratkan Allah SWT dalam firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj [22]: 41)
Ayat ini menjelaskan bahwa ada 4 tugas utama untuk orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau diberikan amanah sebagai seorang pemimpin.
Pertama, mendirikan shalat. Seorang pemimpin mesti senantiasa baik dari sisi spritualitas. Jiwa yang baik, yang terlahir dari hubungannya yang baik dengan Allah SWT, akan mendorong seorang pemimpin agar tidak lalai dan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan dirinya atau orang-orang yang satu golongan dengannya saja. Mendirikan shalat juga bisa dimaknai bahwa tugas pemimpin adalah membimbing masyarakat supaya mempunyai kesadaran beragama, sehingga mereka memperoleh kebahagiaan. Tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Maka pemimpin harus memberikan perhatian yang lebih kepada program yang mengarah kepada peningkatan kesadaran pengamalan ajaran agama di masyarakat.
Kedua, melaksanakan zakat. Zakat adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam hampir semua ayat yang memerintahkan shalat, selalu diiringi dengan perintah kewajiban zakat. Ini menunjukkan pentingnya zakat dalam Islam. Tujuan diwajibkannya zakat adalah menanamkan pemahaman bahwa pada harta setiap orang yang berkemampuan lebih terdapat hak orang lain, yaitu orang-orang miskin. Zakat juga mengajarkan tentang nilai solidaritas, kepedulian kepada golongan yang tidak mampu. Zakat juga dipandang bisa menjadi salah satu jalan pengentasan kemiskinan. Potensi zakat sangat besar. Tetapi karena kesadaran masyarakat masih rendah (terutama dari kalangan pengusaha, konglomerat, pegawai negeri) maka zakat belum bisa diharapkan sebagai solusi atas masalah kemiskinan.
Maka tugas pemimpin, ulama dan orang yang mempunyai kemampuan memberikan kesadaran di masyarakat, adalah menerangkan kewajiban zakat dan tujuan-tujuan agung di baliknya. Sehingga masyarakat kurang mampu bisa merasakan bahwa mereka diperhatikan dan orang-orang yang kaya bisa hidup dengan bahagia karena harta mereka telah disucikan melalui membayar zakat harta.
Ketiga dan keempat, mengajak kepada kebaikan; dan mencegah kemungkaran. Dua prinsip ini sifatnya sangat umum. Karenanya, kita memerlukan acuan budaya dan pedoman agama dalam memahami apa saja perkara yang merupakan kebaikan dan kemungkaran. Secara umum budaya di masyarakat hanya sedikit yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagian besar sejalan-seiring dengan ajaran Islam. Oleh karena agama adalah sumber hukum utama umat Islam, maka budaya-budaya yang ada di masyarakat saat ini harus mengalami penyesesuaian. Budaya yang tidak sejalan dengan agama harus secara bijak dan berproses dipahamkan kepada masyarakat bahwa ia adalah salah dalam pandangan agama. Sementara budaya-budaya lainnya yang baik, yang sudah sesuai dengan Islam harus digalakkan, karena jika budaya tadi diterapkan dengan niatan mengamalkan agama maka ia akan bernilai pahala.
Mengajak kepada kebaikan artinya pemimpin sebagai orang yang teratas bertanggung jawab atas terwujudnya program-program yang mencerdaskan masyarakat dan membentuk masyarakat yang berilmu dan mencintai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Kenapa ilmu dipandang penting? Karena hanya dengan ilmu saja, sebuah masyarakat yang baik, yang akan sejahtera di dunia dan di akhirat bisa terwujud. Tidak ada suatu masyarakat yang maju sementara sebagian besar mereka tidak terdidik.
Adapun mencegah kepada kemungkaran artinya pemimpin bertanggung jawab mengeluarkan peraturan, mengambil tindakan-tindakan yang bisa memberikan rasa aman kepada masyarakat dari berbagai bentuk kejahatan ataupun perilaku dan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Sebenarnya orang-orang yang menyimpang, dengan melakukan kejahatan dan perbuatan menggangu jumlahnya sedikit dibanding masyarakat biasa yang baik-baik. Karena jumlahnya sedikit, maka ketegasan, atau mungkin keras, harus dijatuhkan kepada orang-orang seperti ini yang berpotensi membuat gejolak dalam masyarakat.

Karakteristik Pemimpin dalam Islam
Pemimpin ideal menurut Islam erat kaitannya dengan figur Rasulullah SAW. Beliau adalah pemimpin agama dan juga pemimpin negara. Rasulullah SAW merupakan suri tauladan bagi setiap orang, termasuk para pemimpin. Karena dalam diri beliau hanya ada kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [33]: 21)
Sebagai teladan yang menjadi model ideal pemimpin, Rasulullah SAW dikaruniai empat sifat utama, yaitu:
1.    Sidiq (Jujur)
Sidiq berarti jujur dalam perkataan dan perbuatan. Kejujuran adalah lawan dari dusta dan ia memiliki arti kecocokan sesuatu sebagaimana dengan fakta. Di antaranya yaitu kata rajulun shaduq (sangat jujur), yang lebih mendalam maknanya dari shadiq (jujur). Al-mushaddiq yakni orang yang membenarkan setiap ucapan, sedang ash-shiddiq ialah orang yang terus menerus membenarkan ucapan orang, dan bisa juga orang yang selalu membuktikan ucapannya dengan perbuatan. Di dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 75 disebutkan (tentang ibu Nabi Isa), “Dan ibunya adalah seorang ‘shiddiqah’.” Maksudnya ialah orang yang selalu berbuat jujur.
Kejujuran merupakan syarat utama bagi seorang pemimpin. Masyarakat akan menaruh respek kepada pemimpin apabila dia diketahui dan juga terbukti memiliki kualitas kejujuran yang tinggi. Pemimpin yang memiliki prinsip kejujuran akan menjadi tumpuan harapan para pengikutnya. Mereka sangat sadar bahwa kualitas kepemimpinannya ditentukan seberapa jauh dirinya memperoleh kepercayaan dari pengikutnya. Seorang pemimpin yang sidiq atau bahasa lainnya honest akan mudah diterima di hati masyarakat, sebaliknya pemimpin yang tidak jujur atau khianat akan dibenci oleh rakyatnya. Kejujuran seorang pemimpin dinilai dari perkataan dan sikapnya.
Sikap pemimpin yang jujur adalah manifestasi dari perkaatannya, dan perkatannya merupakan cerminan dari hatinya. Nabi SAW disifati dengan ash-shadiqul amin (jujur dan terpercaya), sifat ini telah diketahui oleh orang Quraisy sebelum beliau diutus menjadi rasul. Demikian pula Nabi Yusuf AS juga disifati dengannya, sebagaimana firman Allah SWT: (setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru), “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya”. (QS. Yusuf [12]: 46)
Khalifah Abu Bakar RA juga mendapatkan julukan ash-shiddiq. Ini semua menunjukkan bahwa kejujuran merupakan salah satu perilaku kehidupan terpenting para rasul dan pengikut mereka. Dan kedudukan tertinggi sifat jujur adalah ash-shiddiqiyah. Yakni tunduk terhadap Rasul secara utuh (lahir batin) dan diiringi keikhlasan secara sempurna kepada Pengutus (Allah SWT).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Jujur merupakan karakter yang sangat terpuji, oleh karena itu sebagian besar sahabat tidak pernah coba-coba melakukan kedustaan baik pada masa jahiliyah maupun setelah masuk Islam. Kejujuran merupakan cirri keimanan, sebagaimana pula dusta adalah ciri kemunafikan, maka barang siapa jujur dia akan beruntung”. (Tafsir Ibnu Katsir)
Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengisyaratkan kepada muslimin untuk senantiasa bersama orang-orang yang jujur. Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah [9]: 119)

2.    Amanah (Terpercaya)
Amanah berarti dapat dipercaya dalam menjaga tanggung jawab. Nabi Muhammad SAW bahkan sebelum diangkat menjadi rasul telah menunjukkan kualitas pribadinya yang diakui oleh masyarakat Quraisy. Beliau dikenal dengan gelar Al-Amin, yang terpercaya. Oleh karena itu ketika terjadi peristiwa sengketa antara para pemuka Quraisy mengenai siapa yang akan meletakkan kembali hajar aswad setelah renovasi Kabah, meraka dengan senang hati menerima Muhammad sebagai arbitrer, padahal waktu itu Muhammad belum termasuk pembesar.
Amanah merupakan kualitas wajib yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dengan memiliki sifat amanah, pemimpin akan senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat yang telah diserahkan di atas pundaknya. Kepercayaan maskarakat berupa penyerahan segala macam urusan kepada pemimpin agar dikelola dengan baik dan untuk kemaslahatan bersama.
Terjadinya banyak kasus korupsi di negara kita, merupakan bukti nyata bahwa bangsa Indonesia miskin pemimpin yang amanah. Para pemimpin mulai dari tingkat desa sampai negara telah terbiasa mengkhianati kepercayaan masyarakat dengan cara memanfaatkan jabatan sebagai jalan pintas untuk memperkaya diri. Pemimpin semacam ini sebenarnya tidak layak disebut sebagai pemimpin, mereka merupakan para perampok.

3.    Tabligh (Komunikatif)
Tabligh berarti menyampaikan segala macam kebaikan kepada rakyatnya. Kemampuan berkomunikasi merupakan kualitas ketiga yang harus dimiliki oleh pemimpi sejati. Pemimpin bukan berhadapan dengan benda mati yang bisa digerakkan dan dipindah-pindah sesuai dengan kemauannya sendiri, tetapi pemimpin berhadapan dengan rakyat manusia yang memiliki beragam kecenderungan. Oleh karena itu komunikasi merupakan kunci terjalinnya hubungan yang baik antara pemimpin dan rakyat.
Pemimpin dituntut untuk membuka diri kepada rakyatnya, sehingga mendapat simpati dan juga rasa cinta. Keterbukaan pemimpin kepada rakyatnya bukan berarti pemimpin harus sering curhat mengenai segala kendala yang sedang dihadapinya, akan tetapi pemimpin harus mampu membangun kepercayaan rakyatnya untuk melakukan komunikasi dengannya. Rasulullah SAW pernah didatangi oleh seorang perempuan hamil yang mengaku telah berbuat zina. Si perempuan menyampaikan penyesalannya kepada Rasul dan berharap diberikan sanksi berupa hukum rajam. Hal ini terjadi karena sebagai seorang pemimpin Rasulullah SAW membuka diri terhadap umatnya.
Salah satu ciri kekuatan komunikasi seorang pemimpin adalah keberaniannya menyatakan kebenaran meskipun konsekuensinya berat. Dalam istilah Arab dikenal ungkapan, “kul al-haq walau kaana murran,” katakanlah atau sampaikanlah kebenaran meskipun pahit rasanya.
Tabligh juga dapat diartikan sebagai akuntabel, atau terbuka untuk dinilai. Akuntabilitas berkaitan dengan sikap keterbukaan (transparansi) dalam kaitannya dengan cara kita mempertanggungjawabkan sesuatu di hadapan orang lain. Sehingga, akuntabilitas merupakan bagian melekat dari kredibilitas. Bertambah baik dan benar akuntabilitas yang kita miliki, bertambah besar tabungan kredibilitas sebagai hasil dari setoran kepercayaan orang-orang kepada kita.

4.    Fathonah (Cerdas)
Fathonah berarti cerdas dalam mengelola masyarakat. Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata masyarakatnya sehingga memiliki kepercayaan diri. Kecerdasan pemimpin akan membantu dia dalam memecahkan segala macam persoalan yang terjadi di masyarakat. Pemimpin yang cerdas tidak mudah frustasi menghadapi problema, karena dengan kecerdasannya dia akan mampu mencari solusi. Pemimpin yang cerdas tidak akan membiarkan masalah berlangsung lama, karena dia selalu tertantang untuk menyelesaikan masalah tepat waktu.
Contoh kecerdasan luar biasa yang dimiliki oleh khalifah kedua Sayyidina Umar ibn Khattab adalah ketika beliau menerima kabar bahwa pasukan Islam yang dipimpin oleh Abu Ubaidah ibnu Jarrah yang sedang bertugas di Syria terkena wabah mematikan. Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, Umar ibn Khattab segera berangkat dari Madinah menuju Syria untuk melihat keadaan pasukan muslim yang sedang ditimpa musibah tersebut. Ketika beliau sampai di perbatasan, ada kabar yang menyatakan bahwa keadaan di tempat pasukan mulimin sangat gawat. Semua orang yang masuk ke wilayah tersebut akan tertular virus yang mematikan. Mendengar hal tersebut, Umar ibn Khattab segera mengambil tindakan untuk mengalihkan perjalanan. Ketika ditanya tentang sikapnya yang tidak konsisten dan dianggap telah lari dari takdir Allah SWT, Umar ibn Khattab menjawab, “Saya berpaling dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain”.
Kecerdasan pemimpin tentunya ditopang dengan keilmuan yang mumpuni. Ilmu bagi pemimpin yang cerdas merupakan bahan bakar untuk terus melaju di atas roda kepemimpinannya. Pemimpin yang cerdas selalu haus akan ilmu, karena baginya hanya dengan keimanan dan keilmuan dia akan memiliki derajat tinggi di mata manusia dan juga pencipta.

Kriteria Pemimpin Menurut Muhammadiyah
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam sidang tanwirnya di Samarinda, Kalimantan Timur pada 2014, menegaskan ada tujuh kriterita pemimpin nasional. Adapun kriteria itu adalah:
1.    Berjiwa religius, taat beribadah dan berintegritas tinggi serta sejalan antara kata dan perilaku.
2.    Memiliki visi dan karakter kuat sebagai negarawan, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara ketimbang diri sendiri, partai Politik dan kroni.
3.    Berani mengambil keputusan srategis dalam memecahkan masalah krusial bangsa, dengan tetap menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
4.    Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, tegas dalam melakukan pemberantasan korupsi, penegakkan hukum serta penyelamatan aset dan  kekayaan Negara.
5.    Menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan di luar negeri.
6.    Memiliki strategi perubahan yang membawa pada kemajuan bangsa.
7.    Berkomitmen terhadap aspirasi politik umat Islam dan mewujudkan Indonesia yang berkemajuan.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Etika Kepemimpinan dalam Islam Rating: 5 Reviewed By: Admin 2 TablighMu