Oleh: Ust. Sanif Alisyahbana, Lc
Mudir Ma'had Salman Al Farisi Karanganyar
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه، حمدا يوافي نعامه و يكافئ مزيده، حمدا كما ينبغي
لجلال وجهه الكريم و عظيم سلطانه
اللهم
صل و سلم و بارك على سيدنا محمد و على آله و صحبه أجمعين
Agama Islam merupakan agama rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Dan di antara bentuk rahmatnya, Islam
masuk ke dalam seluruh sendi kehidupan manusia dengan syariatnya. Islam juga menjadikan
akhlak dan adab sebagai nilai luhur untuk mengarahkan umat manusia agar mendapatkan
kebahagiaan di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Di antara aspek kehidupan manusia yang tak luput dari penataan syariat adalah politik di dalam berbangsa dan bernegara. Politik berarti strategi
dan cara merealisasikan maslahat (kebaikan/kemanfaatan) dengan menekan munculnya
madharat (kerusakan/kerugian/keburukan) hingga sekecil apapun, hal itu
dilakukan semata-mata untuk kepentingan bangsa secara umum dan tentu saja untuk
umat Islam pada khususnya.
Sehingga syariat dan
politik tidak bisa dipisahkan. Karena maslahat akan terwujud tatkala seseorang mampu
menjalankan peran di dalam berpolitik sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Karena
hanya dengan tuntunan syariat Islam, politik bernegara akan membuahkan hasilnya.
Hanya dengan tuntutan syariat Islam juga, perjuangan politik akan dapat meminimalisir
potensi kerusakan yang berimbas tidak hanya kepada urusan duniawi tetapi juga urusan
ukhrawi.
Ada beberapa point yang patut diperhatikan oleh umat Islam terkait pendasaran pemahaman mereka terhadap politik , di antaranya yaitu:
1.
Dasar berpolitik harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah.
2.
Berpolitik dengan landasan dan tujuan yang benar akan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
3.
Berpolitik dapat menjadi jalan bagi seseorang atau sekelompok komunitas di
dalam membela atau menegakkan syariat Islam.
4.
Berpolitik adalah masalah ijtihadi, dimana tindakan yang dilakukan di dalamnya tidak bisa dihukumi secara saklek (kaku), melainkan diperbolehkan adanya perbedaan pandangan sesuai dengan pendapat masing-masing selama tujuan dan dasarnya adalah syariat.
5.
Di dalam kondisi yang tidak
ideal, termasuk dalam berpolitik berlaku kaidah “ memilih madharat yang ringan guna menghindari kemadharatan yang lebih besar”.
Sudah sejak masa kemerdekaan Indonesia, sistem yang dipilih sebagai dasar politik negara kita adalah demokrasi. Sistem demokrasi
ini tentunya bukan merupakan sistem yang ideal, akan tetapi ia justru menjadi tantangan
bagi umat Islam untuk menentukan sikap yang bijak dan cerdas menghadapi dalam
menghadapinya. Karena mau tidak mau, demokrasi adalah sistem yang tidak bisa dihindarkan
dari kehidupan umat di negara ini, setidaknya untuk saat ini.
Maka kemudian kita
dihadapkan kepada tiga pilihan kondisi yang berkaitan erat dengan sikap kita dalam
menghadapi sistem demokrasi ini, yaitu:
1.
Cuci tangan dari semua proses demokrasi. Artinya secara otomatis kita telah memberikan ruang kebijakan pengelolaan negara kepada orang yang tidak faham syariat Islam. Bahkan bisa
jadi punya kecenderungan untuk merusak bahkan memerangi Islam dan syariatnya.
2.
Menentang sistem ini dengan sikap konfrontatif bahkan cenderung kepada perlawanan
fisik. Hal ini akan berakibat kepada perang terbuka antar anak bangsa dan menjadi
dalih bagi pihak asing untuk ikut campur dan merongrong kedaulatan dan keamanan
bangsa kita. Bahkan berakhir dengan penjajahan (seperti yang sudah terjadi di
beberapa negara lain). Waliyaadhubillah...
3.
Ikut berpartisipasi dalam proses demokrasi meskipun masih didapati banyak hal
yang belum ideal. Keikutsertaaan inientunya dengan tetap menjaga kewajiban sebagai
muslim, yaitu dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Serta usaha berkesinambungan
di dalam meminimalisir atau bahkan menghilangkan kemadharatan yang menimpa khususnya
umat Islam dan rakyat pada umumnya.
Kekhawatiran akan terwujudnya
madharat ketika umat Islam pasif dalam politik sebetulnya telah nampak bahkan terlihat
sangat jelas dan nyata. Belum selesai dengan problem adanya penolakan peraturan daerah (perda) bernilai syariat dari beberapa wakil rakyat dan partai politik sekuler, kita sudah harus dikagetkan lagi dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS)
yang pada beberapa pointnya bersifat sangat plural dan bertentangan dengan norma-norma agama serta fitrah sebagai insan mulia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa politik menjadi wasilah (perantara) bagi setiap pemainnya untuk mencari kepentingan baik pribadi atau kelompoknya. Maka tidak bisa dinafikan pula para
pengusung kebathilan berusaha untuk ikut andil dalam dunia politik agar semakin leluasa menekan para pejuang kebenaran. Karena mereka, para pengusung kebatilan itu tidak akan ridha apabila keadilan bias tegak di bumi nusantara ini.
Dasar utama yang menjadi landasan seseorang untuk terjun dalam bidang politik di era modern
ini di antaranya adalah hadits Rasulullah SAW sebagai berikut :
عن
عبادةبن صامت ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Dari Ubadah bin
Shamit meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Dilarang membahayakan diri sendiri atau membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad)
Dari hadits tersebut para ulama mengambil intisari yang dijadikan kaidah berbunyi:
" الضرر
يزال "
“ Segala bentuk madharat wajib untuk di tiadakan.”
Maka secara aplikatif
kaidah ini diterapkan dalam kondisi sekarang, dimana banyak didapati madharat
yang merugikan kaum muslimin terkait kebijakan dari beberapa personal yang memiliki
kewenangan dalam pemerintahan.
Sedangkan cara menghilangkan
madharat tersebut di antaranya yaitu dengan berpartisipasinya kaum muslimin dalam
pemilu serta diikuti sikap bijak mereka menentukan pemimpin dan wakil rakyat yang
layak mewakili aspirasi mereka dalam memperjuangkan hak-hak sebagai warga negara
yang beragama Islam.
Dari fenomena dan pendasaran yang kami
sampaikan maka ada beberapa kesimpulan yang penting untuk diperhatikan, yaitu:
1.
Politik
modern merupakan kendaraan kosong yang diperebutkan semua pihak untuk merealisasikan tujuan dan kepentingan masing-masing. Sehingga ketika kaum muslimin tidak ikut andil dalam proses ini sama saja membiarkan kendaraan tersebut dipakai untuk menyerang dan menyudutkan kaum muslimin sendiri.
2.
Sudah banyak bukti nyata bahwa dengan kebijakan dan keputusan dari penguasa mampu untuk menghentikan kemungkaran atau mewujudkan kemaslahatan syar’i yang menjadi tolak ukur terciptanya keadilan dan kemakmuran masyarakat.
3.
Sangat ironis apabila kaum muslimin yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini tidak ikut berpartisipasi di dalam menentukan nasib bangsa mereka sendiri, salah satunya dengan tidak mau ikut dan tidak peduli
dengan proses pemilu. Terlebih di tengah tantangan perusakan bangsa yang semakin nyata baik dari dalam ataupun luar.
4.
Bersikap di dalam politik modern tidak mengharuskan kita untuk ridha dengan sistemnya secara keseluruhan. Karena masih banyak terdapat nilai-nilai yang
bertentangan dengan syariat yang kita yakini kebenarannya.
5.
Ikut berpartisipasi dalam pemilu jangan sampai melalaikan seseorang sehingga ia terjerumus kepada sikap loyal berlebihan kepada paslon tertentu. Karena loyalitas secara mutlak hanya diberikan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
6.
Dengan berbagai pertimbangan dan gambaran ijtihad yang disampaikan oleh banyak
ulama kontemporer, maka ikut berpartisipasi dalam pemilu dengan tetap menjaga adab-adab
syar’i dan tidak meninggalkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah pilihan
ijitihad yang ideal dengan tujuan meringankan madharat yang menimpa umat Islam
di era modern ini.
Terkait dengan pemilihan
umum yang menjadi bagian pokok dalam politik modern, perlu ada bekal yang harus
dibawa oleh calon pemilih sebelum ia menentukan pilihannya. Baik dalam pemilihan
presiden ataupun juga pemilihan anggota legislatif. Beberapa ketentuan dan
kriteria yang dapat digunakan untuk panduan dalam memilih di antaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Memilih partai politik
a.
Memilih partai politik (parpol) yang
memperjuangkan nilai-nilai syariat. Bukan yang justru menentang nilai-nilai syariat;
b.
Memilih parpol
yang diisi oleh orang-orang yang dikenal (ma’ruf) akan keshalihannya;
c.
Memilih parpol
yang kader-kadernya
paling minim terkait dengan kasus korupsi, tindakan asusila dan kasus-kasus lainnya;
d.
Memilih parpol
yang tidak frontal menyerang dan atau menjelek-jelekkan lawan politik atau pihak
lain. Karena hal ini menunjukkan adab dalam berpolitik.
2.
Memilih calon anggota legislatif
a.
Memilih calon
anggota legislatif
(caleg) yang berpenampilan sopan serta menutup auratnya. Tidak hanya menjelang pemilihan, tetapi juga dalam
kesehariannya;
b.
Memilih caleg yang tidak dikenal sebagai pelaku maksiat di kalangan masyarakat;
c.
Memilih caleg
yang dekat dan membaur dengan masyarakat umum;
d.
Apabila
didapati ada caleg yang shalih dan memiliki keilmuan agama yang
mumpuni ataupun juga dikenal sebagai aktivis dakwah, maka jelas itu lebih dikedepankan untuk dipilih;
e.
Jika
berbagai kriteria caleg yang disebutkan di atas tidak diketahui oleh calon pemilih, maka yang terpenting adalah berusaha agar tidak salah dalam memilih partai politik. Pilihlah caleg manapun dari partai politik tersebut.
3.
Memilih Presiden dan Wakilnya
a.
Memilih pasangan calon (paslon) yang direkomendasikan oleh mayoritas ulama yang telah terkenal dengan keshalihannya dan keistiqamahannya dalam dakwah;
b.
Memilih paslon yang tidak membagi-bagikan apapun pada masa kampanyenya,
karena nilai
yang dikeluarkan memiliki kompensasi yang akan diambil dari uang negara selama masa jabatannya jika terpilih nanti;
c.
Memilih paslon yang diusung oleh partai-partai yang
telah disebutkan kriterianya di atas;
d.
Memilih paslon yang dikelilingi oleh para tokoh yang shalih dan bersih dari kemaksiatan dan kefasikan;
e.
Memilih paslon yang perhatian terhadap dunia Islam dan punya empati terhadap nasib dan perjuangan kaum muslimin di belahan bumi yang lain.
Demikian. Wallahu Ta’ala A’lam. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita kepada jalan yang di ridhai-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar