Oleh: Ahmad Nasri
Beberapa waktu lalu sempat viral
di media sosial pernyataan yang dilontarkan oleh orang nomor satu di sebuah
negara kepada para pendukungnya. Kurang lebih berbunyi, “Jangan bangun permusuhan,
jangan bangun ujaran kebencian, jangan bangun fitnah, tidak usah suka mencela,
tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi kalau diajak berantem harus berani!”
Juga kalimat lain yang senada, “Tapi jangan ngajak (berantem) loh. Saya bilang
tadi, tolong digarisbawahi. Jangan ngajak. Tapi kalau diajak, tidak boleh
takut!”
Kalimat tersebut mungkin akan
dianggap lumrah jika keluar dari mulut seorang preman. Tetapi jika kata-kata
tersebut keluar dari lisan seorang pemimpin, maka hal itu sama sekali bukan termasuk
hal yang bijak. Karena pemimpin sejati seharusnya berperan untuk meredam emosi
dan mengeluarkan pernyataan yang mempersatukan dan mendamaikan, bukan justru
mengarahkan orang kepada konflik dan perpecahan yang bisa mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa.
Baca artikel serial kepemimpinan Pancasilais lainnya:
Baca artikel serial kepemimpinan Pancasilais lainnya:
5. Pemimpian yang Berkeadilan
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin terhadap orang mukmin yang lain seperti satu bangunan, sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau menjalin antara jari-jarinya. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al Asy‘ari)
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin terhadap orang mukmin yang lain seperti satu bangunan, sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau menjalin antara jari-jarinya. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al Asy‘ari)
Hadits tersebut memang berbicara
tentang keadaan kaum muslimin, tapi jika redaksinya diubah untuk menggambarkan
keadaan suatu bangsa, maka kalimat yang tersusun pun juga akan menjadi baik
jika bisa diwujudkan. Misalkan menjadi begini, “Seorang (sekelompok) anak
bangsa terhadap anak bangsa yang lain seperti satu bangunan, sebagian mereka
menguatkan sebagian yang lain. Sebagaimana pula jalinan antara jari jemari.”
Siapa yang bertugas ‘menyusun’
antar anak bangsa tersebut sehingga menjadi bangunan yang kokoh? Tentu ini
menjadi salah satu tugas penting dari pemimpin publik: presiden, gubernur,
walikota, bupati dan lain sebagainya. Meskipun para pemimpin publik pada
awalnya berasal atau diusung oleh satu komunitas politik tertentu, tetapi dia
tidak boleh mengesampingkan dan meninggalkan komunitas lain yang sebelumnya
tidak mengusungnya.
Lihatlah Rasulullah SAW, suri
teladan terbaik manusia tersebut telah mencontohkan hal ini sejak berabad-abad
lalu. Kalau dianalogikan sebagai pengusung, maka Rasulullah SAW berasal dari
komunitas orang-orang Muhajirin yang berasal dari Makkah. Rasulullah SAW datang
ke Madinah dan disambut oleh orang-orang pribumi yang kemudian dikenal dengan
sebutan Anshar. Meskipun berasal dari ‘komunitas’ yang berbeda, Rasulullah SAW dapat
menyatukan dua komunitas tersebut, yaitu Muhajirin dan Anshar.
Disinilah tampak nyata bahwa
Rasulullah SAW adalah sosok pemimpin pemersatu. Beliau SAW kemudian
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Deklarasi
persudaraan ini bahkan diwujudkan Rasulullah SAW dengan mempersaudarakan mereka
masing-masing dua dua, satu dari Muhajirin dan satu lagi dari Anshar.
Sebelum Rasulullah SAW mempersaudarakan
antara Muhajirin dan Anshar, sejarah juga telah mencatat bahwa beliau telah
berhasil mendamaikan dan mempersatukan dua komunitas asli Madinah (Yatsrib)
yang sebelumnya terkenal dengan kebiasaan mereka bertikai dan berperang, yaitu
Suku Aus dan Suku Khazraj.
Inilah pemimpin sejati, dia
selalu melihat perbedaan itu sebagai potensi kebaikan. Seorang pemimpin negara
misalnya, jika dia bisa berlaku demikian, maka negara akan menjadi besar. Dia
tidak hanya merangkul orang-orang yang satu komunitas atau orang-orang yang
setuju dan mendukung dirinya saja dan meninggalkan komunitas yang lain, tetapi
semua anak bangsa bisa dirangkul untuk memajukan negara tersebut.
Dalam hal mendengarkan keluh
kesah masyarakat, seorang pemimpin juga harus bisa berperan sebagai pemersatu. Artinya
dia akan menemui dan mendengarkan siapapun yang hendak memberikan masukan
kepadanya, tidak hanya orang-orang yang dianggap pro kepadanya saja. Di suatu
negeri antah berantah sudah jamak terdengar ada pemimpin yang saat didemo oleh
komunitas profesi tertentu, dia tidak mau menemui. Tapi di saat yang lain, dia
malah mengundang komunitas berbeda dengan profesi yang sama, seolah sebagai
pembuktian kalau dia sudah menerima aspirasi mereka. Ini bukanlah tipe pemimpin
pemersatu.
Saat ramai adanya aksi bela Islam
beberapa tahun yang lalu, ada juga pemimpin negeri yang tidak mau menemui para
ulama yang ingin berkeluh kesah kepadanya. Tapi di lain kesempatan, dia justru
mengundang komunitas ulama lain ke istananya. Cara-cara sektarian seperti inilah
yang justru bisa menimbulkan kecemburuan antar ulama, juga dapat memicu
perpecahan dan saling curiga di antara mereka.
Rasulullah SAW pun juga pernah
ditegur oleh Allah SWT melalui turunnya Al Qur’an Surat ‘Abasa karena
mengabaikan orang yang hendak berbicara kepada beliau. Peristiwa ini terjadi
saat Rasulullah SAW sedang berdialog dengan para pembesar suku Quraisy, di
antaranya Utbah bin Rabi’ah, Abbas bin Abdul Muthalib dan Abu Jahal ‘Amr bin
Hisyam. Mereka adalah orang yang punya kedudukan penting di Makkah. Ini adalah
pertemuan yang sudah dinantikan Rasulullah SAW. Dialog dengan banyak orang
penting dalam satu tempat semacam ini jelas menjadi kesempatan yang tidak akan
dilewatkan oleh Rasulullah SAW.
Saat diskusi sedang intens
tersebut datanglah Abdullah bin Umi Maktum meminta penjelasan tentang suatu
ayat. Karena sedang dalam pembicaraan serius, Rasulullah SAW kurang memedulikan
bahkan beliau justru membelakangi Abdullah bin Umi Maktum dan terus berdiskusi
dengan tokoh-tokoh Quraisy di depannya. Setelah Allah SWT menegur beliau,
Rasulullah SAW selalu menyediakan waktunya untuk Abdullah bin Umi Maktum dan
memuliakan sahabat tuna netra itu.
Teladan persatuan juga pernah
ditunjukkan Rasulullah SAW dalam perang Hunain. Dalam perang tersebut, atas
kebijakan Rasulullah SAW ghanimah atau harta rampasan perang hanya dibagikan
kepada kaum Muhajirin dan para tawanan yang dibebaskan, sementara kaum Anshar
tidak mendapatkan bagian sedikitpun. Pembagian ghanimah seperti ini memantik
kemarahan sebagian kaum Anshar sehingga terucap kalimat yang tidak selayaknya
diarahkan kepada Rasulullah SAW yang tentu akan menimbulkan perpecahan di
kalangan kaum muslimin.
Ketika berita tentang kaum Anshar
dan ucapan sebagian mereka terdengar oleh Rasulullah SAW, Beliau SAW tidak
marah, tetapi mengumpulkan mereka dan bersabda kepada mereka: “Apakah kalian
tidak rela orang-orang itu pergi dengan membawa kambing dan unta sementara
kalian pergi dengan membawa Muhammad SAW ke rumah kalian? (Bagiku) kaum Anshar
itu ibarat pakaian yang menempel di badan sementara orang-orang itu ibarat
selimut. Seandainya bukan karena hijrah, tentu termasuk kaum Anshar.” (HR.
Al Bukhari)
Kepemimpinan yang mempersatukan
ini tidak hanya ditunjukkan Rasulullas SAW antar sesama kaum muslimin saja.
Tetapi juga antara kaum muslimin dengan penduduk lain di Madinah meskipun
beragama lain. “Piagam Madinah” menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW adalah
pemimpin yang mempersatukan. Kandungan Piagam Madinah tidak hanya membicarakan
tentang hubungan antara umat Islam, Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar saja, tatapi
juga membicarakan tentang hubungan umat Islam dengan umat lain, termasuk
Yahudi. Piagam Madinah ini menjadi bukti nyata usaha Rasulullah SAW yang telah
mempersatukan penduduk berbagai suku, ras dan agama yang tinggal di Madinah
saat itu.
Begitulah seharusnya seorang
pemimpin. Dia harus bisa berbicara, bersikap dan membuat aturan yang
mempersatukan. Bila tidak, maka akan menimbulkan kegaduhan. Janganlah seorang
pemimpin justru melontarkan pernyataan yang mengandung unsur provokasi, adu
domba dan penuh hasutan yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Sebaliknya, pemimpin
pemersatu harus menyampaikan kalimat dan sikap yang membuat sejuk, damai dan
tentram. Dengan bahasa sejuk, damai dan penuh dengan narasi persaudaraan, maka
seorang pemimpin akan mampu menjadi pemersatu. Wallahu a’lam
*) *) Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di rubrik sajian khusus Majalah Tabligh edisi No. 03/XVI Rajab 1440 H/Maret2019 M
0 komentar:
Posting Komentar