728x90 AdSpace

Latest News
Senin, 14 Januari 2019

4 Kriteria Pemimpin yang Berketuhanan


Oleh: Ahmad Nasri

“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Alenia ketiga Pembukaan UUD 1945 tersebut menerangkan dengan jelas, bahwa negara kita ini didirikan dan dibangun di atas dasar pondasi ketuhanan. Memasuki masa kontestasi politik dua tahun terakhir ini, ruang publik pun dibombardir di antaranya dengan istilah politisasi agama. Menyikapi istilah politisasi agama, setidaknya ada dua pihak yang bertolak belakang. Pihak pertama adalah yang mengaku anti dengan politisasi agama, tetapi kenyataannya justru memanfaatkan simbol-simbol agama untuk kepentingan politiknya. Misalnya, orang yang biasanya tidak berjilbab, tiba-tiba saja tampil berjilbab dalam foto-foto poster pencalonannya karena ingin merebut suara konstituen muslim. Ada juga yang tidak pernah ke masjid di hari biasanya, tapi secara mendadak rajin ke masjid juga dalam rangka untuk mendekati jamaah masjid agar memilihnya. Dan beberapa contoh lainnya. Intinya mereka tidak sadar bahwa sebenarnya juga sedang melakukan politisasi agama, memanfaatkan agama untuk meraup suara.

Pihak kedua menyikapi istilah politisasi agama dengan lebih dingin. Karena mereka sebelumnya sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan dan hal-hal keagamaan. Maka dengan berjuang di jalur politik, mereka pun tetap berusaha untuk menjiwai tindakan-tindakan politik mereka dengan nilai-nilai agama. Perilaku-perilaku politik yang mereka bangun tidak lepas dari ajaran-ajaran agama yang mereka anut. Bahkan yang cukup ekstrim, mereka akan menegakkan nilai-nilai agama dengan jalur politik, secara konstitusional.

Sejatinya, agama dan politik memang harus berjalan beriringan satu sama lain. Di negara kita ini ajaran agama tidak akan bisa dijalankan dengan tegak jika tanpa menggunakan jalur politik sama sekali. Sebaliknya, politik akan menjadi kotor jika tidak dijiwai dengan nilai-nilai agama. Politisi senior Turki Necmetin Erbakan pernah mengatakan, “Orang Islam yang tidak peduli dengan politik akan dipimpin oleh politisi yang tidak peduli Islam.” Karenanya salah satu rambu-rambu untuk memilih pemimpin pada tahun politik ini adalah dengan memilih pemimpin yang berketuhanan. Sebagaimana Pancasila yang menjadi dasar negara ini pada sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Baca artikel serial kepemimpinan Pancasilais lainnya:

2. Pemimpin Peduli Kemanusiaan

3. Pemimpin yang Mempersatukan

4. Pemimpin (Pura-pura) Merakyat

5. Pemimpian yang Berkeadilan

Seperti apa kriteria pemimpin yang berketuhanan akan dibahas secara singkat dalam tulisan ini. Pertama, Jujur. Hal ini tentu menjadi pondasi awal bagi pemimpin. Kejujuran adalah salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Ia harus jujur kepada dirinya sendiri. Kalau kepada dirinya sendiri dia bisa jujur, tentu saja ia tak akan mau untuk membohongi rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Tiada seorang pemimpin yang diamanahi oleh Allah memimpin rakyat kemudian ketika mati ia masih menipu dan membohongi rakyatnya, melainkan pasti Allah mengharamkan baginya surga.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Pemimpin yang jujur tidak hanya membawa kebaikan pada dirinya sendiri, tetapi kebaikan tentu akan menyertai rakyat yang dipimpinnya. Sebagai calon pemilih, tentu kita sudah dapat menilai kejujuran para calon pemimpin yang akan berlaga nanti. Apalagi jika para calon adalah orang-orang lama yang sebelumnya pernah menjabat, tentu kita bisa menilai sejauh mana kejujuran yang mereka miliki. Salah satu indikatornya bisa kita lihat dari janji-janji politik yang pernah dia ucapkan sebelumnya, sejauh mana mereka menjalankan atau berusaha menepati janji-janjinya tersebut. Kalau ternyata janji mereka hanya omong kosong belaka, maka sudah jelas bahwa mereka adalah orang yang tidak bisa dipercaya.

Kedua, Amanah. Hampir sama dengan poin pertama, poin kedua ini juga menjadi pondasi yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Salah satu indikator pemimpin yang berketuhanan adalah pemimpin yang senantiasa menjaga amanah dan tidak mengkhianati amanah yang telah diberikan rakyat di pundaknya. Jangan sampai kita memilih pemimpin yang munafik, antara perkataan dan perbuatannya tidak ada keselarasan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika ia berbicara berdusta, jika ia berjanji mengingkari dan jika diberi amanah ia berkhianat.” (HR. Al Bukhari)

Nabi SAW juga memvonis pemimpin yang tidak amanah ini sebagai orang yang tidak beriman dalam sabdanya, “Tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan padanya.” (HR. Ahmad)

Majelis Ulama Indonesia dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2015 bahkan pernah memfatwakan bahwa pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa dan tidak boleh dipilih kembali.

Ketiga, Komunikatif. Pemimpin yang berketuhanan haruslah komunikatif. Dalam istilah agama bisa dibahasakan dengan ‘tabligh’. Artinya pemimpin haruslah senantiasa mau berkomunikasi dengan rakyatnya. Terbuka dan tidak menutup diri dari rakyatnya. Terbuka tidak hanya saat butuh saja kepada rakyat dalam rangka pencitraan, tetapi senantiasa ada dan mau berkomunikasi dengan rakyat.

Jika sudah diketahui calon pemimpin itu selalu bersembunyi saat rakyat menyampaikan keluh kesahnya, maka pastikan dia tidak akan dipilih kembali. Penulis jadi teringat salah satu pemimpin di negeri antah berantah. Saat ada sekelompok besar umat Islam yang mencoba mengadu, mengetuk pintu istana presidennya, karena resah dengan sang penista yang tak juga dinobatkan sebagai tersangka dan justru leluasa mencalonkan diri kembali menjadi gubernur, ternyata yang mereka terima hanya kekecewaan. Para ulama’ yang mewakili umat itu, ditinggal pergi oleh sang presiden. Dan dengan (maaf) pengecutnya presiden itu menyuruh anak buahnya untuk mengumumkan kepada rakyat bahwa dirinya tak bisa pulang ke istana, karena jalanan macet. Rakyat, dan umat Islam yang mengetuk pintu istana pun, hanya bisa melongo, kecewa dan penuh tanya, “Beneran nih pengumuman atas nama presiden?!”

Selain peristiwa tersebut, masih ada beberapa kejadian yang menunjukkan bahwa orang tersebut tidak layak untuk dipilih kembali menjadi presiden, karena dia tidak memiliki sifat tabligh. Lihat saja jawaban yang dia berikan saat ditanya awak media. Kalau tidak mengalihkan pembicaraan, menjawab dengan ‘ona anu’, atau malah menyuruh bertanya kepada bawahannya. Sungguh tidak komunikatif orang ini.

Keempat, Cerdas. Untuk dapat menjalankan urusan rakyat banyak, tentu kecerdasan dan kemampuan mutlak dipunyai oleh seorang pemimpin. Rasulullah SAW bersabda, “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya, “Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Nabi menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari)

Bisa jadi, keempat hal tersebut tidak ada pada satu orang secara sempurna. Artinya, seorang pemimpin atau calon pemimpin bukan termasuk orang yang memiliki semua hal tersebut, tetapi dominan pada satu aspek dan kurang pada aspek yang lain. Maka hal lain yang harus kita perhatikan saat memilih pemimpin, atau seorang pemimpin bisa dikatakan sebagai orang yang berketuhanan adalah jika dia dikelilingi dengan orang-orang yang memiliki empat kriteria tersebut. Jika para ulama dan orang-orang baik mengelilingi calon pemimpin yang akan kita pilih, pasti jika dia telah terpilih nanti akan ada orang-orang yang meluruskan jika ada kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin kita tersebut. Maka panduan ulama dalam memilih pemimpin ini tentu menjadi kompas paling jelas bagi kita, mana pemimpin yang berketuhanan dan mana yang bukan. Wallahu a’lam

*) Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 01/XVI Jumadil Awal 1440 H/Januari 2019 M
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: 4 Kriteria Pemimpin yang Berketuhanan Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu