728x90 AdSpace

Latest News
Selasa, 23 Februari 2016

Karakter Ulama Muhammadiyah


Oleh: Musa Al-Azhar

Dalam satu kesempatan, Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A., Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, mengambarkan karakter ulama Muhammadiyah dengan satu kalimat padat berisi, yaitu “Mampu membaca kitab kuning dan kitab putih”.
Kader ulama adalah yang paling dirindukan oleh gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar ini, gerakan yang sudah berkhidmah di Indonesia lebih dari satu abad. Sebagian tokoh bahkan menyebut ada krisis ulama di Muhammadiyah. Namun, Muhammadiyah dikenal sebagai persyarikatan yang progresif, dalam mengatasi masalah internalnya maupun masalah keummatan. Berbagai usaha telah dilakukan demi memenuhi tuntutan kader ulama. Mulai dari serius dalam membina Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM), sampai meresmikan cabang istimewa di negerinya al-Azhar, Mesir, sebagai kantong kader ulama persyarikatan.
Peradaban manusia terus berkembang dan dihiasi dengan, meminjam istilah Prof. Dr. Ali Jum`ah (pakar fikih dan usul fikih, anggota dewan ulama senior al-Azhar), al-Nuqthah al-Fâriqah atau titik pembeda. Maksudnya adalah kejadian besar dimana hidup manusia berubah drastis dari sebelumnya. Di antara titik pembeda yang menghiasi era globalisasi ini adalah kebebasan informasi, khususnya dalam konteks media sosial. Salah satu efek dominonya adalah siapapun bebas menyampaikan dan dibaca pendapatnya, sehingga saling mempengaruhi adalah keniscayaan.
Melihat kenyataan yang demikian, penulis merasa perlu untuk mengajak pembaca merenung sejenak mendalami karakter ulama yang dibutuhkan Muhammadiyah. Dialah yang nantinya akan menginspirasi gerak langkah persyarikatan. Bukan wacana yang terbentuk dari simpang siur pendapat yang muncul, sebagai efek dari ledakan media, apalagi media sosial.

Pemurnian Mata Air Ide Gerakan Muhammadiyah
Ide yang menginspirasi gerakan Muhammadiyah cita-citanya disarikan dari al-Quran dan Sunah. Ide ini merupakan solusi bagi segala persoalan di berbagai segi kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan sampai persoalan epistemologi. Ide yang ditawarkan Muhammadiyah terhadap berbagai persoalan tersebut tidak lain adalah pencerahan yang selama ini digaungkan.
Ide-ide tersebut harus lahir melalui proses yang jelas. Identitas Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melarang ide-ide liar yang lahir dari sumber yang bermasalah. Sumber yang dapat dipertanggungjawabkan menurut Najmuddin al-Nasafi (537 H) ada tiga; informasi valid, panca indera yang sehat dan akal. Ketiganya memiliki lahan garap masing-masing. Panca indera merekam berbagai peristiwa di alam raya baik dalam bidang astronomi, biologi, fisika, kimia dan sebagainya. Kemudian akal mengolahnya menjadi teori-teori keilmuan modern. Kebenaran teori-teori tersebut tetap membutuhkan akurasi dalam setiap nukilannya. Supaya ilmuwan manapun mengkajinya dari data-data tepat. Bukan nukilan-nukilan liar dari sumber yang tidak otoritatif. Teori-teori keilmuan di atas banyak terdapat dalam kitab putih.
Sedangkan wahyu al-Quran dan Sunnah mendapat tempat dalam keilmuan Islam sebagai salah satu sumber kebenaran selain panca indera dan logika. Wahyu diturunkan oleh Allah Ta`âlâ sebagai petunjuk bagi manusia untuk mewujudkan kemakmuran di bumi. Betapa banyak persoalan yang tidak mampu digarap panca indera dan logika akal. Dalam hal-hal seperti ini, wahyu akan menjadi sumber solusi.
Wahyu Allah yang pertama adalah kalam-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ShallalLâhu `alaihi wa Sallama melalui malaikat Jibril alaihi al-Salâm dan memiliki unsur kemukjizatan. Maksudnya, menantang manusia dan jin untuk mendatangkan sesuatu yang semisalnya. Ketidakmampuan jin dan manusia menjawab tantangan tersebut berarti membenarkan seruan dalam al-Quran bahwa ia memang benar berasal dari Allah. Keberadaan Rasulullah sebagai pembawa al-Quran membenarkan seruan bahwa Beliau memang diutus oleh Allah. Segala bentuk penjelasan Rasulullah terhadap syariat yang dikenal dengan al-Sunnah juga disebut sebagai wahyu. Konsekuensinya, manusia wajib berjalan sesuai dengan apa yang digariskan oleh al-Quran dan Sunnah.
Ayat al-Quran ditransfer dari generasi sahabat ke generasi setelahnya sampai di zaman kita dari banyak penutur di berbagai jalur (mutawatir). Sehingga sifatnya adalah qath`iyyu’l wurûd. Sedangkan hadis tidak semuanya demikian, ada yang ditransfer bahkan hanya dari satu perawi ke satu perawi. Hadis yang tidak bersifat qath`iyyu’l wurûd disebut zhanniyyu’l wurûd. Baik al-Quran maupun hadis keduanya sama-sama memiliki salah satu dari sifat qath`iy al-dilâlah (jelas maksudnya) ataupun zhanniy al-dilâlah (multi interpretasi). Ayat al-Quran ada yang berbicara sesuatu yang umum kemudian di ayat mengkhususkannya, begitu juga dengan hadis. Ada ayat atau hadis yang hukumnya digantikan oleh hukum yang terkandung oleh ayat dan hadis yang lain (al-naskh). Kerumitan dari persoalan di atas sebenarnya bermuara kepada dua hal. Pertama, keakuratan nukilan teks. Kedua, pemahaman teks. Kedua hal inilah yang diperhatikan oleh ulama Islam di setiap generasi.
Golongan manusia pertama yang menerima ajaran dari wahyu adalah para sahabat. Mereka adalah penutur bahasa Arab murni yang belum tercampur bahasa non-Arab, membersamai proses turunnya wahyu yang berangsur-angsur dan menjaga potensi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta menjunjung tinggi kejujuran. Ketiga potensi inilah yang menjadikan mereka cepat dan tepat menangkap maksud dari wahyu. Sebagian dari 114.000 sahabat (yang tercatat) ada yang mendapat legalitas untuk berfatwa bahkan ketika Rasulullah masih hidup. Sebutlah khalifah yang empat, Muadz bin Jabal yang kisah restu Rasulullah kepadanya untuk berfatwa di Yaman sering dinukil di buku usul fikih, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ibnu Amru bin Ash, Siti Aisyah, Ummu Salamah dan lain-lain.
Para sahabat tersebut menyebar ke berbagai belahan dunia membawa misi pencerahan kepada umat manusia. Generasi setelahnya belajar dari mereka dan mengajarkannya pula kepada generasi setelahnya.
Ketiga potensi di atas memudar seiring begantinya generasi dan bercampurnya orang Arab dengan non-Arab. Oleh karenanya para ulama merasa perlu untuk merumuskan apa yang ada di dalam jiwa para sahabat menjadi sebuah disiplin ilmu.
Transfer ilmu kepada generasi baru meniscayakan adanya satu undang-undang yang menjaga supaya teks syariat -terutama hadis- tetap otentik. Undang-undang tersebut memperhatikan penukil (rawi), teks yang dinukil (matan) juga cara menukil (kaifiyyat al-tahammul wa’l adâ’). Undang-undang tersebut nantinya akan bertransformasi menjadi ilmu hadis riwayah. Terkait dengan persoalan pemahaman teks, para ulama merumuskan ilmu usul fikih yang diperas dari tiga ilmu; bahasa Arab, ilmu kalam dan cabang pembahasan fikih.
Kedua ilmu alat di atas lah yang menjadi dua sayap umat Islam untuk mengembara mencari mutiara dalam lautan al-Quran dan Sunnah. Seorang ulama berkata, “Al-Quran adalah lautan luas, semua ilmu adalah sungai-sungai yang bercabang darinya”. Mutiara-mutiara tersebut dikumpulkan dalam tiga kotak ilmu pokok agama Islam; ilmu aqidah yang menjaga unsur keimanan, ilmu fikih yang mengandung unsur keislaman dan ilmu akhlaq yang menghiasi manusia dengan ihsan. Bangunan keilmuan yang kokoh menjaga ajaran Islam itu tertanam dalam jiwa para ulama dan dalam kitab-kitab kuning yang ditulis oleh mereka. Sekali lagi, ulama Muhammadiyah, harus bisa membaca kitab kuning!

Proses Pencerahan
Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat merangkum bidang garap para ulama Muhammadiyah dalam proyek pencerahan, demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ketiga hal itu adalah memahami teks syariat, memahami realita dan mentransformasikan teks syariat menjadi panduan-panduan praktis untuk menghadapi realita.
Prof. Dr. Ali Jum`ah memaparkan tujuh teori usul fikih yang dapat digunakan untuk melaksanakan ketiga misi di atas. Ketujuh teori tersebut tidak lain adalah rangkuman dari proses ijtihad para ulama yang melibatkan berbagai ilmu. Ketujuh teori inilah yang harus ada dalam pikiran ulama Muhammadiyah ketika mengkaji sebuah persoalan.
 
1. Teori Legalitas (Hujjiyyah)
Teori ini bertugas menyeleksi segala hal yang diajukan untuk menjadi sumber hukum. Apa yang membuat al-Quran dan hadis sah menjadi sumber hukum? Jawabannya ditemukan dalam pembahasan mukjizat al-Quran di atas. Teori ini bisa diterapkan untuk menyeleksi segala hal yang dijadikan sumber hukum bagi manusia, termasuk hasil pikir manusia itu sendiri.

2. Teori Penetapan (Itsbât)
Al-Quran dan Sunnah secara umum sudah lolos ujian teori di atas. Pertanyaan selanjutnya adalah, mana yang termasuk dalam al-Quran dan Sunnah? Ilmu qira’at menyeleksi berbagai ragam bacaan al-Quran. Karena ada qira’at syadzdzah, yang meskipun diriwayatkan dengan sanad yang sahih, namun ia tidak mutawatir, sehingga bacaan tersebut tidak bisa disebut al-Quran. Salah satu implikasinya ialah, ia tidak sah dibaca dalam salat.
Begitu juga dengan hadis. Berbagai nas yang berisi tuntunan agama yang  dinisbatkan kepada Rasulullah. Oleh karenanya, diperlukan beberapa ilmu untuk menyeleksi apakah sebuah nas diduga kuat berasal dari Rasulullah atau sebaliknya? Ilmu yang berbicara mengenai hal ini misalnya ilmu jarh wa ta`dil, ilmu mustolah hadis dan studi sanad.

3. Teori Pemahaman (al-Fahm)
Di hadapan seorang alim, ada nas al-Quran dan Sunnah. Misi selanjutnya adalah memahami maksud dari nas tersebut. Ilmu yang banyak berperan dalam teori ini adalah ilmu bahasa Arab, mengingat keduanya disampaikan dalam bahasa Arab (‘Arabiyyun Mubîn). Mulai dari sharf, yang mengkaji pola perubahan Arab, nahwu yang berbicara tentang kaidah bahasa Arab, balaghah dengan ketiga cabangnya (bayan, badî` dan ma`âni) dan cabang bahasa Arab lainnya, bahkan termasuk teks-teks Arab kuno baik berupa syair maupun esai. Karena keduanya banyak bermanfaat dalam mengetahui makna kata menurut penutur aslinya, di mana ia digunakan.
Selain ilmu bahasa Arab, hal yang banyak membantu dalam memahami  nas adalah mempelajari hukum-hukum fikih yang dinukil oleh para ulama mulai dari generasi awal.

4. Teori Qath`iyyah dan Zhanniyyah
Teori ini menjawab persoalan yang belum bisa dijawab oleh teori-teori di atas. Prof. Dr. Ali Jumah memberikan contoh dalam memahami ayat:
﴿...إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ...﴾ (المائدة : ۶)

Dalam kaidah bahasa Arab, huruf fâ’ mengandung makna berurutan setelahnya (al-Ta`qîb). Orang yang hanya mengandalkan kaidah bahasa Arab, bisa memahami bahwa wudu dilakukan setelah selesai salat. Oleh karenanya diperlukan hal lain untuk memahami ayat ini, yaitu al-Ijmâ` (konsensus). Para ulama berijmak, bahwa wudu dikerjakan sebelum salat.

5. Teori al-Ilhâq
Ayat al-Quran dan hadis jumlahnya terbatas, sedangkan persoalan yang ada terus berkembang, dan harus diberikan penilaian dari kacamata syariah. Para ulama mengikutkan (al-Ilhâq) persoalan yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas kepada persoalan yang ditegaskan hukumnya oleh nas, karena kesamaan sifat pokok dari keduanya. Proses ini dikenal dengan nama qiyas. Imam al-Ghazali menganggap qiyas (analogi) sebagai ijtihad itu sendiri, menimbang urgensinya dalam proses ijtihad. Qiyas inilah “senjata” dari syariat dalam menghadapi dinamika kehidupan dunia.

6. Teori Istidlâl
Selain al-Quran, Sunnah, ijmak dan qiyas, masing-masing mazhab menggunakan hal-hal lain yang dianggap bisa menunjukkan hukum, seperti adat, perkataan sahabat, maslahat dan lain-lain. Dalam beberapa hal, sebagian ulama menggunakan apa yang tidak digunakan ulama lain. Hal inilah yang harus dikuasai oleh seorang ulama, agar tidak cepat menuduh pendapat lain tidak ada landasan syariatnya.

7. Teori Fatwa
Misi terakhir adalah menyajikan hukum yang sudah diperas dari sumber-sumbernya menjadi sebuah program atau amalan praktis kepada sasaran bidik, baik individu maupun kolektif. Penjelasan mengenai hukum syariat terhadap suatu hal itulah yang disebut dengan fatwa. Prosesnya, orang yang sudah memenuhi kualifikasi mujtahid menyimpulkan sebuah hukum yang ditimbang dengan maqashid syariah. Ilmu-ilmu yang diperlukan di sini misalnya syarat mujtahid/mufti dan pemohon fatwa, yang salah satunya adalah memahami realita dan ilmu-ilmu kontemporer, maqashid syariah, mendamaikan dalil yang terlihat bertentangan dan tarjih, dan sebagainya.

Membentuk Ulama
Dalam bahasa Arab, kata al-Ulamâ’ merupakan bentuk plural dari al-`Alîm yang merupakan shîghah mubâlaghah. Artinya, ulama bukanlah orang yang memahami satu dua informasi saja. Dia adalah orang yang memiliki karakter ilmu, maksudnya ilmu sudah menyatu dalam dirinya. Sedangkan kata al-`Ilm (ilmu) dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menyebut tiga hal; pembahasan atau bidang studi, teori-teori dan kemampuan (malakat al-tasharruf).
Ketika ilmu yang dianggap menjadi karakter ulama dimaknai sebagai pembahasan/bidang studi, maka kolektor buku juga bisa masuk Majelis Tarjih Muhammadiyah. Ketika ilmu dimaknai teori-teori, maka pelajar yang baru saja menghafal semua materi dari sebuah disiplin ilmu bisa langsung disebut ulama. Tersisalah yang ketiga, orang yang memiliki kemampuan untuk menggunakan teori-teori yang telah ia pahami untuk menyelesaikan berbagai persoalan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H).
Adalah sosok insan yang menggabungkan antara pemahaman terhadap teori-teori  ilmu ijtihad dalam kitab kuning dan kemampuan untuk menggunakannya dalam menawarkan solusi dari berbagai permasalahan. Inilah profil yang selama ini ditunggu-tunggu oleh persyarikatan dan umat secara umum. Sosok yang bisa mengawal Muhammadiyah menjalankan misi pencerahan yang dibawanya.

Dr. Usamah al-Sayyid al-Azhari, ulama hadis al-Azhar yang juga merupakan salah satu santri terbaik Syekh Ali Jum`ah, memamparkan setidaknya ada lima hal yang harus dilalui apabila ingin menumbuhkan malakah ini. Beliau memberi contoh, malakah ilmu ushul fikih;
1. Menguasai seluruh pembahasan dalam usul fikih. Dalam tradisi keilmuan Islam, menguasai matan-matan seperti al-Waraqât-nya Imam al-Juwaini, dilanjutkan dengan memahami kitab-kitab syarahnya dan menyelami persoalan-persoalan detail yang ada dalam kitab seperti Mukhtashar-nya Ibnu al-Hajib, Minhâju’l Ushûl-nya al-Baidhawi, Jam`u’l Jawâmi`-nya al-Subki,  al-Mushtashfa-nya Imam al-Ghazali dan lain-lain. Hal ini dilakukan dengan cara talaqqi kepada ulama secara kontinyu dan berkesinambungan.
2. Menerapkan teori tersebut dengan cara mengkaji berbagai literatur dan menganalisa bagaimana proses sebuah penyimpulan hukum dengan metode yang ada. Termasuk membaca dialektika para ulama, bagaimana mereka mengkritisi sebuah pendapat, menunjukkan kelemahannya kemudian membangun argumen berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat. Hal inilah nantinya yang akan melatih bagaimana cara berpikir ulama. Harapannya, teori-teori usul fikih yang sebelumnya dipelajari tidak hanya sekedar menjadi hafalan, melainkan bisa diterapkan dengan melihat bagaimana cara ulama menerapkannya.
3. Sebuah disiplin ilmu pasti memiliki landasan teori. Tahap selanjutnya adalah menelusuri bagaimana sebuah teori usul fikih dibentuk dari ilmu aslinya, dalam hal ini bahasa Arab, ilmu kalam dan cabang pembahasan fikih.
4. Ilmu keislaman sulit dipisahkan dari ulamanya. Sehingga penting bagi seorang kader ulama untuk menelaah biografi para ulama secara rinci; bagaimana proses menuntut ilmu, sampai bagaimana menghadapi tantangan zaman mereka masing-masing.
5. Meng-update perkembangan kajian usul fikih di zaman sekarang. Mengkaji inovasi-inovasi ulama usul fikih kontemporer dan bagaimana usul fikih menjawab tantangan zaman.

Investasi Ulama
Timur tengah tampaknya belum tergantikan sebagai pusat studi Islam. Kelima unsur keilmuan terpenuhi dengan standar kualitas nomer wahid. Pertama, ulama kaliber dunia. Pelajar yang menimba ilmu di sana akan terpuaskan dengan arahan-arahan orang yang memang benar-benar pakar di bidangnya. Kedua, para pelajar dari berbagai negara dan latar belakang. Efeknya, pelajar akan mawas diri dengan kemampuannya serta terbiasa melihat keragaman. Pengalaman seperti inilah yang membentuk jiwa toleran. Ketiga, melimpahnya literatur, sehingga pelajar tidak tanggung-tanggung dalam memperluas dan memperdalam keilmuannya. Keempat, kurikulum yang digunakan di timur tengah teruji berabad-abad dalam membentuk ulama. Kelima, pengalaman tak tergantikan belajar di pusat keilmuan Islam dan pusat keramaian dunia. Kelima hal inilah yang nantinya menjadi bekal bagi kader ulama Muhammadiyah untuk bergabung menjalankan misi pencerahan bersama aktivis persyarikatan lainnya. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb.

Sumber : www.pcimmesir.com
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Karakter Ulama Muhammadiyah Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu