728x90 AdSpace

Latest News
Kamis, 28 Januari 2016

Kebutuhan Muhammadiyah Terhadap Ulama


Eksistensi lembaga dakwah Muhammadiyah dengan usianya yang telah melampaui satu abad lebih, tentu memiliki peran yang penting dalam menciptakan peradaban di bumi pertiwi. Salah satu bentuknya adalah dengan adanya pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan, guna membina anak bangsa menggapai nilai keislaman dan akhlak yang mulia. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam membina masyarakat Indonesia.
Amal usaha Muhammadiyah secara umum juga memiliki peranan penting, apalagi lembaga-lembaga pendidikan seperti: SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, pondok pesantren, serta perguruan tinggi Muhammadiyah. Untuk itu mari kita lihat bersama jumlah amal usaha Muhammadiyah saat ini.

Data Amal Usaha Muhammadiyah
No Jenis Amal Usaha Jumlah
1 TK/TPQ 4.623
2 Sekolah Dasar (SD)/MI 2.604
3 Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs 1.772
4 Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA 1.143
5 Pondok Pesantren 67
6 Perguruan Tinggi 172
7 Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP, dll 457
8 Panti Asuhan, Santunan, Asuhan Keluarga, dll 318
9 Panti Jompo 54
10 Rehabilitasi Cacat 82
11 Sekolah Luar Biasa (SLB) 71
12 Masjid 6.118
13 Musholla 5.080
14 Tanah  20.945.504   M²

Jumlah yang sangat sepektakuler bukan? Sebuah prestasi yang luar biasa dalam kuantitas. Jika kita jumlahkan siswa dan mahasiswa yang sekolah di lembaga-lembaga di atas, kita akan mendapati angka yang mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan. Artinya, setiap tahunnya, akan ada ribuan siswa yang lulus dari sekolah menegah pertama, ribuan siswa dari sekolah menengah atas dan ribuan mahasiswa dari perguruan Muhammadiyah.
Jika kita lihat lagi data di atas dan kita bandingkan antara jumlah sekolah Muhammadiyah dan jumlah pesantren Muhammadiyah, kita akan mendapati perbedaan angka yang amat sangat mencolok, yaitu 5519 sekolahan berbanding 67 pesantren. Hal ini mengindikasikan, bahwa secara umum anggota Muhammadiyah bisa dikatakan lebih suka sekolah umum daripada pondok pesantren. Kesimpulan lainnya adalah bahwa kita terlalu memberikan perhatian lebih terhadap genre sekolah umum, daripada lembaga pendidikan bercorak ilmu agama.
Berbicara mengenai ulama dan kaderisasinya dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah, berikut ini beberapa narasumber yang berhasil diwawancarai oleh kru SINAR Muhammadiyah di tengah kesibukan mereka. Narasumber tersebut di antaranya; Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc. M.Ag, Dosen/Guru Besar di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Asep Shalahudin, S.Ag. M.Pd.I, Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Cecep Taufiqurrahman, M.A, Ketua PCIM Mesir periode 2006-2008, dan Fahmi Salim, Lc, M.A, anggota Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah periode 2010-2015.

Krisis Ulama di Tubuh Muhammadiyah
Menurut Prof. Yunahar Ilyas, krisis ulama di Muhammadiyah sudah mulai dirasakan sejak Muktamar Muhammadiyah di Surakarta tahun 1985. Penyebabnya bisa jadi dua hal; Pertama, Standar ulama di Muhammadiyah terlalu tinggi, sehingga tidak banyak yang bisa masuk kategori ini. Kedua, kultur bahwa ulama itu harus bergelar kiai atau memakai simbol-simbol ulama seperti serban, peci putih, jubbah, dan sebagainya. Padahal kultur itu relatif tidak ada di Muhammadiyah. Tetapi harus diakui, sejak dulu, sarjana yang menguasai ilmu syariah di Muhammadiyah lebih sedikit dibandingkan sarjana yang menguasai ilmu kauniyah (alam).
Begitu pula dengan penuturan Ustadz Fahmi Salim, sejak dasawarsa 70-80an kemudian era 90an, Muhammadiyah menggenjot kualitas pendidikan umum untuk memajukan persyarikatan, karena dirasakan bahwa stok ulama Muhammadiyah masih cukup banyak. Tampaknya kondisi sekarang sudah tidak seimbang lagi. Sarjana umum sudah surplus, sementara stok ulama menipis. Maka wajar, jika dalam Muktamar Muhammadiyah tahun ini mencuat kebutuhan untuk mengembalikan equilibrium SDM agama dan umum seperti di awal 90an.
Melanjutkan apa yang disampaikan Prof. Yunahar Ilyas terkait ulama Muhammadiyah yang ideal, menurut Ust. Fahmi, ulama Muhammadiyah yang ideal itu mereka yang memenuhi kriteria berikut:
a. Menguasai ilmu-ilmu syariah;
b. Khasyatullah (takut kepada Allah);
c. Aktif membimbing dan memperjuangkan kepentingan umat;
d. Aktif di Persyarikatan Muhammadiyah.

Adapun Pak Asep, beliau menjelaskan bahwa ulama Muhammadiyah yang ideal adalah ulama yang mampu membaca kitab kuning dan kitab putih. Hal ini juga diamini oleh Prof. Syamsul Anwar yang merupakan Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Yang dimaksud dengan kitab putih adalah buku-buku yang berkaitan dengan ilmu alam. Artinya, ulama Muhammadiyah itu seyogyanya tidak hanya berbicara tentang fikih, ushul fikih, tafsir, dan hadis, tetapi juga berbicara tentang sosiologi, politik dan sebagainya.
Terkait figur ulama Muhammadiyah ini, Ustadz Fahmi Salim mengatakan bahwa kita merindukan figur ulama seperti Kiai Dahlan, Kiai Mas Mansur, Buya Hamka, Kiai AR Fachrudin, Kiai Azhar Basyir, dan profil-profil lainnya, yang mumpuni dan disegani di kancah nasional maupun internasional. Karakter ilmu dan integritas moral keulamaan mereka lah yang dibutuhkan untuk memajukan dan menjunjung martabat Muhammadiyah di masa depan, tentunya dengan sentuhan medan jihad yang lebih modern dan menantang. Di samping itu, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam dengan jargon kembali kepada al-Qur'an dan sunnah, dan itu hanya bisa digawangi oleh para ulama yang mengerti al-Qur'an dan sunnah dengan banyak perangkat. Jika kita krisis ulama, lantas mau dibawa kemana jargon itu?
Sedangkan menurut Mang Cecep, kekurangan ulama Muhammadiyah mungkin iya, tetapi tidak sampai pada level krisis. Hanya saja, saat ini kebutuhan persyarikatan akan ulama atau fakih pasti jauh lebih meningkat, terutama ulama karismatik yang memiliki kedalaman ilmu syariat, memahami dan menghargai paham fikih Muhammadiyah, dan memiliki pemahaman yang baik pada persoalan-persoalan sosial yang terjadi di lingkungannya.
Realita kekurangan ulama di kalangan Muhammadiyah mau tidak mau berimbas terhadap kurangnya pembinaan anggota Muhammadiyah, terlebih pada tingkat ranting. Mengutip salah satu tulisan Ust. Wahyudi Abdurrahim yang juga merupakan mantan Ketua PCIM Mesir, beliau menyebutkan bahwa salah satu alasan kosongnya pengajian di tingkat ranting, bukanlah karena tidak ada jamaah, melainkan karena tidak adanya ustadz/da’i pengampu. Jika ustadz/da’i pengampu saja tidak ada, maka bisa dipastikan alim ulama juga tidak ada.
Dari apa yang disampaikan di atas, meskipun pahit, bisa dikatakan bahwa sejatinya Muhamadiyah tidak hanya krisis ulama, namun juga krisis da'i. Hal ini tentu sangat memprihatinkan sekali. Bagaimana tidak? Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf-nahi munkar, dengan gaung motto kembali kepada al-Qur'an dan sunnah. Jangan dulu berbicara pada level kembali kepada al-Qur'an dan sunnah, atau amar ma’ruf nahi mungkar yang jelas-jelas membutuhkan praktek lapangan dengan ulama yang sangat mumpuni. Bicara dakwah Islamnya saja, Muhammadiyah masih kekurang da’i. Meskipun begitu, memang harus diakui kurangnya da’i ini sebenarnya juga dikarenakan ladang dakwah Muhammadiyah dan jumlah jamaahnya yang begitu banyak. Kurang lebih 50 juta orang, dan akan terus bertambah. Hal ini tentu sangat membanggakan, tapi sekaligus mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan jika Muhammadiyah sendiri sampai tidak bisa men-supply kader ulama atau bahkan da’i.
Selama ini Muhammadiyah terlalu fokus pada sekolah dan perguruan tinggi, namun belum mengimbangi secara maksimal dengan di-genjot-nya pendidikan keagamaan. Banyaknya sekolah dan universitas Muhammadiyah, ternyata belum berbanding lurus dengan kaderisasi da’i yang bisa membimbing umat. Jangankan pengiriman da’i ke daerah terpencil, di perkotaan saja mencari da’i Muhammadiyah sudah sangat sulit.
Muhammadiyah sudah waktunya secara masif bergerak menanggulangi krisis da’i dan memperbanyak ulama. Jika tidak, ruh Muhammadiyah di berbagai cabang, ranting, serta Amal Usaha Muhammadiyah bisa sirna, karena bisa ‘diambil alih’ oleh kader non-Muhammadiyah, disebabkan kader Muhammadiyah sendiri tidak ada atau tidak mampu mengelola. Pelan-pelan, sadar atau tidak, ruh Muhammadiyah akan terlepas. Tubuhnya bisa jadi Muhammadiyah, tapi ruhnya bisa jadi telah pudar. Lalu nanti siapa yang akan merugi, jika bukan kita sendiri dan persyarikatan?

Usaha dan Solusi
Saat ini Muhammadiyah semakin menyebar dan berkembang, bukan saja di perkotaan, tetapi juga sampai ke pelosok pedesaan. Untuk itu, tersebarnya gerakan dakwah Muhammadiyah harus diikuti oleh penyebaran kader, da’i dan ulama Muhammadiyah. Untuk mengantisipasi kekurangan kader da’i dan ulama ini, menurut Prof. Syamsul Anwar, Muhammadiyah perlu menggunakan dan memperkuat dua langkah, yaitu langkah struktural dan pendidikan. Pertama, langkah struktural. Yaitu dengan memasukkan orang-orang berpotensi ke dalam struktur Muhammadiyah. Di Majelis Tarjih sendiri, menurut beliau terdapat empat ring:
1. Umur 80 Tahun ke atas.
2. Generasi 60-70
3. Generasi 40-50
4. Generasi 20-40
Jadi anggota Majelis Tarjih ada yang masih muda, namun juga ada yang sudah senior. Ini merupakan upaya Majelis Tarjih dalam rangka kaderisasi ulama.
Kedua, jalur pendidikan. Sebagai contoh, Muhammadiyah banyak mendirikan sekolah kader ulama seperti PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) dan pondok pesantren Muhammadiyah. Jika dilihat dari fungsinya, anggota PCIM Mesir sedikit banyak juga masuk ke dalam langkah ini, karena mayoritas kadernya menjalani kuliah agama di Universitas al-Azhar.
Meski Muhammadiyah sudah mempunyai sekolah kader ulama, akan tetapi peminat dan sekolahnya masih sedikit, jika dibandingkan dengan keperluan kader da’i yang ada. Perlu adanya gerakan untuk mengajak kader Muhammadiyah bersekolah di ponpes dan sekolah kader ulama lainnya. Bahkan jika memungkinkan, perlu adanya anjuran dari Majelis Tarjih atau mungkin PP Muhammadiyah mengenai hal ini.
Mang Cecep mengungkapkan bahwa peran lembaga-lembaga pencetak kader ulama ini amat sangat signifikan, setidaknya untuk memenuhi kader da’i dan ulama Muhammadiyah di berbagai pelosok nusantara. Tentunya pengelolaan lembaga-lembaga ini harus ditingkatkan, sehingga dapat menghasilkan ulama-ulama muda Muhammadiyah yang benar-benar memiliki wawasan keislaman yang mendalam, paham problematika kekinian dan loyal pada cita-cita Muhammadiyah. Salah satu yang perlu ditingkatkan dari lembaga-lembaga tersebut adalah sisi kurikulum, baik substansi materi keislaman maupun kemampuan penguasaan bahasa asing. Selain itu, mereka harus diarahkan supaya memiliki jaringan yang kuat, baik di lingkungan persyarikatan maupun di luar persyarikatan.

Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah

Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah adalah salah satu Pondok Pesantren milik Muhammadiyah yang mana jalur koordinasinya -hingga saat ini- masih di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam hal ini, peranan dan visi-misinya telah menyumbang dalam hal pengkaderan ulama di kalangan Muhammadiyah, yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan tentang dasar-dasar Islam, umum, dan bahasa. Sebagaimana disampaikan oleh Pak Asep Shalahuddin, selaku Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Pak  Asep menambahkan, bahwa untuk memenuhi kebutuhan ulama Muhammadiyah ini, harapannya PP Muhammadiyah melalui Muktamar Muhammadiyah yang akan diselenggarakan di Makassar, akan mengakomodir usulan mengenai pembentukan satu lembaga atau majelis yang konsen dalam perihal pondok pesantren atau pendidikan ulama yang ada di Muhammadiyah. Seperti halnya Majelis Dikdasmen yang fokus dan maksimal mengurusi perihal pendidikan sekolah menengah, kejuruan dan perguruan tinggi. Harapannya, lembaga atau majelis ini dapat fokus dan maksimal dalam menangani pondok pesantren atau sekolah kader ulama Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Beliau menambahkan, ide dan gagasan ini sebenarnya sudah ada sejak lama, sehingga diharapkan bisa terealisasikan pada muktamar nanti.
Sedangkan salah satu solusi yang ditawarkan Ustadz Fahmi adalah revitalisasi PUTM, dari segi kurikulum, SDM, dana, pelatihan, workshop dan tabligh ke tengah masyarakat. Perlu dibentuk Majelis Pengkaderan Ulama dan Kepesantrenan, dalam struktur pusat sampai wilayah. Pengiriman santri-santri terbaik ke pusat-pusat studi Islam unggulan di Cairo, Tunis, Makkah, Madinah, dan sebagainya. Begitu juga dengan sponsor tesis dan disertasi kader Muhammadiyah di bidang ilmu syariat. Ditambah dengan mengadakan pertemuan silaturahim berkala antar ulama Muhammadiyah, dan pemetaan potensi kepakaran di bidang hadis, tafsir, akidah, filsafat Islam, sejarah Islam, fikih, ushul fikih, qiraat, dan lain-lain.
Mang Cecep juga menyampaikan hal serupa, dinilai ada krisis atau tidak, pembinaan kader ulama di Muhammadiyah perlu terus ditingkatkan. Harus ada warna lain yang bisa diberikan kader-kader ulama Muhammadiyah, sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Salah satu solusinya adalah perlunya penguatan pesantren dan PUTM. Jika memungkinkan, kita harus menyekolahkan kader terbaik persyarikatan, untuk dibina di lembaga-lembaga terbaik, termasuk Universitas al-Azhar.
Pada akhirnya, mari kita selalu berusaha, berharap, serta berdoa agar persyarikatan kita tercinta dapat menebar sinarnya hingga ke pelosok nusantara, yang dibarengi dengan adanya kader da’i dan ulama yang memadai dan mumpuni. Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan semoga niat kita untuk menyinari bumi pertiwi dengan sinar Islam ini, akan dibalas dengan sinar rahmat dari Allah Swt. di akhirat kelak. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lam []

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Kebutuhan Muhammadiyah Terhadap Ulama Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu