728x90 AdSpace

Latest News
Selasa, 22 Desember 2015

Ber-Muhammadiyah: Berorganisasi dalam Amal Islami


Oleh: Ahmad Nasri 

Muhammadiyah baru saja selesai menggelar hajatan terbesar lima tahunan berupa Muktamar ke-47 di Makassar. Dari hajatan tersebut telah dipilih para pimpinan baru yang diberi amanah untuk menahkodai berlayarnya kapal besar yang berusia lebih dari 100 tahun ini. Selepas Muktamar, beberapa Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) juga sudah atau akan melaksanakan Musyawarah Wilayah (Muswil) di propinsi masing-masing. Pada organisasi otonom (ortom), Pemuda Muhammadiyah (dimana penulis aktif) bahkan sudah pada tahap Musyawarah Daerah (Musda) yang akan disusul dengan Musyawarah Cabang (Muscab) dan Musyawarah Ranting (Musran).
Tidak sembarangan orang dipilih untuk menjalankan amanat organisasi pada Muktamar atau permusyawaratan di bawahnya, baik di Muhammadiyah atau ortomnya. Mereka dipilih karena dipercaya punya kemampuan dan komitmen untuk menjalankan roda organisasi, sehingga dalam satu periode mampu melaksanakan program yang direncanakan.
Karenanya, siapa pun yang diberi amanat kepemimpinan pada posisi apapun, tidak boleh terlena atau meremehkan amanat itu. Nasihat Rasulullah dalam hal ini patut kita renungkan, “Kullukum ra‘in wa kullukum mas‘ulun ‘an ra‘iyatihi”. Setiap diri kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Bertanggungjawab di hadapan manusia dan di hadapan Allah Ta‘ala. Sekecil apapun lingkup kepemimpinannya.
Agaknya perlu kita renungkan pula nasihat berharga dari Buya H. Risman Muchtar, Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah periode 2015-2020. Seperti diceritakan dalam status facebook pribadi beliau bahwa beberapa saat setelah muktamar yang lalu, ada yang bertanya kepada beliau, “Setelah muktamar ini, nanti Anda jadi apa di Muhammadiyah?”
Jawaban Buya Risman tampaknya bisa kita ambil ibrahnya sebagai warga biasa maupun pimpinan di Muhammadiyah. “Di Muhammadiyah tidak perlu jadi-jadian, jadi apapun asal ikhlas dan mau ambil bagian tanggung jawab, berjuang dan berkorban dalam gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar, insya Allah kita akan menjadi “muflihuun”, yaitu orang-orang yang sukses, di dunia berjaya dan di akhirat berbahagia. Di yaumil akhir nanti, tidak ada pertanyaan apa jabatan dan Kartu Muhammadiyah Anda nomor berapa. Akan tetapi yang pasti setiap kita adalah pemimpin, setiap pemimpin akan diminta tanggungjawab dari kepemimpinannya. Setiap muslim adalah da‘i yang bertanggungjawab untuk melanjutkan tugas risalah dakwah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, apalagi sebagai orang yang mengaku pengikut Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam (Muhammadiyyuun), tentu akan ditanya apa yang telah kita lakukan untuk mendakwahkan Islam itu. Oleh karena itu apapun jabatan Anda, siapapun Anda dan di manapun Anda berada, termasuk saya, mari kita ikhlaskan niat kita untuk berjihad di jalan Allah dengan cara ambil bagian tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dakwah.”
Muhammadiyah telah merumuskan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) pada Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta. Sebuah matan (teks) resmi persyarikatan yang mengatur norma-norma berperilaku dalam segala bidang kehidupan, termasuk pedoman dalam berorganisasi. Idealnya setiap warga persyarikatan yang diberi amanat sebagai anggota pimpinan dari Pusat hingga Ranting, bahkan di tingkat Jamaah berkewajiban mengkaji kembali PHIWM tersebut. Agar dari dalam dirinya dapat menghadirkan kekuatan ruhiyah dan ghirah (semangat) berorganisasi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena tentunya diperlukan komitmen yang kuat dari setiap anggota pimpinan sehingga pada akhirnya semangat dan komitmen tersebut dapat menjalar kepada warga Muhammadiyah pada umumnya.
Ada 16 poin yang tercantum dalam PHIWM khusus berkaitan dengan pedoman untuk berorganisasi secara Islami. Selengkapnya akan dijelaskan dalam pemaparan berikut ini.
Pertama, Persyarikatan Muhammadiyah merupakan amanat umat yang didirikan dan dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan untuk kepentingan menjunjung tinggi dan menegakkan Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, karena itu menjadi tanggungjawab seluruh warga dan lebih-lebih pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan dan bagian untuk benar-benar menjadikan organisasi (Persyarikatan) ini sebagai gerakan dakwah Islam yang kuat dan unggul dalam berbagai bidang kehidupan.
Kedua, Setiap anggota, kader dan pimpinan Muhammadiyah berkewajiban memelihara, melangsungkan dan menyempurnakan gerak dan langkah Persyarikatan dengan penuh komitmen yang istiqamah, kepribadian yang mulia (shidiq, amanah, tabligh dan fathanah), wawasan pemikiran dan visi yang luas, keahlian yang tinggi dan amaliah yang unggul sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan Islam yang benar-benar menjadi rahmatan lil `alamin.
Poin pertama dan kedua ini menasihatkan kepada kita untuk senantiasa profesional dalam menjalankan roda organisasi. Dalam artian memaksimalkan potensi berbeda-beda yang dimiliki oleh masing-masing warga persyarikatan. Jangan sampai komponen organisasi satu dengan yang lainnya (misal antar majelis, antar ortom atau antar AUM) justru melakukan persaingan tidak sehat dan saling menjatuhkan. Karena pada hakikatnya, semuanya ada untuk saling melengkapi agar tercipta harmonisasi organisasi.
Ketiga, Dalam menyelesaikan masalah-masalah dan konflik-konflik yang timbul di Persyarikatan hendaknya mengutamakan musyawarah dan mengacu pada peraturan-peraturan organisasi yang memberikan kemaslahatan dan kebaikan seraya dijauhkan tindakan-tindakan anggota pimpinan yang tidak terpuji dan dapat merugikan kepentingan Persyarikatan.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang artinya: “...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3]: 159)
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy Syura [42]: 38)
Keempat, Menggairahkan ruh al Islam dan ruh al jihad dalam seluruh gerakan Persyarikatan dan suasana di lingkungan Persyarikatan sehingga Muhammadiyah benar-benar tampil sebagai gerakan Islam yang istiqamah dan memiliki ghirah yang tinggi dalam mengamalkan Islam.
Kelima, Setiap anggota pimpinan Persyarikatan hendaknya menunjukkan keteladanan dalam bertutur-kata dan bertingkahlaku, beramal dan berjuang, disiplin dan tanggungjawab, dan memiliki kemauan untuk belajar dalam segala lapangan kehidupan yang diperlukan.
Keenam, Dalam lingkungan Persyarikatan hendaknya dikembangkan disiplin tepat waktu baik dalam menyelenggarakan rapat-rapat, pertemuan-pertemuan, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang selama ini menjadi ciri khas dari etos kerja dan disiplin Muhammadiyah.
Dari tiga poin di atas dapat kita simpulkan bahwa seorang warga Muhammadiyah dituntut untuk selalu istiqamah dengan ruh al Islam dan ruh al Jihad, konsisten dan komitmen dalam mengamalkan Islam seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan generasi awal Islam dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (salafush shalih) radhiallahu ‘anhum. Termasuk berdisiplin dan memiliki etos kerja Islami dalam berorganisasi. Sehingga dirinya secara pribadi akan menjadi teladan dalam segala aspek kehidupan dan Muhammadiyah pun akan menjadi gerakan Islam yang dapat diteladani oleh gerakan-gerakan Islam yang lain.
Ketujuh, Dalam acara-acara rapat dan pertemuan-pertemuan di lingkungan persyarikatan hendaknya ditumbuhkan kembali pengajian-pengajian singkat (seperti kuliah tujuh menit-kultum) dan selalu mengindahkan waktu shalat dan menunaikan shalat jama'ah sehingga tumbuh gairah keberagamaan yang tinggi yang menjadi bangunan bagi pembentukan keshalihan dan ketaqwaan dalam mengelola Persyarikatan.
Kedelapan, Para pimpinan Muhammadiyah hendaknya gemar mengikuti dan menyelenggarakan kajian-kajian keislaman, memakmurkan masjid dan menggiatkan peribadahan sesuai ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi, dan amalan-amalan Islam lainnya.
Ada gejala yang terjadi di beberapa elemen persyarikatan, bahwa mereka lebih senang sibuk berorganisasi dan meninggalkan ruh-ruh Islam. Sehingga kegiatan organisasi lebih utama dan shalat pun terkadang harus ditunda. Kajian-kajian keislaman juga tak lagi digemari. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang ‘alergi’ jika ada nasihat yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits. Padahal dua hal itu adalah ruh Muhammadiyah.
Kesembilan, Wajib menumbuhkan dan menggairahkan perilaku amanat dalam memimpin dan mengelola organisasi dengan segala urusannya, sehingga milik dan kepentingan Persyarikatan dapat dipelihara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dakwah serta dapat dipertanggungjawabkan secara organisasi.
Kesepuluh, Setiap anggota Muhammadiyah lebih-lebih para pimpinannya hendaknya jangan mengejar-ngejar jabatan dalam Persyarikatan tetapi juga jangan menghindarkan diri manakala memperoleh amanat sehingga jabatan dan amanat merupakan sesuatu yang wajar sekaligus dapat ditunaikan dengan sebaik-baiknya, dan apabila tidak menjabat atau memegang amanat secara formal dalam organisasi maupun amal usaha hendaknya menunjukkan jiwa besar dan keikhlasan serta tidak terus berusaha untuk mempertahankan jabatan itu lebih-lebih dengan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan akhlaq Islam.
Dari dua poin ini penulis punya kalimat hikmah yang pantas untuk direnungkan setiap warga apalagi pimpinan persyarikatan, “Amanah (jabatan) tidak dicari, tapi jika diberi maka tidak boleh lari”.
Kesebelas, Setiap anggota pimpinan Muhammadiyah hendaknya menjauhkan diri dari fitnah, sikap sombong, ananiyah (egoisme), dan perilaku-perilaku yang tercela lainnya yang mengakibatkan hilangnya simpati dan kemuliaan hidup yang seharusnya dijunjung tinggi sebagai pemimpin.
Seringkali budi pekerti yang baik memang lebih berharga daripada banyaknya ilmu agama yang dimiliki. Mengadaptasi pesan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, hendaknya kita mengajarkan aqidah yang lurus kepada umat (orang awam) dan mengajarkan akhlaq pada ahli ilmu (para aktivis dakwah).
Keduabelas, Dalam setiap lingkungan Persyarikatan hendaknya dibudayakan tradisi membangun imamah dan ikatan jamaah serta jam'iyah sehingga Muhammadiyah dapat tumbuh dan berkembang sebagai kekuatan gerakan dakwah yang kokoh.
Ketigabelas, Dengan semangat tajdid hendaknya setiap anggota pimpinan Muhammadiyah memiliki jiwa pembaru dan jiwa dakwah yang tinggi sehingga dapat mengikuti dan memelopori kemajuan yang positif bagi kepentingan `izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin) dan menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta).
Keempatbelas, Setiap anggota pimpinan dan pengelola Persyarikatan di manapun berkiprah hendaknya bertanggungjawab dalam mengemban misi Muhammadiyah dengan penuh kesetiaan (komitmen yang istiqamah) dan kejujuran yang tinggi, serta menjauhkan diri dari berbangga diri (sombong dan ananiyah) manakala dapat mengukir kesuksesan karena keberhasilan dalam mengelola amal usaha Muhammadiyah pada hakikatnya karena dukungan semua pihak di dalam dan di luar Muhammadiyah dan lebih penting lagi karena pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah, maka sudah selayaknya semua yang bernaung di dalamnya berkomitmen terhadap dakwah. Tegas dalam aqidah namun santun dalam bermuamalah. Seimbang dalam menjaga purifikasi (pemurnian) dan dinamisasi (tajdid). Semuanya dijalankan dengan niat dan tujuan yang tulus, yaitu li i'lai kalimatillah, untuk menjunjung tinggi kalimat Allah. Bukan tujuan yang lain, apalagi bermaksiat kepada Allah.
Kelimabelas, Setiap anggota pimpinan maupun warga Persyarikatan hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan taqlid, syirik, bid'ah, tahayul dan khurafat.
Muhammadiyah pada awalnya didirikan KH. Ahmad Dahlan salah satunya untuk memberantas taqlid (fanatik buta), syirik dan TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat). Maka sebagai penerus dakwah beliau, sudah sepantasnya kita juga berkomitmen terhadap ajaran-ajaran beliau tersebut.
Keenambelas, Pimpinan Persyarikatan harus menunjukkan akhlaq pribadi muslim dan mampu membina keluarga yang Islami.
Untuk mewujudkan masyarakat Islami, baldatun tayyibatun warabbun ghafur, harus dimulai dari hal yang kecil, pribadi, keluarga, lingkungan masyarakat sekitar, termasuk dalam profesi dan berorganisasi, hingga negara dan dunia dalam skala yang luas. Warga dan pimpinan persyarikatan sudah selayaknya meneladankan perilaku hidup Islami tersebut kepada kaum muslimin pada umumnya. Wallahu a’lam
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Ber-Muhammadiyah: Berorganisasi dalam Amal Islami Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu