728x90 AdSpace

Latest News
Kamis, 05 November 2015

Religiusitas Menjadi Jati Diri Bangsa: Refleksi Perjuangan Konstitusi Ki Bagus Hadikusumo

 
Oleh: Dr. (HC). AM. Fatwa*)

Sejarah,  menurut kalangan pakar, hanyalah bagian dari masa lampau manusia yang dapat disusun kembali secara berarti, berdasarkan rekaman-rekaman yang ada, dan berdasarkan kesimpulan-kesimpulan lingkungan yang ada. Di sinilah terlihat kesulitan menulis sejarah. Jarang sekali sejarawan yang mampu mengisahkan tentang masa lampau, sebagaimana sungguh-sungguh terjadi. Kesulitan tersebut bukan saja karena tidak lengkapnya rekaman masa lampau, tetapi juga karena terbatasnya imajinasi dan bahasa manusia untuk mengungkapkan kembali apa yang sesungguhnya terjadi di masa lampau.
Dalam konteks seperti inilah kita memahami Ki Bagus Hadikusumo. Seiring bertambahnya jarak waktu dengan masa ketika Ki Bagus memberikan sumbangannya untuk umat bangsa dan negara, makin sedikit pula gambaran kita mengenai Ki Bagus. Ingatan kita terhadap Ki Bagus makin terbatasi pada posisinya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, anggota Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Paling jauh yang kita ingat ialah beban mendadak dan harus diterima di sekitar pengesahan Undang-Undang Dasar 1945, pada 18 Agustus 1945 dan setelah itu, seperti dikemukakan dalam pidato Abdul Kahar Mudzakkir pada 11 Mei 1959, pesan getir yang Pak Kahar menyebutnya, “Jeritan Ki Bagus di muka Majelis Tanwir” dari Muhammadiyah di seluruh Indonesia pada Agustus 1945 di Yogyakarta mengenai pasal-pasal yang mengandung Islam telah dihapuskan dan dilenyapkan dari UUD 1945.
Ki Bagus adalah orang yang sangat yakin terhadap kesempurnaan ajaran-ajaran agama Islam, dan relevansi ajaran Islam dalam kehidupan umat beragama, bangsa dan bernegara. Dalam pidato di BPUPKI pada 1 Mei 1945, Ki Bagus antara lain mengemukakan keinginannya, bahwa Islam sedikitnya sudah 6 abad menjadi agama kebangsaan Indonesia, dan sedikitnya sudah 3 abad sebelum Belanda menjajah, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia dengan sebaik-baiknya. Menurut Ki Bagus, banyak sekali hukum Islam yang sudah menjadi adat istiadat bangsa Indonesia. Sehingga tidak salah lagi bila dikatakan bahwa hukum Islam sudah menjadi adat istiadat bangsa Indonesia.
Apa yang disampaikan dengan detail oleh Ki Bagus sesungguhnya merupakan fakta dalam pengembangan agama Islam dengan negara, berbagai fakta menunjukkan bahwa religiusitas telah menyatu pada diri bangsa ini. Di Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat misalnya, saya pernah mukim di daerah itu, yang mengalami proses Islamisasi di sekitar pertengahan abad ke 16, sistem pemerintahannya memberi kedudukan terhormat pada ajaran dan hukum Islam. Setiap keputusan pemerintah Kesultanan Bima tidak boleh dilaksanakan sebelum mendapat  pertimbangan apakah isinya sesuai atau bertentangan dengan hukum Islam. Ini tercermin dalam ungkapan bahasa mojo, bahasa Bima yang artinya; syara’ harus dikuatkan oleh hukum Islam.
Para penguasa Nusantara  dengan kesadaran penuh, menggunakan idiom-idiom Islam dalam dirinya. Misalnya tercermin pada gelar; Sultan Sayyidi Khalifatullah. Bahkan, meskipun kemudian bangsa Barat untuk menaklukkan dan menjajah kerajaan Nusantara, tetapi mereka tidak mampu menghilangkan Islam dari jiwa penduduk di kepulauan Nusantara. Islam telah terjiwai, dilaksanakan dan menjadi jati diri penduduk di kepulauan ini. Sepanjang catatan yang ada, sebelum 1882 pemerintah Hindia Belanda tetap mengakui eksistensi Peradilan Agama Islam di masyarakat kepulauan Nusantara Indonesia. Pada September 1881, pemerintah Hindia Belanda memerintahkan kepada seluruh Bupati agar terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak direcoki. Sedangkan untuk pemuka agama Islam diberi keleluasaan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu, yaitu dalam bidang perkawinan dan pewarisan.
Pada tahun 1880, melalui aturan No. 22 pasal 13 ditentukan bahwa para bupati wajib memperhatikan suara-suara tokoh Islam dan menjaga supaya para pemuka dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa, seperti dalam perkawinan, pembagian pusaka, dan yang sejenis dengan itu. Berturut-turut dengan itu keluar aturan No. 58 tahun 1885 yang mendukung pelaksanaan hukum Islam. Pada tahun 1882, Pengadilan Agama di Jawa dan Madura diresmikan. Peresmian itu berlangsung seusai berkembang pendapat di kalangan Belanda bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Bumiputra pada Hindia Belanda adalah undang-undang dibuat oleh agama mereka sendiri yakni hukum Islam, yang sejak tahun 1885 telah memperoleh dasar-dasar perundang-undangan Hindia Belanda melalui stanplad No. 2 tahun 1885.
Dalam hubungan ini menarik untuk menyimak nota Ketua Komisi Penyesuaian Undang-Undang Belanda dengan keadaan istimewa pada Hindia Belanda kepada pemerintah Belanda pada tahun 1888 sebagai berikut: “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan jika dilakukan pelanggaran terhadap agama orang Bumiputra, maka harus ditiadakan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan beragama serta adat istiadat mereka. Pendapat ini didukung oleh Robert William Christian yang mengatakan bahwa orang-orang Bumiputera yang beragama Islam telah melakukan receptio terhadap hukum Islam sebagai kesatuan. Perubahan mulai terjadi ketika seorang ahli hukum adat, Cornelis van Gholen mengkritik dan menyerang teori receptio reinspection. Kritik dan serangan Van Ghoulen didukung oleh penasihat Hindia Belanda tentang sosok Islam dan anak negeri. Menurut keduanya yang berlaku di Hindia Belanda bukanlah hukum Islam, melainkan hukum adat.
Dalam hukum adat itu memang masuk hukum Islam, tetapi hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima menjadi hukum adat. Pendapat kedua orang ini dikenal dengan teori receptio. Sejak muncul teori inilah di kalangan masyarakat lahir dua kubu mengenai hubungan agama Islam dengan negara. Golongan-golongan dalam masyarakat yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial itu secara otomatis akan saling berhadapan jika dimunculkan isu yang menyangkut kepentingan mereka.
Bicara tentang semangat kebangsaan, maka dalam ingatan kita biasanya langsung terlintas sederatan tokoh-tokoh yang telah berjuang menentang imperialisme Belanda. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, dan lain-lain yang merupakan penganjur dan pemuka rakyat yang berpegang teguh pada Islam serta mendasari perjuangannya di atas agama Islam.
Menurut Ki Bagus, jika dilihat perkembangan rakyat Indonesia pada kurun-kurun terakhir di abad ke-20, mulai Indische Partij, Boedi Oetomo, Syarikat Islam, dan lain-lain, maka dapat sambutan dan pengaruh yang lebih besar dari rakyat Indonesia adalah Syarikat Islam. Syarikat Islam yang mendasarkan pergerakannya pada ajaran Islam mampu menundukkan segenap rakyat. Simpatisannya tidak hanya di Jawa, tapi juga menyebar sampai ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan sebagainya. Melihat kenyataan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam diri umat Islam tersembunyi jiwa yang hidup dan bersemangat, dengan pengaruh agama Islam pada rakyat yang sangat kuat dan mendalam. Ki Bagus yang menganggap dirinya Indonesia tulen, dan sebagai muslim yang punya cita-cita Indonesia Raya merdeka, mengharapkan agar Indonesia merdeka mendasarkan dirinya pada agama Islam sesuai dengan jiwa rakyat yang terbaik.
Bagi Ki Bagus, Islam yang diusulkan menjadi dasar negara itu paling sedikit mengandung; pertama, mengajarkan persatuan atas dasar persaudaraan yang kokoh. Kedua, mementingkan perekonomian dan mengatur pertahanan negara. Ketiga, membantu membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan. Keempat, tidak bertentangan bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita, dan yang kelima, membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin serta menaruh semangat kemerdekaan yang menyala. Ki Bagus juga mengingatkan bahwa umat Islam sekarang sudah insyaf, sudah luas pikirannya dan sudah lebar dadanya, suka bekerja bersama-sama dengan siapa dan di mana saja, asal tidak tersinggung agamanya.
Patut diduga lantaran keteguhannya menyuarakan aspirasi Islam, maka ketika mula-mula dibentuk panitia kecil BPUPKI yang terdiri atas 8 anggota yang biasa juga disebut panitia 8, Ki Bagus menjadi salah seorang anggotanya. Tujuh anggota yang lain ialah, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Ahmad Yani, Iskandar Dinata, Lukman Sutarjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kiai Wahid Hasyim. Tugas panitia kecil ini adalah mengumpulkan unsur-unsur yang akan dibahas pada masa sidang yang diselenggarakan pada bulan Juli 1945.
Panitia kecil mencatat tujuh unsur sebagai dasar negara yang diusulkan oleh anggota tim yaitu; kebangsaan dan ketuhanan, 11 pengusul, kebangsaan dan  kerakyatan, 2 pengusul, kebangsaan, kerakyatan, dan kekeluargaan 4 pengusul, kemakmuran hidup bersama, pengacuan kerohanian, serta dasar Indonesia bertaqwa berpegang teguh pada tuntunan-tuntunan Tuhan Yang Maha Esa. Jaminan negara atas agama Islam 1 pengusul,  kebangsaan dan kerakyatan Islam dengan catatan agama Islam diakui sebagai agama negara dengan kemerdekaan yang seluas-luasnya bagi penduduk yang bukan pemeluk agama Islam, 3 pengusul. Dan jiwa rakyat Indonesia raya 4 Pengusul.
Melihat kenyataan unsur-unsur di atas tidak mengherankan, jika dalam rumusan panitia 9, pengganti panitia 8 atas usul Bung Karno, dan sebenarnya Bung Karno di luar rapat membentuk kelompok sendiri. Tetapi lalu diakui, diterima, yang terdiri atas Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Muh. Yamin, K.H. Wahid Hasyim, Ahmad Subarjo, K.H. Muh. Kahar Mudzakkir, HOS Cokroaminoto, dan Agus Salim. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi dasar yang pertama, kemudian kesatuan Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
Ketika pada 10 Juli 1945 hasil ini dibawa ke rapat besar BPUPK dan mendapat kritik dan sanggahan dari beberapa anggota, Ir. Soekarno sebagai ketua panitia 9, gigih mempertahankan rumusan dasar negara itu. Sesudah melalui perdebatan panjang, pada rapat BPUPKI pada 16 Juli 1945, rancangan kerangka tubuh dan batang tubuh UUD diterima. Itulah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Sampai di sini, mau tidak mau kita harus mencatat pahlawan kader Muhammadiyah K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, di dalam merumuskan dasar negara, dalam kedudukannya sebagai anggota panitia 9.
Sayangnya, sampai sekarang dokumen perdebatan panitia 9 belum diketemukan, belum terpublikasikan. Sesudah sidang pada 16 Juli 1945 BPUPK hilang, maksudnya tidak ada lagi, tanpa pembubaran. Posisi BPUPK digantikan oleh PPKI. Berbeda dengan BPUPKI yang beranggotakan 60 orang tambah 6 anggota tambahan dan 7 warga Jepang sebagai anggota istimewa, PPKI hanya beranggotakan 27 orang. PPKI yang dibentuk pada 7 Agustus 1945 entah kenapa baru bersidang pada 18 Agustus 1945.
Di PPKI yang anggotanya hanya 21 orang plus 6 anggota tambahan, jumlah anggota yang berasal dari kalangan Islam makin merosot, yaitu hanya 4 orang. Keempatnya ialah Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Tengku Muhammad Hasan dari Ikhwanu Shafa Indonesia yang keanggotaannya di PPKI lebih karena faktor ke-Sumatera-annya.
Di tangan PPKI dengan format seperti itulah karya besar 60 plus 6 orang berupa Undang-Undang Dasar Indonesia yang sudah berupaya dan dengan penuh kesabaran diperdebatkan 16 Juli 1945, dengan suara bulat disahkan dalam rapat besar BPUPKI. Hanya dalam hitungan jam, serta-merta dianulir oleh 20 plus 6 anggota PPKI.
Situasi pada pagi 18 Agustus 1945 sunguh-sungguh sangat krusial. Lagi-lagi beban berat itu diletakkan di pundak kader Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo. Menurut ketua umum Partai Masyumi, ketika seluruh anggota non-Islam menghendaki menghilangkan tujuh kata yang menjadi inti dari Piagam Jakarta, pada rapat 18 Agustus 1945, anggota PPKI, K.H.A. Wahid Hasyim tidak ada karena beliau lagi di perjalanan dari Jawa Timur. Mr. Kasman Singodimedjo yang baru mendapat undangan pagi hari itu belum mengetahui sama sekali persoalannya. Seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya penetapan Undang-Undang Dasar diletakkan di atas pundak Ki Bagus Hadikusumo. Sebagai satu-satunya exponen Islam yang ada di PPKI saat itu.
Tidak mudah untuk meyakinkan Ki Bagus untuk menghapus 7 kata dari batang tubuh UUD, setelah Bung Hatta –yang  konon, 17 Agustus 1945 menerima opsir angkatan laut Jepang untuk menyampaikan keberatan rakyat Indonesia Timur atas masuknya 7 kata– gagal meyakinkan Ki Bagus. Kemudian meminta Tengku Hasan untuk melobi Ki Bagus. Tengku Hasan juga tidak mampu meluluhkan hati Ki Bagus.
Dalam situasi kritis itulah Bung Hatta meminta Kasman untuk membujuk Ki Bagus. Dengan menggunakan bahasa Jawa halus, Kasman meyakinkan Ki Bagus untuk mau menerima usul perubahan. Entah karena dilobi oleh sesama kader Muhammadiyah  atau karena kepiawaian Kasman melobi dengan bahasa Jawa halus, Ki Bagus dapat menerima argumen Kasman. Ki Bagus setuju tujuh kata dalam rancangan UUD; ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam dan pemeluk-pemeluknya dihapus dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bersamaan dengan itu Ki Bagus meminta supaya anak kalimat rancangan UUD dihapus sehingga penulisannya dalam batang tubuh UUD menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa, Keadilan yang Beradab, Persatuan Indonesia, dann seterusnya. Usul Ki Bagus disetujui.
Dalam proses pembentukan negara Indonesia, dalam penyusunan konstitusi, terutama pada saat-saat kritis proses penetapan UUD, terbukti Ki Bagus Hadikusumo, A. Kahar Mudzakkir, serta Kasman Singodimejo memiliki peran yang sangat signifikan. Namun sampai hari ini, pemerintah belum mengakui ketiga tokoh ini sebagai pahlawan nasional.

*) Penulis adalah Ketua Panitia Pengusulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan Abdul Kahar Mudzakkir, yang dibentuk oleh PP Muhammadiyah, Senator DPD RI Perwakilan DKI Jakarta, Mantan Wakil Ketua DPR RI dan Mantan Wakil Ketua MPR RI.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Religiusitas Menjadi Jati Diri Bangsa: Refleksi Perjuangan Konstitusi Ki Bagus Hadikusumo Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu