728x90 AdSpace

Latest News
Sabtu, 03 Oktober 2015

Bermuhammadiyah Berarti Berdakwah


(Sebuah Pengalaman Nyata)
Oleh: Azaki Khoirudin
Alumni Pondok Hajjah Nuriyah Shabran UMS Surakarta
 
Sedikit mengenang orang-orang tua kita, mengenang bagaimana semangat mereka dalam “wa-tawashau bil haq”. Ada sebutan yang cukup populer pada waktu itu, yaitu mubaligh cleleng. Cleleng adalah sebutan untuk jangkrik, yang kalau diberi makan daun kecubung ngengkriknya berkurang, tapi kalau diadu walaupun kakinya sudah patah dua-duanya nggak mau mengalah, kalau perlu sampai mati. Nah, mubaligh yang seperti itu disebut mubaligh cleleng.
Termasuk salah satu yang disebut sebagai mubaligh cleleng ini adalah  Prof. Abdul Kahar Muzakkir. Ceritanya, beliau ini jarang ketemu dengan mahasiswanya. Ketika suatu kali mahasiswa menemui beliau dengan mengucap salam, “Selamat pagi, Pak!”. Beliau bertanya, “Kamu siapa?” “Saya mahasiswa Bapak”, katanya. “Kembali sana, ucapkan dulu “Assalamu’alaikum”.
Suatu kali ada orang bertamu ke rumah beliau. Mengucap salam dengan “kulonuwun. Berkali-kali diucapkannya salam itu, tidak dijawab, padahal beliau ada di rumah dan tahu kalau ada tamu. Karena berkali-kali salam tidak dibukakan pintu, tamu itu akhirnya bermaksud pergi. Sebelum sampai orang itu pergi, pintu dibuka oleh Prof. Kahar Muzakkir sambil berkata, “Kibir kamu ya?” “Kenapa?” tanya orang itu. Al-kibru umsibunnas wa jawahul–haq. Kibir itu meremehkan orang Islam dan tidak mau memakai aturan Islam. Sudah jelas ada tuntunannya mengucap salam “Assalamu’alaikum” kalau bertamu ke rumah orang kok malah “kulonuwun”. Inilah contohnya mubaligh cleleng.
Menjadi anggota Muhammadiyah itu tidak sekedar hanya menjadi anggota saja. Kalau Anda pernah tinggal di sekitar kampung Suronatan, dan kalau masih ingat, ada yang namanya Haji Khamdani. Jadi, apa yang bisa disumbangkan kepada Muhammadiyah, disumbangkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang bisa bertabligh dengan kemampuan bertablighnya. Sampai-sampai, walaupun ilmu agamanya masih minim, ada mubaligh yang membaca saja pating pletot. Rabbil 'alamin dibaca rabbil ngalamin. Bismillah dibaca semillah. Laa haula walaa quwwata illa billah dibaca walawalabila, nekat untuk bertabligh.
Itulah, karena sentuhan dakwah Kyai Haji Ahmad Dahlan, walaupun cara membacanya belum fasih, tapi berani bertabligh. Mubaligh yang demikian ini sekarang ini memang sering dicibir oleh orang-orang NU. Membaca Qur'an saja nggak bisa kok berani bertabligh. Oleh Kyai pasti dijawab, “Dari pada kamu, bisa baca Qur'an tapi nggak berani bertabligh. Inilah wajah Muhammadiyah yang kedua, yaitu bermuhammadiyah itu adalah bertabligh.
Sejarah mengakui bagaimana penampilan anggun dakwah Muhammadiyah. Dosennya Pak Amien Rais di Fisipol UGM, Pak  Usman Tampubolon, orang Batak, beliau aktif di Dewan Dakwah  Islamiyah (DDI), tinggal di Jogjakarta. Disertasinya tentang adat Jawa. Beliau mengorek tentang adat Jawa yang hal itu bisa sangat menyinggung orang-orang Jawa. Promotornya tidak mau, mengembalikannya dan menyuruh Pak Usman Tampubolon untuk merubahnya. Pak Usman tidak mau merubah, “Wong saya sendiri yang menyusun kok disuruh merubah”, kata Pak Usman.
Pak Usman berkomentar tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan. Aneh, katanya, dalam sejarah, ketika bangkit gerakan modern di Timur Tengah, dengan tampilnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, yang karya paling terkenalnya Kitab Tauhid, “Al Ushulust-tsalasah”, ketika ajarannya diambil, mesti ada perang dan darah yang mengalir. Kuburan-kuburan di tanah Arab yang sudah begitu rupa, oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab diratakan. Maka, yang namanya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab ini, di Indonesia juga sangat ditakuti. Tentu kita juga ingat perjuangan Imam Bonjol dengan perang Paderinya.
Ternyata Kyai Haji Ahmad Dahlan yang lahir di Kauman, dan bahkan menjadi pegawai Keraton, kok bisa tenang, rukun dan asyik duduk bersama orang Keraton yang masih mempercayai nenek moyang dengan agama jahiliyahnya. Tidak ada sruduk-srudukan di antara mereka. Hal ini membuat Pak Usman Tampubolon heran. Sosiologi apa yang dimiliki Kyai Haji Ahmad Dahlan. Seandainya Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir dan mendirikan Muhammadiyah di Sumatera Barat, maka Muhammadiyah hanya ada di sana. Keadaan ini menarik. Fenomena apa ini, kok Kyai Haji Ahmad Dahlan tenang-tenang saja, mengapa tidak terjadi benturan.
Pada sisi lain, kita juga menyadari adanya kepercayaan tradisi yang masih melekat di kalangan aktifis Muhammadiyah, terutama soal kematian. Memang Muhammadiyah telah memberantas  hal-hal bid’ah. Tetapi nampaknya masalah ini sekarang mulai bermunculan lagi. Dihidupkan lagi tradisi lama. Jujur saja, dan harus kita akui, bahwa Muhammadiyah yang tadinya cukup anggun, dengan jasa besarnya yang telah ikut mencerdaskan bangsa ini, selama lebih kurang 100 tahun berdakwah, ternyata belum dan tidak sanggup menggoyang kekuatan Nyai Roro Kidul. 1 Abad bukan waktu yang singkat.
Satu keunggulan Muhammadiyah yang tidak dimiliki oleh yang  lain, adalah adanya karya amal Muhammadiyah. Kyai Haji Ahmad Dahlan sanggup menampilkan Islam yang bisa dilihat dan dinilai bermanfaat oleh ummat. Tidak tanggung-tanggung, Muhammadiyah telah melahirkan dua presiden, terlepas dari presidennya itu seperti apa. Bung Karno dan Soeharto adalah anak didik Muhammadiyah. Inilah jasa besar Muhammadiyah di bidang  pendidikan [IsRB]
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Bermuhammadiyah Berarti Berdakwah Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu