728x90 AdSpace

Latest News
Kamis, 03 September 2015

Fikih Kebinekaan: Kepemimpinan Non-Muslim


Oleh: Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc, M.A *)
Ketua Bagian Kajian Kemasyarakatan dan Keluarga Majelis Tarjih dan Tajdid
PP Muhammadiyah 2010-2015 

Pendahuluan
Di antara persoalan dalam hukum Islam (fikih) yang selalu hangat untuk diperbincangkan adalah persoalan kepemimpinan. Ini dipengaruhi oleh banyak sebab. Di antaranya, pertama, sebagaimana umumnya tema-tema lain dalam fikih, tema kepemimpinan dirujukkan pada landasan Al-Qur’an dan As Sunnah. Sementara di sisi lain, pembacaan terhadap kedua sumber hukum Islam tersebut dimungkinkan untuk terjadinya keragaman pemahaman dan tafsir. Kedua, kerancuan berpikir di kalangan umat sehingga sulit memilah antara sumber hukum Islam yang sakral dengan turunan dari kedua sumber hukum tersebut sebagai buah pikiran manusia yang sesungguhnya dapat dikritisi (qabil li al-niqash).
Demikianlah, sealur dengan itu, sebelum ini dan hingga saat ini hangat didiskusikan tentang kepemimpinan perempuan. Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah relatif sudah menuntaskan persoalan ini dengan dua dokumen penting yang dihasilkan dalam dua musyawarah dalam jarak 34 tahun. Pertama, Muktamar Tarjih di Garut tahun 1976 yang menghasilan dokumen risalah “Adabul Mar’ah fil Islam”. Kedua, Munas Tarjih di Malang tahun 2010 yang menghasilkan dokumen “Fikih Perempuan Menurut Ulama Muhammadiyah”. Dalam dua dokumen tersebut disebutkan tentang persoalan kepemimpinan perempuan yang pada intinya tidak ada larangan perempuan menjadi pemimpin dan dipuncaki dengan simpulan bahwa tidak ada larangan perempuan menjadi presiden.
Dengan aura yang kurang lebih sama, saat ini hangat diperbincangkan kepemimpinan non-muslim di tengah masyarakat muslim. Panitia Halaqah Fikih Kebinekaan dari MAARIF Institute sangat jeli membaca momentum ini sehingga mengundang para ahli untuk mendiskusikannya dalam kesempatan ini.

Fikih dan Faktor Determinannya
Fikih adalah rumusan pemikiran yang pada hakikatnya karya intelektual para ulama (fuqaha) dengan berbasis rujukan, utamanya Al-Qur’an dan hadis Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Rumusan pemikiran ini hadir sebagai respon jawaban para ulama terhadap pelbagai persoalan manusia, baik yang bersifat ritual (ibadah), hukum keluarga (ahwal syakhshiyyah), urusan pidana (jinayah), urusan ekonomi (muamalat iqtishadiyyah), maupun politik (siyasah).
Persoalan paling penting namun acap kali terlupakan berkaitan dengan fikih adalah ia selalu hadir melalui aktivitas pikiran yang tidak datang dalam ruang dan waktu yang hampa. Fikih senantiasa muncul dengan latar masyarakat tertentu, waktu tertentu, kejiwaan-kejiwaan tertentu yang memengaruhi seorang fakih atau mujtahid saat merespon persoalan yang ada di hadapannya. Perhatikan, bagaimana seorang Imam Malik bin Anas memutuskan masalah puasa enam hari di bulan Syawal, yang disebabkan tidak adanya praktik penduduk Madinah (‘amal ahl al-madinah) yang melaksanakan puasa Syawal. Imam Malik tiba pada simpulan makruh untuk menunaikannya. Hal yang sama dialami oleh Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i yang mengadaptasi beberapa pendapatnya selama di Irak (qaul qadim) dengan pendapat barunya selama menetap di Mesir (qaul jadid). Dalam kaitan ini, kiranya penting untuk dikutip tawshiyah Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam salah satu karyanya, I’lam al-Muwaqqi’in saat mengatakan:
“Jangan Anda terpaku dengan teks-teks yang dikutip dalam kitab-kitab sepanjang hidupmu. Manakala orang dari luar daerahmu menemuimu untuk meminta fatwa, sebaiknya tanyailah terlebih dahulu tradisinya. Setelah itu Anda putuskan berdasarkan tinjauanmu terhadap tradisi itu dan bukan berdasar tradisi tempat Anda dan apa yang terdapat dalam kitab-kitab yang Anda baca. Para ulama menegaskan bahwa ini masalah yang jelas. Sikap diammu dengan tidak memperhatikan tinjauan kemasyarakatan dan memaksakan untuk berfatwa berdasarkan teks-teks yang ada dalam kitab-kitabmu adalah kesesatan dan tidak memahami maksud para ulama dan generasi muslim awal.” (Ibn Qayyim Al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Riyadh: Dar ar-Rasyad, T.th, III:78)
Lebih jauh Ibn Qayyim mengingatkan bahwa tradisi, motivasi, situasi, tempat dan waktu memengaruhi perubahan dan keragaman fatwa atau pemikiran hukum atau fikih. Ia mendeklarasikan adagiumnya (kaidah) yang berbunyi:
“Perubahan dan keragaman fatwa (dimungkinkan terjadi) karena memperhatikan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat-istiadat.” (Ibid. h. 3)
Ibn Qayyim al-Jauziyyah menegaskan bahwa melahirkan fatwa atau fikih tanpa memperhatikan lima faktor yang telah disebutkan merupakan keputusan yang sesat dan menyesatkan. (Ibid. h. 41)
Memperhatikan hal-hal yang dapat mengalami perubahan dan tidak dapat mengalami perubahan, hukum Islam itu diklasifikasikan pada dua kelompok besar. Pertama, al-Tsawabit. Kedua, al-Mutaghayyirat. Adapun yang dimaksud al-Tsawabit adalah hukum Islam yang sejak dituntunkan dan diperintahkan agama sama sekali tidak mengalami perubahan. Umumnya kelompok ini adalah menyangkut ibadah mahdhah dan persoalan akidah.
Sedangkan al-Mutaghayyirat adalah hukum Islam yang dapat mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Dalam hal ini hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalah termasuk di dalamnya masalah politik kenegaraan. Maknanya, hukum yang berkaitan dengan fikih politik (fiqh al-siyasah) bersifat fleksibel.
Demikian uraian tersebut di atas dituliskan untuk mengingatkan bahwa diperlukan sikap kritis dalam membaca kitab-kitab fikih. Itu dilakukan bukan untuk menegasikannya sama sekali, tetapi untuk memilih dan memilah yang benar-benar masih berlaku untuk saat ini dan mana yang perlu diperbaharui. Dalam hubungan ini dapat diberlakukan kaidah yang berbunyi:
“Menjaga yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.”

Kriteria Pemimpin dalam Fikih 
Persoalan kepemimpinan dalam fikih diposisikan dalam klasifikasi fikih siyasah. Mencari kriteria pemimpin dalam tema fikih siyasah ditemukan dalam persoalan memilih pemimpin atau kepala negara (‘aqd al-imamah). Berikut ini kriteria atau syarat-syarat pemimpin menurut para ulama.
Al-Mawardi menyebutkan bahwa syarat seorang pemimpin adalah: (1) memiliki sikap adil dengan segala persyaratannya; (2) memiliki ilmu pengetahuan yang dapat mengantarkan pada ijtihad; (3) memiliki pendengaran, penglihatan dan lisan yang sehat; (4) memiliki anggota tubuh yang utuh; (5) memiliki deposit wawasan yang mencukupi untuk mengelola kehidupan rakyat dan kepentingan umum; (6) memiliki keberanian untuk melindungi rakyatnya dan melawan musuh; (7) berasal dari keturunan Quraisy. (Abu Hasan Ali bin Muhammad bi Habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayat ad-Diniyah, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt, h.6)
Hampir senada dengan al-Mawardi, al-Juwaini menyampaikan delapan syarat kepala negara. Kedelapan syarat itu adalah: (1) seorang muslim; (2) berjenis kelamin laki-laki; (3) seorang yang merdeka; (4) berasal dari keturunan Quraisy; (5) mampu berijtihad secara mandiri sehingga ia dapat melakukan simpulan secara mandiri; (6) berintegritas moral yang tinggi; (7) memiliki dukungan militer yang nyata sehingga mampu menjamin keamanan negaranya; dan terakhir (8) mempunyai keahlian mengelola negara. (Abdul Malik ibn Yusuf al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi at-Tiyas Azhulm, Iskandaria: Dar ad-Dakwah, tt, h.43)
Pada masa pertengahan Islam, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun, menuliskan lima syarat kepala negara. Kelima syarat itu adalah: (1) memiliki pengetahuan yang luas; (2) seorang yang adil; (3) mampu melaksanakan tugas sebagai kepala negara; (4) sehat fisik dan memiliki panca indra yang lengkap; (5) berasal dari keturunan Quraisy.
Ibn Taimiyah menegaskan bahwa syarat seorang pemimpin itu ada dua: (1) orang yang kuat; dan (2) orang yang amanah. Yang dimaksud kuat itu adalah seorang yang memiliki keberanian dan pengalaman menghadapi musuh dalam berbagai peperangan. Orang semacam ini adalah orang yang memiliki ketrampilan memanah, menombak dan semacamnya. Karakteristik ini merujuk pada Surah Al-Anfal ayat 60 dan hadis Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam tentang ketrampilan berkuda dan memanah.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Q.S. Al-Anfal [8]: 60)

Seseorang dikatakan kuat manakala dia memiliki kekuatan ilmu pengetahuan tentang keadilan dan cara melaksanakan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan yang dimaksud memiliki amanah adalah seorang yang memiliki rasa takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. (Ibn Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Saudi Arabia: Dar al-Ifta wal Irsyad, 1997, XXVIII: 253)
Di tempat lain Ibn Taimiyah menegaskan bahwa keadilan merupakan syarat terpenting bagi seorang pemimpin. Sedemikian pentingnya tentang keadilan ini, Ibn Taimiyah mengatakan:
“Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala menyokong negara yang adil meskipun non-muslim (pemimpinnya) dan tidak mendukung negara yang despotik meskipun muslim (pemimpinnya). Dunia itu dapat tegak dengan memadukan antara kekufuran dan keadilan dan dunia tidak dapat tegak dengan modal kezaliman dan keislaman.” (Ibid. XXVIII: 146)
Kalimat Ibn Taimiyah di atas kiranya mengisyaratkan bahwa kepala negara yang mampu mengejawantahkan keadilan meskipun
non-muslim lebih baik daripada kepala negara yang beragama Islam tetapi tidak mampu mengejawantahkan keadilan.

Dari Ibn Taimiyah ke Muhammad Abduh
Ketika Ibn Taimiyah mengatakan bahwa negara yang adil itu disokong oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala meskipun dipimpin oleh seorang yang non-muslim dan negara despotik tidak disokong oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala meskipun kepala negaranya seorang muslim, ia sedang menegaskan bahwa syarat seorang pemimpin itu adalah adil tanpa memperhatikan agama yang dianutnya. Pernyataan Ibn Taimiyah ini menyisakan pertanyaan. Bagaimana memperlakukan nash-nash Al-Qur’an yang secara tegas menyebutkan larangan mengangkat seorang pemimpin non-muslim? Nash-nash Al-Qur’an dimaksud antara lain sebagai berikut:

Pertama, Surah Ali Imran [3] ayat 28:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”

Kedua,
Surah al-Maidah [5] ayat 51:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Ketiga,
Surah an-Nisa [4] ayat 144:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?”

Keempat,
Surah al-Anfal [8] ayat 73:
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mengutip uraian Syaikh Muhammad Abduh. Kata Abduh, ayat-ayat yang dikutip oleh para ulama yang menolak menjadikan orang
non-muslim sebagai pemimpin sama sekali tidak dapat ditolak kebenarannya. Yang tidak disebutkan, kata Abduh, bahwa mereka yang dilarang untuk dipilih itu adalah karena memusuhi umat Islam. Ketika entitas non-muslim itu tidak memusuhi umat Islam dan mereka bersama-sama umat Islam dalam satu entitas negara sebagai warga negara, maka mereka dapat dipilih sebagai kepala negara. (Muhammad Abduh, al-A’mal al-Kamilah, Beirut: al-Muassah, al-Arabiyah lid-Dirasah wan-Nasyr, 1972, 107-108)
Abduh melandasi argumentasinya dengan surah al-Mumtahanah [60] ayat 7-9 sebagai berikut:
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Lebih jauh Muhammad Abduh menegaskan, manakala nash-nash Al-Qur’an yang berisikan larangan kepada kaum muslimin untuk memilih pemimpin
non-muslim itu dikaitkan dengan ketiga ayat yang membolehkannya, maka masalah (perbedaan pendapat) ini menjadi sangat terang. Karena larangan memilih orang non-muslim sebagai pemimpin kaum muslimin itu terikat dengan syarat, yaitu mereka (orang non-muslim) itu melakukan pengusiran terhadap Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin dari tanah airnya. Setiap orang non-muslim yang (dalam hatinya) menyimpan rasa permusuhan dan bertindak sewenang-wenang terhadap kaum muslimin maka keharaman memilih mereka adalah sesuatu yang pasti.
Mencermati Surah al-Mumtahanah ayat 7, kata Abduh, kiranya dipahami bahwa harapan terciptanya hubungan yang harmonis yang sarat dengan silih asih silih asah antara kaum muslimin dan kaum musyrikin yang sebelumnya begitu keras memusuhi Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam merupakan sesuatu yang didambakan.
Sementara dengan mencermati ayat 8 dan 9 dari Surah al-Mumtahanah dapat dipahami bahwa Allah
Subhanahu wa Ta'ala tidak melarang kaum muslimin melakukan kebajikan dan bersikap adil kepada kaum musyrikin yang tidak memusuhi mereka. Karena itu, larangan memilih orang non-muslim sebagai pemimpin kaum muslimin dibatasi hanya pada orang non-muslim yang memerangi kaum muslimin karena semata-mata hanya alasan memeluk agama Islam, mengusir mereka dari tanah airnya dan membantu orang lain melakukaj pengusiran.
Selanjutnya Abduh menutup uraiannya dengan menegaskan bahwa larangan mengangkat pemimpin
non-muslim itu merupakan larangan yang ber-‘illat. Yaitu manakala mereka (orang non-muslim) itu orang-orang yang berperilaku buruk terhadap umat Islam. Manakala perilaku buruk itu tidak ada, maka larangan tersebut tidak lagi berlaku. Dengan demikian larangan tersebut sama sekali bukan berkaitan dengan perbedaan agama.
Kalimat-kalimat Ibn Taimiyah dan Muhammad Abduh tetap masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana mungkin seorang yang
non-muslim dapat mempraktikkan kebajikan? Dalam hal ini melaksanakan keadilan. Jika adil disini dipahami sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya, maka misal berikut menjelaskan kalimat Ibn Taimiyah di atas.
Tahun 2001 dalam Seminar Internasional tentang Pengelolaan Zakat yang diselenggarakan di Palembang, hadir seorang petugas karyawan senior dari Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Teman muslim Singapura ini menerangkan dengan fasih bagaimana pemerintah Singapura sangat membantu MUIS untuk mengelola pendistribusian zakat yang dipungut langsung oleh pemerintah berdasarkan data base kekayaan setiap orang yang dicatat secara akurat. Dengan sistem data informasi yang sangat canggih setiap orang di Singapura tidak dapat mengelak dari pajak yang harus dibayarkannya. Dari data base itu pula diketahui berapa orang muzakki yang harus membayarkan zakatnya sebanyak 2,5% dari kekayaannya kepada mustahik. Diketahui bahwa Singapura bukanlah negara Islam. Ilustrasi yang diuraikan di atas kiranya menjelaskan bahwa Singapura yang bukan negara muslim mempraktikkan perkhidmatan kepada orang Islam. Ini negara yang mayoritas orang
non-muslim. Hemat penulis, dalam negara yang mayoritas muslim dan pemimpinnya non-muslim secara ideal akan melakukan hal baik yang lebih banyak dari yang diceritakan.

Penutup
Jika ditanyakan, siapa yang mesti dipilih antara pemimpin muslim yang tidak mampu memimpin dengan pemimpin
non-muslim yang mampu pemimpin? Jawaban yang diharapkan tentu saja jawaban yang melampaui pertanyaan itu. Yaitu pemimpin muslim yang mampu memimpin. Namun demikian, jika suatu saat terjadi, maka jawaban yang realistis adalah pemimpin non-muslim yang mampu memimpin.
Karena itu pula tulisan ini dapat ditutup dengan penegasan. Memilih pemimpin
non-muslim di tengah masyarakat muslim hukumnya diperbolehkan. Itu dirujukkan pada dua hal. Pertama, masalah kepemimpinan dalam hukum Islam merupakan persoalan yang bukan absolut (al-mutaghayyirat). Kedua, larangan memilih pemimpin non-muslim dikaitkan dengan sebab yang menyertainya. Yaitu manakala mereka (orang non-muslim) melakukan penistaan kepada umat Islam. Dalam suatu masyarakat majemuk di mana antara umat Islam dan orang non-muslim bersatu dalam suatu entitas negara-bangsa, maka antara keduanya bisa merajut hubungan harmonis yang saling memerlukan.

*) Sumber asli tulisan ini dapat dilihat pada buku "Fikih Kebinekaan" yang diterbitkan Maarif Institute dan Mizan halaman 317-325.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Fikih Kebinekaan: Kepemimpinan Non-Muslim Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu