Oleh: Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2010-2015
Saya sudah sering menyampaikan bahwa penyatuan kalender Hijriah adalah suatu kemestian. Yang perlu dipikirkan adalah dasar filisofi penyatuan itu. Dasar penyatuan tersebut dapat dirujukkan kepada fungsi kalender Hijriah, yaitu (1) fungsi sivil, dan (2) fungsi relijius.
Fungsi sivil sudah hampir seluruhnya diambil alih oleh kalender Masehi yang terlihat dalam kenyataan bahwa kita dalam kehidupan sehari-hari menggunakan kalender Masehi untuk berbagai tujuan: menjadwal kegiatan, membuat rencana, mencatat kelahiran anak atau cucu, kesanggupan membayar hutang, dan sebagainya. Sekarang tinggal fungsi relijiusnya, yaitu menata waktu-waktu ibadah.
Salah satu bentuk ibadah Islam adalah suatu ibadah yang dilaksanakan di suatu tempat tertentu di muka bumi (seperti di Indonesia), tetapi waktunya terkait dengan peristiwa di tempat lain. Ibadah itu adalah puasa Arafah yang dikerjakan di mana pun di dunia termasuk di Indonesia, tetapi waktunya adalah pada hari terjadinya wukuf di Arafah, Mekah.
Oleh karena itu penyatuan kalender Islam harus berlandaskan dasar pemikiran menyatukan jatuhnya hari Arafah antara berbagai tempat (termasuk Indonesia) dengan Mekah. Ini berarti kriteria kalender itu harus bersifat lintas kawasan. Dengan kata lain kita harus merumuskan suatu kalender Hijriah yang bersifat global (internasional).
Kita harus meluaskan wawasan kita dan berfikir secara global karena Islam telah berabad-abad menjalani proses globalisasi dengan umatnya tersebar di seluruh pelosok muka bumi bahkan sampai di pulau-pulau terpencil di Samudera Pasifik. Hindari berfikir sempit yang hanya berfikir merumuskan kalender berdasarkan kriteria yang bertitik tolak dari titik yang amat terbatas di tempat tertentu.
Itu adalah cara berfikir 1401 tahun lalu, ketika Kuraib dan Ibnu Abbas pada tahun 35 H berdebat tentang apakah penetapan awal bulan itu satu untuk semua atau bersifat lokal, masing-masing tempat membuat penetapan sendiri. Ibnu Abbas menetapkan masing-masing tempat sesuai dengan rukyatnya.
Kita di zaman modern dapat memahami fatwa Ibnu Abbas itu karena mereka hidup di lingkungan yang belum mengenal bagaimana gerak peredaran benda-benda langit, bagaimana tampakan kurve rukyat di atas muka bumi pada visibilitas pertama, bagaimana menghitung pergerakan bulan itu sendiri, bagaimana peluang muka bumi untuk dapat merukyat, dan banyak lagi aspek lain.
Mari cara berfikir ini kita tinggalkan dan mari kita berfikir secara lebih luas dengan dasar pertimbangan utama bagaimana menyatukan jatuhnya hari-hari ibadah kita tepat pada momen seharusnya seperti jatuhnya hari Arafah. Jangan kita membuatkan untuk masyarakat penetapan kalender yang menyebabkan ibadah kita tidak dapat dilaksanakan tepat pada momen seharusnya seperti puasa hari Arafah yang jatuh berbeda dengan Mekah.
Di Indonesia belum ada satu kalender pun yang dasar perumusannya mempertimbangkan kriteria yang bersifat lintas kawasan (bersifat global). Oleh karena itu sering terjadi perbedaan dalam jatuhnya hari Arafah. Termasuk kalender Muhammadiyah yang masih bersifat lokal. Namun kalender ini adalah kalender yang ada di Indonesia yang paling mendekati kriteria bersifat global dan karenanya kalender ini lebih banyak sesuai jatuhnya hari Arafah dengan Mekah seperti tahun lalu dan mungkin tahun ini juga. Muhammadiyah tampaknya menyadari ini, oleh karena itu dalam Muktamar 47 baru lalu, telah diputuskan bergerak ke arah perwujudan kalender Hijriah global.
Kita memang harus menyadari bahwa negeri kita Indonesia ini termasuk kawasan yang terletak jauh di zona waktu timur di mana peluang rukyat semakin kecil. Sehingga menuntut terjadinya rukyat fikliah di sini akan membawa kepada kekacauan waktu ibadah. Semakin titik acu digeser ke timur semakin peluang terjadinya perbedaan hari Arafah membesar. Begitu pula semakin tinggi parameter irtifak (ketinggian) bulan yang dituntut untuk mencapai imkanu rukyat, semakin terbuka lebar peluang berbedanya hari Arafah.
Kalender Muhammadiyah yang nol derajat saja, meskipun merupakan kalender yang paling dekat dengan kriteria global, masih saja akan menyisakan kemungkinan perbedaan itu walaupun akan lebih sedikit. Apalagi kriteria 2 derajat, dan jangan tanya kriteria 4 atau 6 derajat dan seterusnya. Perbedaannya akan semakin menganga.
Ada yang berfikir “kenapa susah-susah mau membuat kalender global, pada hal menyatukan dalam negeri saja yang ada di bawah batang hidung belum mampu; jangan berfikir yang muluk-muluk.” Dalam kata pengantar saya terhadap buku Kalender Kamariah Islam Unifikatif, saya menegaskan ini cara berfikir yang tidak tepat.
Pembuatan kalender global itu pelaksanaannya tidak tergantung kepada otoritas bangsa lain. Kalau kita sendiri bangsa Indonesia menerimanya secara keseluruhan, maka kita akan bersatu dalam penetapan jatuhnya hari-hari ibadah kita dalam negeri, seperti yang semua kita menginginkannya. Sama dengan kalender 0, 2, 4, atau 6 derajat, apabila kita semua menerimanya kita bersatu dalam negeri kita.
Tetapi ada dua keunggulan lain kalender global yang tidak dimiliki oleh kalender lokal. Pertama, dengan kalender global kita bergerak dalam arah penyatuan hari Arafah yang merupakan hari ibadah. Kedua, kita mempunyai tawaran yang bisa diajukan ke masyarakat dunia dan kalau konsep kita meyakinkan tentu ada peluang untuk diterima.
Sementara kalender lokal apabila kita terima kita bersatu, sama seperti kalender global apabila kita terima kita bersatu. Tetapi kalender lokal tidak punya peluang menyatukan jatuhnya hari Arafah pada tahun-tahun tertentu, dan tidak punya bahan untuk ditawarkan ke dunia luar. Dan karenanya tidak punya kontribusi terhadap peradaban Islam yang mengalami kepiluan hati karena tidak adanya kalender unifikatif karena umatnya berfikir parsial dan lokal.
Kita juga harus mempertimbangkan pendapat para pakar astronomi dan syariah kontemporer yang menegaskan bahwa kita tidak mungkin lagi mempertahankan rukyat untuk penentuan sistem waktu Islam. Karena rukyat itu terbatas tampakannya di muka bumi dan tidak mengkaver seluruh kawasan dunia yang menyebabkan terjadinya perbedaan tanggal. Raibnya kalender unifikatif Islam selama 14 abad hingga kini adalah karena umat Islam begitu kokoh mempertahankan rukyat. Kenyataan ini mamang berat dan pahit untuk diterima. Tetapi kita harus berani melakukan revolusi mental untuk bergerak ke cara lain yang mampu mewujudkan kalender Islam unifikatif dan menjatuhkan hari Arafah sama dengan Mekah.
Ada sejumlah kalender hijriah yang sudah dirumuskan kaidahnya dan kita dapat memilih salah satu setelah dikaji. Atau bisa membuat alternatif lain. Yang penting syarat validitas kalender Islam dipenuhi. Kalender yang ada itu meskipun kaidahnya (kriterianya) berbeda, namun apabila diterapkan hasilnya relatif sama. Perbedaannya dalam penerapan amat kecil. Asasnya dapat dipilih yang paling memenuhi validitas kalender Islam dan yang kriterianya paling simpel.
Sumber: Muhammadiyah.or.id
0 komentar:
Posting Komentar