728x90 AdSpace

Latest News
Jumat, 10 Juli 2015

Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan


Oleh: Azaki Khoirudin
Alumni Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran UMS

Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Solo


Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Wacana Islam Nusantara dan Islam berkemajuan semakin menarik untuk diperbincangkan di negeri ini. Akhir-akhir ini, ”Islam Nusantara” menjadi  istilah khas Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan ”Islam berkemajuan” menjadi idiom khas Muhammadiyah.
Kedua wacana ini muncul saat dua organisasi kemasyarakatan (ormas) besar Islam ini akan menggelar hajatan muktamar. Gagasan Islam Nusantara menemukan momentumnya saat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menetapkan tema Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015.

Tema itu selengkapnya berbunyi ”Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia”. Gaung ”Islam berkemajuan” juga menemukan relevansinya dengan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makasar, Sulawesi Selatan, 3-8 Agustus 2015.

Muhammadiyah mengusung tema “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan”. Kedua tema ini menarik untuk ditelaah dan diperbandingkan kekhasannya masing-masing, terutama relevansinya dengan kondisi Islam Indonesia, bahkan dunia.

NU dan Islam Nusantara

Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, terbuka, dan inklusif. Islam Nusantara disebut pula sebagai mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara.

Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, subkultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok diterima bumi Nusantara, tetapi juga mewarnai dan bersifat akomodatif terhadap budaya Nusantara, yakni rahmatan lil ‘alamin.

Abdul Mun’im D.Z. (2010) menandaskan Islam Nusantara adalah paham keislaman yang berdialog dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara melalui proses seleksi, akulturasi, dan adaptasi.

Sebenarnya istilah ”Islam Nusantara” pada dasarnya tidaklah baru. Menurut Azyumardi Azra (2015), istilah ini mengacu pada Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim (Nusantara) yang mencakup tidak hanya kawasan Indonesia, tetapi juga wilayah muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea).

Menurut Azra, Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan agama di Indonesia.

Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Al-Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global.

Islam Nusantara bukan ”Islam lokal”. Ahmad Baso (2015) menegaskan Islam Nusantara sebagai cara bermazhab secara qauli dan manhaji dalam ber-istimbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan teritorial, kondisi alam, dan cara pengamalan penduduk Nusantara.

Islam Nusantara itu sejajar dengan kajian Islam India, Islam Turki, Islam Yaman, dan sebagainya. Islam Nusantara merupakan proses berkelanjutan, bentuk paradigma dan etika Islam yang selalu senada dengan gerak sejarah.

Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah

”Islam berkemajuan” ala Muhammadiyah telah mengemuka sejak  Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Gerakan mengembalikan umat pada sumber ajaran Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW yang  otentik.

Ini sebagaimana risalah Nabi Muhammad SAW yang membawa pencerahan untuk bangsa Arab yang jahiliah menjadi bangsa yang tercerahkan sehingga terwujud Al-Madinah Al-Munawwarah sebagai kota peradaban yang cerah dan mencerahkan titik peradaban “al-munawwarah”.

Kala itu dunia Barat kala itu masih teridur lelap di era kegelapan. Gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan.

Muhammadiyah bukan gerakan yang mendewakan masa lampau, bukan gerapan yang mengusung konsep masa lalu sebagai konsep ideal (romantisisme), misalnya khilafah islamiah (negara Islam).

Cita-cita ideal Muhammadiyah adalah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Islam berkemajuan membawa spirit ”teologi berkemajuan”. Hakikat Islam adalah agama kemajuan (dinul hadlarah).

Teologi berkemajuan ala Muhammadiyah selalu berorientasi ke masa depan. Meminjam istilah Din Syamsuddin (2015), berkemajuan menyiratkan adanya keberlangsungan, dan bahkan perkembangan, sebagai usaha yang terus-menerus untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable development with meaning).

Paling tidak, dalam melakukan transformasi Islam berkemajuan di abad kedua, Muhammadiyah harus melakukan berbagai hal. Pertama, menyekolahkan generasi muda ke berbagai negara maju dan berkemajuan.

Kedua, pemberdayaan ekonomi. Tanpa gerakan ekonomi yang kuat, Muhammadiyah tak akan mampu menjalankan gerakan Al-Ma’un. Pendidikan Muhammadiyah harus inklusif yang mampu menampung kaum lemah.
Jangan hanya orang-orang kaya yang mampu bersekolah di Muhammadiyah. Ketiga, kekuatan Muhammadiyah sebagai masyarakat sipil sangat penting bagi pembangunan kemandirian masyarakat.

Islam Tengah
Dikotomi antara Islam tradisionalis dan Islam modernis ketika dikaitkan dengan wacana Islam Nusantara ala NU dan Islam berkemajuan ala Muhammadiyah tampak semakin melemah.
NU yang tradisional dan Muhammadiyah yang modern adalah pandangan yang sudah umum. Tradisional karena dalam praktik keagamaan NU banyak praktik ritual yang campur aduk dengan budaya-budaya yang Nusantara.

Muhammadiyah dikenal modern karena golongan ini mencoba membawa Islam agar sesuai tuntutan dan keadaan zaman. Kenyataan membuktikan untuk konteks sekarang ternyata NU semakin tradisionalis, terutama dalam hal merawat tadisi dan budaya.

Di NU memang sudah banya lompatan, misalnya dengan muncul istilah pemaknaan ulang ahlus sunnah waljamaah dan pemaknaan ulang konsep bermazhab, tetapi kemunculan Islam Nusantara Islam khas ala Indonesia, serta integrasi nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di negeri ini menjadi paradoks. Islam tradisionalis itulah Islam Nusantara.

Kedua arus Islam ini, baik ”Nusantara” atau pun “berkemajuan” harus bersama-sama menjadi kekuatan Islam moderat (tenga) di Indonesia. Dalam konteks wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara adalah Islam yang mengedepankan jalan tengah dengan tawasut (moderat), tidak ekstrem, inklusif, toleran dan damai, serta menerima demokrasi.

Islam Nusantara jika ingin menjadi alternatif peradaban dunia Islam tidak cukup hanya mengembangkan tradisi lokal. Islam Nusantara dengan mengembangkan Islam yang damai itu tidak cukup karena Islam adalah agama peradaban.

Selain ramah, santun, dan toleran, Islam Nusantara juga harus berkemajuan dan berkeunggulan di segala bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, dan budaya di level lokal dan global.

Islam berkemajuan bersifat kosmopolitan. Muhammadiyah dapat menjadi teologi tengah dengan karakteristik mengakui kebinekaan (diversity), menjadi masyarakat madani (civil society), memiliki perguruan tinggi Islam, dan menjunjung tinggi konstitusi negara.

Dalam konteks tersebut, tolok ukur atau indikatornya paling tidak Muhammadiyah harus fokus dan menjadikan isu-isu berikut sebagai agenda besar, yakni pendidikan yang selalu mengembangkan paradigma baru; penghormatan kepada hak asasi manusia (al-karomah al-insaniyah) dengan bertumpu pada maqasid syari’ah, bukan sekadar syariat; membangun relasi harmonis antarumat beragama; dan mengedepankan kesetaraan gender serta perlindungan anak-anak.

Baik NU maupun Muhammadiyah harus bersama-sama menghadirkan Islam sebagai yang bersikap tengah (wasithiyah). NU dan Muhammadiyah harus bersatu mengamalkan nilai-nilai Islam yang ramah dan berporos pada jalan tengah atau aqidah washatiyah: saling menghargai sebagai Islam rahmatan lil alamin untuk kesejahteraan seluruh alam semesta.

*) Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di Solopos
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu