Oleh: Irvan Mawardi
Kasus  okupasi Masjid Muhammadiyah seperti yang terjadi atas Masjid Assalam milik PC Muhammadiyah Cengkareng bukanlah kasus pertama, sering  terjadi di daerah lain, seperti di Jogja, di Makassar dll. Kasus  Cengkareng bisa saja jadi puncak gunung es fenomena okupasi ini. Di  Makassar, namanya masjid Babul Jannah di daerah Abu Bakar Lambogo, Bara  Baraya, juga bersertifikat atas nama Muhammadiyah, namun kemudian jamaah  atas nama masyarakat Bara Baraya Makassar mengajukan jalur hukum untuk  merebut Masjid plus TK Aisyiyah. 
Selain  jalur hukum, masyarakat juga sudah sering bersitegang dengan warga  Muhammadiyah di situ. Jalur hukumnya yakni mengajukan pembatalan  sertifikat masjid tersebut atas nama Muhammadiyah ke PTUN Makassar. Masyarakat meminta tidak boleh ada klaim kepemilikan oleh golongan  tertentu terhadap tanah yang di atasnya berdiri masjid dan TK ABA.  Terakhir saya dengar kasus ini sudah kasasi. Di tingkat Pertama dan  Banding, amar putusannya 50-50. Pengadilan membatalkan kepemilikan  Muhammadiyah atas sertifikat tersebut sepanjang seluas masjid tersebut, sementara  TK ABA tetap eksis milik Muhammadiyah. 
Tapi  bagi Muhammadiyah 50-50 itu adalah sebuah kekalahan, karena masjid lepas.  Kasus ini jadi obyek penelitian oleh Lembaga Pengembangan Cabang dan  Ranting (LPCR) PP Muhammadiyah di bawah koordinasi Dr. Syarifuddin Jurdi.  Setelah saya mengikuti dan mencermati kasus ini, saya mencoba  menyimpulkan dalam beberapa hal. 
Pertama, bahwa Muhammadiyah pada lokal tertentu gagal memakmurkan masjidnya  sehingga relasi dengan jamaah semakin tidak intens, sementara datang  kelompok/jamaah baru yang lebih giat melakukan kegiatan di masjid.  Kelompok inilah yang kemudian secara pelan mengambil alih kepengurusan  masjid. Dalam pemeriksaan saksi dan bukti di persidangan terbukti  dulunya masjid itu ramai oleh kegiatan IPM, NA dan AMM secara  keseluruhan, namun sejak 2006 kegiatan-kegiatan AMM praktis tidak ada  lagi. Jamaah masjid yang warga Muhammadiyah pun semakin sedikit. 
Kedua, sertifikat tanah adalah bukti kepemilikan paling tinggi dalam  pembuktian kepemilikan tanah. Namun masalahnya, apalah artinya selembar  sertifikat apabila aktifitas fisik dan faktual di atas tanah tersebut  tidak dikelola oleh pemilik sertifikat, melainkan dikuasai pihak lain.  Kalau itu terjadi, maka sengketa tanah pun tinggal menunggu waktu. 
Ketiga, aktifitas di amal usaha sering tidak berbanding lurus dengan kegiatan  jamaah di masjid. Kalau mengurus amal usaha, rajin dan sibuk, ketika  giliran memakmurkan masjid, sepi. TK ABA dalam kasus di atas masih bisa  eksis bahkan memiliki bangunan baru dengan siswa yang banyak, namun masjid tidak dikelola lagi oleh warga dan Pengurus Muhammadiyah. 
Keempat, tidak bisa dipungkiri bahwa hadirnya kelompok-kelompok jamaah baru yang  juga bergerak di masjid menjadi salah satu modus dalam fenomena okupasi  ini. Mereka hadir di tengah masyarakat dengan semangat tinggi, tapi  tidak punya basis atau masjid yang menjadi kepemilikan resmi. Sebaliknya  Muhammadiyah banyak memiliki masjid namun miskin aktifitas keagamaan.  Maka modus okupasinya adalah menjadikan atau mengajak sesepuh masyarakat  sekitar masjid menjadi bagian dari jamaah mereka yang secara pelan akan  memunculkan isu; "ini dulu tanah milik leluhur saya" atau "masjid  adalah milik umat", dsb. Ujung-ujungnya bikin miris; sama-sama mau shalat  saja harus gontok-gontokan sampai pengadilan. 
Kelima, fenomena ini menjadi tantangan berat bagi Majelis Tabligh (entah  Majelis apa yang bertanggung jawab atas kegiatan Masjid-Masjid  Muhammadiyah), LPCR untuk memastikan adanya Ranting dan Cabang yang  hidup di sekitar Masjid Muhammadiyah dan Majelis Wakaf Kehartaanbendaan  untuk memelihara aset-aset Muhammadiyah dan Lembaga Hukum HAM untuk  mengadvokasi apabila okupasi itu sudah masuk wilayah sengketa hukum.  Terakhir, Petinggi Muhammadiyah agak susah belajar dalam kasus-kasus  seperti ini. Dalam kasus Masjid Babul Jannah Makassar di atas, PP  Muhammadiyah tahu persis kasusnya karena PP Muhammadiyah adalah pihak  Tergugat Intervensi dalam kasus hukumnya. Sehingga fenomena ini harusnya  menjadi perhatian penting dalam Muktamar Muhammadiyah yang akan datang. Tema  Muktamar tidak perlu bombastis; "Gerakan Berkemajuan", "Pencerahan  Peradaban" Revitalisasi dan embel-embelnya" tapi cukup singkat dan  padat; "Kembali ke Masjid!!". Mungkin itu.
Tapi tidak mengeneralisir karena di banyak tempat juga banyak Masjid Muhammadiyah yang jamaahnya banyak dan kegiatannya banyak tinggal sekarang bagaimana pimpinan muhammadiyah dan warga muhammadiyah setempat mengelola dengan baik masjid yang ada.
Tapi tidak mengeneralisir karena di banyak tempat juga banyak Masjid Muhammadiyah yang jamaahnya banyak dan kegiatannya banyak tinggal sekarang bagaimana pimpinan muhammadiyah dan warga muhammadiyah setempat mengelola dengan baik masjid yang ada.

0 komentar:
Posting Komentar