728x90 AdSpace

Latest News
Sabtu, 28 Februari 2015

Kasus Penyerobotan Masjid Muhammadiyah Bukanlah Kasus Pertama


 
Kasus okupasi Masjid Muhammadiyah seperti yang terjadi atas Masjid Assalam milik PC Muhammadiyah Cengkareng bukanlah kasus pertama, sering terjadi di daerah lain, seperti di Jogja, di Makassar dll. Kasus Cengkareng bisa saja jadi puncak gunung es fenomena okupasi ini. Di Makassar, namanya masjid Babul Jannah di daerah Abu Bakar Lambogo, Bara Baraya, juga bersertifikat atas nama Muhammadiyah, namun kemudian jamaah atas nama masyarakat Bara Baraya Makassar mengajukan jalur hukum untuk merebut Masjid plus TK Aisyiyah. 
Selain jalur hukum, masyarakat juga sudah sering bersitegang dengan warga Muhammadiyah di situ. Jalur hukumnya yakni mengajukan pembatalan sertifikat masjid tersebut atas nama Muhammadiyah ke PTUN Makassar. Masyarakat meminta tidak boleh ada klaim kepemilikan oleh golongan tertentu terhadap tanah yang di atasnya berdiri masjid dan TK ABA. Terakhir saya dengar kasus ini sudah kasasi. Di tingkat Pertama dan Banding, amar putusannya 50-50. Pengadilan membatalkan kepemilikan Muhammadiyah atas sertifikat tersebut sepanjang seluas masjid tersebut, sementara TK ABA tetap eksis milik Muhammadiyah. 
Tapi bagi Muhammadiyah 50-50 itu adalah sebuah kekalahan, karena masjid lepas. Kasus ini jadi obyek penelitian oleh Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) PP Muhammadiyah di bawah koordinasi Dr. Syarifuddin Jurdi. Setelah saya mengikuti dan mencermati kasus ini, saya mencoba menyimpulkan dalam beberapa hal. 
 
Pertama, bahwa Muhammadiyah pada lokal tertentu gagal memakmurkan masjidnya sehingga relasi dengan jamaah semakin tidak intens, sementara datang kelompok/jamaah baru yang lebih giat melakukan kegiatan di masjid. Kelompok inilah yang kemudian secara pelan mengambil alih kepengurusan masjid. Dalam pemeriksaan saksi dan bukti di persidangan terbukti dulunya masjid itu ramai oleh kegiatan IPM, NA dan AMM secara keseluruhan, namun sejak 2006 kegiatan-kegiatan AMM praktis tidak ada lagi. Jamaah masjid yang warga Muhammadiyah pun semakin sedikit. 
 
Kedua, sertifikat tanah adalah bukti kepemilikan paling tinggi dalam pembuktian kepemilikan tanah. Namun masalahnya, apalah artinya selembar sertifikat apabila aktifitas fisik dan faktual di atas tanah tersebut tidak dikelola oleh pemilik sertifikat, melainkan dikuasai pihak lain. Kalau itu terjadi, maka sengketa tanah pun tinggal menunggu waktu. 
 
Ketiga, aktifitas di amal usaha sering tidak berbanding lurus dengan kegiatan jamaah di masjid. Kalau mengurus amal usaha, rajin dan sibuk, ketika giliran memakmurkan masjid, sepi. TK ABA dalam kasus di atas masih bisa eksis bahkan memiliki bangunan baru dengan siswa yang banyak, namun masjid tidak dikelola lagi oleh warga dan Pengurus Muhammadiyah. 
 
Keempat, tidak bisa dipungkiri bahwa hadirnya kelompok-kelompok jamaah baru yang juga bergerak di masjid menjadi salah satu modus dalam fenomena okupasi ini. Mereka hadir di tengah masyarakat dengan semangat tinggi, tapi tidak punya basis atau masjid yang menjadi kepemilikan resmi. Sebaliknya Muhammadiyah banyak memiliki masjid namun miskin aktifitas keagamaan. Maka modus okupasinya adalah menjadikan atau mengajak sesepuh masyarakat sekitar masjid menjadi bagian dari jamaah mereka yang secara pelan akan memunculkan isu; "ini dulu tanah milik leluhur saya" atau "masjid adalah milik umat", dsb. Ujung-ujungnya bikin miris; sama-sama mau shalat saja harus gontok-gontokan sampai pengadilan. 
 
Kelima, fenomena ini menjadi tantangan berat bagi Majelis Tabligh (entah Majelis apa yang bertanggung jawab atas kegiatan Masjid-Masjid Muhammadiyah), LPCR untuk memastikan adanya Ranting dan Cabang yang hidup di sekitar Masjid Muhammadiyah dan Majelis Wakaf Kehartaanbendaan untuk memelihara aset-aset Muhammadiyah dan Lembaga Hukum HAM untuk mengadvokasi apabila okupasi itu sudah masuk wilayah sengketa hukum. Terakhir, Petinggi Muhammadiyah agak susah belajar dalam kasus-kasus seperti ini. Dalam kasus Masjid Babul Jannah Makassar di atas, PP Muhammadiyah tahu persis kasusnya karena PP Muhammadiyah adalah pihak Tergugat Intervensi dalam kasus hukumnya. Sehingga fenomena ini harusnya menjadi perhatian penting dalam Muktamar Muhammadiyah yang akan datang. Tema Muktamar tidak perlu bombastis; "Gerakan Berkemajuan", "Pencerahan Peradaban" Revitalisasi dan embel-embelnya" tapi cukup singkat dan padat; "Kembali ke Masjid!!". Mungkin itu.
Tapi tidak mengeneralisir karena di banyak tempat juga banyak Masjid Muhammadiyah yang jamaahnya banyak dan kegiatannya banyak tinggal sekarang bagaimana pimpinan muhammadiyah dan warga muhammadiyah setempat mengelola dengan baik masjid yang ada.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Kasus Penyerobotan Masjid Muhammadiyah Bukanlah Kasus Pertama Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu