Oleh: Fahman Habibi
Sekretaris Jenderal DPP IMM periode 2012-2014
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. SesungguhnyaTuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(Q.S. An-Nahl [16]: 125)
Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da’a- yad’u yang berarti panggilan, seruanatau ajakan. Jadi, secara sederhana dakwah dapat diartikan dengan kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada ajaran agama, dalam hal ini agama Islam. Tugas berdakwah diemban oleh setiap kaum Muslim sebagaimana dinukilkan dalam salah satu hadis “sampaikanlah olehmu walau satu ayat”. Mungkin ada yang bertanya mengapa kita mesti berdakwah? Bukankah yang paling penting adalah menyelamatkan diri masing-masing? Pertanyaan ini cukup masuk akal, karena tantangan dakwah saban hari semakin kompleks.
Namun spirit dasar Islam menghendaki keselamatan seluruh alam (QS. Al-Anbiya’ [21]:107). Karena Islam bukanlah agama untuk satu orang sebagaimana halnya Budha. Islam juga bukan agama suku bagi bangsa tertentu seperti Yahudi, melainkan agama paripurna yang berlaku untuk konteks kini, di sini dan nanti. Islam yang sama-sama kita ketahui sebagai satu-satunya agama yang masih original dan merupakan gerbang keselamatan dunia dan akhirat, namun tidak membenarkan adanya pemaksaan kepada seseorang untuk memeluk agama (Islam) karena sudah jelas perbedaan antara jalan yang benar dan jalan yang salah (al-Baqarah [2] : 256). Dengan demikian agak aneh ketika ada orang atau sekelompok orang yang menggunakan “tangan besi” dalam menyebarkan paham keagamaannya.
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa tugas dakwah diemban oleh setiap kaum Muslim. Dalam mengaktualisasikannya para pendakwah (da’i) mesti menabur pesan-pesan Ilahi itu ke segenap aspek kehidupan, termasuk aspek kalangan mahasiswa. Selaku agent of change, mahasiswa dituntut untuk berperan aktif dalam meredam penyakit moral seperti pergaulan bebas, mewabahnya korupsi, dan persoalan-persoalan keummatan lainnya. Salah satu organisasi mahasiswa yang masih eksis mengedepankan visi amar ma’ruf nahi munkar adalah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Dalam tulisan ini penulis akanmengulas secara gamblang berkenaan dengan gerakan dakwah yang dibangun oleh salah satu organisasi ortonom (ortonom) Muhammadiyah tersebut.
Pola Gerakan Dakwah IMM
IMM dalam mempolakan gerakannya menganyam tiga bidang yakni: pertama,bidang keagamaan yang mefokuskan diri kepada pemahaman al-Qur’an dan al-hadis yang otentik. Sebagaimana halnya Muhammadiyah, IMM juga berkomitmen untuk mengikis bid’ah dalam amalan-amalan ibadah murni seperti shalat. Hal ini selaras dengan kaidah yurisprudensi Islam, “al-ashl fȋ al-‘ibȃdah al-tahrȋm, illȃ mȃ dalla al-dalȋl ‘alȃkhilȃfihi” (pada dasarnya ibadah (formal) adalah terlarang, kecuali ada petunjuk sebaliknya). Artinya, kaum Muslim dilarang membuat atau menciptakan cara ibadah sendiri. Justru “kreasi”, penambahan atau “inovasi” di bidang ibadah murni akan tergolongsebagai penyimpangan (bid’ah) yang terlarang keras. Hal ini dikarenakan bentuk dan cara suatu ibadah murni merupakan hak prerogatif Allah yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Misalnya dalam perkara shalat ada Nabi bersabda “shalatlah kamu sebagaimana aku shalat”. Kenapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, dalam urusan ibadah murni, kaum Muslim menjunjung asas ta’abbudi (taat tanpa boleh bertanya apa dan bagaimananya).
Kedua, bidang keilmuan, dengan memfokuskan diri pada disiplin ilmu yang dimiliki. Semangat keilmuan IMM terlihat dari slogan “anggun dalam moral dan unggul dalam intelektual”. Seorang kader ikatan mesti menimba dan menempa khazanah keilmuan sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing, agar bisa bersaing di kancah lokal, nasional bahkan internasional. Dengan demikian IMM mesti membangun pergerakan dengan sejumlah kegiatan yang menopang studi para kadernya.
Kitab suci al-Qur’an menyatakan secara eksplisit adanya jaminan keunggulan dan superioritas, termasuk kemenangan dan kesuksesan yangdikaruniakan Tuhan kepada mereka yang beriman dan berilmu (Qs al-Mujȃdalah [58]: 11). Beriman, berarti mempunyai tujuan yang benar yakni ridla Tuhan, sedangkan berilmu berarti mengerti ajaran secara benar. Ilmu dan iman bak dua sisi mata uang yang sama. Keberadaan yang satu mesti didukung oleh yang lain. Albert Eisten mengatakan “iman tanpa ilmu seperti orang buta dan ilmu tanpa iman laksana orang lumpuh”.
Senada dengan Eisten, Nurcholish Madjid menandaskan, Iman membuat orang berkiblat pada kebaikan. Tapi iman tanpa ilmu tidak menjamin kesuksesan. Ilmu membuat orang cakap berbuat nyata, namun tanpa bimbingan iman, justruilmunya itu akan membuat ia celaka, malah lebih celaka dari orang lain yang tidak berilmu. Maka Nabi bersabda: “Barangsiapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia tidak bertambah apa-apa kecuali semakin jauh saja dari Allah”. Dengan demikian, IMM menghendaki kader yang semakin beriman maka ia semakin haus akan ilmu pengetahuan, dan begitu pula sebaliknya, semakin berilmu ia maka keimanannya akan semakin mantap. Tak ubahnya laksana ilmu padi, “semakin berisi semakin merunduk”. Namun tingkat keimanan dan kapasitas keilmuan yang mumpuni mesti diwujudkan dengan amal yang nyata. Iman, ilmu dan amal, merupakan setali tiga uang. Iman dan ilmu bersifat abstrak sedangkan amal bersifat konkret. Ketiga point ini memiliki andil yang besar dalam mensukseskan dakwah. Dalam hal ini, IMM menampilkan jargon “ilmu harus amaliah dan beramal mesti ilmiah”.
Ketiga, pengabdian pada masyarakat. Kader IMM harus memainkan peranan di tengah-tengah masyarakat. Seorang kader tidak boleh terjebak di “puncak piramida strata sosial”. Penyakit mahasiswa pada umumnya, setelah mereka mengenyam pendidikan tinggi, kebanyakan di antara mereka sulit untuk mentransfer pengetahuan kepada masyarakat, bisa jadi karena bahasa yang “melangit” dengan segudang istilah ilmiah, atau mungkin pula mereka “gagap” dengan masyarakat awam. Dalam hal ini, IMM sebagai lokomotif pergerakan dituntut untuk menggiring para kader agar bisa menjadi sang pencerah di lingkungan yang mereka tempati. Dengan demikian sang kader tidak hanya Cumlaude di kampus, tapi juga mesti menggodol Summa Cumlaude di ranah ummat.
Bertambahnya tahun senantiasa diiringi dengan meningkatnya tantangan hidup. IMM menjelang usianya yang ke-50, mesti memformulasikan konsep dakwah sesuai konteks zaman agar bisa menjelajahi segenap sisi kemasyarakatan. Namun perlu diingat, IMM bukan lah merupakan saingan bagi kalangan organisasi dakwah yang lain, hal ini tercermin dari slogan Billahi fi Sabilill Haq Fastabiqul Khairat. Artinya IMM menjadikan organisasi dakwah yang telah ada dan yang mungkin akan ada sebagai mitra untuk “berkompetensi” dalam mendapatkan ridla-Nya.
Ada banyak metode dakwah yang ditampilkan sebut saja, M. Quraish Shihab dengan metode tafsir al-Misbahnya, M. Nur Maulana dengan slogan Islam itu indah, AA Gym yang mengusung Manajemen Qolbu, dan masih banyak lagi pendakwah lainnya yang tidak mungkin kita sebutkan di sini satu persatu. IMM menggarap celah lain yang sempat tertinggal dari sorotan pendakwah tersebut dengan merambah tiga ranah sebagaimana keagamaan (dalam artian khusus), keilmuan, dan pengabdian pada masyarakat. IMM perlu menjalin kerja sama, agar tidak terjadi adanya “rebutan jamaah” antara satu organisasi dengan organisasi yang lain. Dengan demikian diharapkan pesan dakwah Islam dapatmembumi hingga terwujudnya baldatun tayyibatun warabbun ghafur.
0 komentar:
Posting Komentar