Oleh: Ninin Karlina, S.Ud
Pengajar Pondok Pesantren Imam Syuhodo Blimbing Sukoharjo
A. Sejarah dan Perkembangan
Desa Wonorejo diawali oleh seorang Kyai Imam Syuhodo di kenal dengan julukan Kyai Apil Qur’an (istilah nama ini diberikan oleh PB ke IV karena Kyai Imam Syuhodo seorang Kyai yang hafal al Qur’an) yang mendirikan masjid dan pesantren sekitar abad ke 17. Keberadaan masjid dan pesantren tersebut membuat keturunan dan masyarakat Wonorejo mengenal agama Islam dari sejak lahir. Sehingga tidaklah heran dari Desa Wonorejo ini banyak muncul tokoh-tokoh muda Islam yang pandai dan cerdas, seperti: Bp. H. Aspani, Bp. H Ma’nan, Bp. H Muslich, Bp. Djalal Sayuti, Bp. Wiryo Utomo, Bp. Muh. Adnan, Bp. H Abdul Syukur, KH. Ahmad Zaini, Bp. H. Mukmin, Bp. Mashudi, Bp. Syafi’I, Bp. Muh. Tohir, Bp. Ahmadi, Bp. Cipto Atmojo, Bp. Muh. Ihsan, Bp. Al Amin, Bp. Ngabdani, Bp. Atmo Darsono, Bp. Muh. Syamsuri, Bp. Cokro Siswono dan Bp. Gito. Jadi tidaklah berlebihan apabila Desa Wonorejo disebut juga sebagai desa pencetak tokoh-tokoh agama Islam (Majalah Suara Kauman, 2009: 11).
Sejarah berdirinya Muhammadiyah di Desa Wonorejo terinspirasi karena peristiwa dibubarkannya madrasah yang dimotori oleh tokoh-tokoh muda Desa Wonorejo di masjid Agung Wonorejo oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada waktu itu, sekitar tahun 1925 tokoh-tokoh muda Islam Desa Wonorejo mendirikan kegiatan madrasah yang bertempat di Masjid Agung Wonorejo. Dalam kegiatan tersebut selain diisi oleh tokoh-tokoh Islam Wonorejo juga mendatangkan para tokoh agama dari perkumpulan muslim Surakarta, seperti: Kyai Mashud, Kyai Idris, Kyai Abdul Qodir dan Kyai Asmuni. Kedatangan para tokoh tersebut selalu disambut baik oleh Bp. H. Aspani sebagai tokoh agama yang dituakan di Desa Wonorejo pada saat itu. Tokoh-tokoh agama tersebut selalu memberi ceramah di Masjid Agung Wonorejo setiap dua kali dalam sebulan. Masyarakat Wonorejo banyak yang berdatangan baik yang tua maupun muda untuk mendengarkan pengajian dimadrasah tersebut. Namun pengajian tersebut tidak bertahan lama karena baru berjalan selama tiga bulan telah diketahui oleh pemerintah kolonial Belanda dan kemudian dibubarkan (Majalah Suara Kauman, 2009: 12).
Keesokan harinya para tokoh-tokoh muda agama Islam di Desa Wonorejo dicari kepolisian pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap mengajak rakyat untuk memberontak. Tetapi sebelum tokoh-tokoh tersebut akan ditangkap, para tokoh tersebut sudah mengungsi ke daerah lain, KH. Ahmad Zaini, Bp. H. Abdul Syukur, Bp. Djalal Sayuti, Bp. Syafi’I, dan Bp. Mashudi berlindung di Pondok Pesantren Jogobayan Surakarta. Sedangkan Bp. H. Muslich tetap tinggal di Desa Wonorejo sehingga sempat menjadi urusan kepolisian pemerintah kolonial Belanda, tetapi dengan kecerdasan berdiplomasi beliau tidak jadi ditahan. Namun demikian peristiwa ini mengakibatkan pengajian yang bertempat di Masjid Agung Wonorejo menjadi bubar.
Pada saat itu masyarakat Wonorejo menjadi cemas dan selalu khawatir karena takut setiap kegiatan agama akan selalu diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Untuk itu sebagai generasi muda yang cerdas dan penuh semangat Bp. H. Muslich kemudian mempunyai inisiatif lebih baik masuk ke Persyarikatan Muhammadiyah. Inisiatif tersebut beliau sampaikan kepada rekan-rekannya sesama tokoh muda lainnya, baik yang ada di Desa Wonorejo maupun yang berada di Pondok Pesantren Jogobayan Surakarta untuk bermusyawarah, yang akhirnya mendapat kesepakatan bersama. Pimpinan Muhammadiyah Surakarta yang pada waktu itu masih merupakan Cabang, juga menyarankan, demi keamanan dan keselamatan dakwah Islam lebih baik masuk ke Persyarikatan Muhammadiyah. Karena Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang saat itu mendapat ijin dari pemerintah kolonial Belanda. Setelah mendapat kesepakatan dari para tokoh muda dan Cabang Muhammadiyah Surakarta, maka pada tahun 1926 para tokoh muda tersebut mulai merintis mendirikan sekolah yatim Muhammadiyah di Blimbing, Bp. H. Muslich meminta pengurus sekolah yatim Muhammadiyah Surakarta, yang saat itu dipimpin oleh Bp. Siswo Wiyogo untuk mengakui sekolah yatim Muhammadiyah Blimbing sebagai sekolah Muhammadiyah Surakarta. Permintaan tersebut dipenuhi dan sekolah yatim Muhammadiyah Blimbing mendapat bantuan 21 meja dari pengurus sekolah Muhammadiyah Surakarta (Majalah Suara Kauman, 2009: 13).
Pada tahun 1926 di Surakarta banyak tokoh pergerakan Islam ditangkap oleh pemerintah colonial belanda sebagai tahanan politik, karena gerakannya dikhawatirkan dapat mengganggu berjalannya pemerintahan kolonial Belanda. KH. Muchson sebagai kepala guru Manba’ul Ulum pun ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda. Demikian pula madrasah Mardibusono di keprabon Surakarta juga selalu menjadi penyelidikan pemerintah kolonial Belanda karena kebanyakan guru-gurunya dari anggota Muslimin dan Syarikat Rakyat.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang diakui keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda selamat. Hal ini membuat Bp. H. Muslich dan rekan-rekannya semakin mantap masuk organisasi Muhammadiyah. Bp. H. Muslich dan rekan-rekannya meminta kepada Muhammadiyah Cabang Surakarta untuk segera mengakui serta mengesahkan berdirinya Muhammadiyah di Desa Wonorejo. Namun permintaan itu tidak segera dikabulkan.
Pada tahun 1927 keadaan Desa Wonorejo yang sebelumnya selalu cemas dan khawatir karena selalu mendapat pengawasan dari pemerintah kolonial Belanda sudah mulai membaik, maka para tokoh agama yang sebelumnya berlindung di Surakarta sudah kembali di Desa Wonorejo. Kemudian pada tahun tersebut sekolah yatim Muhammadiyah Blimbing dipindah ke Masjid Agung Wonorejo. Setiap pagi para murid diberi pelajaran umum sedangkan pada malam harinya diberikan pelajaran agama. Selain itu para remaja muslim Desa Wonorejo setiap malam ahad aktif mengikuti kursus mubaligh di kauman Surakarta. Melihat kesungguhan dan tekad yang begitu besar serta perkembangan Muhammadiyah di Desa Wonorejo, maka pada tanggal 23 November 1928 dengan surat ketetapan nomer 28 / I pengurus Muhammadiyah Cabang Surakarta menetapkan dan mengakui secara sah atas berdirinya Group Muhammadiyah Blimbing. Pemberian nama group Muhammadiyah Blimbing dan bukan group Muhammadiyah Wonorejo disebabkan karena demi keamanan kelangsungan dari persyarikatan Muhammadiyah di Desa Wonorejo. Karena nama Blimbing lebih dianggap aman dari pada memakai nama Wonorejo, karena Wonorejo menjadi incaran pemerintah kolonial Belanda. Selain itu pula adanya persamaan nama Wonorejo dengan salah satu group Muhammadiyah yang berada di Cabang Surakarta.
Peresmian berdirinya group Muhammadiyah Blimbing dihadiri oleh pengurus Muhammadiyah Cabang Surakarta seperti Kyai Siswo Wijoyo, Kyai siswo Sudarno, Kyai Martono, dan Kyai Asnawi Hadi Siswoyo. Pada peresmian berdirinya group Muhammadiyah Blimbing, diresmikan pula pandu Hizbul Wathan yang dihadiri oleh: R. Hadi Sunarto, R. Subiso, R. Surono, M. Sujono, dan M. Abdullah. Pada waktu tersebut diresmikan pula Aisyiyah yang dihadiri oleh Nyai Demang Sukati, Nyai Muh Idris, Nyai Surono, dan Nyai Gito Atmojo.
Pengurus pertama Group Muhammadiyah Blimbing diketuai oleh Bp. H. Muslich. Pada tahun 1929 Bp. H. Muslich pergi ibadah Haji, kemudian kepengurusan Group Muhammadiyah Blimbing diserahkan kepada Bp. Djalal Suyuti. Kemudian pada tahun 1931 kepengurusan Group Muhammadiyah Blimbing diketuai oleh Bp. KH. Ahmad Zaini tamatan dari Manba’ul Ulum Surakarta. Kepandaian ilmunya dan perjuangannya di bidang dakwah Islam menjadikan Bp. KH. Ahmad Zaini menjadi orang yang terpandang dan disegani oleh masyarakat Desa Wonorejo maupun dari luar Desa Wonorejo.
Awal berdirinya Group Muhammadiyah Blimbing menimbulkan konflik antara generasi tua Desa Wonorejo dengan generasi muda yang telah mendapat pengaruh ajaran Muhammadiyah. Generasi tua mengatakan orang-orang Muhamadiyah sebagai perombak adat yang ada, yang sudah sangat melekat pada generasi tua. Generasi Muda Muhammadiyah menanggapi permasalahan ini dengan kepala dingin dan tetap menghormati generasi yang lebih tua. Generesi tua didatangi satu persatu dan selalu diajak pengajian bersama-sama, lama kelamaan generasi tua menyadari kesalahannya dan secara jujur mengakui bahwa ajaran Muhammadiyah dapat diikuti kebenarannya. Bersatunya generasi tua dan tokoh-tokoh muda Desa Wonorejo menyebabkan group Muhammadiyah Blimbing yang berada di Desa Wonorejo menjadi senakin cepat berkembang kearah kemajuan.
Pada tahun 1950 ada aturan dari Muhammadiyah pusat bahwa nama group Muhammadiyah yang merupakan bagian terkecil dari struktur organisasi Muhammadiyah diganti menjadi Ranting Muhammadiyah. Pengurus Ranting Muhammadiyah Blimbing adalah Bp. KH. Ahmad Zaini sebagai ketua sedangkan Bp. H. Abdullah Syukur sebagai penulis 1, adapun penulis 2 dipegang oleh Bp. Muh. Syamsuri, Bp. H. Joyo Sudiro menjadi bagian keuangan yang dibantu oleh Bp. Muh. Sayuti. Desa-desa yang dulu menjadi desa binaan Muhammadiyah group Blimbing sebagian telah menjadi Ranting Muhammadiyah. Perkembangan group Muhammadiyah Blimbing semakin lama semakin tambah kuat dan tambah maju., sehingga Muhammadiyah Cabang Surakarta menyarankan agar Ranting Muhammadiyah Blimbing segera memproklamirkan diri menjadi cabang, dengan tidak meninggalkan aturan organisasi. Saran tersebut ditanggapi dengan baik oleh seluruh tokoh-tokoh Ranting Muhammadiyah Blimbing. Pada tanggal 17 Oktober 1953 Ranting Muhammadiyah Blimbing mengadakan rapat untuk membicarakan masalah pengajuan Ranting menjadi Cabang. Pada rapat tersebut belum menghasilkan keputusan yang mantap, sehingga pada tanggal 6-7 november 1953 Ranting Muhammadiyah Blimbing mengadakan rapat lagi. Dalam pelaksanaan tersebut yang bertempat dirumah Bp. KH. Ahmad Zaini yang saat itu menjadi pimpinan Blimbing, dihadiri sebanyak 134 yang terdiri dari 79 laki-laki dan 55 orang perempuan. Rapat tersebut menyepakati meminta kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jogjakarta lewat Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surakarta, agar Ranting Muhammadiyah Blimbing dijadikan Cabang Muhammadiyah Blimbing dengan surat no. 525 bulan November 1953. Pada tanggal 16 November 1953 Pengurus Besar Muhammadiyah di Jogjakarta memberikan SURAT KETETAPAN no. 1046/ B yang saat itu diketuai oleh Bp. KH. AR Sutan Mansur. Pada saat peresmian tersebut Cabang Blimbing sudah mempunyai 16 Ranting yaitu: Wonorejo, Kayuapak, Jatisobo, Jatirejo, Mranggen, Tepisari, Tanjung, Karangwuni, Kragilan, Premban, Bekonang, Palur, Bakdalem, Lalung, Genengrejo, dan Suruhtani (Majalah Suara Kauman, 2009: 15).
Berdirinya Cabang Muhammadiyah Blimbing tanggal 16 November 1953 atau 9 Rabi’ul Awal 1373 H, untuk pertama kalinya dipimpin oleh Bp. KH. Ahmad Zaini. Cabang Blimbing pada awal berdirinya masuk Daerah Muhammadiyah Surakarta, hal ini dikarenakan Muhammadiyah Daerah Sukoharjo belum ada. Muhammadiyah Daerah Sukoharjo baru lahir tahun 1972 yang dipimpin oleh Bp. Suyadi Siswosudarso. Dengan diresmikannya Muhammadiyah Daerah Sukoharjo menyebabkan Cabang Muhammadiyah Blimbing harus masuk Daerah Muhammadiyah Sukoharjo, hal ini disebabkan dalam struktur organisasi Muhammadiyah bahwa cabang berada ditingkat kecamatan yang harus mengikuti kabupaten.
Setelah menjadi cabang, kegiatan Muhammadiyah Blimbing semakin lebih intesif, sehingga terus lahir Ranting-Ranting baru seperti: Miri, Tirtosari dan Trani. Kemudian menyusul Ngrobyong dan Kaliduren. Setelah G 30 S/PKI lahir Ranting-Ranting baru seperti Godog, Kemasan, Kenokorejo, Pandak, Jengglong, Lemahbang, Godekan, dan sebagainya sampai sekarang telah berjumlah 28 ranting. Di Desa Wonorejo sendiri mempunyai 5 Ranting yaitu Ranting Wonorejo, Ranting Blimbing, Ranting Sayangan, Ranting Jetis Bancaan dan Ranting Kauman (Majalah Suara Kauman, 2009: 14).
Periode kepengurusan Muhammadiyah Cabang Blimbing sejak berdiri mengalami pergantian kepengurusan beberapa kali:
No
|
Nama Ketua
|
Tahun
|
1
|
KH. Ahmad Zaini
|
1953 sampai 1959
|
2
|
Marwah Mukti
|
1960 sampai 1978
|
3
|
Muh. Busroni
|
1978 sampai 1986
|
4
|
H. Umar Ma’ruf
|
1986 sampai 1991
|
5
|
H. Muh. Gufron
|
1991 sampai 2001
|
6
|
H. Ahmad Sangidu
|
2001 sampai 2006
|
7
|
Muh. Mansur
|
2006 sampai 2011
|
8
|
Muh. Mansur
|
2011 sampai 2016
|
Sumber majalah suara kauman edisi januari 2009:15
Adapun struktur Pimpinan Cabang Muhammadiyah Blimbing periode 2011-2016 sebagai berikut:
No
|
Jabatan
|
Nama
|
1
|
Ketua
|
Muh. Mansur
|
2
|
Sekretaris
|
Agus Susilo, S.Pd.I
|
3
|
Wakil Sekretaris
|
Tarno, S.Ag
|
4
|
Bendahara
|
H. Muh. Qomar
|
5
|
Wakil Bendahara
|
H. Andi Asadudin, S.Psi
|
6
|
Wakil Ketua
|
Sudarto, B.A
|
7
|
Wakil Ketua
|
H. Yunus Muhammadi
|
8
|
Wakil Ketua
|
Ridwan Sangidi
|
9
|
Wakil Ketua
|
H. Fachrudin Basuki, S.E
|
10
|
Wakil Ketua
|
Abdullah Mudzakir, B.Sc
|
11
|
Ketua Majelis PKU
|
H. Ibnu Salim, S.Pd
|
12
|
Ketua Majelis Wakaf
|
Ir. H. Rahman Haryanto
|
13
|
Ketua Majelis Dikdasmen
|
Ahmad Sigit Riswanto, S.Pd
|
14
|
Ketua Majelis Kader dan Pemberdayaan Ranting/Jama’ah
|
Drs. H. Suwarta, M.M
|
15
|
Ketua Majelis Tarjih
|
Sahadi MH
|
16
|
Ketua Majelis Tabligh
|
Qiqin Afandi
|
17
|
Ketua Majelis Ekonomi
|
Zaki Riyan Isnaini
|
Sumber: Database PCM Blimbing
B.Kiprah Dakwah
Muhammadiyah Cabang Blimbing mempunyai beberapa bidang dakwah antara lain Bagian Tabligh, Bagian PKU, Bagian Pendidikan (sekolahan), Aisyiyah dan Hizbul Wathan yang ada sejak muhamadiyah berdiri sampai saat ini.
Bagian Tabligh, pada mulainya selain menggerakkan pengajian di Desa sendiri (Wonorejo), juga mengadakan pengajian-pengajian diluar Desa Wonorejo. Desa-desa tersebut merupakan desa binaan. Desa binaan pada waktu itu antara lain: Kayuapak, Jatisobo, Bekonang, Kragilan, Palur, Karangwuni, Tanjung, dan Mranggen. Dengan sejumlah desa binaan tersebut, maka perlu adanya Muballigh, sehingga dihimpunlah para mubaligh yang ada kemudian dibentuk beberapa kelompok. Tiap kelompok diserahi membina satu desa binaan. Tentang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing kelompok. Setelah berjalan dalam waktu tertentu diadakan pergeseran dari desa satu dengan desa yang lain, agar ada penyegaran dari personil mubaligh dalam kelompok tersebut. Semakin tahun daerah binaan Muhammadiyah Cabang Blimbing semakin berkembang, hingga sampai ke Daerah Jumantono, Bakdalem, Matesih, Parakan, Ngadiluwih dan Ngrawoh.
Pada tahun 1939 sampai 1945 Desa Wonorejo kedatangan para tokoh agama dari daerah lain, dikarenakan tokoh agama tersebut mempersunting gadis dari Wonorejo. Tokoh – tokoh tersebut antara lain:
1. Bp. Marwah Mukti dari Tempurejo Jawa Timur alumni Tabligh School Jogjakarta.
2. Bp. Abdullah Syukur dari Sroyo Kebakkramat Karanganyar alumni Manba’ul Ulum Surakarta.
3. Bp. Muh. Tarom dari Plumbon Bekonang alumni Pondok Pesantren Termas Pacitan.
Dengan kehadiran tokoh-tokoh agama tersebut Muhammadiyah Blimbing mengalami kemajuan pesat.
Bagian pendidikan, Muhammadiyah sejak awal berdirinya sangat antusias terhadap pendidikan, maka Muhammadiyah Blimbing pun tidak ketinggalan. Dimulai dari pengajian anak-anak dan remaja (malam sabtu). Kemudian dirubah masuk pagi. Adapun pelajarannya disamping pelajaran agama juga diberi pelajaran umum setingkat Sekolah Desa dengan lama belajar 3 tahun, setelah tamat Sekolah Desa kemudian masuk kelas IV atau sekolah ongkoloro, namun Muhammadiyah tidak menamakan sekolahnya Sekolah Desa tetapi dinamakan Madrasah Diniyah. Madrasah diniyah sebelum memiliki gedung ditempatkan dirumah Bp. H. Ma’nan dan sekaligus rumah tersebut dijadikan pusat kegiatan Muhammadiyah Blimbing.
Pada tahun 1933 masyarakat yang motori oleh Bp. H. Muslich, Bp. H. Mukmin, dan HM. Abdullah dari Bekonang membangun sebuah gedung dua lokal dan satu langgar atau mushola yang berlokasi di Desa Wonorejo bagian timur yang sekarang menjadi SD Muhammadiyah Wonorejo.
Bagian PKU, bagian ini tidak ketinggalan juga untuk mempelopori urusan gotong royong, membantu orang yang kesusahan dengan menghimpun iuran. Selain itu, juga menggerakkan zakat fitrah, zakat mal, dan qurban pada hari raya qurban, serta melaksanakan shalat id dilapangan pada hari raya, juga ikut mempelopori tugas tugas lainnya untuk kemanusiaan. Tidak berlebihan apabila dikatakan Muhammadiyah sebagai penggerak utama hal tersebut diatas.
Bagian Aisyiyah, ibu-ibu Aisyiyah aktif dalam mengadakan pengajian pengajian khusus untuk ibu ibu, dan remaja putri, serta mengurusi serta sekaligus menyelenggarakan pendidikan madrasah pada sore hari. Pada pengembangannya sampai saat ini Aisyiyah telah mendirikan dan mengurus beberapa taman kanak-kanak.
Bagian Pandu Hizbul Wathan, adalah suatu pendidikan kepanduan yang menjadi salah satu bagian dari Muhammadiyah. Kepanduan merupakan pendidikan diluar sekolah dan diluar keluarga. HW Blimbing pada waktu itu dipimpin oleh Bp. Abdullah dari Bekonang. Karena pada waktu itu beberapa tokoh muda Bekonang kadang mengikuti kegiatan Muhammadiyah Blimbing di Desa Wonorejo. Selama pemerintahan Jepang hingga perang kemerdekaan kegiatan pandu HW pasif, kemudian sebagian besar dari pandu HW tersebut masuk menjadi anggota PETA. Pada waktu itu Muhammadiyah Blimbing ikut dalam perjuangan kemerdekaan. Mubaligh-mubaligh Muhammadiyah senantiasa membakar semangat perjuangan dan menanamkan anti kolonialisme. Generasi Muhammadiyah banyak yang masuk kelasykaran. Aisyiyah juga tidak ketinggalan aktif dalam membantuperjuangan kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan pun Muhammadiyah Blimbing juga ikut mempelopori dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia dari kolonialisme. Setelah keadaan Negara relatif aman, pada tahun 1951 pandu HW diaktifkan kembali dari pusat sampai ke ranting-ranting. Muhammadiyah Blimbing pun tidak ketinggalan digerakkan oleh H. Bunyamin, termasuk desa-desa binaan yang yang sudah menjadi Ranting Muhammadiyah Muhammadiyah. Sehingga Bp. H. Bunyamin mendapat julukan pimpinan Pandu HW Timur Bengawan. Setelah Muhammadiyah Blimbing menjadi Cabang, Pandu HW nya lebih maju lagi. Pada saat itu pimpinan Pandu HW adalah Bp. H. Muhtadi, dan Bp. Nawawi sebagai wakilnya. Sedangkan sekretaris dipercayakan kepada Bp. H. Marbadi, yang dibantu oleh Bp. Muh Said. Bendaharanya adalah Bp. H. Sirat Mardanus yang dibantu oleh Bp. Muh. Asy’ari. Untuk anggota pengurusnya terdiri dari Bp. Asrori, Bp. Muh. Kusen, Bp. Mursidi, dan Bp. Harun al Rosyid. Yang sampai saat ini (sekarang sudah wafat-red) masih setia dan aktif menjadi anggota HW sekaligus menjadi pembina adalah Bp. H. Sirat Mardanus. Beliau ini selalu siap mendapat tugas dari Muhammadiyah maupun Pandu HW baik dari Cabang Blimbing maupun Daerah Muhammadiyah dan wilayah lain ( Majalah Suara Kauman, 2009: 15)
C.Amal Usaha
Sampai saat ini amal usaha Muhammadiyah Cabang Blimbing berkembang sangat pesat seperti yang kami paparkan berikut ini:
No
|
Jenis Amal Usaha
|
Jumlah
|
1
|
Madrasah Ibtidaiyah (MI)
|
9
|
2
|
Sekolah Dasar (SD)
|
2
|
3
|
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
|
1
|
4
|
Madrasah Tsanawiyah (MTs)
|
1
|
5
|
Sekolah Menengah Atas (SMA)
|
1
|
6
|
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
|
1
|
7
|
Pondok Pesantren Modern
|
1
|
Sumber: Database PCM Blimbing
Untuk Majelis PKU Cabang Blimbing sampai saat sudah dapat menyantuni yatim, tak mampu/kurang mampu, dan lansia sudah memasuki tahun ke 25. Santunan tersebut ada yang di berikan setiap bulan yaitu: beras, uang SPP untuk SD, SMP dan SMA. Sedangkan santunan yang diberikan setiap satu tahun sekali yaitu berupa pakaian dan buku serta alat tulis. Untuk kegiatan dua tahunan adalah khitanan masal pada saat ini PKU juga memberikan pengobatan gratis bekerja sama dengan MMC (Muhammadiyah Medical Center).
Muhammadiyah sampai sampai saat ini mempunyai tanah berupa wakaf seluas 51.737 m dengan jumlah pewakaf sebanyak 88 orang. Tanah tersebut tidak dalam satu tempat, tetapiersebut tidak dalam satu tempat, tetapi ada dimana-mana dan digunakan untuk kegiatan peribadatan (masjid/mushola) seluas 7.82 m (46 pewakaf) untuk pendidikan (TK/BA, SD, MI, SMP) 10.117 m (21 pewakaf), Pondok Pesantren Imam Syuhodo 20.860 m (7 pewakaf), PKU 12.500 m (12 pewakaf) dan balai Muhammadiyah serta TPQ 435 m (2 pewakaf) (Sumber: Database PCM Blimbing).
0 komentar:
Posting Komentar