728x90 AdSpace

Latest News
Kamis, 01 Januari 2015

Al Qur’an Menjunjung Tinggi Perempuan




Oleh: Dr. H. Shabah S.M. Syamsi, M.A.
Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah,
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَـٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّـهُ ۗ إِنَّ اللَّـهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ، التوبة : ﴿٧١

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At Taubah [9] : 71)

Sebagaimana laki-laki, perempuan juga memiliki tugas-tugas menegakkan agama, seperti amar ma’rûf dan nahî munkar (memerintah yang baik dan mencegah kemungkaran). Perempuan wajib menegakkan kebenaran dan keadilan, mengokohkan akhlak yang tinggi di dalam masyarakat. Perempuan berkewajiban menjaga rumah tangga, masyarakat dan negara. Seperti laki-laki, perempuan wajib melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa, dan melaksanakan ibadah haji. Oleh karenanya, perempuan berhak memiliki hartanya sendiri, mengelola, dan mengaturnya. Islam tidak merendahkan martabat perempuan, bahkan mengangkatnya setinggi-tingginya.
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, tidak dimaksudkan untuk saling menghinakan, saling memusuhi, dan saling merendahkan. Tapi diciptakan untuk saling kenal-mengenal, bekerjasama, saling menghargai, guna membangun rumah tangga dan masyarakat berdasarkan taqwa. Keutamaan seseorang tidak diukur karena dia laki-laki atau perempuan, tapi karena tingkat ketaqwaannya (Q.S. Al Hujurât [49] : 13, juga An Nisâ’ [4] : 1).
Al Qur’an menyebutkan tentang kisah perempuan-perempuan terhormat. Bahkan ada di antara mereka yang menerima wahyu dari Allah, seperti ibu Nabi Musa yang diperintahkan Allah untuk menghanyutkan Musa di dalam peti ke dalam arus sungai Nil. Ada pula Maryam, seorang gadis suci dalam kehidupan zuhud dan penjaga Masjid Al Aqsha, yang melahirkan Nabi Isa. Dalam Al Qur’an juga disebutkan kakak perempuan Nabi Musa yang bertugas mengintai kemana adiknya hanyut di sungai Nil. Disebutkan pula dua gadis anak Nabi Syuaib yang menggembala kambing di negeri Madyan. Salah satu gadis itu menjadi istri Musa. Disebut juga di dalam Al Qur’an istri Fir’aun, Asiyah yang mengangkat Musa sebagai anak, memelihara dan membelanya hingga dewasa. Dikisahkan pula tentang seorang ratu di negeri Saba’, Ratu Balqis, yang mempunyai wibawa besar sehingga negeri-negeri lain tunduk dalam kekuasannya.
Al Qur’an juga berbicara banyak tentang perempuan; gugatan perempuan kepada suami (Q.S. Al Mujâdilah [58] : 1-6), perempuan yang turut hijrah bersama Rasulullah Saw, dan perlakuan terhadap mereka (Q.S. Al Mumtahanah [60] : 10-13), adab dalam rumah tangga (Q.S. An Nûr [24] : 27-28), kesopanan, sikap hidup, dan kesamaan (Q.S. Al Ahzâb [33] : 33-35, At Thalâq [65] : 1-4), hak-hak perempuan (Q.S. An Nisâ’ [4] : 7). Semua ayat-ayat itu menegaskan bahwa dalam Islam tidak ada perempuan yang dihinakan atau disia-siakan. Mereka memiliki peran, hak dan tanggung jawab sama penting dengan laki-laki.

Pembagian Tugas, Saling Mendukung dan Melengkapi
Walaupun perempuan itu memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, tetapi tidak harus melakukan hal-hal di luar kemampuan. Laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sehingga tugas yang diemban pun bisa jadi berbeda. Maka antara perempuan dan laki-laki ada pembagian tugas, selalu saling mendukung dan melengkapi.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dari Ibn Abbas bahwa ada seorang perempuan diutus teman-teman perempuannya untuk menghadap Rasulullah Saw, perempuan itu mempertanyakan masalah jihad kepada beliau. Sebagaimana yang dipahami, jihad itu untuk laki-laki saja. Kalau menang dalam jihad, laki-laki itu mendapat pahala. Jika meninggal, mereka mati syahid. Sedang kaum perempuan, sebagaimana yang dipahami, hanya menjaga rumah dan anak-anak di rumah. Rasulullah menjawab, “Sampaikan kepada kawan-kawanmu sesama perempuan nanti setelah ketemu, bahwasanya taat setia kepada suami dan mengakui akan hak suami itu adalah sama nilainya dengan perjuangan laki-laki sebagai yang kamu pertanyakan itu.” Dalam riwayat lain Rasulullah berkata, “Sampaikan kepada kawan-kawanmu perempuan yang mengutusmu kemari, bahwasanya ketaatan dan mengamalkan apa yang diridhai Allah, adalah lebih mengimbangi segala kelebihan yang ada pada laki-laki.”
Buya Hamka menambahkan bahkan dalam hal kewajibanpun, karena kondisi yang berbeda, perempuan bisa jadi mendapat hak istimewa. Contohnya, kewajiban shalat. Karena dalam setiap bulan perempuan mengalami datang bulan (haid), maka mereka diberi keistimewaan untuk tidak menjalankan shalat pada saat itu. Begitu pula kewajiban puasa. Perempuan boleh tidak puasa, dengan leluasa mengganti di hari lain di luar Ramadhan, karena mengalami haid.
Oleh karenanya, yang terpenting dalam menjalin hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah adanya saling memahami, saling mendukung dan rela berkorban. Kata Buya Hamka, “Yang laki-laki sampai putih rambut di kepala, mencarikan keperluan rumah tangga. Yang perempuan habis tenaga, memelihara rumah tangga, mendukung suami, mendidik anak-anak. Keduanya sama-sama berkorban.”
Kalaulah perempuan diwajibkan taat kepada suami, maka hal itu diperintahkan sebagai imbalan jasa suami yang telah berkorban dalam perjuangan hidup. Sedemikian besar perjuangan suami, maka istri harus mentaatinya, hingga diriwayatkan dalam hadits bahwa sekiranya dibolehkan seorang sujud kepada orang lain, Rasulullah akan perintahkan perempuan (istri) untuk sujud kepada suami. Meskipun sedemikian besar keharusan seorang istri taat kepada suami, namun seorang suami juga harus memiliki sikap yang terbaik pula kepada istrinya. Rasulullah bersabda, “Orang-orang yang baik di antara kamu adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya. Aku sendiri adalah baik terhadap keluargaku. Perempuan adalah orang yang mulia dan tidaklah menghinakan perempuan melainkan orang yang hina juga.” (H.R. Ibn Majah)

Penghargaan Kepada Ibu
Salah satu bentuk penghargaan Islam yang tinggi kepada perempuan adalah penghargaannya kepada sang ibu. Di dalam Al Qur’an disebutkan betapa seorang ibu itu sangat mulia. Ketaatan seorang kepada ibu didudukkan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (Q.S. Al Isrâ’ [17] : 23-25). Kemuliaan seorang ibu itu demikian besar, karena dia telah berjasa sangat besar kepada anak-anaknya. Sang ibu bersusah payah sejak proses mengandung, melahirkan, menyusui, dan memelihara anak-anaknya (Q.S. Luqmân [31] : 14). Maka sebagai bentuk kesyukuran, sang anak wajib menghormati, memuliakan, dan berbakti kepada ibunya.
Dalam hadits-hadits Nabi, kita diberikan tuntunan bagaimana seharusnya berbakti kepada kedua orangtua, mana yang didahulukan, ayah atau ibu. Rasulullah menjawab, “ibumu” hingga tiga kali. Bahkan ketika seorang sahabat ingin ikut berjuang fi sabilillah bersama Rasulullah Saw, ditanya apakah masih mempunyai ibu. Sahabat itu menjawab, masih mempunyai ibu yang yang tua. Rasulullah menyuruhnya untuk duduk bersama ibunya, seraya mengatakan, “Duduklah di sampingnya, di sanalah terletak surga.” Menghormati, memuliakan dan berbakti kepada ibu, setingkat dengan jihad fi sabilillah. Dalam hadits-hadits yang lain dijelaskan umpamanya bahwa surga itu berada di bawah telapak kaki ibu. Ridha Allah itu tergantung pada ridha ibu-bapak, dan murka-Nya tergantung kepada murka keduanya.
Maka sebesar-besar dosa, setelah dosa menyekutukan Allah adalah uqûq al-wâlidain (durhaka kepada ibu-bapak). Bahkan andaikata berbeda keyakinan pun dengan ibu, kesetiaan dan ketaatan masih harus diberikan kepadanya kecuali dalam hal keyakinan (Q.S. Luqmân [31] : 15).

Kebebasan Perempuan
Ada suatu riwayat bahwa seorang gadis mengadukan dirinya kepada Rasulullah karena ayahnya menikahkannya dengan anak saudara ayahnya. Rasulullah berkata kepada gadis itu, “Terserah kepadamu. Kalau kamu tidak suka, akan aku pisahkan kalian.” Gadis itu menjawab, “Aku terima apa yang dilakukan oleh ayahku. Cuma sekarang aku datang kepadamu ya Rasulullah, supaya perempuan tahu bahwa tidaklah mesti terserah ayah saja segala urusan.”
Riwayat di atas menunjukkan bahwa perempuan mempunyai kebebasan untuk menerima atau tidak laki-laki yang akan menjadi suaminya. Itulah maka para ulama fiqih mempersilahkan perempuan sebelum menikah untuk membuat persyaratan bagi calon suami. Dia boleh membuat “ta’liq thalaq” (talak bergantung). Misalnya, dia membuat syarat, kalau saya disakiti, tidak diberi nafkah, suami tidak pulang sekian bulan, dan lain sebagainya. Bila syarat yang dibuat itu dilanggar oleh suami, maka jatuhlah talak dan dengan sendirinya dia terpisah dari laki-laki itu. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa perempuan boleh saja membuat ta’liq  bahwa suaminya tidak boleh berpoligami. (Hamka, 1996: 58)
Perempuan mempunyai kebebasan melakukan apa yang disebut khulu’. Yaitu dengan persetujuan antara suami-istri, karena kebebasan pribadi, seorang istri boleh memberi ganti rugi dengan jumlah tertentu kepada suami, asal suami mau menceraikannya.
Setelah bersuami, seorang istri masih mempunyai hak kepemilikan harta, hak atas kehormatan keluarga, dan hak-hak yang lain. Meskipun seorang perempuan sudah bersuami, tidak kemudian hartanya menjadi milik suami. Bahkan namanya pun masih dinisbatkan kepada ayahnya, tidak dinisbatkan kepada suami. Kepribadian seorang perempuan tidak hilang, lantaran bersuami. Perempuan itu tetap berhak memperteguh kepribadiannya.
Buya Hamka mengutip fatwa Ibn Qayyim al-Jauziyyah bahwa seorang anak gadis yang telah baligh berakal dan cerdas, ayahnya tidak boleh berbuat sesuka hati terhadap harta yang dimiliki kecuali dia suka. Ayah tidak boleh memaksa anaknya untuk membelanjakan hartanya di luar persetujuannya. Padahal mengeluarkan harta anak gadisnya tanpa rela itu lebih mudah dari menikahkan anak perempuan dengan laki-laki yang tidak disukai. Mengeluarkan harta anak perempuannya tanpa rela saja tidak boleh, apalagi mengawinkannya dengan orang yang tidak disukai. (Hamka, 1996: 61).
Perempuan juga berhak mendapatkan dan menentukan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang disukai. Perempuan berhak menuntut ilmu yang setinggi-tingginya. Rasulullah sangat menganjurkan agar kaum perempuan menguasai ilmu pengetahuan dan memberikan kontribusi bagi kemajuan peradaban manusia. Rasulullah bersabda, “Menuntut ilmu itu merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan.”
Di balik kejayaan suatu bangsa, terdapat keteguhan jiwa dan perjuangan kaum perempuan. Maka ada kata-kata hikmah yang menyebutkan bahwa perempuan itu adalah tiang negara. Bila perempuannya baik, baiklah negara, bila perempuan bobrok, bobrok pula negara.
Maka upaya menjunjung harkat kaum perempuan, memberikan pencerahan dan pemberdayakan mereka, tidak lain adalah upaya meninggikan agama dan memajukan bangsa. Sedangkan upaya merendahkan, menghinakan, bahkan menghapuskan peran perempuan, adalah upaya menghancurkan agama dan bangsa. Wallahu a’lam. [tabligh]
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Al Qur’an Menjunjung Tinggi Perempuan Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu