728x90 AdSpace

Latest News
Minggu, 18 Januari 2015

Al-Qur’an Al-Karim: Sejarah Pengumpulan dan Metodologi Penafsiran



Oleh: Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, M.A
Ketua PP Muhammadiyah, Guru Besar Unmuh Yogyakarta

Saya ingin menggunakan kesempatan yang berharga ini untuk mengangkat kembali sejarah pengumpulan Al-Qur’an (jam’u Al-Qur’an) untuk menegaskan secara akademik bahwa kitab suci Al-Qur’an yang sampai kepada kita sekarang ini benar-benar otentik dan valid sebagaimana yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, tanpa mengalami penambahan atau pengurangan satu ayat, bahkan satu huruf pun. Cara membacanya pun tidak berubah walaupun hanya satu harakat, karena Al-Qur’an ditransfer tidak hanya secara tertulis, tetapi yang lebih utama lagi secara lisan turun temurun dengan sanad yang bersambung dan dipercaya sampai kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Umumnya pada setiap mushaf yang diterbitkan, di bagian belakangnya dijelaskan secara ringkas tentang sumber qirâah yang diikuti, tatacara penulisan, jumlah ayat, pembagian kepada juz, hizb dan rubu’nya, makki madani dan juga tanda berhenti dan lain sebagainya. Sebagai contoh dapat kita lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya, keluaran Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, cetakan Mujamma’ al-Malik Fahd di Madinah al-Munawarah yang beredar luas di Indonesia. Dijelaskan pada bagian belakang, bahwa mushaf tersebut ditulis dan diberi syakal sesuai dengan riwayat Hafash ibn Sulaimân ibn al-Mughîrah al-Asadi al-Kûfi, berdasarkan qirâah ‘Ăshim ibn Abi an-Najûd al-Kûfi at-Tâbi’i dari Abi ‘Abd ar-Rahmân ‘Abdillah ibn Habîb as-Sulami dari ‘Utsmân ibn ‘Affân, ‘Ali ibn Abi Thâlib, Zaid ibn Tsâbit dan Ubayya ibn Ka’ab dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. [1] Penulisan huruf-hurufnya sesuai dengan mushaf yang dikirim oleh Khalifah ‘Utsmân ibn ‘Affân ke Bashrah, Kûfah, Syâm, Makkah, mushaf untuk penduduk Madinah dan mushaf yang disimpan beliau pribadi. Pemberian harakât atau syakal huruf-hurufnya diambilkan dari kitab at-Tharâz ‘ala Dhabth al-Kharâz karya Imam at-Tanasi. Jumlah ayatnya mengikuti penghitungan ulama Kûfah dari Abi ‘Abd ar-Rahmân ‘ Abdillah ibn Habîb as-Sulami dari ‘Ali ibn Abi Thâlib radhiallahu ‘anhusebagaimana yang tertera dalam kitab Nâzhimah az-Zuhr karya Imam asy-Syâthibi dan imam-imam lainnya yang membahas tentang jumlah ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu 6236 ayat. [2]
Tentang jumlah ayat ini menarik kita perhatikan karena di Indonesia, tidak hanya di kalangan awam, tetapi juga di kalangan mahasiswa, bahkan sampai tingkat strata dua pun, juga sebagian ustadz-ustadz kalau ditanya berapa jumlah ayat Al-Qur’an, dengan mantap dan yakin menjawab 6666, sebuah angka yang gampang dihafal dan terkesan hebat. Padahal dalam literatur yang dipercaya, terutama yang berhasa Arab karya para ulama ulumul Qur’an tidak ada seorang pun yang menyebutkan angka tersebut. Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm az-Zarqâni dalam kitabnya Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’an menyebutkan bahwa para penghitung jumlah ayat-ayat Al-Qur’an sepakat pada angka 6200, tetapi berbeda pada puluhan dan satuannya. Menurut hitungan ulama Madinah awal 17 (6217 ayat), demikianlah pendapat Nâfi’. Menurut Ulama Madinah akhir 14 (6214 ayat), demikian pendapat Abi Syaibah dan 10 (6210 ayat) menurut Abu Ja’far. Menurut hitungan ulama Makkah 20 (6220 ayat). Menurut ulama Kûfah 36 (6236 ayat), demikian pendapat Hamzah az-Ziyât. Ulama Bashrah ada yang berpendapat 4 (6204 ayat) atau 5 (6205 ayat) dan ada juga yang mengatakan 19 (6219 ayat) sebagaimana dikatakan oleh Qatâdah. Menurut Ulama Syâm 26 (6226 ayat) sebagaimana dikatakan oleh Yahya ibn al-Hârits ads-Dzumari. [3]
Berdasarkan rujukan di atas tidak ada satupun yang sampai angka 6300, apalagi 6666 sebagaimana yang populer di Indonesia. Perbedaan menghitung ayat ini tidak punya konsekuensi apa pun pada jumlah ayat yang sebenarnya. Artinya tidak ada ayat yang berlebih atau berkurang. Secara de fakto semuanya sama. Perbedaan hanya pada bilangan karena terjadi perbedaan dalam menilai ayat yang dibaca oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tatkala Rasulullah berhenti, untuk memberitahukan bahwa ini adalah ujung ayat, kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallammenyambungnya dengan ayat berikut untuk kesempurnaan makna, maka ada yang mengganggapnya ujung ayat, tetapi ada juga yang tidak menilainya demikian.

SEJARAH PENGUMPULAN AL-QUR’AN
Secara teologis, kita meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sendirilah yang memberikan jaminan terhadap keutuhan dan keaslian Al-Qur’an sepanjang zaman. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr [15]:9)
Jaminan Allah tersebut tidak lah bersifat otomatis, tetapi melalui usaha manusia, seperti yang terlihat dalam sejarah pengumpulan Al-Qur’an. Yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Qur`an (jam’u Al-Qur’an) ada dua hal: Pertama, penghafalan Al-Qur`an (hifzhuhu fi as-shudûr), dan kedua, penulisannya huruf demi huruf, ayat demi ayat dan surat demi surat, baik dalam lembaran-lembaran yang masih terpisah-pisah maupun dalam lembaran-lembaran yang sudah dibukukan dalam satu mushaf (jam`uhu fi as-suthur)[4]
Pengumpulan Al-Qur`an dalam sejarahnya berlangsung dalam tiga periode: (1) Pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, (2) pada masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddîq radhiallahu ‘anhu, dan (3) pada masa khalifah Utsmân bin ‘Affân radhiallahu ‘anhu. Masing-masing periode punya ciri-ciri sendiri. Periode pertama ditandai dengan penghafalan dan penulisan Al-Qur`an di media-media sederhana ( seperti tulang dan kulit binatang, pelepah kurma dll). Periode kedua ditandai dengan pembukuan Al-Qur`an dalam sebuah mushaf oleh panitia tunggal Zaid bin Tsabit. Periode ketiga ditandai dengan pembukuan Al-Qur`an dalam beberapa mushaf dengan sistem penulisan yang akomodatif terhadap qirâât sab`ah, yang kemudian dikirimkan ke beberapa ibu kota provinsi (waktu itu) untuk menjadi mushaf standar bagi umat Islam.

1. Pengumpulan Al-Qur’an pada Zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Ketika Al-Qur`an diturunkan, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam segera berusaha menghafalnya karena untuk beliau pribadi, itulah satu-satunya cara memelihara Al-Qur`an, sebab, sebagaimana dicatat oleh sejarah beliau seorang ummy yang tidak bisa membaca dan menulis. Tapi kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kepada beliau sebuah keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu kemampuan otomatis membaca, menghafal dan memahami Al-Qur`an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur`an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membaca. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya akan tanggungan kami-lah penjelasannya.” ( QS. Al-Qiyamah [75]:16-19)
Jaminan itu perlu diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingat Nabi adalah sumber rujukan para sahabat. Nabilah yang kemudian membacakan ayat-ayat Al-Qur`an kepada para sahabat baik secara langsung untuk maksud tersebut atau secara tidak langsung dengan mengulang-ulang membacanya waktu shalat. Di samping itu secara khusus Nabi mendiktekan ayat-ayat yang turun itu kepada para penulis wahyu yang beliau tunjuk sendiri. Kemudian ayat-ayat tersebut disebar luaskan oleh para sahabat baik kepada sesama sahabat maupun kepada umat Islam lainnya. Di samping jaminan itu, setiap tahun Malaikat Jibril datang memdereskan semua ayat-ayat yang sudah turun kepada Nabi, dan pada tahun terakhir Malaikat Jibril datang dua kali.[5]
Para sahabat berlomba-lomba menghafal ayat-ayat yang diturunkan. Mereka saling membantu dan berbagi hafalan. Sehingga jumlah mereka yang hafal Al-Qur`an tidak terhitung banyaknya. Di antaranya Abu Bakar, ‘Umar, `Ustmân, `Ali, Thalhah, Sa`ad, Ibnu Mas`ûd, Hudzaifah, Sâlim Maula Abi Hudzaifah, Abu Hurairah, Ibnu `Umar, Ibnu `Abbâs, ‘Amru ibn ‘Ăsh, Abdullah ibn `Amru, Mu`awiyah, Ibnu Zubair, Abdullah ibn Saib, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah (semuanya dari Muhajirin), Ubaiyya ibn Ka`ab, Muadz ibn Jabal, Zaid ibn Tsâbit, Abu Dardâ’, Anas ibn Mâlik, Abu Zaid dan lain-lain dari golongan Anshar. Sebagai gambaran banyaknya jumlah penghafal Al-Qur`an dapat kita lihat pada jumlah para penghafal Al-Qur`an yang gugur dalam beberapa peristiwa. Al-Qurthubi menyebutkan : “Telah gugur pada hari Yamamah 70 orang qurrâ`dan dalam peristiwa Sumur Ma`ûnah pada zaman Rasul sejumlah itu juga.[6]
Banyaknya para sahabat yang hafal Al-Qur`an tidaklah mengherankan karena: (1) Secara tradisi mereka sudah terbiasa dan terlatih hafal menghafal, terutama menghafal syair-syair dan garis keturunan (ansâb), (2) mereka sangat mencintai Al-Qur`an, (3) fasilitas tulis menulis yang sangat terbatas. Sampai sekarang pun bangsa Arab masih memelihara tradisi hafal-menghafal tersebut. Pergilah ke Masjidil Haram pada bulan Ramadhan, anda akan menyaksikan hufâzh cilik membaca satu juz setiap malam selama bulan Ramadhan.
Tradisi menghafal Al-Qur’an diperlihara umat Islam turun temurun sepanjang zaman di seluruh dunia, tidak hanya pada bangsa-bangsa yang berhasa Arab, tetapi juga pada bangsa-bangsa yang lain, termasuk bangsa Indonesia. Sangat mudah menemukan para penghafal Al-Qur’an 30 juz, baik tua mau pun muda dan juga anak-anak. Baik yang mengerti bahasa Arab atau tidak tahu sama sekali. Baik yang memahami maksud ayat yang dibaca mau pun yang tidak memahaminya. Di samping usaha keras, kita meyakininya sebagai wujud dari janji Allah Subhanahu wa Ta’aladalam Surat Az-Zumar. Dalam Surat ini empat kali Allah Subhanahu wa Ta’alaberjanji akan memudahkan Al-Qur’an untuk zikir. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:
“Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Q.S. Al-Qamar [54]:17)
Dalam kitab at-Tafîir al-Muyassar dijelaskan bahwa maksud ayat di atas adalah, Allah Subhanahu wa Ta’alatelah memudahkan lafazh Al-Qur’an untuk dibaca dan dihafal, dan telah memudahkan kandungannya untuk dipahami dan direnungkan.[7]
Sebagaimana di singgung di atas, setiap kali ayat-ayat turun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallammendiktekan kepada para penulis wahyu yang ditinjuk khusus untuk itu. Nabi tidak hanya mendiktekan ayat demi ayat tapi sekaligus memberikan petunjuk letak ayat itu di mana. Sesudah ayat mana, pada surat mana, atau dengan kata lain Nabi sudah memberikan petunjuk tentang tartîb al-âyât wa as-suwar. Ibnu Abbas mengatakan: “Jika satu surat diturunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau memanggil sebagian penulis wahyu kemudian memerintahkan: “Letakkan surat ini pada tempat ini, begini-begini” (HR. Thirmidzi)[8]
Dalam kitabnya al-Mustadrak, sebagaimana dikutip oleh as-Suyûthi, Hâkim meriwayatkan dengan sanad sesuai dengan syarat asy-Syaikhain bahwa Zaid ibn Tsâbit mengatakan: “Kami pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyusun al-Qur`an pada Riqâ’”.[9] Yang dimaksud oleh Zaid dengan menyusun Al-Qur`an di sini adalah menyusun surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai dengan petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang bersifat tauqîfi (berdasarkan petunjuk Allah sebagaimana yang disampaikan oleh Malaikat Jibril)[10] Media yang dipakai waktu itu memang sederhana sekali, bahkan seadanya, mengingat fasilitas tulis menulis yang sangat terbatas. Misalnya pelepah kurma, batu tipis, kulit binatang, dan, dan lain-lain.
Para penulis wahyu yang masyhur antara lain: Abu Bakar ash-Shiddîq, `Umar ibn Khathâb, `Utsmân ibn Affân, `Ali ibn Abi Thâlib, Mu`wiyah ibn Abi Sufyân, Zaid ibn Tsâbit, Ubayya ibn Ka`ab, Khâlid ibn Walîd, dan Tsâbit ibn Qais[11]. Ada yang menjadi penulis wahyu sejak periode Makkah dan ada yang hanya pada periode Madinah. Di samping penulis wahyu resmi yang ditunjuk oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallamkita menyakini tentu masih ada sahabat lain yang dengan inisiatif sendiri menuliskannya.
Penulisan para sahabat tersebut mencakup Al-Ahruf As-sa`bah sebagaimana Al-Qur`an diturunkan, mencakup yang dinasakh tilawahnya (mansûkh at-tilâwah), sebagian hanya berdasarkan khabar wahid, dan penulisannya tidak tersusun sesuai dengan urutan surat dan ayat dan tidak terkumpul dalam mushaf atau shuhuf.[12]
Sekalipun ayat-ayat yang diturunkan dituliskan oleh para penulis wahyu, tapi yang menjadi acuan utama dalam transfer Al-Qur`an dari Rasul kepada sesama umat Islam bukanlah tulisan itu, tapi hafalan atau periwayatan secara lisan.
Kenapa pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam Al-Qur`an tidak dihimpun dalam satu mushaf? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Az-Zarqani mengemukakan beberapa alasan: (1) Umat Islam belum membutuhkannya karena para Qurâ` banyak, hafalan lebih diutamakan daripada tulisan, alat tulis menulis sangat terbatas, dan yang lebih penting lagi Rasul masih hidup sebagai rujukan utama. (2) Al-Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun, dan masih mungkin ada ayat-ayat yang akan dinasakh oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan (3) susunan ayat dan surat-surat Al-Qur`an tidaklah berdasarkan kronologis turunnya.[13]

2. Pengumpulan Al-Qur`an Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pengumpulan Al-Qur`an dalam sebuah mushaf pada masa khalifah Abu Bakar berawal dari inisiatif Umar ibn Khathâb. Umar khawatir, mengingat banyaknya para qurâ` atau huffâzh gugur dalam beberapa peristiwa seperti peristiwa Yamamah dan Sumur Ma`ûnah, lama-lama bisa habis para sahabat yang hafal Al-Qur`an. Keadaan seperti itu kalau tidak segera diantisipasi bisa berakibat fatal bagi kelangsungan Islam untuk masa-masa yang akan datang. Oleh sebab itu Umar mengusulkan kepada Abu Bakar, sebagai Khalifah, untuk mengumpulkan Al-Qur`an dalam satu mushaf. Semula Abu Bakar keberatan karena khawatir termasuk perbuatan bid`ah, sebab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan seperti itu. Tetapi Umar berhasil menyakinkan Abu Bakar bahwa usaha pengumpulan Al-Qur`an seperti yang diusulkannya itu hanyalah meneruskan apa yang telah dirintis oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri, karena beliau telah memerintahkan kepada para penulis wahyu menuliskan semua ayat yang turun. Tugas kita, kata Umar, hanyalah mengumpulkan kembali tulisan-tulisan yang berserakan itu untuk kemudian membendelnya jadi satu satu sehingga terpelihara keutuhan dan keasliannya. Usaha seperti itu sangat bermanfaat sekali bagi umat Islam, apalagi untuk masa-masa yang akan datang, setelah generasi sahabat satu persatu meninggal dunia.[14]
Abu Bakar melihat, yang paling tepat melaksanakan tugas suci tersebut adalah Zaid ibn Tsâbit, karena dia: (1) termasuk barisan huffâzh Al-Quran dan sekaligus salah seorang penulis wahyu yang ditunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, apalagi dia menyaksikan tahap-tahap akhir Al-Qur`an diturunkan kepada Rasul, (2) Terkenal cerdas, sangat wara`, amanah dan istiqamah. Umar setuju dengn pilihan Abu Bakar itu.[15]
Seperti halnya Abu Bakar, semula Zaid juga ragu-ragu menerima tugas tersebut. Tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar akhirnya dia bersedia melaksanakannya di bawah bimbingan Abu Bakar, Umar dan para sahabat senior lainnya.[16]
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid mengikuti metode yang digariskan oleh Abu Bakar dan Umar, yaitu mengumpulkan Al-Qur`an dengan tingkat akurasi yang tinggi dan hati-hati. Sumbernya tidak cukup hanya hafalan dan catatan yang dibuat oleh Zaid sendiri, tapi harus bersumber dari dua sumber sekaligus: (1) Catatan-catatan yang pernah dibuat di zaman Rasul, dan (2) hafalan para sahabat. Setiap sumber harus dikuatkan oleh dua orang saksi yang dipercaya.[17]
Zaid ibn Tsâbit berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Tersusunlah sebuah mushaf yang dikumpulkan dengan tingkat akurasi yang tinggi dari sumber yang mutawatir dan diterima secara ijma` oleh umat Islam waktu itu. Ayat-ayat yang sudah dinasakh tidak lagi dituliskan. Ayat-ayat sudah disusun sesuai dengan urutannya berdasarkan petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tetapi surat demi surat belum lagi tersusun sebagaimana mestinya.[18]
Demikianlah, sebuah mushaf telah tersusun atas inisiatif Umar, bimbingan Abu Bakar, tugas mulia Zaid dan bantuan para sahabat. Jazâhumullahu khairan katsîran. Mushaf tersebut disimpan oleh Abu Bakar, kemudian oleh `Umar (setelah Abu Bakar meninggal) dan Hafshah (setelah Umar meninggal).

3. Pengumpulan Al-Qur`an pada Masa `Utsman ibn `Affan
Pengumpulan Al-Qur`an pada masa khalifah ketiga Utsmân ibn Affân dilatarbelakangi oleh kekhawatiran meluasnya perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin tentang penulisan dan bacaan Al-Qur`an yang benar. Terutama setelah wilayah Khilafah Islamiyah semakin meluas ke utara dan ke Afrika Utara. Umat Islam di masing-masing propinsi waktu itu mengikuti qirâah sahabat yang berbeda-beda. Misalnya umat Islam di Syâm mengikuti qirâah Ubayya ibn Ka`ab, Kûfah mengikuti qirâah Abdullah ibn Mas`ûd dan wilayah lain mengikuti qirâah Abu Musa Al-Asy`ari. Satu sama lain berbeda sesuai dengan variasi qirâah yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Perbedaan qirâah seperti itu menjadi masalah bagi sebagian umat Islam, terutama yang tidak mengerti dan tidak tahu bahwa Al-Qur`an diturunkan dalam beberapa versi qirâah. Dilaporkan oleh Hudzaifah ibn al-Yaman kepada khalifah `Utsmân tentang perbedaan pendapat yang terjadi tentang qirâah antara umat Islam dari Iraq dengan umat Islam dari Syam waktu perang Armenia. Kalau tidak segera diatasi dikhawatirkan pada masa yang akan datang akan menimbulkan fitnah dan malapetaka besar bagi umat Islam. Kekhawatiran `Utsmân itu dapat terbaca jelas dalam pidatonya waktu itu: “Anda semua yang dekat denganku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih berbada lagi”. (HR. Abu Daud). [19]
Utsmân segera mengambil langkah antisipatif dengan membentuk sebuah team penulisan kembali Al-Qur`an kedalam beberapa mushaf dengan acuan utama mushaf Abu Bakar. Team terdiri dari empat orang sahabat yang terbaik dan terpercaya untuk melaksanakan tugas suci ini. Ketua team Zaid ibn Tsâbit, anggota Abdullah ibn Zubair, Sa`ad ibn Ash dan Abdurrahmân ibn Hârits ibn Hisyâm. Ketiga anggota berasal dari suku Quraisy, berbeda dengan Zaid yang dari Madinah. Komposisi tiga orang dari Quraisy itu nanti diperlukan dalam memenangkan logat atau dialek Quraisy apabila terjadi perbedaan pendapat antara anggota team dengan dengan Zaid. Utsmân memang memberi petunjuk seperti itu, apabila terjadi perbedaan pendapat dengan Zaid maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur`an diturunkan dalam logat mereka.
Di bawah arahan Utsmân, team bekerja sekuat tenaga untuk menulis kembali Al-Qur`an dalam beberapa mushaf dengan satu sistem penulisan yang diusahakan semaksimal mungkin dapat menampung perbedaan qirâah.[20] Sistem penulisan ini lah kemudian dikenal dengan sebutan ar-Rasmu al-‘Utsmâni.
Untuk kata-kata yang tetap hanya bisa dibaca dalam satu versi qirâah saja padahal ada qirâah lain maka team menuliskan versi Quraisy. Utsman juga memberi petunjuk kepada tiga anggota team dari Quraisy bahwa apabila mereka bertiga berbeda pendapat dengan Zaid tentang cara penulisan, maka tulislah dengan logat Quraisy karena Al-Qur`an diturunkan dengan logat mereka. Kata `Utsmân: “Bila kalian (bertiga) berselisih bacaan dengan Zaid ibn Tsâbit, maka tulislah berdasarkan bacaan Quraisy, karena (pada pokoknya) Al-Qur`an diturnkan dengan bahasa mereka.” (HR. Bukhari)[21]
Kalau mushaf yang ditulis di masa Abu Bakar sudah menyusun ayat demi ayat sesuai dengan urutannya yang tauqifi tetapi belum menyusun surat demi surat sesuai dengan urutannya, maka team empat menyempurnakannya dengan menyusun surat demi surat sesuai dengan urutannya (tartîb as-suwar).
Setelah kerja tim selesai Utsmân mengirimkan mushaf-mushaf tersebut ke beberapa wilayah untuk jadi standar.[22] Tiada mushaf yang dikirim tanpa seorang qâri (pembaca). Misalnya, ‘Abdullah ibn as-Sâib dikirim ke Makkah, al-Mughîrah ibn Syihâb ke Suriah, ‘Amir ibn Abd Qais ke Bashrah dan ‘Abu ‘Abd ar-Rahman as-Sulami ke Kûfah. Setelah itu Utsmân memerintahkan kepada para sahabat atau siapa saja yang memiliki shahîfah, shuhuf atau mushaf pribadi supaya membakarnya atau menyerahkannya kepada pemerintah untuk dibakar, untuk menghindari kemungkinan terjadi perbedaan atau perselisihan di kemudian hari. Sedangkan mushaf Abu Bakar dikembalikan kepada Hafshah. Mus’ab ibn Sa’ad menyatakan bahwa masyarakat dapat menerima keputusan Utsmân, setidaknya tidak terdengar kata-kata keberatan. Sebuah riwayat dari ‘Ali ibn Abi Thalib menguatkan adanya kesepakatan dari para sahabat terhadap apa yang dilakukan oleh Utsmân. Ali berkata tentang Utsmân: “Demi Allah, dia tidak melakukan apa-apa dengan masahif itu kecuali dengan persetujuan kami semua. [23]

METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Masalah berikutnya yang ingin saya angkat adalah tentang penafsiran Al-Qur’an, persisnya bagaimana menafsirkan Al-Qur’an secara tepat sehingga Al-Qur’an dapat betul-betul efektif berfungsi sebagai hudan, petunjuk dan pedoman dalam mengarungi samudera kehidupan ini.
Secara etimologis tafsir berarti keterangan dan penjelasan (al-idhâh wa at-tabyîn). Dan secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sebatas kemampuan manusia.[24]
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di samping dibatasi oleh kemampuan masing-masing sebagai manusia, para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, sosial budaya yang berbeda-beda, sehingga bentuk, metode dan corak penafsiran mereka juga berbeda-beda.
Sejauh ini, dikenal ada dua bentuk penafsiran , yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin danmaudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.[25]
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.[26]
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat pertama-tama menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan; Kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an; Ketiga, apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri. Baru yang terakhir, sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti ‘Abdullah ibn Salâm (w. 43 H), Ka’ab al-Ahbâr (w. 32 H) dan lain-lain.[27]
Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri, masih merupakan bagian dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal sekarang. Di samping belum sistematis, pada masa sahabat ini pun Al-Qur’an belum ditafsirkan secara keseluruhan, dan pembahasannya pun belum luas dan mendalam.[28]
Sesudah priode sahabat, datanglah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi, mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari Ahlul Kitab. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa tabi’in ini, tafsir masih merupakan bagian dari hadtis, tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing. [29]
Tabi’in Makkah seperti Mujâhid ibn Jâbir (w. 104 H) , ‘Athâ’ ibn Abi Ribâh (w. 114 H) dan ‘Ikrimah Maulâ Ibn ‘Abbâs (w. 104 H) meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs (w. 68 H) Tabi’in Madinah seperti Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi (w. 118 H), Abû’ al-‘Aliyah ar-Riyâhi (w. 90 H) dan Zaid ibn Aslam (w. 136 H) meriwayatkan dari Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H). Tabi’in ‘Iraq seperti al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Masrûq ibn al-Ajdâ’ (w. 93 H) dan Qatâdah ibn Di’âmah (w. 117 H) meriwayatkan dari ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H). Adz-Dzahabi menyebut madrasah tersebut dengan Madrasah Makkah, Madrasah Madinah dan Madrasah ‘Iraq. [30]
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwîn) hadits di mana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama seperti Ibn Mâjah (w. 273 H), Ibn Jarîr at-Thabari (w. 310 H), Abû Bakar ibn Al-Munzir an-Naisabûri (w. 318 H) dan lain-lain mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tafsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarîr dan mufasir lain pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsîr bi al- ma’tsûr.[31]
Ringkasnya, at-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi. dan tabi’in[32] Dinamai dengan bi al- ma’tsûr (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan[33]) karena dalam menafsirkan Al-Qur’an,seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
Contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan bentuk at-tafsîr bi al- ma’tsûr ini antara lain adalah: (1) Muhammad Ibn Jarîr ath-Thabari (w. 310 H), Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân; (2) Abu al-Laits Nâshir ibn Muhammad as-Samarqandi (w.373 H), Bahr al-‘Ulûm; (3) Abu Ishaq Ahmad ibn Ibrâhim ats-Tsa’labi (w. 427 H), al-Kasysyâf wal al-Bayân ‘an Tafsîr Al-Qur’ân; (4) Abu Muhammad al-Husain ibn Mas’ûd al-Baghawi (w. 510 H), Ma’âlim at-Tanzîl fi at-Tafsîr; (5 Abu Muhammad ‘Abd al-Haq ibn Ghâlib ibn ‘Athiyah (w. 546 H), al-Muharrir al-Wajîz fi Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz; (6) Abu al-Fadâ’ Ismâ’îl ibn ‘Amr ibn Katsîr (w. 774 H), Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm; (7) Abu Zaid ‘Abd ar-Rahman ibn Muhammad ats-Tsa’labi (w. 876 H), al-Jawâhir al-Hassân fi Tafsîr Al-Qur’ân; dan (8) Jalâl ad-Dîn as-Suyûthi (w. 911 H), Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr.[34]
Sementara itu, setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa Daulah’Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsûr, karena perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas dan memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan penggunaannya pada bentuk bi al- ma’tsûr. Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal dengan at-tafsîr bi- ar-ra’yi.
Dengan at-tafsîr bi- ar-ra’yiseorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qirâah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain-lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsîr bi- ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
Contoh kitab-kitab at-tafsîr bi- ar-ra’yi antara lain adalah: (1) Abû al-Qâsim Jârullah Mahmûd ibn ‘Umar az-Zamakhsyari al-Khawârizmi (w. 538 H), Al-Kasysyâf ‘an Haqâiz at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh at-Ta’wîl; (2) Abû‘Abdillah Muhammad ibn ‘Umar ar-Râzi (w. 606 H), Mafâtih al-Ghaib; (3) Nâshir ad-Dîn Abû Khair ‘Abdullah ibn ‘Umar al-Baidhâwi (w. 685 H), Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl; (4) Abû al-Barakât ‘Abdullah ibn Ahmad an-Nasafi (w. 701 H), Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl; (5) Abû al-Fadhl Syihâb ad-Dîn as-Sayyid Mahmûd al-Alûsi al-Baghdâdi (w. 1270 H), Rûh al-Ma’âni fî Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsâni.[35]
Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Metode ijmâli adalah motode yang paling awal muncul karena sudah digunakan sejak Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak memberikan rincian yang detail, hanya secara ijmâli atau global.[36]
Dengan metode ijmâli, seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh Al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa Al-Quran itu sendiri. [37]
Penjelasan mufasir dalam metode ini sangat singkat. Kosa kata yang dianggap sulit dijelaskan dengan mencari padanan katanya, atau dengan penjelasan singkat maksudnya. Kadang-kadang juga dijelaskan kedudukan kata perkata dalam struktur bahasa Arab (‘irâb), mana mubtadâ, khabar, hâl dan sebagainya. Biasanya ayat yang ditafsirkan diletakkan dalam dua tanda kurung, setelah kurung penutup langsung diberi penjelasan ringkas. Contoh terbaik untuk kitab tafsir yang menggunakan metode ini antara lain (1) Muhammad Farîd Wajdi, Tafsîr Al-Qur’ân Al-Karîm; (2) Jalâl ad-Dîn Abû al-Fadhl ‘Abd ar-Rahmân ibn Abî Bakr as-Suyûthi (w. 911 H) dan Jalâl ad-Dîn Muhammad ibn Ahmad al-Muhalli (w. 864 H), Tafsîr al-Jalâlain.
Setelah metode ijmâli, dikenal metode tahlîli. Dengan menggunakan metode ini, seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek, mulai dari aspek bahasa, asbâb an-nuzûl, munâsabah dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan sistematika mushaf Al-Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat. [38]
Jika mengambil bentuk at-tafsîr bi al- ma’tsûr maka sumber penafsiran metode tahlîli ini adalah Al-Qur’an, hadits Nabi dan penafsiran para sahabat dan tabi’in. Akan tetapi jika menggunakan bentuk at-tafsîr bi- ar-ra’yi, sumber penafsiran ditambah dengan ijtihad mufasir sendiri, baik secara orisinal maupun mengutip pemikiran sumber lain. Setelah metode ijmâli dan tahlîli, muncul metode muqârin atau perbandingan. Dengan motode ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara (1) teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; (2) ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an. [39]
Kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis kebahasaan, tetapi juga mencakup kandungan makna dan perbedaan kasus yang dibicarakan. Dalam membahas perbedaan-perbedaan itu, seorang mufasir harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan, seperti asbâb an-nuzûl yang berbeda, pemakaian kata dan susunannya di dalam ayat berlainan dan juga konteks masing-masing ayat serta situasi dan kondisi umat ketika ayat tersebut turun. Dalam menganalisis perbedaan-perbedaan tersebut, mufasir harus pula menelaah pendapat yang telah dikemukakan oleh mufasir lainnya.[40]
Contoh kitab tafsir dengan metode ini antara lain (1) al-Khathîb al-Iskâfi (w. 240 H), Durrah at-Tanzîl wa Ghurrah at-Ta’wîl; dan (2) Tâj al-Qurrâ’ al-Karmâni (w. 505 H), al-Burhân fî Taujîh Mutasyâbah Al-Qur’an.[41]
Yang terakhir muncul adalah metode maudhû’i atau tematik. Berbeda dengan metode ijmâli dan tahlîli yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhû’i ini membahas ayat-ayat yang terdapat dalam berbagai surat yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu. Dengan metode ini seorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘âm dan khâsh, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nâsikh dan mansûkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terahadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.[42]
Beberapa contoh kitab tafsir maudhû’i adalah: (1) ‘Abbas al-‘Aqqâd, al-Mar’ah fî Al-Qur’ân; (2) Abû al-‘Ala al-Maudûdi, ar-Ribâ fî Al-Qur’ân al-Karîm; (3 Muhammad Abû Zahrah, al-‘Aqîdah fî Al-Qur’ân al-Karîm; (4) Muhammad as-Samahi, al-Ulûhiyyah wa ar-Risâlah fî Al-Qur’ân al-Karîm; dan (5) Ibrahim Mahna, al-Insân fî Al-Qur’ân al-Karîm. [43]
Di samping bentuk dan metode yang sudah dijelaskan di atas, dikenal juga corak penafsiran. Karena yang dominan dalam at-tafsîr bi- ar-ra’yi adalah pemikiran mufasir, baik yang orisinal dari yang bersangkutan atau mengutip dari sumber-sumber lain, maka tentu saja hasil penafsiran mereka beragam sesuai dengan latar belakang pengetahuan, sosial budaya dan kecenderungan masing-masing. Dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an keragaman itu diistilahkan dengan al-laun yang secara harfiah berarti warna.[44] Dalam bahasa Indonesia, oleh M. Quraish Shihab digunakan istilah Corak.[45] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti corak antara lain berjenis-jenis warna pada warna dasar, faham, macam, bentuk.[46] Menurut hemat saya, kata corak lebih tepat digunakan dibanding warna. Warna dasarnya adalah at-tafsîr bi- ar-ra’yi, di atas warna dasar itu ada warna-warni lain yang beragam, dan itulah corak. Corak itu sekaligus menunjukkan faham penulisnya, macam atau bentuk tafsirnya.
Sejauh ini corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut: (1) Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an. Contoh: Abu as-Su’ûd Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi, Irsyâd al-‘Aql as-Salîm Ilâ Mazâya al-Kitâb al-Karîm; (2) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum Contoh: Al-Imâm Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi (w. 671 H), al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân; (3) Corak teologi dan atau filsafat, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempecayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka. Contoh: Qâdhi al-Qudhâh Abû Hasan ‘Abd al-Jabbâr (w. 415 h), Tanîzh Al-Qur’ân ‘an al-Mathâ’in; (4) Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Contoh: Abû Muhammad Ruzbahân ibn Abî an-Nash asy-Syirâzi (w. 666 H), ‘Arâis al-Bayân fî Haqâiq Al-Qur’ân; (5) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu. Contoh: Asy-Syaikh Thanthâwi Jauhari (w. 1358 H), al-Jawâhir fî Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm; (6) Corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tetapi indah didengar. Contoh: As-Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ (w. 1354 H), Tafsîr Al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsîr Al-Manâr). [47]
Masing-masing mufasir telah berjasa menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan latar belakang masing-masing. Karena keragaman latar belakang para mufassir, baik dari segi disiplin ilmu, kecenderungan maupun latar belakang sosial budaya dan keragaman persoalan dan kebutuhan zaman, maka kitab-kitab tafsir yang muncul sepanjang waktu pun mempunyai aliran, corak dan warna yang berbeda-beda. Namun demikian, sekalipun terjadi keragaman, tidak berarti satu sama lain saling berbeda sepenuhnya. Ibarat lingkaran yang dipertautkan sambung bersambung, selalu ada bagian dua lingkaran yang menempati ruang yang sama. Bagian yang sama itulah yang akan menjadi benang merah dari seluruh penafsiran.[48]
Dengan referensi bermacam kitab tafsir sebelumnya, kita dapat merumuskan bagaimana menafsirkan Al-Qur’an yang tepat untuk zaman sekarang ini. Zaman yang ditandai dengan percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, zaman globalisasi di mana tidak ada lagi sekat-sekat interaksi antar umat manusia, baik dari segi agama, budaya maupun aspek kehidupan yang lain. Zaman di mana problema manusia dan kemanusiaan semakin kompleks.
Metode at-tafsîr bi al-ma’tsûr tetap relevan digunakan untuk memahami Al-Qur’an secara utuh, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan. Kita tidak dapat menafsirkan satu ayat yang berbicara tentang satu tema tanpa memahami terlebih terlebih dahulu ayat-ayat lain dalam tema yang sama.
Demikian juga dengan Sunnah atau Hadits Nabi adalah bayân atau penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Tanpa Sunnah kita tidak akan dapat memahami Al-Qur’an secara utuh, bahkan bberapa perintah dalam Al-Qur’an tidak dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah seperti perintah shalat misalnya.
Penafsiran para sahabat, tabi’in dan tabi’i at-tabi’in, tiga generasi yang dekat jaraknya dengan Nabi diperlukan untuk memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah aqidah, ibadah maghdhah dan nilai-nilai baik buruk, terpuji tercela yang harus dijaga kemurniannya. Semakin dekat sumbrnya dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, semakin terjaga kemurniannya. Tentu saja penggunaan metode at-tafsîr bi al-ma’tsûr harus dengan sifat kritis terhadap otentitas dan validitas periwayatannya.
Metode at-tafsîr bi al-ma’tsûr semata tidak cukup untuk menjawab problem zaman yang terus berkembang berdasarkan perspektif Al-Qur’an. Harus dilengkapi dengan metode at-tafsîr bi ar-ra’yi. Ibarat pabrik, at-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah bahan-bahan mentah yang harus diolah dan dan dikembangkan dengan temuan-temuan baru dan yang terbaru.
Pertama kali dilakukan analisis bahasa, tidak hanya sekadar balaghahnya, tapi juga sampai kepada filsafat bahasa atau fiqh lughah. Pendekatan bahasa digunakan di samping untuk menghindari kesalahfahaman juga untuk pendalaman makna. Misalnya dalam menafsirkan ayat qâlu thâirukum ma’akum (Q.S 36:19), kata thâir kalau dilihat dalam kamus berarti burung. Mufasir tidak akan dapat memahami kalimat tersebut kalau tidak mengerti filsafat bahasa burung yangdigunakan bangsa Arab sebelum Islam. Masyarakat Arab sebelum Islam mempunyai tradisi untuk meramalkan keberuntungan dalam perjalanan dengan melepas seekor burung ke udara. Bila burung itu terbang ke kanan, alamat perjalannya beruntung. Demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu untuk mendoakan orang-0rang yang bepergian jauh, mereka menguncapkan ‘ala at-thâir al-maimûn (semoga burungnya terbng ke kanan). Ucapan itu berisi do’a keselamatan dan keberuntungan dalam perjalanan. Dengan demikian kata thâir dalam ayat tersebut harus diartikan dalam konteks filsafat bahasa tersebut yaitu kemalangan atau keberuntungan. Karena sifatnya menjawab tuduhan orang-orang kafir bahwa yang menyebabkan kemalangan mereka adalah kehadiran utusan Tuhan di tengah-tengah mereka, sehingga redaksi jawabannya berbunyi: “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri.”
Setelah analisis bahasa, ditinjau latar belakang sejarah turunnya ayat, baik latar belakang langsung maupun tidak langsung. Yang pertama populer disebut asbâb an- nuzûl. Dengan asbâb an- nuzûl dapat dipahami makna ayat secara tepat. Tanpa memahami asbâb an- nuzûl dapat terjadi kekeliruan penafsiran. Misanya dalam menafsirkan ayat tentang sa’i dari Shafa ke Marwah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesugguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:158)
Dengan melihat ayat tersebut saja timbul pertanyaan, kenapa sa’i dimasukkan ke dalam salah satu rukun haji? Padahal dalam ayat itu Allah cuma mengatakan “tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i.” Kalau redaksinya seperti itu mestinya sa’i itu tidak rukun, tidak wajib dan tidak pula sunnah, paling tinggi mubah.
Pertanyaan tersebut akan terjawab dengan membaca keterangan dari Ummu al-Mu’minin ‘Aisyah radhiallahu ‘anhabahwa sebelum Islam beberapa suku di Madinah kalau ziarah ke Mekkah meletakkan berhala-berhala mereka di kedua bukit itu, sehingga pada waktu melaksanakan ibadah haji mereka enggan melakukan sa’i dari dua bukit kecil itu. Lalu untuk menghilangkan keraguan itu Allah menurunkan ayat di atas. Jadi kalimat “tidak ada dosa baginya” bukan ditujukan kepada perbuatan sa’inya tapi kepada tempatnya yaitu Shafa dan Marwah. [49]
Setelah melihat latar belakang langsung (mikro) dilihat juga latar belakang tidak langsung (makro) yaitu latar belakang sosial-budaya masyarakat pada waktu ayat tersebut diturunkan, baik di jazirah Arabia sendiri, maupun di tempat lain, terutama untuk memahami konteks sosial budaya masyarakat pada saat ayat itu diturunkan. Namun demikian keseimbangan antara tekstual dan kontekstual dalam menafsirkan ayat-ayat yang memang ada konteks sosial budayanya harus dijaga. Meminjam istilah Asghar Ali Engineer, ayat-ayat Al-Qur’an hendaklah didekati dengan pendekatan sosio-teologis, bukan dengan teologis semata-mata. Misalnya dalam memahami ayat-ayat tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan.[50] Menurut Fazlur Rahman, di samping memperhatikan konteks sosial tatkala ayat tersebut diturunkan, juga perlu dihubungkan dengan konteks sosial kekinian. Pendekatan Rahman ini dikenal dengan pendekatan historis.[51] Dengan pendekatan ini Rahman mencoba berusaha memisahkan pesan-pesan moral dari legal formal. Untuk ayat-ayat hukum yang menyangkut aspek mu’amalat yang lebih elastis dan fleksibel, pendekatan Rahman ini dapat digunakan. Tetapi tidak untuk ayat-ayat hukum yang menyangkut ibadah mahdhah dan hukum keluarga, karena untuk ayat-ayat seperti ini–yang tidak elastis dan fleksibel—legal formal harus dipertahankan untuk menjaga kemurnian ajaran agama Islam.
‘Ala kulli hâl, yang perlu ditegaskan dalam kesempatan ini, bahwa antara pendekatan tekstual dan kontekstual tidak perlu dipertentangkan. Kedua-duanya diperlukan, ada ayat-ayat yang harus dan cukup dipahami secara tekstual apa adanya, tetapi ada juga ayat-ayat yang tidak boleh tidak harus dilihat konteksnya. Tidak semua pendekatan tekstual salah, sebagaimana juga tidak semua pendekatan kontekstual benar. Masing masing ada tempatnya sendiri-sendiri.
Dari segi sistematika, metode yang tepat untuk saat sekarang ini adalah tafsir maudhu’i atau tematis, bukan tahlili atau kronologis. Metode tematis dipilih untuk dapat memahami pesan-pesan Al-Qur’an secara mudah dalam aspek tertentu. Manusia abad XXI rasanya tidak punya waktu cukup untuk menelaaah tafsir secara kronologis, padahal mereka membutuhkan bimbingan. Mereka butuh bimbingan Al-Qur’an dalam aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain sebagainya.
Tafsir tematis mungkin dilakukan oleh pakar yang menguasai ilmu tafsir dan ilmu-ilmu syar’iyyah lainnya serta menguasai juga bidang-bidang atau disiplin tertentu sesuai dengan tema. Karena sulitnya menemukan pakar dengan kualifikasi seperti itu, maka yang paling memungkinkan adalah kerja kolektif melibatkan pakar-pakar multi disiplin.

SIMPULAN
Al-Qur’an al-Karim sudah dihafal dan dicatat sejak awal, langsung sesudah ayat demi ayat, surat demi surat diturunkan pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian dibukukan dalam sebuah Mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu dan disempurnakan pada masa Khalifah Utsman ibn ‘Affan radhiallahu ‘anhu dengan cara yang sangat meyakinkan. Tulisan, catatan dan pembukuan hanyalah alat bantu pemeliharaan, yang paling utama adalah Al-Qur’an dipelihara turun temurun secara lisan dengan sanad yang bersambung dan dipercaya. Alhamdulillah. Al-Qur’an sampai ke zaman kita tanpa bertambah dan berkurang sedikitpun sebagaimana dahulu diturunkan.
Al-Qur’an juga sudah ditafsirkan sejak awal, sejak generasi sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in dan generasi selanjutnya baik dengan bentuk tafsir bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi atau gabungan keduanya. Baik dengan menggunakan metode ijmali, tahlili, muqarin maupun maudhu’i. Corak penafsiran pun beragam sesuai dengan latar belakang mufasirnya. Untuk kebutuhan kita pada masa sekarang ini, gabungan tafsir bi al-ma’tsur dengan tafsir bi ar-ra’yi dan metode maudhu’i lebih cocok, tanpa melupakan apalagi mengabaikan metode yang lainnya.
Yang paling penting dari semua itu adalah sikap kita terhadap Al-Qur’an, apakah kita mengkajinya hanya sekadar untuk ilmu atau untuk dijadikan pedoman. Apakah kita hanya akan jadi sekadar pengamat atau jadi pengamal Al-Qur’an. Semuanya terpulang kepada kita semua.


________________________________________________________________________ [1] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 1998), cetakan Madinah, hlm. 1123.
[2] Ibid.
[3]Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm as-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’an (Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, t.t.) jld I, hlm. 336.
[4] Az-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân …, I/ 223.
[5] Az-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân … , I/233-244.
[6] Az-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân…., I/235. Tentang riwayat Anas dalam Shahîh al-Bukhâri yang menyebutkan bahwa Jummâ` Al-Qur`an pada zaman Nabi hanya empat orang yaitu Abu Dardâ`, Mu`az ibn Jabal, Zaid ibn Tsâbit dan Abu Zaid, Az-Zarqâni menjelaskan bahwa pembatasan jumlah penghafal Al-Qur`an pada zaman Nabi oleh Anas tersebut bersifat nisbi atau idhâfi, bukan haqîqi. Buktinya pada riwayat lain, juga dalam Shahîh al-Bukhâri, waktu ditanya oleh Qatâdah tentang hal yang sama, Anas juga menyebutkan empat nama tersebut tapi tanpa Abu Dardâ’, tempatnya digantikan oleh Ubayya ibn Ka`ab. Dalam dua kesempatan itu Anas hanya menyebut nama-nama yang terlintas dalam ingatannya waktu itu sehingga orangnya bisa berbeda. Sama sekali bukan berarti membatasi yang hafal hanyalah mereka yang disebutkan namanya itu. Sebab, sebagaimana yang dikatakan oleh Mawardi, tidak mungkin Anas dapat mengetahui semua sahabat penghafal Al-Qur`an waktu itu, di samping jumlahnya memang banyak, tentu Anas harus bertemu dengan mereka satu persatu, untuk kemudian masing-masing menyatakan belum menghafal Al-Qur`an seluruhnya pada zaman Nabi. Kemungkinan hal itu terjadi sangat kecil. Di samping itu, masih menurut Az-Zarqâni, ada nama-nama lain yang disebutkan dalam beberapa riwayat lain (karena terbatasnya ruangan tidak perlu kita sebutkan dalam pidato ini). (Az-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân…, I/236-237). Mannâ` al-Qaththân menambahkan bahwa ada kemungkinan tujuh orang sahabat penghafal Al-Qur`an yang disebutkan dalam tiga riwayat Bukhari itu menunjukkan bahwa hanya merekalah yang memenuhi tiga kriteria: (1) Menghafal al-Qur`an seluruhnya, (2) sudah memperdengarkannya di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, dan (3) ada sanad yang menunjukkan mereka hafal Al-Qur`an. Sementara sahabat penghafal Al-Qur`an lainnya, yang jumlahnya sangat banyak, tidak memenuhi sekaligus ketiga kriteria tersebut. Lihat Mannâ` al-Qaththân, Mabâhits fi `Ulûm al-Qur`an, Mu`assasah ar-Risâlah, Riyadh, Saudi-Arabia, 1976, h.121.
[7]Al-Qur’an al-Karîm wa bi Hâmisyihi at-Tafîir al-Muyassar, hlm. 529. Diberi kata pengantar oleh Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin At-Turki, Sekjen Râbithah al-‘Ălam al-Islâmi, tanpa penjelasan penerbit, kota dan tahun penerbitannya.
[8] Muhammad ibn ‘Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’an (Beirut: Dâr Al-Qur’an, 1988), jld I, hlm 304.
[9] Jalal ad-Din as-Suyûthi, Al-Itqân fi ‘Ulûm Al-Qur’an (Beirut: Dar al -Fikr, t.t.), jld I, hlm 59.
[10] Subhi ash-Shalih, Mabâhits fî `Ulûm Al-Qur`an (Beirut:Dâr al`Ilmi li al- Malâyîn, 1977) hlm 70.
[11] Ibid, hlm 69.
[12] Az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân…,I/241.
[13] Az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân…I/241.
[14] Kisah Umar dan Abu Bakar tentang latar belakang jam’u Al-Qur`an pada masa Abu Bakar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan dikutip oleh hampir seluruh buku `Ulumul Qur`an, seperti Al-Itqân I/59, Al-Burhân I/295, Manâhil al-`Irfân I/243-Mabâhits fi `Ulumil Qur`an (Shubhi Ash-Shalih hlm 74-75, dan Manna` Al-Qaththan hlm 126), Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirâsat Al-Qur’an al-Karîm (Kairo: Dâr al-Kutub, 1973), jld II, hlm 230. Karena keterbatasan ruang saya tidak mengutip lengkap, hanya mengambil ringkasannya saja.
[15] Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, at-Tibyân fi ‘Ulûm Al-Qur’an (Makkah: Sayyid Hasan ‘Abbas Syarbatly, 1980)
[16] Az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân…., I/243.
[17] Az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân…., I/245.
[18] Az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân…., I/246. Berbeda dengan az-Zarqani, menurut Manna` al-Qaththan, Mushaf Abu Bakar sudah tersusun ayat dan surat-suratnya.Lihat Mabâhits fi `Ulûm al-Qur`an, hlm 128.
[19] Az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân…., I/248-249, dan buku-buku `Ulumul Qur`an lainnya
[20] Az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân….,I/251
[21] Abu Syuhbah, Al-Madkhal…, hlm 275; Az-Zarqâni,Manâhil al-‘Irfân…,I/252.
[22] Para ulama berbeda pendapat tentang berapa jumlah semua mushaf yang dikirim `Utsmân kebeberapa propinsi. Perbedaan berkisar antara angka 4, 5 dan 7. Yang berpendapat tujuh mengatakan 1 (satu) tinggal di Madinah (Mushaf al-Imâm), sisanya masing-masing dikirim ke Makkah, Syâm, Basrah, Kûfah, Yaman, dan Bahrain. Lihat al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’an…,hlm. 134.
[23] M. M.al-A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, dari Wahyu sampai Kompilasi, terjemahan Sobirin Solihin dkk (Jakarta: Gema Insani , 2005), hlm. 106.
[24] Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadîtsah, 1976), jilid I, hlm. 13-15.
[25] Istilah bentuk penafsiran dipinjam dari Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 9. Di samping bentuk, ada juga yang menggunakan istilah metode. M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 83-85, misalnya menggunakan istilah metode periwayatan untuk at-tafsîr bi al-ma’tsûr dan metode penalaran untuk at-tafsîr bi ar-ra’yi. Sedangkan metode ijmâli, tahlîli, muqarin, dan maudhû’i bagi Shihab adalah corak dari metode penalaran. Biar tidak rancu dengan istilah corak yang juga digunakan dalam pengertian yang lebih spesifik, maka penulis memilih penggunakan istilah bentuk, metode dan corak untuk pengertian yang berbeda. Perbedaan hanyalah bersifat teknis, bukan substantif.
[26] As-Suyûthi, al-Itqân…, hlm. 187.
[27] Yunahar Ilyas, Feminsme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 15-17.
[28] Ibid., hlm. 17-18.
[29] Adz-Dzahabi, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I:99 dan 130.
[30] Ibid, I:101, 114 dan 118
[31] Ibid, I: 141-142.
[32] Al-Qaththâan, Mabâhits…,, hlm. 347.
[33] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), hlm. 7.
[34] Adz-Dzahabi, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I:204.
[35] Ibid., I:289.
[36] Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an , hlm. 3.
[37] Abd al-Hayy al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhû’i, Suatu Pengantar, terjemahan Suryan A. Jamrah (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 29.
[38] Ibid., hlm. 12.
[39] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an…hlm. 65.
[40] Ibid., hlm.65-67.
[41] Ibid., hlm. 3.
[42] ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i…hlm. 36 dan 46.
[43] Ibid., hlm. 58.
[44] Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn I:140.
[45] Shihab, Membumikan Al-Qur’an…,, hlm. 72.
[46] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 173.
[47] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…hlm. 72-73, dengan perubahan pada urutan. Contoh-contoh diambilkan dari Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, II:632-3. Coarak-corak ini sudah pernah dimuat dalam Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufasir (Yogyakarta: Labda Press, 2006), hlm 85-86.
[48] Dalam salah satu kuliahnya, saya masih ingat bagaimana dosen kami bapak M. Amin Abdullah menggambarkan lingkaran-lingkaran yang dipertautkan sambung bersambung tersebut.
[49] Yunahar Ilyas, Cakrawala Al-Qur’an, Tafsir Tematis (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), hlm. 20. Lihart juga Abu Ja’far Muhammad ibn Jarifrat-Thabari, Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wil Ăyi al-Qur’an (Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), jld II hlm 45-46.
[50] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), hlm 55.
[51] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, terjemahan dan suntingan Taufik Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1987), hlm 55-56.
*******************
Kepustakaan:
·  ‘Abd al-Bâqi, Muhammad Fuâd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh Al-Qur’an al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.
·  Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, Cetakan II, 1976.
·  Al-A’zami, M.M., Sejarah Teks Al-Qur’an, dari Wahyu sampai Kompilasi, terjemahan Sobirin Solihin dkk, Jakarta: Gema Insani , 2005.
·  Al-Alûsi al-Baghdâdi, Abû al-Fadhal Syihâb ad-Dîn as-Sayyid Mahmûd, Rûh al-Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsâni, Beirut: Dâr al-Fikr, 1987.
·  Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
·  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 1983.
·  Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994.
·  al-Farmâwi, ‘Abd al-Hayy, Metode Tafsir Maudhû’i, Suatu Pengantar, terjemahan Suryan A. Jamrah, Jakarta: Rajawali Press, 1994.
·  Ibn Katsîr al-Qurasyi ad-Dimasyqi, al-Hâfizh ‘Imâd ad-Dîn Abû al-Fadâ’ Ismâîl, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, Riyâdh: Dâr ‘Alam al-Kutub, 1997.
·  Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
·  _______, Cakrawala Al-Qur’an, Tafsir Tematis, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003.
·  _______, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: Labda Press, 2006.
·  Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
·  Al-Qaththân, Mannâ’, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’an, Riyadh: Muassasah ar-Risâlah, 1976.
·  Rahman, Fazlur, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, terjemahan dan suntingan Taufik Adnan Amal, Bandung: Mizan, 1987.
·  ar-Râzi, Al-Imâm Fakhr ad-Dîn, Mafâtih al-Ghaib,Beirut: Dâr al-Fikr, 1995.
·  Ash-Shabûni, Muhammad ‘Ali, at-Tibyân fi ‘Ulûm Al-Qur’an, Makkah: Sayyid Hasan ‘Abbas Syarbatly, 1980.
·  Ash-Shalih, Shubhi, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub li al-Malayin, 1977
·  Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.
·  As-Suyûthi, Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
·  Syahbah, Muhmmad Abu, Al-Madkhal li Dirâsat al-Qur’an al-Karim, jld II, Cairo: Dâr al-Kutub, 1973.
·  Ath-Thabari, Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wil Ậyi al-Qur’an, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.
·  At-Turki, Abdullah ibn Abd al-Muhsin, Al-Qur’an al-Karîm wa bi Hâmisyihi at-Tafsir al-Muyassar, t.t. t.p.
·  Az-Zamakhsyari al-Khâwarizmi, Abû al-Qâsim Jârullah Mahmûd ibn ‘Umar, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh at-Ta’wîl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1977.
·  Az-Zarkasy, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, Jld I, Beirut: Dâr al-Fikr, tahun 1988.
·  Az-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, t.t.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Al-Qur’an Al-Karim: Sejarah Pengumpulan dan Metodologi Penafsiran Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu