Mu’tamaroh
Kurnianingsih, S.E
Anggota
Majelis Pembinaan Kader (MPK) Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Blimbing, Sukoharjo
Peran ibu dalam Islam bukan semata sebagai pengasuh
bagi anak-anaknya, tetapi lebih dari itu, ibu memiliki tanggung jawab besar
dalam kaderisasi generasi yang kelak menjadi penerus perjuangan di tengah
masyarakat. Islam memandang perempuan, khususnya ibu, sebagai tiang keluarga
dan generasi. Peran mereka tidak sekadar mengurus rumah tangga, tetapi juga
mendidik generasi yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan. Kaderisasi merupakan
upaya mempersiapkan generasi baru dengan karakter yang kuat, keilmuan, dan keterampilan
untuk dapat berperan di tengah masyarakat.
Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an, “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Ayat ini
mengatakan dengan terang bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah SWT bukan ditentukan
oleh jenis kelamin atau asal-usulnya, melainkan karena ketakwaannya. Dengan
demikian, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama.
Contoh yang luar biasa dalam hal ini di antaranya
adalah Ibunda Khadijah binti Khuwailid RA, istri Nabi Muhammad SAW. Ketika
Rasulullah SAW menerima wahyu pertama, Khadijah RA hadir sebagai pendamping yang
menguatkan hati beliau. Menyokong perjuangan Rasulullah SAW tanpa keraguan
sedikitpun, menyumbangkan seluruh hartanya, dan memberikan motivasi pada masa sulit.
Sosok Khadijah RA adalah teladan bagaimana seorang istri berperan dalam
mendukung suaminya dan mempersiapkan generasi yang beriman.
Di Nusantara kita juga memiliki sosok perempuan yang
inspiratif, di antaranya yaitu Nyai Walidah Dahlan. Sebagai istri pendiri
Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, Nyai Walidah aktif dalam medan perjuangan dan
jalan dakwah bersama suaminya. Ketika masyarakat menentang pemikiran-pemikiran
visioner KH. Ahmad Dahlan, Nyai Walidah tetap setia mendampingi dan menyokong
perjuangan tersebut. Seperti Khadijah RA yang menjadi ummul mukminin,
ibu bagi kaum beriman, Nyai Walidah tak hanya menjadi ibu bagi anak-anaknya,
tetapi juga bagi masyarakat luas melalui perannya yang besar di ‘Aisyiyah,
organisasi perempuan Muhammadiyah.
Kaderisasi generasi dimulai sejak dini, bahkan dari
dalam kandungan. Dalam Islam, ibu dianjurkan untuk senantiasa berzikir kepada
Allah SWT, membaca Al-Qur’an, dan melakukan amalan baik selama masa kehamilan.
Tindakan ini pasti akan memiliki pengaruh positif pada perkembangan spiritual
dan mental anak yang berada di dalam kandungan ibunya. Setelah lahir, tumbuh
kembang karakter seorang anak sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
ditanamkan oleh ibu dan keluarganya sejak kecil. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW, “Setiap bayi yang lahir berada di atas fitrahnya. Lalu ayahnya-lah yang
menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al Bukhari)
Ibu adalah sosok yang paling dekat dengan anak-anak,
sehingga memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk akhlak mereka. Dalam
hadis, Rasulullah SAW menyebut “Dan perempuan menjadi pemimpin di rumah
suaminya, dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai orang yang diurusnya.”
(HR. Al Bukhari). Hal ini menunjukkan betapa besar peran ibu dalam menyiapkan
generasi dan mendidik anak-anak di dalam rumah. Anak-anak akan banyak belajar
dari ibunya dalam kehidupan sehari-hari.
Di rumah, ibu bukan hanya menjadi pengasuh tetapi juga
pembentuk karakter anak-anaknya. Rasulullah SAW menekankan bahwa pendidikan
agama sejak kecil sangat penting agar anak-anak dapat tumbuh dengan landasan
yang kuat dalam Islam. Ibu yang membimbing anak-anak untuk mengenal Allah SWT dan
ajaran Islam secara baik, akan membentuk generasi yang mampu menegakkan
nilai-nilai kebenaran di tengah masyarakat. Karenanya, meskipun perempuan
berkarya di berbagai bidang di luar rumah tidak lantas membuatnya melupakan tugas
utamanya di rumah sebagai ‘madrasatul ula’, sumber pendidikan pertama
bagi anak–anaknya, darah dagingnya sendiri.
Meskipun demikian, kaderisasi generasi ini tidak dapat
dilakukan tanpa dukungan dari ayah. Dalam sebuah keluarga, ibu dan ayah harus bekerja
sama dalam mendidik anak-anak mereka. Ayah sebagai kepala keluarga dan ibu
sebagai madrasah pertama adalah dua pilar utama dalam pendidikan keluarga.
Ketika kedua orang tua bersinergi, anak-anak akan tumbuh dalam suasana yang
harmonis dan penuh kasih sayang, yang akan memudahkan mereka dalam menerima
nilai-nilai kebaikan.
Kaderisasi generasi juga berkaitan dengan tantangan
zaman. Dalam era modern yang penuh dengan berbagai tantangan global seperti
degradasi moral dan kemajuan teknologi yang tak mungkin dibendung, peran ibu
menjadi semakin penting. Hal ini sesuai dengan pesan yang konon pernah
disampaikan oleh Ali bin Abu Thalib RA, “Didiklah anak sesuai dengan
zamannya, karena mereka hidup pada zamannya, bukan pada zamanmu”. Ibu harus
mampu menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya, sehingga mereka tidak
mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Di tengah perkembangan zaman, seorang ibu harus
kreatif dalam mendidik anak-anaknya. Tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi
juga ilmu pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Dengan demikian, anak-anak akan memiliki bekal yang kuat untuk bersaing di
dunia global tanpa melupakan nilai-nilai keislaman yang mereka bawa.
Seorang ibu harus memiliki pengetahuan agama yang
cukup untuk menjadi pendidik bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, ibu perlu
memperluas wawasannya, baik melalui kajian agama, pendidikan orang tua (parenting),
maupun melalui pengalaman hidup. Hal ini akan membantu ibu dalam mendidik
anak-anaknya agar siap menghadapi berbagai tantangan di masyarakat. Inilah
pentingnya komunitas perempuan seperti ‘Aisyiyah, yang berfokus pada pemberdayaan
perempuan dan pendidikan. Agar kaum perempuan dapat menjadi ibu yang cerdas,
berdaya, dan mampu mendidik generasi penerus dengan baik. Melalui ‘Aisyiyah,
kaum perempuan dapat belajar dan berkembang bersama, memperdalam ilmu agama,
serta mengasah keterampilan dalam berbagai aspek kehidupan.
Karena di tengah masyarakat, perempuan juga berperan
sebagai penggerak dalam komunitas. Kehadiran ibu dalam kegiatan sosial, seperti
pengajian atau kajian ilmu, memiliki dampak yang sangat positif. Dalam
pertemuan ini, kaum ibu dapat berdiskusi, berbagi pengalaman, dan memberikan
nasihat satu sama lain, sehingga dapat saling menguatkan dalam menjalankan
peran mereka sebagai pendidik generasi.
Kaderisasi generasi juga membutuhkan keteladanan.
Seorang ibu harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya dalam
segala hal, baik dalam aqidah, ibadah, akhlak, maupun dalam aktivitas
sehari-hari. Sebagaimana dikatakan oleh pepatah, “Perempuan adalah tiang
negara, apabila perempuannya baik, maka negara akan baik.” Artinya,
kualitas suatu bangsa dapat dilihat pula dari bagaimana kualitas para ibunya.
Para muslimah saat ini bisa menapaki jejak Ummu Sulaim
RA yang berhasil menjadikan anaknya sebagai putra yang shalih. Salah satu
anaknya yang bernama Anas bin Malik RA masuk Islam karena pengaruh ibunya yang
juga seorang muslimah. Anas kemudian menjadi salah satu perawi hadits terbesar
dalam sejarah Islam, karena sering mendampingi Nabi SAW, menyaksikan peristiwa
penting, dan mendengar langsung banyak perkataan Nabi SAW. Padahal bapaknya,
Malik bin Nadhar adalah orang kafir yang dengan keras melarangnya untuk
mengikuti ibunya yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW.
Ibu sebagai penanggung jawab dalam rumah tangga harus
menunjukkan keteladanan dalam beramar makruf nahi munkar kepada anak-anaknya.
Ketika ibu menunjukkan sikap yang baik, anak-anak akan cenderung mengikuti
jejaknya. Sebaliknya, jika ibu menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan
ajaran Islam, maka anak-anak pun akan terpengaruh ke arah sama. Anak-anak
sangat memperhatikan kebiasaan dan perilaku ibunya. Jika ibu terbiasa shalat
tepat waktu, berpuasa, dan membaca Al-Qur’an, berkata dan berbuat yang baik, maka
anak-anak akan terbiasa dengan hal-hal tersebut.
Sebaliknya, jika ibu sering melakukan hal-hal yang tidak
baik, seperti menggunjing, berbohong dan berkata kasar, anak-anak pun akan
dengan mudah meniru hal-hal negatif tersebut. Seperti halnya istri Nabi Nuh,
yang berhasil ‘mendidik’ anaknya untuk tetap berada dalam kekafiran,
mendurhakai Allah SWT dan menolak ajakan ayahnya yang mengemban risalah Ilahi.
Anak Nabi Nuh tetap dalam kekafiran karena pengaruh sang ibu, yang juga tidak
beriman. Hingga puncaknya, Allah SWT membinasakan mereka (istri dan anak Nabi
Nuh) bersama kaum Nabi Nuh yang enggan beriman. Na’udzubillah.
Tidak hanya itu, ibu juga memiliki peran besar dalam
mempersiapkan anak-anaknya menjadi pemimpin masa depan. Dengan memberikan
pendidikan yang baik, ibu turut membekali anak-anaknya dengan sikap,
pengetahuan, dan kemandirian. Sehingga kelak, anak-anak ini dapat menjadi sosok
yang membawa perubahan positif di tengah masyarakat.
Pada akhirnya, urgensi kaderisasi generasi adalah
bagian dari usaha menyiapkan anak-anak yang dapat membawa kebaikan bagi
masyarakat, bangsa, bahkan semesta. Sebagaimana dicontohkan oleh Khadijah RA,
Ummu Sulaim RA, hingga Nyai Walidah Dahlan, ibu adalah pelopor dan pelangsung dalam
membangun generasi yang bertauhid, berakhlak dan berilmu yang nantinya akan
menjadi pemimpin-pemimpin yang beramal shalih, bertakwa dan bijaksana. Ambil
ibrah pula dari istri Nabi Nuh, jangan sampai kita menjadi ibu yang mengajak
anak dan keluarga ke jurang neraka dan binasa.
Semoga para ibu dan perempuan muslimah masa kini terinspirasi untuk melanjutkan estafet perjuangan generasi terdahulu dalam membimbing dan mendidik calon generasi penerus dengan penuh kesabaran, kesungguhan, dan cinta. Wallahu a’lam bish-shawab
0 komentar:
Posting Komentar