Mu’tamaroh Kurnianingsih, S.E
Anggota Majelis Pembinaan Kader
(MPK) Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Blimbing, Sukoharjo
Berpasangan, Berpasangan, Berpasangan!
Janji Kokoh, Janji Kokoh, Janji Kokoh!
Saling Cinta, Saling Hormat, Saling Jaga, Saling
Ridho…
Musyawarah, Untuk Sakinah!
Akhir-akhir ini, kalimat yang disertai
dengan gerakan tepukan tangan itu tengah viral di berbagai platform media
sosial. Ungkapan tersebut dipraktikkan dalam bentuk video dengan nama “Tepuk
Sakinah”, sebagaimana diperkenalkan dalam salah satu program Kementerian Agama
melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
Fenomena ini pun melahirkan berbagai
adaptasi dan plesetan dari warganet. Muncul versi-versi lain seperti “Tepuk
Skripsi”, “Tepuk Tagihan”, “Tepuk Guru Honorer”, hingga “Tepuk Sakinah 4.0”
yang beredar di media sosial. Hal ini memunculkan beragam tanggapan, ada yang
menilainya kreatif, tapi ada pula yang mempertanyakan esensi dari pesan moral
di balik tepukan tersebut.
Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nazaruddin
Umar, M.A, baru-baru ini menegaskan komitmennya memperkuat ketahanan keluarga
melalui berbagai program unggulan, salah satunya “Tepuk Sakinah”. Program ini
diharapkan mampu menekan tingginya angka perceraian dalam beberapa tahun
terakhir.
Sekilas, gerakan “Tepuk Sakinah” ini tampak
menyenangkan. Ia membawa pesan positif tentang cinta, hormat, dan musyawarah
untuk meraih keluarga sakinah. Namun, di balik semangat yang riuh itu, ada
persoalan yang lebih mendasar: apakah nilai-nilai keluarga sakinah dapat
dipahami hanya melalui gerakan tepukan? Karena keluarga sakinah dalam Islam
bukanlah sekadar simbol atau seremoni belaka. Ia adalah institusi pendidikan,
tempat iman tumbuh dan akhlak dibina. Karena itu, membangun keluarga sakinah
tidak cukup dengan slogan, melainkan dengan edukasi yang menyentuh akar
persoalan manusia dan relasi keluarga.
Tepuk Sakinah: Antara Euforia dan Edukasi
Mungkin tidak ada yang salah dengan niat
baik di balik dicetuskannya program ini. Namun, ketika sebuah gerakan moral
disederhanakan menjadi hanya serangkaian gerakan tangan dan hafalan kata, yang
hilang adalah ruh pendidikan dalam pernikahan itu sendiri. Masyarakat
seolah diajak sekedar menghafal nilai, bukan memahaminya.
Fenomena tingginya angka perceraian,
kekerasan rumah tangga, hingga lemahnya komunikasi antar anggota keluarga tidak
akan selesai begitu saja dengan tepuk tangan. Data BPS yang diperbaharui pada
Februari 2025 menyebutkan bahwa jumlah angka perceraian di Indonesia pada tahun
2024 mencapai 394.608. Masalahnya bukan kurang tepuk, melainkan
kurang tafaqquh, pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam pada umumnya,
maupun tentang pendidikan keluarga pada khususnya.
Padahal Allah SWT berfirman: “Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS Az-Zumar/39: 9)
Keluarga sakinah lahir dari ilmu dan
pemahaman yang melahirkan kesadaran untuk mengamalkan, bukan hanya dari
seremonial semata. Maka, ketika program keluarga lebih menekankan ekspresi
fisik daripada pembinaan spiritual dan intelektual, yang tumbuh hanyalah
euforia, bukan kesadaran.
Muhammadiyah dan Keluarga Sakinah
Muhammadiyah sendiri
memberi perhatian besar terhadap upaya membangun keluarga sakinah. Melalui
dokumen “Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah”, hasil Musyawarah Nasional
Tarjih ke-28 di Palembang pada 2014, Muhammadiyah menegaskan pentingnya
pembinaan keluarga yang berlandaskan iman, ilmu, dan amal shaleh. Dokumen
tersebut menjadi panduan komprehensif yang tidak hanya menekankan aspek
spiritual, tetapi juga mencakup pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial.
Inilah bentuk nyata ihtiar dakwah berkemajuan yang menegaskan bahwa ketahanan
keluarga harus dibangun melalui pendidikan yang menyeluruh dan
berkesinambungan.
Dalam “Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah”,
ditegaskan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, agama kasih
sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya ketenangan hidup berumah tangga. Rumah tangga sakinah bukanlah rumah tanpa perbedaan, melainkan rumah
yang mengelola perbedaan dengan kasih. Ia menjadi tempat di mana cinta tumbuh
dari iman, dan ketenangan lahir dari saling memahami.
Allah SWT berfirman: “Di
antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram
kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum/30: 21)
Ayat ini menjadi pondasi utama gagasan
keluarga sakinah. Bahwa ketenangan (sakinah) tumbuh dari hubungan spiritual dan
kasih yang nyata di antara suami dan istri. Dalam ayat ini,
Allah SWT menetapkan ketentuan-ketentuan hidup suami istri untuk mencapai
kebahagiaan hidup, ketenteraman jiwa, dan kerukunan hidup berumah tangga.
Apabila hal itu belum tercapai, mereka semestinya mengadakan introspeksi
terhadap diri mereka sendiri, meneliti apa yang belum dapat mereka lakukan
serta kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat. Kemudian mereka menetapkan
cara yang paling baik untuk berdamai dan memenuhi kekurangan tersebut sesuai
dengan ketentuan Allah SWT, sehingga tujuan pernikahan yang diharapkan itu tercapai,
yaitu ketenangan (sakinah), saling mencintai (mawaddah), dan
kasih saying (rahmah).
Kesetaraan dalam Rumah Tangga
Muhammadiyah dalam “Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah” menegaskan
bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara di hadapan Allah
SWT. Keduanya adalah mitra sejajar dalam tanggung jawab dan pengabdian. Suami
bukan penguasa, dan istri bukan bawahan, keduanya adalah teman seperjuangan
menuju ridha Ilahi.
Allah SWT berfirman: “Orang-orang
mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar,
menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS At-Taubah: 71)
Dengan prinsip kesetaraan ini, keluarga
sakinah dibangun atas dasar musyawarah, bukan dominasi, atas dasar saling
menghormati, bukan saling menguasai. Maka, seruan “Saling Cinta, Saling Jaga,
Saling Ridho” yang ada dalam Tepuk Sakinah seharusnya diterjemahkan
menjadi program nyata yang menumbuhkan pendidikan kesetaraan dan tanggung jawab
bersama.
Menanam Sakinah Melalui Pendidikan
Sakinah adalah buah dari pembinaan yang
menyentuh seluruh dimensi kehidupan. Rumah tangga tidak cukup ditegakkan oleh
cinta, tetapi juga oleh ilmu, dan amal nyata. Salah satu
prinsip keluarga sakinah adalah adanya pemenuhan kebutuhan hidup sejahtera
dunia akhirat. Dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang dimaksud, nampak jelas
adanya potensi dasar manusia yang perlu dikembangkan dan dibina dalam keluarga
sakinah. Hal tersebut merupakan pilar keluarga sakinah.
Pada Bab IV “Tuntunan Menuju Keluarga
Sakinah” menegaskan bahwa pembinaan keluarga merupakan proses berkelanjutan
untuk mewujudkan rumah tangga yang kokoh secara spiritual, sosial, dan moral.
Keluarga tidak hanya tempat bernaung secara fisik, tetapi juga ruang tumbuhnya
iman dan kepribadian Islami. Karena itu, pembinaan keluarga sakinah harus
dimulai sejak pra-nikah, dilanjutkan dengan pembinaan setelah pernikahan, dan
terus dikembangkan melalui penguatan nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek
kehidupan.
Pembinaan pertama adalah dalam aspek
spiritual dan moral. Keluarga sakinah harus berakar pada keimanan yang kuat
kepada Allah SWT. Rumah menjadi pusat ibadah dan dzikir, tempat seluruh anggota
keluarga menumbuhkan akhlak mulia. Orang tua menjadi teladan dalam ketaatan dan
kesabaran, serta menanamkan nilai keikhlasan dan tanggung jawab. Kehidupan
keluarga diarahkan agar selalu menjadikan Allah SWT sebagai tujuan utama segala
urusan, sehingga tercipta suasana batin yang tenteram dan penuh rahmah.
Selanjutnya, pembinaan dalam aspek
pendidikan memegang peranan penting. Keluarga adalah madrasah pertama bagi
anak-anak, di mana nilai keilmuan, adab, dan tanggung jawab ditanamkan. Ayah
dan ibu berkewajiban menjadi murabbi (pendidik) yang membimbing dengan
kasih sayang. Di sini ditekankan pentingnya pendidikan yang berimbang antara
intelektual, emosional, dan spiritual, agar anak tumbuh menjadi manusia bertauhid,
berilmu, dan beramal shaleh.
Pembinaan juga meliputi aspek ekonomi,
kesehatan, dan lingkungan. Keluarga sakinah harus mengelola rezeki secara
halal, menjauhi kemewahan berlebihan, dan hidup dalam kesederhanaan yang
berkeadilan. Kesehatan jasmani dan lingkungan menjadi tanggung jawab Bersama, rumah
tangga yang bersih, sehat, dan rapi mencerminkan kebersihan jiwa penghuninya.
Islam memandang kesejahteraan ekonomi dan kesehatan sebagai bagian dari ibadah
sosial yang memperkuat ketahanan keluarga.
Terakhir pembinaan dalam aspek sosial,
hukum, dan kemasyarakatan menegaskan bahwa keluarga sakinah bukan hanya
tentang keharmonisan internal, tetapi juga tentang peran aktif dalam kehidupan
masyarakat. Keluarga harus menumbuhkan semangat gotong royong, kepedulian
sosial, dan tanggung jawab kebangsaan. Suami, istri, dan anak-anak didorong
untuk menjadi pelaku kebaikan di lingkungannya, menjaga keadilan, serta
menegakkan amar makruf nahi munkar. Dengan demikian, keluarga sakinah menjadi pondasi
bagi terwujudnya masyarakat Islam yang berkemajuan.
Penutup
Semua pembinaan di atas menuntut waktu,
ilmu, dan keteladanan. Ia tidak bisa disingkat menjadi sebuah tepuk tangan,
seindah apa pun bunyinya. Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dalam “Tuntunan
Keluarga Sakinah” telah memberikan pedoman bahwa dakwah keluarga harus berbasis
ilmu dan amal nyata. Tepuk Sakinah mungkin bisa menjadi simbol
penyemangat, tetapi bukan inti dari pembinaan keluarga. Jika ingin memperkuat
ketahanan keluarga, maka jalan yang benar adalah pendidikan dan pendampingan
berkelanjutan: kursus pra-nikah yang substantif, bimbingan keluarga muda,
pengajian ayah-ibu, dan konseling berbasis masjid. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar