Mu’tamaroh
Kurnianingsih, S.E
Anggota Majelis Pembinaan Kader (MPK)
Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Blimbing, Sukoharjo
Beberapa waktu terakhir, kita mungkin akan cukup terkejut menyimak
beberapa percakapan di media sosial maupun ruang-ruang diskusi daring di
kalangan anak muda Indonesia. Ada sebagian dari mereka, generasi muda kita
sendiri, yang mulai bersimpati pada Israel dan justru menyalahkan Palestina
atas genosida yang hingga kini masih terjadi di bumi para nabi tersebut. Mereka
mengatakan bahwa para pejuang kemerdekaan Palestina sebagai pemicu kekacauan
dan peperangan. Bahkan sempat pula kita melihat ada video yang menunjukkan beberapa
remaja yang menjadikan ketakutan dan kekerasan yang menimpa anak-anak Palestina
sebagai bahan candaan.
Fenomena ini tentu tidak lahir begitu saja tanpa adanya sebab, bisa
jadi ia adalah hasil dari kesalahan pendidikan, pemahaman sejarah yang kabur,
serta lemahnya penanaman nilai-nilai tauhid dan keumatan sejak dini. Ini bukan
semata-mata kesalahan individu, bukan semata-mata salah anak-anak tersebut,
melainkan sebuah tanggung jawab kolektif: orang tua, pendidik, dan masyarakat
di sekitarnya. Di sinilah para orang tua seharusnya merasa terpanggil untuk
mengambil peran.
Dalam Islam, peran orang tua, utamanya ibu tidak hanya sebagai
pengasuh dan pendamping tumbuh kembang anak, tetapi juga sebagai pendidik utama
dan pertama bagi mereka. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap bayi yang lahir
berada di atas fitrahnya. Lalu orang tuanya-lah yang menjadikan dia Yahudi,
Nasrani atau Majusi.” (HR. Al Bukhari)
Sebagai orang tua, kita harus menyadari bahwa membentuk karakter
anak tidak bisa menunggu hingga mereka telah dewasa. Justru sejak saat mereka kecil,
anak-anak harus diperkenalkan pada nilai-nilai dasar Islam, termasuk di
dalamnya tauhid, cinta kepada sesama muslim, empati kepada yang tertindas dan
kesadaran terhadap kondisi umat Islam di berbagai belahan dunia. Salah satunya
adalah Palestina.
Pendidikan tentang Palestina tidak bisa menunggu mereka dewasa. Ia
harus mulai sejak dini, dari rumah, dari pangkuan seorang ibu. Bukan dalam
bentuk propaganda atau sekedar doktrin kosong, tetapi sebagai proses membangun
kesadaran bahwa sebagai muslim, kita terikat dalam satu tubuh, dan Palestina
adalah bagian dari tubuh itu yang sekarang sedang terluka parah. Rasulullah SAW
bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan
satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan, maka sekujur
badan akan merasakan panas dan demam.” (HR. Muslim, no. 2586)
Palestina: Bagian
dari Identitas Muslim
Ketika orang tua mulai mengenalkan tentang Palestina kepada anaknya,
ia tidak harus berbicara dalam narasi politik atau konflik semata. Tetapi lebih
dari itu orang tua harus membingkainya dalam pendekatan tauhid dan keimanan.
Bahwa Palestina khususnya maupun Bumi Syam pada umumnya adalah bumi para nabi
yang diberkahi oleh Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya: “Mahasuci (Allah)
yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya)
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’/17: 1)
Kita bisa mengatakan pada anak-anak kita bahwa di Palestina terdapat
Masjidil Aqsha, kiblat pertama umat Islam sebelum berpindah ke Masjidil Haram
di Makkah. Di sana pernah lahir, hidup atau tinggal banyak nabi, di antaranya: Nabi
Ibrahim as, Nabi Luth as, Nabi Ya’qub as, Nabi Musa as, Nabi Isa as, dan nabi-nabi
lainnya. Kita bisa menceritakan bahwa Rasulullah SAW diperjalankan Allah SWT
dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha sebelum kemudian
naik ke sidratul muntaha. Sehingga anak-anak dengan jelas mengetahui bahwa bumi
Palestina bukan sekadar tempat biasa yang terdapat di peta dunia, melainkan
bagian dari sejarah dan Islam itu sendiri.
Palestina
dan Kemerdekaan Indonesia
Sebagai bangsa Indonesia, kita seharusnya tidak melupakan sejarah
kita sendiri. Orang tua harus memberikan edukasi yang memadai pada anak-anaknya
sejak kecil, bahwa dulu, Indonesia pernah berjuang merebut kemerdekaan dari
penjajahan. Dan dukungan untuk meraih kemerdekaan, bangsa yang membantu para
pejuang Indonesia salah satunya datang dari Palestina. Pada masa perlawanan,
Mufti Besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, secara terbuka
menyuarakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia, bahkan menggalang
dukungan dari negara-negara muslim Timur Tengah lainnya.
Ini sejalan dengan konstitusi Negara kita, khususnya pada Pembukaan
UUD 1945, alinea pertama, yang mengatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Maka sungguh tidak elok jika hari ini, ketika Palestina masih
dijajah, ditindas dan dizalimi, kita bersikap diam dan pura-pura tidak tahu.
Justru sebagai bangsa yang pernah merasakan pahitnya penjajahan, Indonesia
mempunyai kewajiban moral dan kemanusiaan untuk membantu Palestina dalam bentuk
apa pun. Anak-anak akan mudah menerima jika mereka diajak membantu Palestina di
antaranya dengan: doa, donasi dan gerakan solidaritas. Para orang tua utamanya
ibu bahkan bisa menanamkan cita-cita mulia kepada anaknya, misalnya untuk
menjadi dokter atau tenaga medis, atau bahkan menjadi saudagar kaya, agar bisa
berkontribusi nyata bagi saudara-saudaranya di Palestina.
Palestina dan
Pendidikan Karakter Islam
Penting untuk ditegaskan bahwa pendidikan tentang Palestina bukan
bertujuan menumbuhkan kebencian kepada bangsa atau kelompok tertentu. Justru
sebaliknya, sebagai orang tua kita ingin agar anak-anak belajar mencintai
keadilan dan menolak segala bentuk kezaliman, siapa pun pelakunya. Karena Islam
adalah agama rahmat, dan rahmat itu harus ditanamkan sejak dini.
Setiap orang tua memiliki cara berbeda dalam mendidik anak. Kita
bisa memilih di antaranya dengan menggunakan cerita, atau video-video tentang
Palestina, hingga infak yang dialokasikan untuk Palestina. Melalui kegiatan
sederhana itu, orang tua dapat menyisipkan nilai: tauhid, bahwa semua
perjuangan umat Islam berakar dari keyakinan kepada Allah SWT; empati, bahwa
ada anak-anak seumurannya yang tidak bisa bermain karena hidup dalam penjajahan;
dan tanggung jawab sosial, bahwa meskipun kita tinggal jauh, kita
memiliki peran untuk mendoakan dan mendukung dengan cara yang sesuai kemampuan
kita.
Kisah-kisah dan video-video tentang keteguhan anak-anak Palestina
dalam mempertahankan identitas keislaman mereka, belajar, mengaji, bahkan
menghafal kalam ilahi di bawah bayang-bayang dentuman bom, merupakan potret
nyata dari kekuatan jiwa yang luar biasa. Di tengah keterbatasan dalam segala
hal, mereka tetap menjalani hari-hari dengan semangat, kebersamaan, juga senyum
keceriaan. Mereka bertahan dengan kondisi sandang, pangan dan papan yang sangat
minim, namun tetap menjaga akhlak dan semangat belajar yang tinggi. Keteguhan
ini bukan sekadar kisah haru, tetapi pelajaran hidup yang sangat relevan untuk
ditanamkan kepada anak-anak, generasi muda kita.
Dalam konteks pendidikan Islam, kisah anak-anak Palestina adalah
media yang sangat kuat untuk mengajarkan nilai-nilai karakter luhur seperti
kesabaran dalam ujian, kesyukuran atas nikmat sekecil apa pun, kekuatan mental
dalam menghadapi ketidakpastian, serta keberanian membela kebenaran dan
mempertahankan hak milik. Pendidikan karakter semacam ini tidak cukup diajarkan
lewat teori di kelas, tapi harus ditumbuhkan lewat contoh nyata dan kisah yang
menyentuh hati. Palestina, dalam hal ini, menjadi cermin sekaligus pelajaran
hidup bagi anak-anak kita agar tumbuh tidak hanya cerdas secara intelektual,
tetapi juga kuat secara spiritual dan emosional.
Palestina
dan Kemanusiaan Universal
Sebagai orang tua kita juga harus menjelaskan kepada anak-anak kita
bahwa kesedihan yang menimpa Palestina sejatinya bukan hanya kesedihan orang
Islam, agama yang kita anut, tetapi luka kemanusiaan yang universal. Yang
hancur di sana bukan hanya masjid, tapi juga gereja-gereja tua bersejarah yang
selama ratusan tahun berdiri berdampingan dengan tempat ibadah umat Islam. Bukan
hanya sekolah-sekolah tahfizh yang runtuh, tetapi juga sekolah umum tempat
anak-anak berbagai latar belakang agama menuntut ilmu. Bukan hanya rumah sakit
milik organisasi Islam yang dibom, tetapi juga fasilitas kesehatan
internasional bahkan milik PBB yang seharusnya dilindungi oleh hukum internasional.
Oleh sebab itu, solidaritas terhadap Palestina bukan semata didorong
oleh sentimen keislaman, tetapi oleh panggilan kemanusiaan yang mendalam.
Ketika anak-anak, perempuan, dan warga sipil tak bersalah menjadi korban
kekerasan sistematis, maka siapa pun yang memiliki hati nurani, dari agama apa
pun, bangsa mana pun, seharusnya merasa terpanggil. Membela Palestina hari ini
bukan hanya semata membela Al-Aqsha, tetapi juga membela nilai-nilai
kemanusiaan yang paling mendasar: hak hidup, hak aman, dan hak untuk bermartabat
sebagai manusia. Ini harus ditanamkan kepada anak-anak kita sejak dini.
Penutup
Ibu adalah madrasah pertama. Apa yang ditanamkan ibu hari ini akan
menjadi nilai-nilai yang membentuk karakter generasi umat di masa depan. Maka
mendidik anak dengan mengenalkan Palestina bukan sekadar aktivitas informatif
semata, tetapi juga tindakan strategis untuk menjaga tauhid anak, kesatuan
umat, menumbuhkan empati kepada sesama, dan memperkuat ikatan ukhuwah islamiyah
dan ukhuwah insaniyah yang tak berbatas oleh letak geografis.
Semoga dari tangan-tangan lembut para ibu, lahir generasi yang mencintai Bumi Syam, menangisi penderitaan saudaranya, dan suatu hari kelak, menjadi bagian dari para kafilah pembebas Al-Aqsha.
0 komentar:
Posting Komentar