728x90 AdSpace

Latest News
Senin, 08 September 2025

Palestina: Penanaman Nilai Tauhid dan Kepedulian Sejak Dini

 

Mu’tamaroh Kurnianingsih, S.E

Anggota Majelis Pembinaan Kader (MPK) Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Blimbing, Sukoharjo

 

Beberapa waktu terakhir, kita mungkin akan cukup terkejut menyimak beberapa percakapan di media sosial maupun ruang-ruang diskusi daring di kalangan anak muda Indonesia. Ada sebagian dari mereka, generasi muda kita sendiri, yang mulai bersimpati pada Israel dan justru menyalahkan Palestina atas genosida yang hingga kini masih terjadi di bumi para nabi tersebut. Mereka mengatakan bahwa para pejuang kemerdekaan Palestina sebagai pemicu kekacauan dan peperangan. Bahkan sempat pula kita melihat ada video yang menunjukkan beberapa remaja yang menjadikan ketakutan dan kekerasan yang menimpa anak-anak Palestina sebagai bahan candaan.

Fenomena ini tentu tidak lahir begitu saja tanpa adanya sebab, bisa jadi ia adalah hasil dari kesalahan pendidikan, pemahaman sejarah yang kabur, serta lemahnya penanaman nilai-nilai tauhid dan keumatan sejak dini. Ini bukan semata-mata kesalahan individu, bukan semata-mata salah anak-anak tersebut, melainkan sebuah tanggung jawab kolektif: orang tua, pendidik, dan masyarakat di sekitarnya. Di sinilah para orang tua seharusnya merasa terpanggil untuk mengambil peran.

Dalam Islam, peran orang tua, utamanya ibu tidak hanya sebagai pengasuh dan pendamping tumbuh kembang anak, tetapi juga sebagai pendidik utama dan pertama bagi mereka. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap bayi yang lahir berada di atas fitrahnya. Lalu orang tuanya-lah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al Bukhari)

Sebagai orang tua, kita harus menyadari bahwa membentuk karakter anak tidak bisa menunggu hingga mereka telah dewasa. Justru sejak saat mereka kecil, anak-anak harus diperkenalkan pada nilai-nilai dasar Islam, termasuk di dalamnya tauhid, cinta kepada sesama muslim, empati kepada yang tertindas dan kesadaran terhadap kondisi umat Islam di berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah Palestina.

Pendidikan tentang Palestina tidak bisa menunggu mereka dewasa. Ia harus mulai sejak dini, dari rumah, dari pangkuan seorang ibu. Bukan dalam bentuk propaganda atau sekedar doktrin kosong, tetapi sebagai proses membangun kesadaran bahwa sebagai muslim, kita terikat dalam satu tubuh, dan Palestina adalah bagian dari tubuh itu yang sekarang sedang terluka parah. Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan, maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam.” (HR. Muslim, no. 2586)

 

Palestina: Bagian dari Identitas Muslim

Ketika orang tua mulai mengenalkan tentang Palestina kepada anaknya, ia tidak harus berbicara dalam narasi politik atau konflik semata. Tetapi lebih dari itu orang tua harus membingkainya dalam pendekatan tauhid dan keimanan. Bahwa Palestina khususnya maupun Bumi Syam pada umumnya adalah bumi para nabi yang diberkahi oleh Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya: “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’/17: 1)

Kita bisa mengatakan pada anak-anak kita bahwa di Palestina terdapat Masjidil Aqsha, kiblat pertama umat Islam sebelum berpindah ke Masjidil Haram di Makkah. Di sana pernah lahir, hidup atau tinggal banyak nabi, di antaranya: Nabi Ibrahim as, Nabi Luth as, Nabi Ya’qub as, Nabi Musa as, Nabi Isa as, dan nabi-nabi lainnya. Kita bisa menceritakan bahwa Rasulullah SAW diperjalankan Allah SWT dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha sebelum kemudian naik ke sidratul muntaha. Sehingga anak-anak dengan jelas mengetahui bahwa bumi Palestina bukan sekadar tempat biasa yang terdapat di peta dunia, melainkan bagian dari sejarah dan Islam itu sendiri.

 

Palestina dan Kemerdekaan Indonesia

Sebagai bangsa Indonesia, kita seharusnya tidak melupakan sejarah kita sendiri. Orang tua harus memberikan edukasi yang memadai pada anak-anaknya sejak kecil, bahwa dulu, Indonesia pernah berjuang merebut kemerdekaan dari penjajahan. Dan dukungan untuk meraih kemerdekaan, bangsa yang membantu para pejuang Indonesia salah satunya datang dari Palestina. Pada masa perlawanan, Mufti Besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, secara terbuka menyuarakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia, bahkan menggalang dukungan dari negara-negara muslim Timur Tengah lainnya.

Ini sejalan dengan konstitusi Negara kita, khususnya pada Pembukaan UUD 1945, alinea pertama, yang mengatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Maka sungguh tidak elok jika hari ini, ketika Palestina masih dijajah, ditindas dan dizalimi, kita bersikap diam dan pura-pura tidak tahu. Justru sebagai bangsa yang pernah merasakan pahitnya penjajahan, Indonesia mempunyai kewajiban moral dan kemanusiaan untuk membantu Palestina dalam bentuk apa pun. Anak-anak akan mudah menerima jika mereka diajak membantu Palestina di antaranya dengan: doa, donasi dan gerakan solidaritas. Para orang tua utamanya ibu bahkan bisa menanamkan cita-cita mulia kepada anaknya, misalnya untuk menjadi dokter atau tenaga medis, atau bahkan menjadi saudagar kaya, agar bisa berkontribusi nyata bagi saudara-saudaranya di Palestina.

 

Palestina dan Pendidikan Karakter Islam

Penting untuk ditegaskan bahwa pendidikan tentang Palestina bukan bertujuan menumbuhkan kebencian kepada bangsa atau kelompok tertentu. Justru sebaliknya, sebagai orang tua kita ingin agar anak-anak belajar mencintai keadilan dan menolak segala bentuk kezaliman, siapa pun pelakunya. Karena Islam adalah agama rahmat, dan rahmat itu harus ditanamkan sejak dini.

Setiap orang tua memiliki cara berbeda dalam mendidik anak. Kita bisa memilih di antaranya dengan menggunakan cerita, atau video-video tentang Palestina, hingga infak yang dialokasikan untuk Palestina. Melalui kegiatan sederhana itu, orang tua dapat menyisipkan nilai: tauhid, bahwa semua perjuangan umat Islam berakar dari keyakinan kepada Allah SWT; empati, bahwa ada anak-anak seumurannya yang tidak bisa bermain karena hidup dalam penjajahan; dan tanggung jawab sosial, bahwa meskipun kita tinggal jauh, kita memiliki peran untuk mendoakan dan mendukung dengan cara yang sesuai kemampuan kita.

Kisah-kisah dan video-video tentang keteguhan anak-anak Palestina dalam mempertahankan identitas keislaman mereka, belajar, mengaji, bahkan menghafal kalam ilahi di bawah bayang-bayang dentuman bom, merupakan potret nyata dari kekuatan jiwa yang luar biasa. Di tengah keterbatasan dalam segala hal, mereka tetap menjalani hari-hari dengan semangat, kebersamaan, juga senyum keceriaan. Mereka bertahan dengan kondisi sandang, pangan dan papan yang sangat minim, namun tetap menjaga akhlak dan semangat belajar yang tinggi. Keteguhan ini bukan sekadar kisah haru, tetapi pelajaran hidup yang sangat relevan untuk ditanamkan kepada anak-anak, generasi muda kita.

Dalam konteks pendidikan Islam, kisah anak-anak Palestina adalah media yang sangat kuat untuk mengajarkan nilai-nilai karakter luhur seperti kesabaran dalam ujian, kesyukuran atas nikmat sekecil apa pun, kekuatan mental dalam menghadapi ketidakpastian, serta keberanian membela kebenaran dan mempertahankan hak milik. Pendidikan karakter semacam ini tidak cukup diajarkan lewat teori di kelas, tapi harus ditumbuhkan lewat contoh nyata dan kisah yang menyentuh hati. Palestina, dalam hal ini, menjadi cermin sekaligus pelajaran hidup bagi anak-anak kita agar tumbuh tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan emosional.

 

Palestina dan Kemanusiaan Universal

Sebagai orang tua kita juga harus menjelaskan kepada anak-anak kita bahwa kesedihan yang menimpa Palestina sejatinya bukan hanya kesedihan orang Islam, agama yang kita anut, tetapi luka kemanusiaan yang universal. Yang hancur di sana bukan hanya masjid, tapi juga gereja-gereja tua bersejarah yang selama ratusan tahun berdiri berdampingan dengan tempat ibadah umat Islam. Bukan hanya sekolah-sekolah tahfizh yang runtuh, tetapi juga sekolah umum tempat anak-anak berbagai latar belakang agama menuntut ilmu. Bukan hanya rumah sakit milik organisasi Islam yang dibom, tetapi juga fasilitas kesehatan internasional bahkan milik PBB yang seharusnya dilindungi oleh hukum internasional.

Oleh sebab itu, solidaritas terhadap Palestina bukan semata didorong oleh sentimen keislaman, tetapi oleh panggilan kemanusiaan yang mendalam. Ketika anak-anak, perempuan, dan warga sipil tak bersalah menjadi korban kekerasan sistematis, maka siapa pun yang memiliki hati nurani, dari agama apa pun, bangsa mana pun, seharusnya merasa terpanggil. Membela Palestina hari ini bukan hanya semata membela Al-Aqsha, tetapi juga membela nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar: hak hidup, hak aman, dan hak untuk bermartabat sebagai manusia. Ini harus ditanamkan kepada anak-anak kita sejak dini.

 

Penutup

Ibu adalah madrasah pertama. Apa yang ditanamkan ibu hari ini akan menjadi nilai-nilai yang membentuk karakter generasi umat di masa depan. Maka mendidik anak dengan mengenalkan Palestina bukan sekadar aktivitas informatif semata, tetapi juga tindakan strategis untuk menjaga tauhid anak, kesatuan umat, menumbuhkan empati kepada sesama, dan memperkuat ikatan ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah yang tak berbatas oleh letak geografis.

Semoga dari tangan-tangan lembut para ibu, lahir generasi yang mencintai Bumi Syam, menangisi penderitaan saudaranya, dan suatu hari kelak, menjadi bagian dari para kafilah pembebas Al-Aqsha.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Palestina: Penanaman Nilai Tauhid dan Kepedulian Sejak Dini Rating: 5 Reviewed By: Admin 2 TablighMu