Refleksi 108 tahun
‘Aisyiyah (19 Mei 1917-2025)
Mu’tamaroh Kurnianingsih, S.E
Anggota Majelis Pembinaan Kader (MPK) Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah
Blimbing, Sukoharjo
Di belakang
para tokoh besar yang kita kenal, pasti ada peran sentral dua perempuan hebat
yang mendukungnya, yaitu: ibu dan istrinya. Begitu juga di balik setiap
perubahan besar dalam sejarah suatu bangsa, selalu ada peran sentral dari kaum
perempuan, yang terkadang dilakukan dengan senyap namun menentukan. Dalam
konteks negara sebuah kalimat hikmah mengatakan: “Perempuan adalah tiang
negara, apabila perempuannya baik maka akan baiklah negara, dan apabila
perempuannya rusak, maka akan rusak pula negara”. Persyarikatan Muhammadiyah,
salah satu gerakan perempuan muslim paling monumental dan bertahan hingga lebih
dari satu abad adalah ‘Aisyiyah. Sejak kelahirannya pada 1917, ‘Aisyiyah telah
menanamkan nilai-nilai perkaderan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan sebagai
inti dari gerakannya. Apa yang ditanam oleh para perempuan hebat ini lebih dari
seratus tahun lalu, kini tumbuh menjadi warisan yang menggurita, mengakar luas
di seluruh penjuru negeri, dan bahkan menembus batas negara.
Awal
Langkah dan Visi Besar
Dalam website
resminya disebutkan bahwa ‘Aisyiyah resmi didirikan pada 27 Rajab 1335 H / 19
Mei 1917 M, bertepatan dengan peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Namun,
cikal bakal kelahiran ‘Aisyiyah sudah mulai terlihat sejak tahun 1914, dengan
adanya perkumpulan Sapa Tresna, sebuah komunitas gadis-gadis terdidik yang
tinggal di sekitar kawasan Kauman, Yogyakarta.
KH. Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, memiliki pandangan progresif mengenai pendidikan
perempuan. Di tengah arus budaya saat itu yang menganggap pendidikan bukanlah sebuah
kebutuhan bagi kaum perempuan, Kiai Dahlan justru mendorong para perempuan,
termasuk anak-anak perempuan dari kolega dan kerabatnya, untuk mengenyam
pendidikan, baik dalam bidang umum maupun agama. Para gadis yang tergabung
dalam Sapa Tresna inilah yang kemudian dibina dalam proses pengkaderan bersama
KH. Ahmad Dahlan, bersama tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, termasuk di
dalamnya Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah).
Pendirian resmi
‘Aisyiyah bermula dari sebuah pertemuan penting yang diadakan di kediaman KH.
Ahmad Dahlan pada tahun 1917. Nama ‘Aisyiyah diambil dari tokoh perempuan
muslim di masa lalu, istri Nabi Muhammad SAW, Ummul Mukminin (Ibu kaum
mukminin) ‘Aisyah binti Abu Bakar RA, yang dikenal sebagai perempuan cerdas,
berwawasan luas, dan memiliki kontribusi besar dalam perkembangan sejarah
Islam. Jika Muhammadiyah berarti para pengikut Nabi Muhammad SAW, maka ‘Aisyiyah
dimaknai sebagai para pengikut Ibunda ‘Aisyah RA. Filosofi ini menggambarkan
bahwa sebagaimana Nabi Muhammad SAW dan Ibunda ‘Aisyah RA menjadi pasangan yang
saling melengkapi dalam dakwah, maka Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah pun diharapkan
menjadi mitra strategis dalam membangun masyarakat Islam yang berkemajuan.
Harapannya, karakter dan semangat Ibunda ‘Aisyah RA menjadi teladan utama bagi
seluruh warga, apalagi kader ‘Aisyiyah masa kini maupun yang akan datang.
Pada masa
ketika peran perempuan masih dibatasi oleh norma dan struktur kolonial,
sekelompok perempuan Muhammadiyah yang tercerahkan mendirikan sebuah organisasi
yang diberi nama ‘Aisyiyah. Di tengah keterbatasan akses terhadap pendidikan
dan kehidupan sosial yang penuh sekat, ‘Aisyiyah membawa pemikiran
revolusioner: bahwa perempuan harus terdidik, bahwa anak-anak harus disiapkan
sejak dini, dan bahwa pendidikan adalah kunci perubahan sosial jangka panjang.
Tahun 1919,
hanya dua tahun setelah berdiri, ‘Aisyiyah mendirikan Frobel School di
Yogyakarta, sebuah lembaga pendidikan anak usia dini yang menjadi tonggak
lahirnya gerakan pendidikan pra-sekolah di Indonesia. Frobel School ini
berkembang dan dikenal hingga hari ini sebagai TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK
ABA). Dari satu sekolah itu, kini telah tersebar menjadi lebih dari 20.000
PAUD/TK di seluruh Indonesia. Ini bukan sekadar angka, melainkan perwujudan
dari keseriusan gerakan perempuan muslim berkemajuan dalam membangun pondasi
bangsa melalui pendidikan.
Struktur
Organisasi yang Mengakar
Salah satu
kekuatan besar ‘Aisyiyah adalah struktur organisasinya yang luas dan mengakar
di nusantara. Mulai dari pusat di tingkat nasional hingga ranting di desa-desa,
bahkan menyebar luas pula hingga luar negeri, jaringan ‘Aisyiyah terus bergerak
dan berdampak. Struktur ini memungkinkan distribusi gagasan dan program secara
merata. Struktur ‘Aisyiyah meliputi: 35 Pimpinan Wilayah (setingkat provinsi),
459 Pimpinan Daerah (setingkat kabupaten/kota), Ribuan Pimpinan Cabang
(setingkat kecamatan), Puluhan ribu Pimpinan Ranting (setingkat kelurahan/desa)
dan PCIA-PRIA (Pimpinan Cabang Istimewa ‘Aisyiyah, Pimpinan Ranting Istimewa
‘Aisyiyah) di luar negeri, di antaranya: Mesir, Australia, Malaysia, Pakistan,
Sudan, Taiwan, Turki, Hongkong, Jepang, dll. Jaringan ini bukan hanya simbol
organisasi yang besar, tetapi juga mesin sosial yang bergerak secara nyata
dalam kehidupan masyarakat.
Sistem
Pendidikan yang Komprehensif
Gerakan
pendidikan ‘Aisyiyah tidak berhenti pada pendidikan anak usia dini. Melalui Majelis
Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar dan Menengah (Pauddasmen), ‘Aisyiyah
menyelenggarakan pendidikan dari jenjang dasar hingga menengah, mencakup
berbagai bentuk baik formal, nonformal, maupun informal.
Data yang
didapat dari website https://aisyiyah.or.id/program/ yang diakses
pada 21 April 2025, saat ini Amal usaha ‘Aisyiyah bidang Pendidikan Anak Usia
Dini, Dasar dan Menengah yakni 20.125 lembaga pendidikan anak usia dini; 4.398
lembaga pendidikan setingkat SD, SMP, dan SMA; 3.904 lembaga Keaksaraan
Fungsional. Semua ini adalah bukti nyata kerja keras kolektif perempuan dalam
membangun masa depan bangsa.
Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) ‘Aisyiyah meliputi TK ABA, kelompok bermain, taman pengasuhan
anak (TPA), hingga taman pendidikan Al-Qur’an (TPQ). Pendidikan anak usia dini
tidak hanya mendidik anak-anak, tetapi juga mengedukasi orang tua, terutama para
ibu, dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan sejak dini.
Pendidikan
Dasar dan Menengah ‘Aisyiyah mulai dari Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah
(MI), SMP, MTs, hingga SMA, SMK, MA, dan sekolah luar biasa. Di beberapa
tempat, pendidikan ini dikombinasikan dengan sistem pesantren untuk memperkuat
aspek spiritual dan moral siswa.
Pendidikan
Nonformal ‘Aisyiyah seperti Madrasah Diniyah, pendidikan keaksaraan,
pemberdayaan perempuan, keterampilan hidup, pelatihan kerja, dan program
kesetaraan. Inilah ruang di mana perempuan yang tidak memiliki akses pendidikan
formal tetap mendapatkan kesempatan untuk belajar dan berkembang.
Pendidikan
Tinggi Di Tangan Perempuan
Melalui Majelis
Pendidikan Tinggi (Dikti), ‘Aisyiyah melanjutkan kontribusinya dalam pendidikan
tinggi. Majelis Dikti bertugas menyelenggarakan amal usaha pendidikan tinggi
serta mengembangkan kurikulum khas berbasis Al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan
Keaisyiyahan. Pendidikan tinggi ini tidak hanya bertujuan mencetak lulusan
cerdas, tapi juga membentuk pribadi tangguh yang siap berperan aktif dalam
masyarakat.
Hingga kini,
‘Aisyiyah setidaknya memiliki 10 Perguruan Tinggi, termasuk di antaranya tiga
universitas, yaitu: Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, Universitas ‘Aisyiyah
Bandung dan Universitas ‘Aisyiyah Surakarta. Kampus-kampus ‘Aisyiyah ini tidak
hanya menjadi tempat menuntut ilmu, tetapi juga ruang strategis perempuan dalam
mengolah gagasan dan menciptakan perubahan.
‘Aisyiyah:
Gerakan Nyata, Warisan Nyata
Angka-angka
capaian ‘Aisyiyah yang kami sajikan di atas adalah sebuah bukti yang lebih dari
nyata. Semua itu adalah bukti dari kerja keras panjang, kerja dalam diam, kerja
yang mungkin saja tidak banyak ditulis tapi berdampak sangat besar. Inilah
warisan perempuan. Bukan sekadar ide atau wacana. Tapi amal usaha nyata, guru
dan dosen nyata, anak-anak siswa/siswi dan mahasiswa/mahasiswi nyata yang
tumbuh menjadi generasi masa depan bangsa.
Tulisan sederhana
ini baru bercerita tentang warisan ‘Aisyiyah pada dunia pendidikan, padahal
‘Aisyiyah juga mengurus bidang-bidang lain yang tidak kalah hebatnya, seperti:
Ekonomi dan Ketenagakerjaan, Penelitian dan Pengembangan, Pembinaan Kader,
Seni, Budaya, dan Olahraga, Tabligh dan Ketarjihan, Kesejahteraan Sosial,
hingga Kesehatan.
Dalam banyak
hal, Indonesia bertahan hingga hari ini bukan karena kuatnya sistem politik
atau gemilangnya prestasi para pejabat, melainkan karena masih ada rakyat biasa
seperti ‘Aisyiyah yang bekerja dengan tulus. Karena masih ada
perempuan-perempuan muslim berkemajuan seperti kader ‘Aisyiyah yang tidak
pernah berhenti bergerak, membangun dari bawah, menghidupkan pendidikan, dan
mempersiapkan masa depan bangsa.
Penutup:
Dari Masa Lalu untuk Masa Depan
Lebih dari
seratus tahun lalu, dengan dukungan penuh dari KH. Ahmad Dahlan dan Nyai
Walidah Dahlan para perempuan muslim berkemajuan ini mendirikan organisasi
‘Aisyiyah dengan penuh kesadaran: bahwa pendidikan adalah investasi jangka
panjang yang tak boleh ditunda. Mereka tidak menunggu negara berdiri. Mereka
tidak menunggu sistem terbentuk. Mungkin yang mereka tahu hanya satu kata: bergerak.
Hari ini, kita
menyaksikan warisan itu tumbuh menjulang: 20.000 lebih lembaga pendidikan anak
usia dini, ribuan sekolah/madrasah, perguruan tinggi, dan berbagai program
pemberdayaan masyarakat di seluruh Indonesia. Semua didirikan, dirawat dan
dibesarkan oleh tangan-tangan kuat para perempuan.
Mungkin pada 2045 nanti, saat Indonesia merayakannya sebagai Indonesia Emas, warisan ‘Aisyiyah ini akan tetap terus tumbuh dan berkembang. Karena benih-benih pendidikan, sekali dia ditanam dengan niat dan ikhlas, maka dia akan tumbuh dan terus tumbuh menjadi pohon kehidupan dan berbuah di masa depan.
Zaman boleh saja berganti. Nama-nama boleh saja dilupakan. Tapi jejak warisan pendidikan yang ditinggalkan oleh perempuan-perempuan muslim berkemajuan dalam wadah Perkumpulan ‘Aisyiyah ini, benar-benar tak akan pernah hilang. Abadi selamanya. Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar