oleh: Taufik Hidayat
Suasana lebaran salah satunya terwarnai
oleh pelbagai makanan khas tiap daerah di Indonesia. Di Jakarta, ada makanan
olahan daging sapi dibumbui dengan tumis dan pelumur yang dinamai Semur Betawi.
Di Banjar, ada makanan olahan ikan gabus asap dimasak dengan santan dan
dihidangkan bareng lontong atau ketupat yang dinamai Panggang Haruan. Di
Madura, ada makanan olahan ikan tenggiri dimasak dengan santan, belimbing
wuluh, dan cabai yang dinamai Kellapate. Di Medan, ada makanan olahan nangka
muda dipadukan dengan daging iga dan rempah-rempah yang dinamai Gulai Nangka.
Di Aceh, ada makanan olahan iga sapi dimasak dengan bumbu-bumbu, kelapa parut
sangrai, dan salam koja yang dinamai Kuah Labi. Di Palembang, ada makanan
olahan beras digulung dengan daun pisang, dicampur dengan santan, dan dimasak
dalam bambu lalu dibakar yang dinamai Lemang. Di Makassar, ada makanan olahan
ayam dimasak dengan serai, lengkuas, daun salam, kunyit, dan bumbu tumis serta
ditambahkan kelapa parut sangrai yang dinamai Ayam Gagape. Di Pekalongan, ada
makanan olahan terong hijau dimasak dengan santan, daun melinjo, dan bunga
kecombrang serta dihidangkan bareng ketupat atau nasi putih yang dinamai Lodeh
Terong. Di Padang, ada makanan olahan daging, telur, atau lokan dan dihidangkan
bareng lontong yang dinamai Rendang. Di Banjarmasin, ada makanan olahan ayam
dimasak dengan kayu manis, biji pala, dan cengkeh serta dihidangkan bareng
perkedel, telur, dan ketupat yang dinamai Soto Banjar.[1] Tampak mayoritas
tidak lupa menggunakan santan sebagai salah satu bahannya. Tetapi, tulisan ini
tidak akan membahas soal itu.
Selain makanan khas, ada lagi yang
mewarnai suasana lebaran, yakni ucapan Selamat Idul Fitri. Prolog-prolognya
seperti ini:
1. Bila kata merangkai dusta
Bila
langkah membekas laran
Bila
hati penuh prasangka
Dan
bila ada langkah yang menoreh luka
….
2. Sepuluh jari tersusun rapi
Bunga
melati pengharum hati
Pesan
dikirim pengganti diri
….
3. Andai jemari tak sempat berjabat
Andai
raga tak dapat bertatap
Seiring
beduk yang menggema
Seruan
takbir yang berkumandang
….
4. Kata telah terucap
Tangan
telah bergerak
Prasangka
telah terungkap
….
5. Mawar berseri di pagi hari
Pancaran
putihnya menyapa nurani
Pesan
dikirim pengganti diri
….
6. Sebelum ramadhan pergi
Sebelum idul fitri datang
Sebelum operator sibuk
Sebelum pesan pending mulu
Sebelum pulsa habis
….
7. Senandung asma Allah menghiasi
malam
Menghampiri fajar menyambut hari
kemenangan
Jabat tangan penuh kasih, eratkan
tali silaturrahmi
Jiwa yang suci dari Sang Maha Suci,
tapi sering kali
Ternoda oleh dosa pada insani
….
8. Waktu mengalir bagaikan air
Ramadhan suci akan berakhir
Tuk salah yang pernah ada
Tuk khilaf yang pernah terucap
….
9. Beningkan hati dengan dzikir
Cerahkan jiwa dengan cinta
Lalui hari dengan senyum
Tetapkan langkah dengan syukur
….[2]
Kemudian diakhiri ucapan permohonan maaf
lahir dan batin serta selamat idul fitri. Dari paragraph-paragraf ucapan
diatas, adakah yang sering kamu dapati? Bagaimana kesan mu saat mendapat ucapan
selamat Idul Fitri dari keluarga, kerabat, kawan, tetangga, atau lainnya? Lalu,
apa ya makna dalam ucapan selamat idul fitri itu?
Pateda (2001: 78) membedakan kedudukan
informasi, maksud, dan makna. Menurutnya, makna adalah gejala dalam ujaran. Sedangkan,
maksud adalah gejala luar ujaran yang dilihat dari segi pengujar atau orang
yang berbicara atau pihak subjeknya. Dan informasi adalah gejala luar ujaran
yang dilihat dari segi objeknya. Makna diklasifikasiksn menjadi tiga, yakni
denotatif, konotatif, dan afektif. Afektif berhubungan dengan perasaan yang
timbul pada mitra tutur atau penerima, contohnya senang, terharu, dan lainnya.
Beranjak ke permukaan, bentuk ucapan selamat ini terbagi menjadi dua tipe,
yakni formal dan non-formal. Non formal contohnya pantun sederhana, kisah
pendek humor, dan seterusnya. Dalam analisis kebahasaan, ragam ucapan selamat
ini terbentuk oleh faktor sosial, ras, tingkat pendidikan, usia, atau lainnya.
Selain itu, faktor kepraktisan yang jadi penentu penutur memilih ucapan selamat
tersebut,[3] misal karena tinggal copy
paste atau lainnya. Tetapi, sekali lagi, bukan hal ini yang jadi focus
utama tulisan ini.
Salah satu hal yang juga nampak dalam
suasana lebaran adalah kebiasaan mengenakan baju baru. Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam karyanya “Sejarah Nasional
Indonesia” menjelaskan, bahwa dulu mayoritas penduduk dibawah Kerajaan Banten
juga sibuk menyiapkan baju baru saat menyambut lebaran. Bagi para penjual, hal
ini menjadi wujud keberkahan pada masa menjelang dan saat lebaran. Stefanus
Ridwan dari Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mencatat
rata-rata tiap tahunnya, omzet produsen pakaian meningkat dua sampai lima kali
lipat saat ramadhan hingga Idul Fitri. Biasanya, faktor psikologis konsumen
yang memengaruhi kuantitas produk terjual, sebagaimana hasil analisis Kotler
dan Amstrong (2009) dan Armawati et al. (2014). Faktor psikologis itu
dicerminkan lewat persepsi kualitas merek, menurut Durianto (2004) dan Widjaja
(2003).[4] Tetapi, kita tidak bermaksud untuk berhenti di bahasan ini. Mari
beranjak ke persoalan agak dalam. Mudah-mudahan masih bisa dinikmati walaupun
mungkin disertai kernyitan dahi.
Makanan khas, ucapan selamat secara
langsung atau virtual, dan baju baru tentu tidak semuanya bisa memperoleh itu, misal
karena faktor ekonomi, kesehatan, dan lainnya. Kita ingat, bahwa Idul fitri harus
berdampak terhadap menangnya aspek lahir dan batin muslim. Dalam Maqashid
al-Syari’ah, hakikat kemenangan kaum muslim itu ditandai dengan hifzh ad-din, hifzh
an-nafs, hifzh an-nasl, hifzh al-Mal, dan hifzh al-‘Aql. Bila menimbang situasi
pandemi Covid-19 seperti saat ini, lantas hal apa yang tidak boleh lagi
dipinggirkan dalam kehidupan kaum muslim? Menilik aspek hifzh al-Mal, Wahbah
Zuhayli dalam tafsirnya “al-Munir” menyampaikan, bahwa aspek ini berkaitan
dengan keharusan untuk tidak menghambur-hamburkan harta atau berlebihan dalam
mengelola harta kekayaan, melainkan menjalankan laku hidup sederhana. Dalam
segala aspek, Wahbah Zuhayli juga mengingatkan lewat risalahnya yang lain
terhadap pentingnya solidaritas kaum muslim yang dicirikan dengan keadaan
ta’awun dalam al-birr.[5] Sehingga saat kaum muslim berada dalam masa krisis,
maka paham terhadap hal apa yang harus difikirkan, dieksekusi, dan diharapkan
bersama.
Memperhatikan nasib sesama kaum muslim
justru jalan kebahagiaan. Energi yang kita curahkan dalam bahu-membahu
meningkatkan kualitas hidup kaum muslim itu bukti cinta terhadap saudara
seiman. L. Hendranata dalam “Kebahagiaan itu Dibuat, Bukan Dicari” menyatakan,
bahwa kebahagiaan identik dengan keberadaan cinta. Erbe Sentanu dalam “Kwantum
Ichlas”, menyampaikan bahwa cinta yang berasal dari sanubari akan menangkap
kebahagiaan-kebahagiaan.[6] Coba kita ingat kembali, hal apa yang membahagiakan
Rasulullah Saw.? Apakah saat kaumnya sedang mengalami kesusahan? Atau apakah
dengan memperjuangkan nasib kaumnya, Rasulullah Saw. justru tidak merasa
bahagia? Pesan Syeikh Ali bin Hasan dalam “Ahkamul ‘Iedain”, bahwa kebahagiaan,
kegembiraan, dan semangat baru terdapat dalam kontinuitas pelbagai kebaikan.[7]
Terakhir, patut kita renungi kembali,
bahwa al-‘id sebagaimana penjelasan Dr. Ibrahim Anis dalam “al-Mu’jam
al-Wasieth”, artinya apa yang kembali dari kesusahan atau penyakit atau
kerinduan dan sebagainya. Al-‘id, setiap hari berkumpul dengan mengadakan
peringatan terhadap sesuatu yang dianggap mulia atau sesuatu yang disayangi.[8]
Dan Islam, bagi Mohammad Abu Nimer, memiliki tiga makna, yakni kepatuhan diri,
mendamaikan serta perdamaian dan kasih sayang, sebagaimana dalam karyanya
“Conflict Resolution Approaches: Western and Middle Lessons and
Possibilities”.[9]
Referensi:
[1] Kunjungi http://indonesiabaik.id/infografis/makanan-khas-idul-fitri
[2] Purwaningsih. 2012. “Jenis Kalimat dan
Diksi dalam Ucapan Selamat Idul Fitri 1432 H Melalui Short Message Service
(SMS)”. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Skripsi.
[3] Jayanti, Memmy Dwi. 2016. “Analisis
Makna Kata pada Ucapan Selamat Idul Fitri (Tinjauan Pendekatan Semiotika)”.
Jurnal Wacana Vol. 1 No. 1.
[4] Kunjungi http://eprints.umm.ac.id/39680/2/BAB%20I.pdf
[5] Kunjungi https://indoprogress.com/2017/06/kemenangan-idul-fitri-antara-yang-hakiki-dan-yang-ilusi/
[6] Kunjungi http://www.rsqim.com/artikel/16-idul-fitri-dan-kebahagiaan-ala-rasulullah-saw
[7] Kunjungi https://muslim.or.id/370-bimbingan-idul-fitri.html
[8] Kunjungi http://repository.uin-suska.ac.id/7413/4/BAB%20III.pdf
[9] Muzammil, Shofiyullah. 2016. “Idul
Fitri: Kemajemukan Sebagai Modal Utama Cinta Kasih dan Peradaban”. Masjid Raya
al-Fatah Ambon: Naskah Idul Fitri.
Tentang Penulis
Taufik Hidayat lahir di Cirebon pada 23 Juni 1996. Ia merupakan seorang laki-laki yang saat ini berdomisili di Blok Ciluwung RT 003 RW 005, Desa Kedungbunder, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, kode pos 45161. Saat ini, muslim yang masih lajang ini menjalani peran ganda sebagai mahasiswa sekaligus guru. Ia kini aktif berjejaring melalui berbagai akun media sosial, antara lain Facebook dengan nama Taufik Hidayat, Instagram dengan akun @fik.dayat.72, LinkedIn atas nama Taufik Hidayat, serta Medium dengan akun fik.dayat.72. Untuk keperluan silaturrahmi Taufik Hidayat dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp di +62 821-1528-9672.
0 komentar:
Posting Komentar